YakusaBlog- Nilai-nilai Dasar Perjuangan Himpunan Mahasiswa Islam (NDP HMI) merupakan kitab atau buku yang berisi kumpulan nilai dasar perjuangan yang harus terinternalisasi ke dalam diri seorang kader. Nilai-nilai tersebut akan menjelma ke dalam perilaku dan aktivitas keseharian kader, baik dalam aras kehambaan maupun kekhalifahan.
Dari manakah sumber nilai-nilai tersebut? Tidak seperti ideologi umumnya yang berangkat dari gagasan, ide, dan pemikiran seorang tokoh tentang sesuatu, NDP diderivasi dari Al-Qur’an dan hadis. Perumusnya, Nurcholish Madjid, telah menghimpun ayat-ayat Al-Quran yang berhubungan dengan tauhid, kemanusiaan, takdir, keadilan sosial, ekonomi, serta ilmu pengetahuan, kemudian merangkainya menjadi satu konsep yang utuh tentang pandangan dunia. Setelah draft tersebut selesai, lalu didiskusikan bersama Endang Saifuddin Anshari dan Sakib Mahmud.
Dalam batang tubuh atau matan NDP tidak ada satu pun penyebutan nama surat Al-Quran. Kita hanya menemukan kutipan-kutipan ayat Al-Quran pada catatan kaki, demikian juga dengan hadis. Jumlah hadis yang dikutip sangat sedikit. Pada naskah 1970-an, nomor surat dan ayat Al-Quran diubah penomorannya sesuai dengan ketentuan dalam penulisan nomor surat yang baku.
Maka dari itu, tidak berlebihan jika NDP dikatakan merupakan kumpulan ayat Al-Quran tentang pandangan dunia (word view). Cak Nur sengaja mengutip ayat-ayat yang mengandung nilai-nilai universal karena NDP dimaksudkan sebagai panduan bagi kader dalam memahami Islam khas HMI. NDP tidak dimaksudkan untuk berlaku pada masa tertentu saja. Namun, diharapkan NDP tetap relevan walaupun zaman terus berubah. Mengapa relevan? Jawabnya karena kandungannya berupa nilai-nilai universal. Agaknya yang perlu disesuaikan adalah kontekstualisasinya saja agar sesuai dengan dimensi kekinian dan kedisinian.
NDP disusun dengan bahasa yang padat makna, bahkan cenderung sangat filosofis. Dirumuskan dengan perenungan atas kontemplasi yang sangat mendalam, dituliskan dengan sangat serius dan ini terlihat pada pilihan katanya (diksi) yang sangat cermat. Karenanya, NDP tidak bisa dipahami sambil lalu. Membacanya tidak bisa tergesa-gesa, apalagi dilakukan tanpa totalitas diri. Dalam menelaah NDP, akal dan kalbu harus hadir secara bersama-sama. Tidaklah mengherankan, siapa pun yang bergumul dengan NDP dengan totalitas diri, akan merasakan bahwa dimensi rasionalitas dan spiritualitas hadir secara bersamaan.
Penulis menyebut NDP—karena tidak mudah memahaminya—ibarat kitab matan. Dalam khazanah intelektual Islam klasik, kitab-kitab turats ada yang disebut matan, syarah, dan hasyiah. Matan adalah inti dari kitab yang kata dan susunan kalimatnya sarat makna. Matan hanya memuat informasi yang terpenting dari yang penting. Kerap kali kitab matan tidak mudah dipahami karena mengandung makna yang dalam dan cakupan arti yang luas. Kitab matan biasanya tidak perinci dalam menjelaskan sesuatu. Untuk itu, diperlukan kitab syarah atau kitab yang menjelaskan kandungan matan. Biasanya, kitab syarah ditulis oleh generasi atau murid dan penulis kitab matan. Selanjutnya, jika generasi berikutnya merasa ada yang perlu ditambahkan dari penjelasan yang sudah ada, mereka kembali menulis syarah terhadap syarah yang biasa disebut dengan hasyiah. Walaupun ditulis oleh orang yang berbeda, ketiga jenis kitab tersebut masih satu rumpun, dengan kitab matan sebagai intinya. Itulah sebabnya di dalam kitab-kitab fikih yang tebal dan berjilid, kita kerap menemukan nama-nama penulis sekaligus penjelasan siapa yang menulis matan, syarah, dan hasyiah di sampulnya. Perkembangan belakangan juga ada penulis tahqiq yang memberi komentar khusus berkenaan dengan topik yang dibahas.
