YakusaBlog- Sudah
dua minggu kurang lebih Melani bebas dari kurangan bersama Iblis, Syetan, Hantu dan Jin-jin jahat lainnya.
Sebenarnya ia tidak layak di satu tempat kurungan dengan makhluk-makhluk itu. Selama bulan
suci Ramadhan, ia tidak dapat menyaksikan bagaimana Kader-kader HMI Cabang
Medan berdialektika dan berdinamika dalam Konferensi Cabang alias Konfercab.
Padahal,
ia ingin sekali menonton dan mendengarkan retorika para Kader yang penuh dengan
referensi dari berbagai macam buku dan dalil-dalil Al-Qur’an yang sudah tidak
lagi asing di telinganya karena sudah sering ia dengar di forum-forum LK I. Ia juga
rindu suara-suara interupsi yang bergendangkan meja dan ketukan palu yang
terkadang pilu, juga terkadang terdengar syahdu.
(Ready stock. Harga: Rp. 45.000. Order langsung kepenulisnya di akun IG @ibnu.arsib)
Tapi,
apalah dikata. Selama bulan Ramadhan itu ia harus taat pada Tuhannya untuk
dikurang supaya Kader-kader HMI Cabang Medan, yang mengikuti Konfercab, tidak
terganggu puasanya. Jika pun mereka yang berbuat menyimpang atas sumpahnya
sebagai Kader dan hamba, tidak menepati janji-janji setelah ketukan palu, dan
ada juga yang tidak sesuai Konstitusi HMI serta Azas HMI, itu bukan karena
kesalahan Melani lagi. Tapi, itu adalah karena unsur hawa nafsu yang
mendorongnya. Nafsu untuk menang dan tidak siap kalah, sehingga segala cara
akan dilakukan untuk memenuhi hasrat nafsu kemenangan, hawa nafsu untuk
berkuasa di HMI Cabang Medan.
“Di
sini kok udah sepi kali ya?” Tanya Melani pada diri sendiri ketika ia sampai di
Alimbas.
Ya,
nama tempat itu Alimbas. Akronim dari Adinegoro lima belas. Maksudnya adalah Jln.
Adinegoro Nomor 15, di sana berdiri kokoh gedung yang baru selesai direnovasi
sekitar dua tahun lalu, mereka menyebutnya sebagai Sekretariat HMI Cabang
Medan, Sekretariat Kohati HMI Cabang Medan, serta Sekretariat Badko HMI Sumut, dan
ada juga gedung yang belum sempat untuk direnovasi terkendala mengenai dana,
dan itu para Kader-kader HMI Cabang Medan mengatakannya Student Center, pusat pelatihan Kader-kader HMI Cabang Medan yang
tidak pernah sepi sebelum Ramadhan.
Baca juga Cerpen: Merawat Kultur HMI
Betapa
terkejutnya Melani ketika tiba di Alimbas. Ia tidak menemukan satu pun orang di
sana. Semak belukar tumbuh subur dipekarangan gedung itu. Pagarnya pun telah
berganti. Tidak dapat lagi digeser ke kanan saat ia masuk. Untung saja ia masih
punya kekuatan untuk terbang walaupun terkurung selama bulan Ramadhan.
Seluruh
isi ruangan gedung itu ia perhatikan dengan seksama dan dalam tempo yang selama-lamanya
sampai ia bosan. Kepalanya bergeleng-geleng. Ruangan begitu kotor dan bau. TIKUS-TIKUS
berlarian ke sana ke mari. Kucing-kucing manis sudah tidak ada lagi karena
tidak mendapatkan subsidi makanan bekas. Terpaksa penduduk kucing itu
bermigrasi mecari kehidupan di tempat lain. Sedangkan TIKUS-TIKUS terus dan
senang merajalela di Alimbas.
Lantai
penuh dengan bekas sepatu, sandal dan beberapa centi meter timbunan debu. Kamar mandi pun sudah seperti tempat ia
dikurung. Beberapa benda-benda yang berharga selama ia lihat sebelum Ramadhan
sudah tidak nampak lagi. Dari satu ruangan ke ruangan ia perhatikan dengan
cukup lama dan saksama.
Dari
pagi sampai pagi Melani terus menunggu kehadiran para Kader-kader yang sering
ia lihat di Alimbas. Betapa kecewanya dia karena tidak muncul satu pun. Ia rindu
lagi dengan ketukan palu. Ia ingin mendengar kiranya ada ketukan palu di meja
lebar yang ada di student center itu.
Ia rindu mendengar kalimat, “Dengan
mengucapkan bismillahirrohmanirrohim, skor waktu sebelumnya saya cabut.”
Baca juga Cerpen: Baju Kaos HMI Gambar 'Ulama'
Melani
terus menatap dari gedung pintu pagar yang tak bisa digesar lagi. Ia melihat
pohon yang tinggal batang kering dan ranting-ranting tanpa daun. Dari rumput ia
melihat ular kecil muncul untuk memburu TIKUS. Sia-sia saja usaha ular itu.
TIKUS itu sungguh cerdik nan pandai. Kucing saja yang bisa berlari dapat
dikelabui TIKUS-TIKUS itu, konon lagi ular.
