Pengantar Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam
Bismillahir-Rahmanir-Rahim.
Anggaran Dasar Himpunan Mahasiswa Islam
pasal III menjebutkan “Organisasi ini berdasarkan (berazas-peny) Islam”.
Dasar organisasi merupakan Sumber
motivasi, pembenaran dan ukuran bagi gerak-langkah organisasi itu. Karena kualitas
inilah maka HMI selain merupakan oganisasi kemahasiswaan yang memperhatikan “students need & students interest”
djuga merupakan suatu organisasi perjuangan yang mengemban suatu “mission sacree”. Secara ringkas dapat
dikatakan bahwa tugas suci HMI ialah berusaha menciptakan masyarakat yang adil
dan sejahtera. Secara ringkas yang menjadi dasar perjuangannya memuat ajaran
pokok bahwa “Sesungguhyja Allah memerintahkan akan Keadilan dan Ihsan (usaha
perbaikan masyarakat)”.
Dasar perjuangan itu diuraikan dalam
buku kecil “Nilai-Nilai Dasar Perdjuangan” (NDP) ini. NDP merupakan perumusan
tentang ajaran-ajaran pokok Agama Islam, yaitu nilai-nilai dasarnya,
sebagaimana tercantum dalam Al-Kitab dan As-Sunnah.
Semula sebagai kertas kerja PB HMI periode
1966-1969 kepada Kongres IX di Malang, perumusan NDP ini kemudian mendapatkan
pengesahan dari Kongres tersebut, dan atas mandat Kongres itu pula tiga orang telah
ditunjuk untuk menyempurnakannya. Ketiga mereka itu, ialah saudara-saudara
Nurcholish Madjid, Endang Saifuddin Anshari dan Sakib Mahmud. yang ada sekarang
ini adalah hasil penyempurnaan itu.
Kepada setiap anggota HMI, terutama para
akivisnya, diharapkan membaca NDP. Pemahaman terhadap nilai-nilai itu
diharapkan dapat menapasi perjuangan kita dewasa ini dan seterusnya.
Sistematika
dalam menceramahkan (menyampaikan-ed) NDP ini kepada para trainees
(peserta-peserta latihan atau training) tergantung kepada tingkat pengetahuan
peserta tersebut dan kepada metode pendekatan yang dipiih oleh penceramah
sendiri. Oleh sebab itu dimintakan kreativitas setiap penceramah atau
instruktur latihan-latihan untuk dapat membuat sendiri sistematika itu sesuai
dengan keperluan. Dan mengingat perumusan NDP ini dibuat begitu rupa sehingga
sejauh mungkin merupakan semata-mata pegangan “normatif”, maka kepada para
instruktur atau penceramah juga diharapkan keterampilannya untuk dapat
mengemukakan contoh-contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari, baik yang positif
(yaitu bersesuaian dengan nilai yang dimaksud) ataupun yang negatif (yaitu yang
bertentangan). Dengan begitu penghayatan norma-norma itu akan semakin mendalam.
Dua
syarat utama suksesnya perjuangan ialah:
1. Keteguhan
iman atau keyakinan kepada dasar, yaitu idealisme kuat, yang berarti harus
memahami dasar perjuangan itu.
2. Ketepatan
penelaahan kepada medan perjuangan guna dapat menetapkan langkah-langkah yang
harus ditempuh, berupa program perjuangan atau kerja, yaitu ilmu yang luas.
Maka
perumusan NDP ini adalah suatu usaha guna memenuhi syarat pertama tersebut.
Sedangkan syarat kedua lebih bersifat dinamis, artinya disesuaikan dengan
keadaan. Untuk ini Kongres IX telah memutuskan tentang Program Kerja Nasional
(PKN). Maka diharapkan kepada setiap warga Himpunan memahami kedua dokumen itu
sebaik-baiknya.
Akhirnya
semoga Allah menganugerahkan kepada kita keteguhan Iman dan keluasan Ilmu pengetahuan.
