YakusaBlog- Dalam
sejarah Islam, fiqh sebagai hasil ijtihad para ulama lebih dahulu popular di
kalangan umat Islam dan dibukukan dalam sistem tertenu dibandingkan dengah
ushul fiqh. Perumusan fiqh dilakukan setelah Nabi saw wafat, yaitu periode
sahabat. Sementara ushul fiqh sebagai sebuah metode istinbath, baru tersusun
sebagai salah satu bidang ilmu pada abad ke-2 Hijriah.
Namun,
para ahli hukum Islam mengakui dalam prakteknya ushul fiqh muncul berbarengan
dengan lahirnya fiqh. Pendapat ini cukup logis mengingat secara metodologis,
fiqh tidak akan lahir tanpa ada metode istinbath dan metode istinbath ini yang
menjadi inti dari apa yang dinamakan dengan ushul fiqh.
Pemikiran
tentang ushul fiqh telah ada pada saat perumusan fiqh. Para sahabat yang
melakukan ijtihad melahirkan fiqh secara praktis mereka telah menggunakan
kaidah-kaidah ushul fiqh, meskipun belum tersusun dalam satu disiplin ilmu. Kemampuan
para sahabat menerapkan kaidah-kaidah ushul fiqh berasal dari bimbingan Nabi
saw.
Mereka
mengetahui dan mengikuti secara langsung praktek-praktek tasyri’ (pembentukan hukum) yang dilakukan Nabi saw. mereka adalah
sahabat-sahabat yang dengannya dan senantiasa mendampingi dan menyaksikan
langsung tata cara Nabi saw. Memecahkan peristiwa-peristiwa hukum yang
dihadapi. Dengan latar belakang ini, para sahabat memahami dengan baik cara
memahami ayat dan mengetahui pula tujuan pembentukan hukum.[1]
Para
sahabat merupakan orang-orang yang masih terpelihara dan kuat kemampuan bahasa
Arabnya sebagai bahasa al-Qur’an. Berbekal kemampuan ini, mereka mampu memahami
teks-teks al-Qur’an, Sunnah dan menggunakan qiyas sebagai metode pengembangan
hukum melalui pendekatan substansinya. Banyak contoh sahabat yang memiliki
kemampuan menguasai ushul fiqh dan menggunakannya dalam mengistinbathkan hukum.
Di antara mereka adalah Umar ibn Khattab, Ibn Mas’ud dan Ali ibn Abi Thalib.
Umar
ibn Khattab selalu berijtihad dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip mashlahat
dengan mengedepankan semangat yang terdapat dalam teks-teks al-Qur’an dan
Sunnah. Misalnya, Umar tidak membagikan tanah dari wilayah yang ditaklukkan
terntara Islam demi kemaslahatan penduduk stempat.[2] Umar
memandang tanah tersebut tidak termasuk harta gonimah yang terdapat dalam ketentuan umum firman Allah swt surat
an-Anfal, 8:41. Yang artinya:
“Ketahuilah,
sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rantasan perang, maka
sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim,
orang-orang miskin dan ibnusabil…”
Harta
ghonimah yang dimaksudkan ayat
tersebut adalah harta ghonimah yang
dapat dipindahkan. Sedangkan daerah yang ditaklukkan bukan termasuk harta ghonimah karena tidak dapat dipindahkan.
Pertimbangan
lain yang dipakai Umar, bila seluruh daerah yang ditaklukkan dibagi, tentu anak
cucu penduduk setempat tidak akan mendapatkan tanah lagi untuk keberlangsungan
kehidupan mereka. Apabila tanah itu dibiarkan tetap berada pada tangan
pemiliknya, maka dapat berguna untuk membiayai pertahanan negara dan menutupi
anggaran negara melalui jizyah yang
diwajibkan terhadap pemilik tanah tersebut.
Baca juga: Pengertian Ihtishan Dalam Ushul Fiqh
Namun,
prajurit-prajurit Islam yang ikut serta dalam penaklukan daerah itu tidak
setuju dengan pendapat Umar dan mereka memperdebatkan masalah tersebut selama
tiga hari tiga malam. Pada hari ketiga, Umar menemui mereka dan menjelaskan
kepada mereka firman Allah swt surat al-Hasyar, 59:7, untuk memperkuat
pendapatnya. Surat tersebir berbunyi yang artinya:
“Apa saja harta rampasan (fai-i) yang
diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk
kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim,
orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu
jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang
diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka
tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah swt amat keras
hukumannya.”