Dengan meminjam istilah dalam tradisi Islam tersebut, penulis ingin mengatakan bahwa NDP HMI ibarat kitab matan. Kitab yang sarat makna sehingga tidak mudah dipahami. Hal ini juga diakui oleh Endang Saifuddin Anshari, seperti yang disebut Cak Nur dalam sebuah wawancara. Diperlukan penguasaan filsafat dan logika berpikir untuk memahaminya. Dibutuhkan kekayaan dan wawasan pemahaman Islam untuk lebih mudah mencernanya. Filsafat sangat penting karena di dalam NDP kita diajak berpikir mendalam atau radikal sampai ke akar-akarnya. Kader yang tidak terbiasa berpikir abstrak, dipastikan kesulitan memahami NDP.
NDP tidak sama dengan buku-buku keislaman lainnya. Walaupun menjelaskan tentang tauhid, iman kepada kitab, rasul, dan hari kiamat, NDP tidak serta merta sama dengan kitab tauhid atau teologi. Walaupun mendorong pembacanya untuk mampu berpikir mendalam dan menangkap esensi atau hakikat sesuatu, NDP tetap tidak sama dengan buku filsafat. Apalagi disamakan dengan kitab tasawuf walaupun di dalamnya ada diskusi tentang ihsan, ikhlas, bahagia, atau spiritualitas. NDP juga tidak bisa disertakan dengan buku sosiologi ekonomi atau ekonomi, tidak juga dengan kitab sains walaupun terdapat diskusi tentang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Lantas, apa kata yang pantas dan tepat untuk menyebut NDP? Dalam sejarahnya, naskah hasil rumusan Cak Nur tersebut pernah mengalami perubahan nama. Naskah tersebut hampir dinamai NDI atau Nilai-Nilai Dasar Islam. Nama tersebut tidak jadi disematkan karena Cak Nur menghidarkan klaim yang terlalu besar, seolah-olah apa yang dimiliki HMI-lah yang dapat disebut sebagai nilai-nilai dasar Islam, sedangkan yang lain tidak. Dalam perkembangan intelektualnya, sejak awal sampai ia meraih puncak karier sebagai guru bangsa, Cak Nur tidak pernah mengklaim pemikirannya paling tepat dan relevan dengan kondisi kekinian, tidak pernah merasa paling benar, apa lagi memaksakan pendapat. Sikap yang sangat tidak etis tersebut sangat dihindari Cak Nur. Ia tidak memilih nama NDI, tetapi memilih nama NDP.
Setelah diberi nama NDP HMI, nama ini juga mengalami perubahan menjadi Nilai-Nilai Identitas Kader (NIK). Penting diketahui, nama NIK pernah digunakan dalam waktu yang cukup lama (Kemudian kembali lagi NDP sebagaimana saat ini-red). Perubahan dari NDP menjadi NIK terjadi karena desakan pemerintah Orde Baru yang khawatir dengan HMI. Berkenaan dengan hal ini, Muhammad Wahyuni Nafis menuliskan sebagai berikut:
NDP pernah diganti nama menjadi Nilai Identitas Kader (NIK). Pergantian nama itu karena ada keberatan dari Jenderal L.B. Moerdani yang saat itu menjabat sebagai Menteri Pertahanan Keamanan dan Panglima Angkatan Bersenjata (Menhankam Pangab). Moerdani berkeberatan dengan istilah “perjuangan” tidak digunakan karena khawatir menjadikan HMI tidak pro program pembangunan yang tengah digalakkan pemerintah Orde Baru saat itu. Karena itu, kemudian dicarikan istilah lebih lunak. Maka ditentukanlah menjadi Nilai-Nilai Identitas Kader (NIK). Menurut penulis, alasan Cak Nur setuju dengan adanya perubahan tersebut karena saat itu aktivitas para kader HMI memang sebaiknya tidak lagi berorientasi pada perjuangan yang sifatnya fisik, tetapi pada pengembangan intelektualitas. Dengan kata lain, perubahan dari NDP ke NIK mengisyaratkan adanya peningkatan pola perjuangan dari jihad (secara fisik) menjadi ijtihad (secara intelektual).
Lewat NIK, HMI ingin meneguhkan dirinya sebagai organisasi intelektual. Jika ada pertanyaan, apa beda HMI dengan organisasi kemahasiswaan lainnya, baik yang berlatar Islam maupun yang nasionalis. Hal tersebut akan tercermin dalam nilai-nilai yang dianutnya. Nilai-nilai inilah yang sekaligus sebagai penanda apakah seseorang benar-benar kader himpunan atau bukan.