Wabillahit-taufiq
wal-hidayah,
4
Zulhidjah 1390 H
Jakarta,----------------------------
31
Januari 1971 M
Pengurus
Besar
Himpunan Mahasiswa
Islam
Nurcholish Madjid Ridwan Saidi
Ketua
Umum Sekjen
LATAR
BELAKANG PERUMUSAN NDP HMI
oleh: Nurcholish Madjid[1]
Sebetulnya
tidak ada masalah apabila kita sebagai orang muslim berpedoman pada ajaran
Islam, memandang segala segala sesuatu dari sudut ajaran Islam, termasuk
terhadap masalah-masalah kemasyarakatan, kenegaraan Pancasila.
Saya
disebut-sebut sebagai orang yang merumuskan NDP, meskipun diformalkan oleh
Kongres Malang. Itu terjadi 17 tahun lalu. Jadi sebagai dokumen organisasi,
apalagi organisasi mahasiswa, NDP itu cukup tua. Oleh karena itu, ada teman berbicara
tentang NDP dan kemudian mengajukan gagasan misalnya untuk tidak mengatakan
mengubah-mengembangkan dan sebagainya, maka saya selalu menjawab, dengan
sendirinya memang mungkin untuk diubah dalam arti dikembangkan.
Values
(nilai-.nilai) tentu saja tidak berubah-ubah. Kalau
disitu misalnya ada nilai Tauhid, tentu saja tidak berubah-ubah. Akan tetapi
pengungkapan dan tekanan pada impliksi NDP itu mungkin bahkan bisa diubah.
Sebab, sepanjang sejarah, Tauhid wujudnya sama, yaitu paham pada Ketuhanan Yang
Maha Esa. Akan tetapi tekanan implikasinya itu berubah-ubah.
Kita bisa lihat tekanan misi pada
rasul-rasul, itu berubah. misalnya Isa A1- Masih (Yesus Kristus) datang untuk
mengubah Taurat. (Agar aku halalkan bagi kamu sebagian yang
diharamkan bagi kamu). Nabi Isa datang menghalalkan sebagian yang haramkan
pada Perjanjian Lama. Jadi, implikasi Tauhid itu berubah-ubah mengikuti
perkembangan zaman. Sebab itu juga menyangkut masalah interpretasi. Pengungkapan
nilai itu sendiri memang tidak mungkin berubah, tetapi harus dipertahankan
apalagi nilai seperti Tauhid. Akan tetapi karena ada kemungkinan mengubah
tekanan dan implikasinya, maka ada ruang untuk pengembanganpengembangan. Tidak
hanya namanya saja diubah NDP ke NIK (lalu NDP kembalipen). Pengembangan adalah
tugas/pikiran yang sah dari adik-adik HMI. Maka dari itu saya persilahkan,
kalau misalnya memang ada yang ingin menggarap bidang ini.
NDP,
Kesimpulan Suatu Perjalanan
Saya
ingin bercerita sedikit. Mungkin ada gunanya walaupun cerita ringan saja. Yaitu
bagaimana NDP itu lahir.
Ahmad
Wahib dalam bukunya Pergolakan Pemikiran Islam yang sangat kontroversial itu
menulis bahwa saya dalam tahun 1968 diundang untuk mengunjungi
universitas-universitas di Amerika yang waktu itu merupakan pusat-pusat kegiatan
mahasiswa. Dan kepergian saya ke Amerika itu mengubah banyak sekali pendirian
saya, begitu kata Wahib dalam buku itu, maaf saja, tidak benar. Jadi di sini
Ahmad Wahib salah. Memang perlawatan yang dimulai dari Amerika itu banyak
sekalii mempengaruhi saya, tetapi bukan pengalaman di Amerika yang mempengaruhi
saya, melainkan justru di Timur Tengah.
