BAB I : LANDASAN DAN KERANGKA BERFIKIR
Dalam benak/pikiran manusia terdapat sejumlah
gagasan-gagasan baik yang bersifat tunggal (seperti gagasan kita tentang Tuhan,
Dewa, malaikat, surga, neraka, kuda, batu, putih, gunung dan lain-lain) maupun
majemuk (seperti gagasan kita tentang Tuhan Pengasih, Dewa Perusak, Malaikat
pembawa wahyu, kuda putih, gunung batu dan lain-lain). Bentuk
pengetahuan-pengetahuan ini disebut pengetahuan tasawwur (konsepsi). Seluruh bentuk-bentuk
proposisi keyakinan atau kepercayaan apapun pada awalnya hanyalah merupakan
bentuk konsepsi sederhana ini. Mengapa bisa demikian? Hal ini karena adalah
mustahil seseorang dapat meyakini atau menpercayai sesuatu jika sesuatu itu
pada awalnya bukan merupakan sebuah konsepsi baginya.
Tetapi pengetahuan tasawwur (Konsepsi) sebagaimana
telah diketahui hanyalah merupakan gagasan-gagasan sederhana yang di dalamnya
belum ada penilaian maka itu ia dapat saja benar atau salah. Oleh karenanya
seseorang tidak diperkenankan untuk merasa puas hanya dengan pengetahuan
konsepsi. tetapi ia harus melangkah untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat
yakin yaitu pengetahuan-pengetahuan tasdhiqi. Dalam artian bahwa ia harus
melakukan suatu proses penilaian terhadap setiap gagasan-gagasan (baik tunggal
maupun majemuk) atau konsepsinya itu agar dapat diyakini. Lantas, pertanyaannya
adalah apa landasan pokok penilaian kita di dalam menilai seluruh
gagasan-gagasan kita yang mana kebenarannya mestilah bersifat mutlak dan pasti?
Dalam kanca perdebatan filosofis ketika para pemikir mencoba menjawab hal pokok
ini terbentuklah tiga mazhab berdasarkan doktrinnya masing-masing. Ketiga
mazhab itu adalah pertama, mazhab ‘metafisika Islam’ dengan doktrin aqliahnya,
kedua, mazhab emperisme dengan doktrin emperikalnya dan ketiga, mazhab
skriptualisme dengan doktrin tekstualnya. Metafisika
Islam dalam hal ini menjadikan prima principia dan kausalitas serta metode
deduktif sebagai kerangka berfikirnya. Adapun mazhab emperisme menjadikan
pengalaman inderawi atau eksperimen sebagai landasan dalam menilai segala
sesuatu dimana induktif sebagai kerangka berfikirnya. Sementara mazhab
skriptualisme menjadikan teks-teks kitab suci sebagai landasan dalam menilai
segala sesuatu serta tekstual dalam kerangka berfikirnya.
Mazhab kedua (empirisme) menolak seluruh bentuk
landasan dan kerangka berfikir kedua mazhab yang lain. Begitu pula bagi mazhab
ketiga (skriptualisme), mereka skeptis terhadap landasan dan kerangka berfikir
kedua mazhab yang lain. Adapun bagi mazhab pertama (metafisika Islam), mereka
tidak menolak sumbangsih-informasi dari teks-teks kitab suci dan pengalaman
inderawi atau eksperimen yang dijadikan landasan berfikir bagi kedua mazhab
yang lain tetapi yang ditolaknya adalah bila keduanya (pengalaman dan teks-teks
kitab) itu merupakan landasan atau kriteria dasar dalam setiap penilaian
hal-hal ilmiah filosofis maupun teologis.
Baca juga: NDP HMI Versi Ust. Arianto; Bab II
Baca juga: NDP HMI Versi Ust. Arianto; Bab II
Bagi mazhab pertama (‘metafisika Islam’) pengalaman
inderawi atau data eksperimen merupakan informasi-informasi yang sangat perlu
dalam upaya kita mengetahui aspek sekunder dari alam materi. Atau dengan kata
lain data eksperimen atau pengalaman inderwi sangatlah dibutuhkan bila obyek
pembahasan kita adalah khusus mengenai hal-hal yang sebagian bersifat ilmiah dan
sebagian lagi bersifat filosofis. Adapun teks-teks kitab suci sangatlah
dibutuhkan dalam upaya kita mengetahuai aspek sekunder dari keadaan-keadaan
(kondisi objektif) seperti alam gaib, akhirat, kehendak-kehendak suci Tuhan
atau dengan kata lain jika obyek pembahasan kita berkenaan dengan sebagian dari
obyek filosofis (metafisika dan teologi) yang dalam hal ini pengalaman inderawi
atau eksperimen tak dibutuhkan sama sekali. Karena itu dalam kerangka berfikir
Islam, kedua data di atas (data pengalaman inderawi atau eksperimen dan
teks-teks kitab suci) merupakan premis-premis minor dalam sistematika deduktif.
Pada akhirnya tak dapat diingkari bahwa dari mazhab metafisika Islam yang
berlandaskan prima principia dan hukum objektif kausalitas serta kerangka deduktifnya
merupakan satu-satunya landasan berfikir di dalam menilai segala sesuatu. Tanpa
pengetahuan dasar tersebut mustahil ada pengetahuan tasawwur (konsepsi) maupun
tasdhiq (assent) apapun. Tak dapat dibayangkan apa yang terjadi bila doktrin
dari metafisika Islam ini bukan merupakan watak wujud (realitas objektif) yang
mengatur segala sesuatu termasuk pikiran? Maka kebenaran dapat menjadi sama
dengan kesalahannya, bahwa setiap peristiwa dapat terjadi tanpa ada sebabnya.
Bila demikian adanya maka tentu meniscayakan mustahilnya penilaian. Mengapa
demikian? Karena watak penilaian adalah ingin diketahuinya “sesuatu itu
(konsepsi) apakah ia benar atau salah” atau ingin diketahuinya “mengapa dan
kenapa sesuatu itu dapat terjadi”. Artinya, jika pengetahuan dasar tersebut
bukan merupakan watak dan hukum realitas yang mengatur segala sesuatu termasuk
pikiran maka seluruh bangunan pengetahuan manusia baik di bidang ilmiah,
filosofis dan teologi menjadi runtuh dan tak bermakna.[]
Sumber: Hasil-Hasil Kongres HMI Ke-25.
Sumber: Hasil-Hasil Kongres HMI Ke-25.
Ada ebook nya gak min
ReplyDelete