Fakta sejarah menunjukkan, pada saat itu (era 1970 s.d. 1980-an) kader HMI terkenal cerdas, pintar, memiliki wawasan yang luas, dan mampu mengemukakan pemikirannya melalui lisan maupun tulisan dengan sangat baik. Pemahaman Islamnya juga sangat dinamis dengan mengedepankan keberislaman yang inklusif dan misi Islam rahmatan lil ‘alamin. Siapa yang akan menyangkal, intelektual Islam Indonesia bahkan sampai saat ini, umumnya berlatar belakang kader HMI.
Penulis juga pernah menyebut NDP adalah Islam versi HMI atau Islam mazhab HMI. NDP akan membentuk cara pandang dan akan mengarakterisasi cara berpikir kader tentang Islam. Cak Nur pernah mengatakan, lewat NDP HMI, kader HMI tidak akan berpikir kaku, rigid, hitam-putih, tetapi mampu berpikir dinamis, terbuka, dan berorientasi pada penyelesaian masalah. Dengan demikian, tentu tidak dapat dihindari, akan ditemukan cara yang berbeda antara kader HMI dan kader organisasi lainnya dalam memahami Islam walaupun mereka sujud ke arah kiblat yang sama, berpuasa, dan berbuka bersama-sama.
Terlepas dari perubahan nama, pastinya NDP adalah kitab atau buku yang berisi kumpulan nilai dasar yang sejatinya menjadi pegangan kader HMI dalam mewujudkan visi dan misinya. Sebagai “konsep Islamnya” HMI, NDP harus menjadi napas bagi seluruh aktivitas kader. Pada gilirannya NDP HMI menapasi setiap denyut nadi, gerak langkah, dan perjuangan HMI dalam mewujudkan insan cita dan dunia cita.[]
Penulis: Azhari Akmal Tarigan (Pembicara NDP HMI Tingkat Nasional).
Catatan: Tulisan ini di sadur dari buku Nilai-Nilai Dasar Perjuangan HMI: Teks, Interpretasi, dan Kontekstualisasi, yang ditulis oleh Azhari Akmal Tarigan, pada halaman 3-8.
Dari manakah sumber nilai-nilai tersebut? Tidak seperti ideologi umumnya yang berangkat dari gagasan, ide, dan pemikiran seorang tokoh tentang sesuatu, NDP diderivasi dari Al-Qur’an dan hadis. Perumusnya, Nurcholish Madjid, telah menghimpun ayat-ayat Al-Quran yang berhubungan dengan tauhid, kemanusiaan, takdir, keadilan sosial, ekonomi, serta ilmu pengetahuan, kemudian merangkainya menjadi satu konsep yang utuh tentang pandangan dunia. Setelah draft tersebut selesai, lalu didiskusikan bersama Endang Saifuddin Anshari dan Sakib Mahmud.
Dalam batang tubuh atau matan NDP tidak ada satu pun penyebutan nama surat Al-Quran. Kita hanya menemukan kutipan-kutipan ayat Al-Quran pada catatan kaki, demikian juga dengan hadis. Jumlah hadis yang dikutip sangat sedikit. Pada naskah 1970-an, nomor surat dan ayat Al-Quran diubah penomorannya sesuai dengan ketentuan dalam penulisan nomor surat yang baku.
Maka dari itu, tidak berlebihan jika NDP dikatakan merupakan kumpulan ayat Al-Quran tentang pandangan dunia (word view). Cak Nur sengaja mengutip ayat-ayat yang mengandung nilai-nilai universal karena NDP dimaksudkan sebagai panduan bagi kader dalam memahami Islam khas HMI. NDP tidak dimaksudkan untuk berlaku pada masa tertentu saja. Namun, diharapkan NDP tetap relevan walaupun zaman terus berubah. Mengapa relevan? Jawabnya karena kandungannya berupa nilai-nilai universal. Agaknya yang perlu disesuaikan adalah kontekstualisasinya saja agar sesuai dengan dimensi kekinian dan kedisinian.