Begini
ceritanya. Waktu itu terus terang saja sebetulnya pemerintah Amerika sudah lama
melihat potensi HMI disini (tentu saja pemerintah Amerika seperti yang diwakili
oleh Kedutaan Amerika di sini). Mereka sudah tahu situasi politik Indonesia
pada zaman Orde Lama, ketika Bung Karno mempermainkan atau sebetulnya boleh
saja dikatakan melakukan politik devide et impera, antara komunis dan
ABRI terutama AD. Bagaimana AD itu sangat banyak bekerja dengan kita. Ini
banyak dibaca oleh pemerintah seperti Amerika. Dan karena itu banyak sekali
pendekatan-pendekatan dari orang kedutaan Amerika itu ke PB HMI. Sebetulnya sudah
lama mereka menginginkan supaya ada tokoh-tokoh HMI yang melihat-lihat Amerika,
tetapi memang waktu itu belum banyak orang yang bisa berbahasa Inggris,
sehingga saya menjadi orang mendapat kesempatan pertama.
Kunjungan
saya ke Amerika, sesuai dengan Undangan, hanya berlangsung satu bulan seminggu
atau satu bulan dua minggu. Sitemnya semua dijamin; ada uang harian, uang perdien.
Waktu itu dolar belum inflasi; sehingga uang yang saya peroleh cukup besar, dan
saya tentu bisa menghemat. Uang inilah yang saya pergunakan untuk keliling
Timur Tengah. Saya lakukan itu, secara sederhana.
Kita
di Indonesia selama ini selalu mengaku muslim dan mengklaim diri sebagai
pejuang-pejuang Islam. Untuk terlaksananya ajaran Islam, sekarang perlu melihat
sendiri bagaimana wujud Islam dalam praktik. Begitulah motif saya pergi ke
Timur Tengah. Meski kita tahu, Indonesia memang negara Muslim yang terbesar di
bumi, secara geografis paling jauh dari pusat-pusat Islam, yaitu Timur Tengah, sehingga
menghasilkan beberapa hal, misalnya Muslim Indonesia itu adalah termasuk yang
paling sedikit ter”arab”kan.
Barangkali
kita tidak menyadari banyak keunikan kita, sebagai bangsa Indonesia. Boleh
dikatakan inilah bangsa Asia satu-satunya yang menuliskan bahasa nasionalnya
dengan huruf latin. Semua bangsa Asia menggunakan huruf nasionalnya masing-masing.
Hanya kita yang menggunakan huruf latin. Filipina memang, tetapi Filipina belum
bisa mengklaim mempunyai bahasa nasional. Bahasa Tagalog masih merupakan bahasa
Manila saja.
Kemudian
Indonesia satu-satunya bangsa Muslim juga yang menggunakan huruf latin untuk
bahasa nasionalnya. Semua bangsa muslim itu menggunakan huruf Arab, kecuali
tiga: Turki disebabkan revolusi Kemal, Bangladesh karena seperti bangsa Asia
lain mempunyai huruf sendiri yaitu huruf Bengali dan Indonesia dikarenakan
penjajahan. Jadi kita itu unik. Dari sudut pandangan dunia Islam, Indonesia
unik. Inilah bangsa Muslim yang kurang tahu huruf Arab, kira-kira begitu. Jangankan
orang Islam Pakistan, Afganistan dan sebagainya, sedangkan orang India yang
Islamnya minoritas, di sana pun mereka menggunak huruf Arab untuk menuliskan
bahasa Urdu, bahasa mereka. Semuanya begitu. Dari situ saja boleh kita ambil
satu kesimpulan bahwa ke-Islaman di Indonesia itu masih demikian dangkal
sehingga masih ada persoalan yaitu bagaimana menghayati nilai – nilai Islam
itu. Itulah yang mendorong saya pergi ke Timur Tengah.