Setelah
Umar menjelaskan maksud ayat ini kepada para prajurit muslim, akhirnya mereka
menyetujui pendapatnya.
Apabila
diperhatikan secara cermat, pada masa sahabat, mereka mengistinbathkan hukum
mula-mula dengan memperhatikan teks-teks al-Qur’an, kemudian Sunnah, dan bila
hukumnya tidak dapat ditemukan dalam kedua sumber tersebut, mereka melakukan
ijtihad dan mengumpulkan para sahabat untuk bermusyawarah dan hasik kesepakatan
mereka dikenal dengan sebutan ijma’
sahabat, atau melakukan ijtihad secara perorangan.
Di
samping berijtihad dengan metode qiyas, mereka juga menggunakan metode
istishlah yang berlandaskan pada metode maslahah
al-mursalah, yaitu suatu kemaslahatan yang tidak ada dalil mendukung atau
menolaknya, tetapi mendukung pemeliharaan tujuan syari’at. Misalnya, menghimpun
al-Qur’an dalam satu mushaf (naskah al-Qur’an).
Baca juga: Pengertian Mashlahah Dalam Ushul Fiqh
Dari
uraian di atas, tampak bahwa sahabat telah menggunakan metode tertentu dalam
berijtihad, yaitu ijma’, qiyas dan istishlah. Menurut Abu Zahrah, metode
ijtihad sahabat inilah kemudian yang menjadi akar bagi perkembangan metode
ijtihad masa sesudahnya.
Pada
periode tabi’in, metode istinbath ini samakin jelas dan meluas seiring dengan
meluasnya daerah Islam yang berimplikasi munculnya berbagai persoalan baru yang
membutuhkan jawaban. Situasi ini mendorong kalangan tabi’in yang mendapat
pendidikan dari generasi sahabat mengkhususkan diri untuk berfatwa dan
melakukan ijtihad. Di antara mereka Said ibn al-Musyyab (15 H-94 H) di Madinah,
al-Qamah ibn Qays (. 62 H) dan Ibrahim al-Nakho’I (w. 96 H) di Irak.
Dalam
melakukan fatwa mereka berpegang pada al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ Qiyas, dan
Maslhahah al-Mursalah. Pada masa ini, menurut Abu Sulaiman, terjadi perbedaan
pendapat yang tajam tentang apakah fatwa sahabat dapat dijadikan sebagai hujjah (dalil hukum) dan perbedaan
pendapat tentang ijma’ ahli Madinah apakah dapat dipegang sebagai ijma’.
Metode
ijtihad semakin jelas lagi pada periode Muhammad bin Idris al-Syafi’I (150-204
H), pendiri mazhab Syafi’i. tokoh ini tampil meramu, mensistematisasi dan
membukukan ushul fiqh. Upaya pembukuan ini sejalan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan ini mulai berlangsung pada masa Harun al-Rasyid (145-193 H) dan
puncaknya pada masa al-Ma’mun (170-218 H).
Dalam
situasi inilah Imam Syafi’I tampil menyusun buku yang diberinya judul al-Kitab
dan kemudian dikenal dengan sebutan al-Risalah yang berarti sepucut surat. Munculnya
kitab al-Risalah merupakan fase awal perkembangan ushul fiqh sebagai disiplin
ilmu. Kitab imam Syafi’I ini kemudian menjadi rujukan utama bagi kalangan ahli
ushul fiqh pada masa sesudahnya dalam menyusun karya-karya mereka.[]
Catatan: Tulisan di atas disadur dari bukunya Dr.
H. Sudirman Suparmin, Lc., Ma., dengan judul Ushul Fiqh; Metode Penetapan Hukum Islam, Cipta Pustaka Media, Bandung, 2014, hal. 12-16.
Ket.gbr: Ilustration
Sbr.gbr: https://geladeri.com/
[1]
Wahbah az-Zuhalili, Al-waziz fi ushul
fiqh, h. 16.
[2] Muhammad
Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib
al-Islamiyyah, Cairoh: Dar al-Fikr al-Arabi, 1996, h. 245.
No comments:
Post a Comment