NDP disusun dengan bahasa yang padat makna, bahkan cenderung sangat filosofis. Dirumuskan dengan perenungan atas kontemplasi yang sangat mendalam, dituliskan dengan sangat serius dan ini terlihat pada pilihan katanya (diksi) yang sangat cermat. Karenanya, NDP tidak bisa dipahami sambil lalu. Membacanya tidak bisa tergesa-gesa, apalagi dilakukan tanpa totalitas diri. Dalam menelaah NDP, akal dan kalbu harus hadir secara bersama-sama. Tidaklah mengherankan, siapa pun yang bergumul dengan NDP dengan totalitas diri, akan merasakan bahwa dimensi rasionalitas dan spiritualitas hadir secara bersamaan.
Penulis menyebut NDP—karena tidak mudah memahaminya—ibarat kitab matan. Dalam khazanah intelektual Islam klasik, kitab-kitab turats ada yang disebut matan, syarah, dan hasyiah. Matan adalah inti dari kitab yang kata dan susunan kalimatnya sarat makna. Matan hanya memuat informasi yang terpenting dari yang penting. Kerap kali kitab matan tidak mudah dipahami karena mengandung makna yang dalam dan cakupan arti yang luas. Kitab matan biasanya tidak perinci dalam menjelaskan sesuatu. Untuk itu, diperlukan kitab syarah atau kitab yang menjelaskan kandungan matan. Biasanya, kitab syarah ditulis oleh generasi atau murid dan penulis kitab matan. Selanjutnya, jika generasi berikutnya merasa ada yang perlu ditambahkan dari penjelasan yang sudah ada, mereka kembali menulis syarah terhadap syarah yang biasa disebut dengan hasyiah. Walaupun ditulis oleh orang yang berbeda, ketiga jenis kitab tersebut masih satu rumpun, dengan kitab matan sebagai intinya. Itulah sebabnya di dalam kitab-kitab fikih yang tebal dan berjilid, kita kerap menemukan nama-nama penulis sekaligus penjelasan siapa yang menulis matan, syarah, dan hasyiah di sampulnya. Perkembangan belakangan juga ada penulis tahqiq yang memberi komentar khusus berkenaan dengan topik yang dibahas.
Dengan meminjam istilah dalam tradisi Islam tersebut, penulis ingin mengatakan bahwa NDP HMI ibarat kitab matan. Kitab yang sarat makna sehingga tidak mudah dipahami. Hal ini juga diakui oleh Endang Saifuddin Anshari, seperti yang disebut Cak Nur dalam sebuah wawancara. Diperlukan penguasaan filsafat dan logika berpikir untuk memahaminya. Dibutuhkan kekayaan dan wawasan pemahaman Islam untuk lebih mudah mencernanya. Filsafat sangat penting karena di dalam NDP kita diajak berpikir mendalam atau radikal sampai ke akar-akarnya. Kader yang tidak terbiasa berpikir abstrak, dipastikan kesulitan memahami NDP.
NDP tidak sama dengan buku-buku keislaman lainnya. Walaupun menjelaskan tentang tauhid, iman kepada kitab, rasul, dan hari kiamat, NDP tidak serta merta sama dengan kitab tauhid atau teologi. Walaupun mendorong pembacanya untuk mampu berpikir mendalam dan menangkap esensi atau hakikat sesuatu, NDP tetap tidak sama dengan buku filsafat. Apalagi disamakan dengan kitab tasawuf walaupun di dalamnya ada diskusi tentang ihsan, ikhlas, bahagia, atau spiritualitas. NDP juga tidak bisa disertakan dengan buku sosiologi ekonomi atau ekonomi, tidak juga dengan kitab sains walaupun terdapat diskusi tentang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Lantas, apa kata yang pantas dan tepat untuk menyebut NDP? Dalam sejarahnya, naskah hasil rumusan Cak Nur tersebut pernah mengalami perubahan nama. Naskah tersebut hampir dinamai NDI atau Nilai-Nilai Dasar Islam. Nama tersebut tidak jadi disematkan karena Cak Nur menghidarkan klaim yang terlalu besar, seolah-olah apa yang dimiliki HMI-lah yang dapat disebut sebagai nilai-nilai dasar Islam, sedangkan yang lain tidak. Dalam perkembangan intelektualnya, sejak awal sampai ia meraih puncak karier sebagai guru bangsa, Cak Nur tidak pernah mengklaim pemikirannya paling tepat dan relevan dengan kondisi kekinian, tidak pernah merasa paling benar, apa lagi memaksakan pendapat. Sikap yang sangat tidak etis tersebut sangat dihindari Cak Nur. Ia tidak memilih nama NDI, tetapi memilih nama NDP.