Waktu
saya hendak ke Amerika, saya merasa ogah-ogahan. Akan tetapi biarlah
barangkali dari Amerika saya bisa ke Timur Tengah. Oleh karena itu biarpun di
Amerika, sudah kontak dengan orang-orang dari Timur Tengah, yang kelak ketika saya
ke Timur Tengah memang banyak sekali yang menolong saya. Kunjungan saya ke
Timur Tengah saya mulai dari Istanbul, kemudian ke Libanon. Waktu itu tentu Libanon
masih aman. Lalu ke Syiria, kemudian Irak, sehingga baru pertama kalinya saya
bertemu Abdurrahman Wahid. Dia yang menyambut. Karena terus terang, walaupun
sama-sama orang Jombang, saya belum pernah kenal. Karena keluarga saya Masyumi,
keluarga dia NU. Jadi baru bertemu di Baghdad. Dia baik sekali, mengorganisir
teman-teman Indonesia untuk mengambil dan menemani saya ke stasiun bus dari
Damaskus. Lalu saya ke Kuwait, dari Kuwait ke Saudi Arabia melalui Tmur. Banyak
sekali kenangan di situ. Ketika di Riyadh, saya bertemu seseorang yang pernah
saya kenal sejak di Amerika, Dr. Farid Mustafa, seorang tokoh, Doktor
Engineering. Itulah satu-satun pengalaman saya menjadi tamu keluarga Arab, di
sini kalau makan siang dan malam semua keluarga ikut termasuk istri. Biasanya
orang Arab tidak demikian. Saya tinggal satu minggu di situ dan berkenalan
dengan banyak pelarian Ikhwanul Muslimin.
Kita
mengetahui, Ikhwanul Muslimin umumnya beranggotakan orang-orang Mesir dan
orang-orang Syiria. Mereka dikejar-kejar oleh rezim yang ada di negaranya
masing-masing, dan kebanyakan larinya ke Saudi Arabia. Bukan untuk mendapatkan
kebebasan politik, karena di Saudi Arabia sendiri mereka tidak mendapatkan
kebebasan politik. Karena orang Saudi juga tidak suka terhadap sikap politik mereka.
Akan tetapi dari segi ilmu pengetahuan mereka banyak sekali dihargai. Mereka
kemudian menjadi staf pengajar di Universitas Riyadh. Sejak dari Istanbul saya
banyak sekali mengadakan diskusi kritis. Tentu saya tidak mau hanya
mendengarkan saja, tapi juga membantah, menanyakan dan menentang, termasuk
menentang dan segi literatur.
Di
Turki saya sampai berkenalan dengan suatu gerakan yang betul-betul di bawah
tanah, yang di Istanbul mereka itu bergerak untuk membangkitkan Islam, tetapi
dengan cara-cara yang menurut sebagian kita agak kedengaran sedikit kolot. Yaitu
melalui sufisme atau gerakan-gerakan tarekat. Suatu malam Dr. Mustafa di Riyad
mengajak saya ke Universitas Riyad; ke Fakultas Farmasi yang akan mengadakan
wisuda tamatan Fakultas Farmasi, di mana Menteri Pendidikan hadir, yaitu Syekh
Hasan bin Abdullah Ali Syekh keturunan Muhammad bin Abdul Wahab, salah seorang
pelopor pembaharuan di Arabia yang anak turunannya selalu menjadi Menteri
bidang pengetahuan seperti Menteri Pendidikan, Menteri Ilmu Pengetahuan dan
sebagainya di Saudi Arabia.
Saya
tidak tahu apa yang terjadi, pokoknya Dr. Mustafa mengenalkan saya secara
berbisik-bisik kepada Menteri, lalu Menteri itu minta supaya saya menceritakan
tentang gerakan Mahasiswa Islam di Indonesia. Setelah saya ceritakan, tentu
saja dengan bahasa Arab — Alhamdulillah saya sedikit banyak tahu bahasa Arab
karena belajar di pesantren Gontor, sebuah proyek gabungan antara sistem
pendidikan Sumatera Barat (KMI-nya) an Jawa (pesantrennya) yang saya kira menjadi
proyek yang sangat sukses yang sekarang berkembang di mana-mana. Menteri itu
demikian senangnya dengan keterangan saya, lalu mengundang 10 orang teman kita,
HMI, untuk naik haji tahun itu juga. Selanjutnya, dari Riyad saya ke Madinah,
terus ke Mekkah, kemudian ke Kharthum untuk bertemu dengan Dr. Hasan Turabi
dari Umin Durman University, tokoh yang sekarang menjadi pusat perhatian di
Sudan, oleh karena dia konseptor dari Islamisasinya Numeiry yang sekarang jatuh
digulingkan. Dari situ saya pergi ke Mesir, kemudian kembali ke Libanon dan
dari situ ke Pakistan.