Melani
coba mencari palu sidang yang sering digunakan oleh Kader-kader yang diamanahkan
untuk mengemban tugas dan amanah sebagai Pengurus Cabang Medan. Ia berharap
kiranya palu itu tertinggal di dalam lemari meja Pimpinan Sidang. Tapi,
usahanya sia-sia belaka. Palu Sidang itu tidak pernah tinggal. Palunya terus
dibawa kemana-mana. Untung saja meja itu berat, kalau tidak pasti d masukkan juga
ke dalam tas atau dipikul ke mana-mana.
“Mungkin
Palu Sidang itu bisa dijual pada TIKUS-TIKUS sehingga dibawa ke mana-mana.”
Pikir Melani.
Ia
keluar dari student center yang
dijadikan sebagai ruangan forum Konfercab. Ia melangkah, “Aoo…” Katanya spontan
sambil mengangkat kakinya sebelah kiri. Ia coba melihat telapak kakinya. Keluar
sedikit darah akibat ia tak sengaja menginjak serpihan kaca yang berserakan. Untuk
selalu terbang tidak menyentuh bumi rasanya tidak memungkinkan. Tenaganya habis
saat ingin lepas dari kurungan untuk mengahadiri Sidang Konfercab.
Baca juga Cerpen: Marx Masuk HMI
Melani
pernah mengirimkan surat permohonan pada yang mengurungnya untuk dapat melihat
Konfercab. Setidaknya satu malam atau barang sebentar saja. Melani sangat rindu
dengan Kader-Kader HMI Cabang Medan yang sedang Konfercab.
“Cik…cik…cik…”
TIKUS-TIKUS itu tertawa melihat kaki Melani terkena serpihan kaca.
Melani
pun beranjak duduk ke Musholla. Ia mencabut pelan-pelan serpihan kaca yang
menusuk telapak kakinya. Ia berdiri dan kemudian masuk ke ruang para guru-guru
HMI, lebih dikenal Ruang Instruktur atau Ruang BPL.
Betapa
terkejutnya dia, “Ternyata ini juga dikuasai oleh TIKUS-TIKUS.” Ia masuk untuk
untuk mencari obat yang setidaknya bisa membersihkan luka di telapak kakinya. Sayang
sekali, tidak ada satupun yang ditemukannya. Terpaksa ia mengambil kertas yang
berserakan di ruangan itu untuk membersihkan darah di telapak kakinya.
TIKUS-TIKUS itu tidak mau beranjak pergi jauh. Malah mereka tertawa cekikan
melihat wajah sedih Melani.
Melani
keluar dari ruangan itu. Ia berjalan menuju pintu pagar gedung itu. Kali ini
tidak melewati halaman yang ada serpihan kacanya. Ia berjalan pelan dari lantai
Pendopo HMI Cabang Medan yang penuh dengan bekas-bekas sepatu dan sandal.
Baca juga Cerpen: Bidadari Nyasar Di HMI
Saat
berjalan di lantai Pendopo itu, ia teringat sebelum Ramadhan banyak kader-kader
duduk berkumpul di sana. Ada yang yang membicarakan berbagai hal, berceloteh
ilmu pengetahuan dan ada yang bercanda-tawa. “Betapa indahnya kebersamaan
Kader-kader waktu itu. Betapa indahnya ukiran persaudaraan mereka waktu itu.”
Katanya sambil tersenyum sendiri. “Orang yang sering NGOPI di sini pun sudah
entah ke mana. Aku juga rindu padanya seperti aku rindu kader-kader yang lain.”
Katanya tanpa senyuman lagi.
Ia
terus berjalan menuju pintu pagar yang tidak bisa digesar lagi. Ia pegang
besi-besi yang sudah berdiri kokoh itu. Ia menatap ke jalan penuh berharap
dengan kedatangan Kader-Kader HMI Cabang Medan. “Adik-adik HMI Cabang Medan,
datanglah! Aku sangat menunggu kalian. Aku rindu retorika, dialektika dan
celotehan ilmu pengetahuan kalian. Wawasan keilmuanku bertambah karena berkat
jasa kalian yang secara diam-diam kudengarkan dan kusalin dalam buku catatanku.”
Sekarang ia tertunduk sedih.
Baca juga Cerpen: Semangka HMI
Ia
melangkah dari kiri ke kanan, begitu terus ia ulangi entah berapa kali. Saat orang-orang
yang melintas di depan pagar itu tidak ada satu pun yang bisa melihat dan
mendengar suaranya. “Aku rindu dengan kalimat, dengan mengucapkan bismillahirrohmanirrohim skor forum sebelumnya saya
cabut. Datanglah Adik-adikku! Aku rindu kalian.”
Itu
adalah kata-kata terakhirnya dalam penungguan atas kerinduan. Dengan sisa kekuatan yang
masih ada, dan dengan air mata berwarna merah yang mengalir
membasahi wajahnya, ia pun terbang
menuju tempat biasa ia tinggal, di sekitaran Gedung Alimbas itu juga.[]
Penulis:
Ibnu Arsib (Bukan siapa-siapa, hanya manusia biasa).
Ket.gbr: Ilustration
Sbr.gbr: http://anu-anuancoeg.blogspot.com/
No comments:
Post a Comment