Sejarah Dan Perkembangan Ushul Fiqh - Yakusa Blog

Yakusa Blog

Mewujudkan Komunitas Intelektual Muslim

Wednesday, 12 June 2019

Sejarah Dan Perkembangan Ushul Fiqh


YakusaBlog- Dalam sejarah Islam, fiqh sebagai hasil ijtihad para ulama lebih dahulu popular di kalangan umat Islam dan dibukukan dalam sistem tertenu dibandingkan dengah ushul fiqh. Perumusan fiqh dilakukan setelah Nabi saw wafat, yaitu periode sahabat. Sementara ushul fiqh sebagai sebuah metode istinbath, baru tersusun sebagai salah satu bidang ilmu pada abad ke-2 Hijriah.
Namun, para ahli hukum Islam mengakui dalam prakteknya ushul fiqh muncul berbarengan dengan lahirnya fiqh. Pendapat ini cukup logis mengingat secara metodologis, fiqh tidak akan lahir tanpa ada metode istinbath dan metode istinbath ini yang menjadi inti dari apa yang dinamakan dengan ushul fiqh.
Pemikiran tentang ushul fiqh telah ada pada saat perumusan fiqh. Para sahabat yang melakukan ijtihad melahirkan fiqh secara praktis mereka telah menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqh, meskipun belum tersusun dalam satu disiplin ilmu. Kemampuan para sahabat menerapkan kaidah-kaidah ushul fiqh berasal dari bimbingan Nabi saw.
Mereka mengetahui dan mengikuti secara langsung praktek-praktek tasyri’ (pembentukan hukum) yang dilakukan Nabi saw. mereka adalah sahabat-sahabat yang dengannya dan senantiasa mendampingi dan menyaksikan langsung tata cara Nabi saw. Memecahkan peristiwa-peristiwa hukum yang dihadapi. Dengan latar belakang ini, para sahabat memahami dengan baik cara memahami ayat dan mengetahui pula tujuan pembentukan hukum.[1]
Para sahabat merupakan orang-orang yang masih terpelihara dan kuat kemampuan bahasa Arabnya sebagai bahasa al-Qur’an. Berbekal kemampuan ini, mereka mampu memahami teks-teks al-Qur’an, Sunnah dan menggunakan qiyas sebagai metode pengembangan hukum melalui pendekatan substansinya. Banyak contoh sahabat yang memiliki kemampuan menguasai ushul fiqh dan menggunakannya dalam mengistinbathkan hukum. Di antara mereka adalah Umar ibn Khattab, Ibn Mas’ud dan Ali ibn Abi Thalib.
Umar ibn Khattab selalu berijtihad dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip mashlahat dengan mengedepankan semangat yang terdapat dalam teks-teks al-Qur’an dan Sunnah. Misalnya, Umar tidak membagikan tanah dari wilayah yang ditaklukkan terntara Islam demi kemaslahatan penduduk stempat.[2] Umar memandang tanah tersebut tidak termasuk harta gonimah yang terdapat dalam ketentuan umum firman Allah swt surat an-Anfal, 8:41. Yang artinya:

“Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rantasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnusabil…
Harta ghonimah yang dimaksudkan ayat tersebut adalah harta ghonimah yang dapat dipindahkan. Sedangkan daerah yang ditaklukkan bukan termasuk harta ghonimah karena tidak dapat dipindahkan.
Pertimbangan lain yang dipakai Umar, bila seluruh daerah yang ditaklukkan dibagi, tentu anak cucu penduduk setempat tidak akan mendapatkan tanah lagi untuk keberlangsungan kehidupan mereka. Apabila tanah itu dibiarkan tetap berada pada tangan pemiliknya, maka dapat berguna untuk membiayai pertahanan negara dan menutupi anggaran negara melalui jizyah yang diwajibkan terhadap pemilik tanah tersebut.
Namun, prajurit-prajurit Islam yang ikut serta dalam penaklukan daerah itu tidak setuju dengan pendapat Umar dan mereka memperdebatkan masalah tersebut selama tiga hari tiga malam. Pada hari ketiga, Umar menemui mereka dan menjelaskan kepada mereka firman Allah swt surat al-Hasyar, 59:7, untuk memperkuat pendapatnya. Surat tersebir berbunyi yang artinya:

Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah swt amat keras hukumannya.”
Setelah Umar menjelaskan maksud ayat ini kepada para prajurit muslim, akhirnya mereka menyetujui pendapatnya.
Apabila diperhatikan secara cermat, pada masa sahabat, mereka mengistinbathkan hukum mula-mula dengan memperhatikan teks-teks al-Qur’an, kemudian Sunnah, dan bila hukumnya tidak dapat ditemukan dalam kedua sumber tersebut, mereka melakukan ijtihad dan mengumpulkan para sahabat untuk bermusyawarah dan hasik kesepakatan mereka dikenal dengan sebutan ijma’ sahabat, atau melakukan ijtihad secara perorangan.
Di samping berijtihad dengan metode qiyas, mereka juga menggunakan metode istishlah yang berlandaskan pada metode maslahah al-mursalah, yaitu suatu kemaslahatan yang tidak ada dalil mendukung atau menolaknya, tetapi mendukung pemeliharaan tujuan syari’at. Misalnya, menghimpun al-Qur’an dalam satu mushaf (naskah al-Qur’an).
Dari uraian di atas, tampak bahwa sahabat telah menggunakan metode tertentu dalam berijtihad, yaitu ijma’, qiyas dan istishlah. Menurut Abu Zahrah, metode ijtihad sahabat inilah kemudian yang menjadi akar bagi perkembangan metode ijtihad masa sesudahnya.
Pada periode tabi’in, metode istinbath ini samakin jelas dan meluas seiring dengan meluasnya daerah Islam yang berimplikasi munculnya berbagai persoalan baru yang membutuhkan jawaban. Situasi ini mendorong kalangan tabi’in yang mendapat pendidikan dari generasi sahabat mengkhususkan diri untuk berfatwa dan melakukan ijtihad. Di antara mereka Said ibn al-Musyyab (15 H-94 H) di Madinah, al-Qamah ibn Qays (. 62 H) dan Ibrahim al-Nakho’I (w. 96 H) di Irak.
Dalam melakukan fatwa mereka berpegang pada al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ Qiyas, dan Maslhahah al-Mursalah. Pada masa ini, menurut Abu Sulaiman, terjadi perbedaan pendapat yang tajam tentang apakah fatwa sahabat dapat dijadikan sebagai hujjah (dalil hukum) dan perbedaan pendapat tentang ijma’ ahli Madinah apakah dapat dipegang sebagai ijma’.
Metode ijtihad semakin jelas lagi pada periode Muhammad bin Idris al-Syafi’I (150-204 H), pendiri mazhab Syafi’i. tokoh ini tampil meramu, mensistematisasi dan membukukan ushul fiqh. Upaya pembukuan ini sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan ini mulai berlangsung pada masa Harun al-Rasyid (145-193 H) dan puncaknya pada masa al-Ma’mun (170-218 H).
Dalam situasi inilah Imam Syafi’I tampil menyusun buku yang diberinya judul al-Kitab dan kemudian dikenal dengan sebutan al-Risalah yang berarti sepucut surat. Munculnya kitab al-Risalah merupakan fase awal perkembangan ushul fiqh sebagai disiplin ilmu. Kitab imam Syafi’I ini kemudian menjadi rujukan utama bagi kalangan ahli ushul fiqh pada masa sesudahnya dalam menyusun karya-karya mereka.[]

Catatan: Tulisan di atas disadur dari bukunya Dr. H. Sudirman Suparmin, Lc., Ma., dengan judul Ushul Fiqh; Metode Penetapan Hukum Islam, Cipta Pustaka Media, Bandung, 2014, hal. 12-16.
Ket.gbr: Ilustration


[1] Wahbah az-Zuhalili, Al-waziz fi ushul fiqh, h. 16.
[2] Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah, Cairoh: Dar al-Fikr al-Arabi, 1996, h. 245.

No comments:

Post a Comment