Pokoknya
dari semua tempat itu saya mengadakan diskusi macam-macam. Dan konklusinya
begini: saya kecewa terhadap tingkat intelektualitas kalangan Islam di Timur
Tengah saat itu. Sehingga saya lalu ingat Buya Hamka, ketika suatu saat Buya
minta izin kepada K.H. Agus Salim untuk pergi ke Timur Tengah, belajar. Jawab
K.H. Agus Salim seperti yang dimuat dalam Gema Islam dahulu dan sebagainya,
“Malik, kalau kamu mau pergi ke Mekkah atau Timur Tengah, boleh saja. Kamu akan
fasih berbahasa Arab barangkali. Tetapi paling-paling kamu akan jadi lebai,
kalau pulang. Tetapi sebaliknya kalau kamun ingin mengetahui Islam secara
intelek, lebih baik di sini. Belajar sama saya.” Dan saya setuju dengan pendapat
K.H. Agus Salim.
Padahal
di sini, di Indonesia, kita sudah bergumul dengan Marxisme, dengan macam-macam
di sini. Indonesia adalah tempat pergumulan ideologi yang paling seru pada
zaman Orde Lama, dan kita survive. Kita sudah biasa berdialog denga orang -
orang komunis dengan forum-forum mereka, bukan forum-forum kita. Oleh karena
itu kita lebih banyak terlatih dari pada orang-orang yang saya temui di negara-negara
Timur Tengah berkenaan dengan cara melihat apa yang paling relevan dalam Islam
yang harus kita kembangkan. Sampai-sampai waktu di Riyad, dengan Dr. Mahmud
Syahwi namanya, salah satu tokoh Ikhwanul Muslim, ketika saya merasa jengkel
dengan kekecewaan saya, saya bilang begini saja, “Dari pada Anda kuliahi saya
dengan macam-macam yang tidak masuk akal saya, lebih baik anda kasih saya bahan
bacaan yang menurut anda paling penting dan kalau saya membacanya saya mendapat
jawaban”. Lalu saya diberi buku berjudul Majmu Rasail Hasan Al-Banna,
kumpulan tulisan risalah-risalah Hasan Al-Banna, yang waktu itu buku terlarang
di Saudi Arabia. Buku itu diberikan kepada saya, sambil mewanti-wanti, “jangan
sampai ketahuan orang Saudi, karena kalu ketahuan, Saudara akan mengalami
kesulitan, ditahan dan sebagainya. “ Akan tetapi saya senang sekali menerima
buku itu dan kemudian saya baca.
Waktu
di Mekkah saya menggunakan waktu paling banyak dua minggu, saya baca semuanya.
Akan tetapi maaf saja, saya tidak mendapat kelebihan dari tulisan-tulisan orang
itu. Ya, dengan segala kekaguman saya kepada Hasan Al-Banna, tetapi harus
banyak sekali tidak setuju dengan isinya. Slogan-slogan loyalistik itu kebanyakan.
Jadi isinya slogan-slogan loyalistik. Bukan pemecahan masalah. Oleh karena itu,
saya tidak merasa begitu sesuai dengan buku itu. Kemudian di Mekkah saya
berusaha untuk mengkhatamkan al-Qur’an dengan terjemahan dalam bahasa Inggris
untuk pengecekan. Kemudian setelah melakukan berbagai diskusi tadi, saya lihat
beberapa hal yang relevan untuk kita. Sampai sekarang al-Qur’an itu saya simpan
dan saya coreti dengan komentar-komentar saya.