Setelah diberi nama NDP HMI, nama ini juga mengalami perubahan menjadi Nilai-Nilai Identitas Kader (NIK). Penting diketahui, nama NIK pernah digunakan dalam waktu yang cukup lama (Kemudian kembali lagi NDP sebagaimana saat ini-red). Perubahan dari NDP menjadi NIK terjadi karena desakan pemerintah Orde Baru yang khawatir dengan HMI. Berkenaan dengan hal ini, Muhammad Wahyuni Nafis menuliskan sebagai berikut:
NDP pernah diganti nama menjadi Nilai Identitas Kader (NIK). Pergantian nama itu karena ada keberatan dari Jenderal L.B. Moerdani yang saat itu menjabat sebagai Menteri Pertahanan Keamanan dan Panglima Angkatan Bersenjata (Menhankam Pangab). Moerdani berkeberatan dengan istilah “perjuangan” tidak digunakan karena khawatir menjadikan HMI tidak pro program pembangunan yang tengah digalakkan pemerintah Orde Baru saat itu. Karena itu, kemudian dicarikan istilah lebih lunak. Maka ditentukanlah menjadi Nilai-Nilai Identitas Kader (NIK). Menurut penulis, alasan Cak Nur setuju dengan adanya perubahan tersebut karena saat itu aktivitas para kader HMI memang sebaiknya tidak lagi berorientasi pada perjuangan yang sifatnya fisik, tetapi pada pengembangan intelektualitas. Dengan kata lain, perubahan dari NDP ke NIK mengisyaratkan adanya peningkatan pola perjuangan dari jihad (secara fisik) menjadi ijtihad (secara intelektual).
Lewat NIK, HMI ingin meneguhkan dirinya sebagai organisasi intelektual. Jika ada pertanyaan, apa beda HMI dengan organisasi kemahasiswaan lainnya, baik yang berlatar Islam maupun yang nasionalis. Hal tersebut akan tercermin dalam nilai-nilai yang dianutnya. Nilai-nilai inilah yang sekaligus sebagai penanda apakah seseorang benar-benar kader himpunan atau bukan.
Fakta sejarah menunjukkan, pada saat itu (era 1970 s.d. 1980-an) kader HMI terkenal cerdas, pintar, memiliki wawasan yang luas, dan mampu mengemukakan pemikirannya melalui lisan maupun tulisan dengan sangat baik. Pemahaman Islamnya juga sangat dinamis dengan mengedepankan keberislaman yang inklusif dan misi Islam rahmatan lil ‘alamin. Siapa yang akan menyangkal, intelektual Islam Indonesia bahkan sampai saat ini, umumnya berlatar belakang kader HMI.
Penulis juga pernah menyebut NDP adalah Islam versi HMI atau Islam mazhab HMI. NDP akan membentuk cara pandang dan akan mengarakterisasi cara berpikir kader tentang Islam. Cak Nur pernah mengatakan, lewat NDP HMI, kader HMI tidak akan berpikir kaku, rigid, hitam-putih, tetapi mampu berpikir dinamis, terbuka, dan berorientasi pada penyelesaian masalah. Dengan demikian, tentu tidak dapat dihindari, akan ditemukan cara yang berbeda antara kader HMI dan kader organisasi lainnya dalam memahami Islam walaupun mereka sujud ke arah kiblat yang sama, berpuasa, dan berbuka bersama-sama.
Terlepas dari perubahan nama, pastinya NDP adalah kitab atau buku yang berisi kumpulan nilai dasar yang sejatinya menjadi pegangan kader HMI dalam mewujudkan visi dan misinya. Sebagai “konsep Islamnya” HMI, NDP harus menjadi napas bagi seluruh aktivitas kader. Pada gilirannya NDP HMI menapasi setiap denyut nadi, gerak langkah, dan perjuangan HMI dalam mewujudkan insan cita dan dunia cita.[]
Penulis: Azhari Akmal Tarigan (Pembicara NDP HMI Tingkat Nasional).
Catatan: Tulisan ini di sadur dari buku Nilai-Nilai Dasar Perjuangan HMI: Teks, Interpretasi, dan Kontekstualisasi, yang ditulis oleh Azhari Akmal Tarigan, pada halaman 3-8.
ayo bergabung dengan saya di (D(E(W-A)P)K)
ReplyDeletemenangkan uang jutaan rupiah dengan menguji keberuntungan kalian
hanya dengan minimal deposit 10.000
untuk info lebih jelas segera di add saja Whatshapp : +8558778142
ditunggu lohhh add nya... terima kasih waktu nya ^-^