Kemudian
saya ke Sudan dan pulang. Dan ketika mendengar janji Mentri Pendidikan Saudi
Arabia untuk naik haji itu saya memang diingatkan oleh Dr. Mustafa, orang di
ibukota Riyad itu. “Ini janji Arab,” katanya. “Oleh karena itu, anda harus
rajin menagih”. Jadi, ketika sampai di Mekkah, saya mengirimkan surat. Saya
sampai di Madinah, juga begitu. Dan akhirnya alhamdulillah, terealisir. Akhirnya
Januari 1969 saya pulang ke Indonesia untuk kemudian sibuk untuk merealisir
janji dari Mentri Pendidikan Saudi Arabia itu untuk naik haji yang waktu itu
jatuh bulan Maret. Berarti Cuma ada waktu satu bulan, jadi habislah waktu saya untuk
menyiapkan teman-teman naik haji. Sampai di sana, semua teman ikut sakit karena
tidak cocok dengan makanan kecuali saya. Kebetulan saya sudah terbiasa dengan
masakan orang sana. Sampai Zaitun yang disebut di dalam Al-Qur’an saya makan.
Karena perlu diketahui bahwa buah walaupun tidak enak dan agak pahit bagi yang
belum biasa gizinya tinggi sekali dan dapat menghilangkan rasa mual sebagainya.
Dan saya mendapat service dan seseorang di kedutaan San Fransisco, seorang
novelis yang terkenal di Amerika bernama John Ball, yang salah satu bukunya
difilmkan dan mendapat hadiah besar. Dia mengatakan begini, “Saudara harus
tahu, berkat Zaitun inilah orang Yunani dahulu berfilsafat. Karena Zaitun itu tanaman
yang tahan lama sekali dan tetap berbuah.” Pohon itu bisa ribuan tahun bertahan,
dengan buahnya yang begitu tinggi, sehingga orang Yunani itu dulu boleh dikatakan
tidak lagi memikirkan masalah sumber gizi yang tinggi. Cukup menanam zaitun
saja dan sampai sekarang zaitun merupakan komoditi yang penting negara-negara seperti
Italia Yunani dan sebagainya.
Setelah pulang dan haji, saya ingin
menulis sesuatu tentang nilai-nilai dasar Islam. Seluruh keinginan saya untuk
bikin NDP saya curahkan pada bulan April, untuk bisa dibawa ke Malang pada
bulan Mei. Jadi NDP itu sebetulnya merupakan kesimpulan saya dari perjalanan
yang macam-macam di Timur Tengah selama tiga bulan lebih itu. Jadi sama sekali
salah kalau Ahmad Wahib mengatakan itu adalah pengaruh kunjungan di Amerika.
Begitulah singkatnya cerita. Namanya saja NDP, Nilai-Nilai Dasar Perjuangan.
Tentu saja bahannya itu macam-macam. Saya ingin menceritakan, mengapa namanya
NDP. Sebetulnya teman-teman pada waktu itu dan saya sendiri berpikir untuk
memberikan nama NDI, Nilai-Nilai Dasar Islam, Akan tetapi setelah saya
berpikir, kalau disebut Nilai-Nilai Dasar Islam, maka klaim kita akan terlalu
besar. Kita terlalu mengklaim inilah Nilai-nilai Dasar Islam. Oleh karena itu,
lebih baik disesuaikan dengan aktivitas kita sebagai mahasiswa. Lalu saya
mendapat ilham dari beberapa sumber. Pertama adalah Willy Eicher, seorang ideolog
Partai Sosial Demokrat Jerman yang membikin buku, The Fundamental Values
and Basic Demand of Democratic Socialism. Nilai-nilai Dasar dan
Tuntutantuntutan Asasi Sosialisme Demokrat. Nah, ini ada “nilai-nilai dasar”.
Kemudian “perjuangan”-nya dari mana ? Dan karya Syahrir mengenai ideologi
sosialisme Indonesia yang termuat dalam Perjuangan Kita. Dan ternyata
Syahrir juga tidak orisinal. Dia agaknya telah meniru dari buku Hitler, Mein
Kamf. Jadilah Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP) itu. Kemudian saya bawa ke
Ma1ang, ke Kongres IX, Mei 1969. Tetapi di sana tentu saja agak sulit
dibicarakan karena persoalannya demikian luas hingga tidak mungkin suatu
Kongres membicarakannya. Lalu diserahkan pada kami bertiga; Saudara Endang
Saifudin Anshari, Sakib Mahmud dan saya sendiri. Nah, itulah kemudian lahir
NDP, yang namanya diubah lagi oleh Kongres ke-16 HMI menjadi NIK (Nilai
Identitas Kader).
Inti
NDP : Beriman, Berilmu, Beramal
Kalau
teman-teman melihat NDP, tentu saja dibagi-bagi menjadi beberapa bagian. Yang
pertama “Dasar Kepercayaan”, Kemanusiaan”, “Kemerdekaan Manusia”, “Ikhtiar
dan akdir”. ini tentu saja banyak sekali unsur dan tulisan H. Agus alim; Filsafat tentang Tauhid,
Takdir dan Tawakaf misalnya. Kemudian “Ketuhanan Yang Maha Esa dan Prikemanusiaan”,
lalu “Individu dan Masyarakat”, “Keadilan
Sosial” dan “Keadilan konomi”,
“Kemanusiaan dan Ilmu pengetahuan”, lalu
kesimpulan dan penutup. Saya tidak akan menerangkan semua i NDP. “Dengan demikian sikap hidup manusia menjadi sangat
sederhana. Yaitu beriman, berilmu dan
beramal”. Ya, biasa, kalau suatu ungkapan yang sudah menjadi klise, itu tidak menggugah apa-apa. Apa makna beriman, berilmu,
beramal, saya kira itulah menjadi
kata-kata harian.
Saya
kira hidup beriman, tentu saja personal, pribadi sifatnya. Setiap manusia itu harus menyadari, tidak
bisa tidak harus punya nilai. Oleh karena itu iman adalah primer. Iman adalah segalanya. Oleh karena iman disitu
adalah sandaran nilai kita. ini
kemudian diungkapkan secara panjang lebar dalam bab Dasar-dasar Kepercayaan. Kenapa manusia memiliki kepercayaan. Di
situ, misalnya, kita menghadapi satu
dilema; satu dilema pada manusia, yang dikembangkan
dalam Syahadat La illaha ilallah.
Tiada Tuhan melainkan Allah. Di sini
kita bagi dalam dua, nafyu dan itsbat. Artinya negasi dan afirmasi.
Jadi tidak ada Tuhan melainkan
Allah. Mengenai soal ini, saya pernah terlibat dalam polemik tentang Allah ini, bisa tidak
diterjemahkan dengan Tuhan? Saya berpendapat bisa, tapi banyak sekali orang berpendapat tidak bisa. Kemudian ada
polemik yang saya tidak begitu suka.
Memang
para ulama berselisih mengenai makna Allah ini. Maksudnya ada yang berpendapat bahwa Allah ini suatu
isim jamid, yaitu bahwa memang Allah itu begitu adanya yang berpendapat bahwa ini sebetulnya berasal dan al-ilaah.
kemudian menjadi Allah. Jadi menurut mereka yang berpendapat isim jamid tidak dapat diterjemahkan Allah. Allah tetap
Allah. Dan itu banyak pengikutnya.
Buya
Hamka juga pernah mempunyai persoalan, ketika ditanya orang, “Mengapa Buya Hamka suka bilang Tuhan,
kan tidak boleh? Dan mengapa suka bilang
sembahyang, bukan sholat?” Hamka menjawab, “boleh, sebab Allah itu memang Tuhan, dan sholat juga bisa
diterjemahkan menjadi sembahyang”. Beliau
mengutip bahwa dulu di Malaya, Allah itu diterjemahkan dengan Dewata Raya
dan para ulama tidak keberatan.
Tapi
sebelum Buya Hamka atau orang Indonesia, yang menghadapi masalah terjemahan ini ialah orang Persi
sebetulnya. Sebab bangsa Muslim yang pertama bukan orang Arab itu yang besar adalah orang Persi. Memang sebelum
itu orang Syiria, Mesir, semua bukan
Arab. Tetapi mungkin karena latar belakang kultural mereka itu tidak begitu kuat, maka mereka ter-Arabkan sama sekali.
Sehingga orang Mesir sekarang sudah
tidak ada lagi. Mereka semua menjadi orang Arab. Termasuk Khadafi yang keturunan Kartago, itu juga menjadi orang
Arab. Kalau dari sejarah, Khadafi
itu lebih dekat dengan orang-orang Yunani, orang Romawi dan sebagainya sebagai keturunan Kartago. Libya bukan tempatnya
orang-orang Kartago dulu dan mereka
itu lebih banyak orang—orang Quraisy. Tetapi mereka menjadi Arab dan berbahasa Arab. Maka yang disebut
bangsa-bangsa Arab itu, secara darah sebetulnya
sebagian besar bukan orang-orang Arab, tetapi orang yang berbahasa Arab.
Bangsa
Muslim yang pertama bukan Arab dan sampai sekarang tidak berhasil di-Arabkan adalah bangsa Persi.
Padahal secara geografis itu paling dekat dengan dunia Arab. Mengapa? karena latar belakang kebudayaan Persi yang
besar itu, sehingga mereka tidak
bisa di-Arabkan. Oleh karena itu, bangsa Persilah yang pertama kali menghadapi masalah terjemahan ini Sebab Islam datang
dengan berbahasa Arab. Sehingga
mazhab Hanafi yang Abu Hanifah itu sendiri orang Persi berpendapat, sembahyang
dalam terjemahan itu boleh. Itulah sebabnya
mengapa orang-orang Persi selalu menggunakan Khoda untuk Allah. Kita mengetahui bahwa bahasa Persi itu
adalah satu rumpun dengan bahasa Jerman,
Inggris dan Sansekerta. Sehingga Baitullah misalnya, mereka terjemahkan
menjadi Khanih-e Khoda. Maka
dari itu, ketika zaman modern sekrang ini dan umat Islam mulai menyebar ke mana-mana termasuk ke negeri-negeri Barat, maka
ada persoalan, yaitu kalau Qur’an
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, misalnya, bagaimana menerjemahkan? Apakah Allah harus diterjemahkan menjadi
God, ataukah tidak. Itu sudah ada
dua pendapat. Misalnya, The Meaning of the Glorious Qur’an tidak menerjemahkan perkataan AlIah. Sama sekali
tidak. Tetapi sebaliknya Yusuf Ali
yang orang Pakistan, yang tafsirnya juga diterbitkan oleh Rabithah Alam Islami di Mekkah, menerjemahkan Allah
dengan God Sehingga dalam terjemahan dia,
itu tidak ada sama sekali perkataan Allah, karena jadi “God” semua. Dan Khomaeni yang sekarang mendirikan
negara Islam di Iran, Konstitusinya dalam
versi bahasa Inggris, menerjemahkan la ilaaha illa-Allah dengan “there
is no god but God.” Ini
penting, mengapa ulasan ini agak panjang karena ada implikasinya. Yaitu salah satu problem kita di
Indonesia ini ialah bahwa tradisi intelektual Islam kita masih muda sekali, sehingga orang sering kehilangan jejak,
akhirnya bingung. Buku Yusuf Ali
yang saya beli di Mekkah yaitu ketika saya mengadakan kunjungan ke beberapa negara ke Timur Tengah
diberi pengantar dari sekjen Rabihtah Alam
Islami. Kita bisa melihat sekarang di sini misalnya perkataan Ia ilha
iila-Allah bagaimana
diterjemahkan. Begitu juga dalam tafsir Muhammad Asad atau dalam Konstitusinya
Khomeini. Kita boleh tidak setuju dengan ajaran Syi’ah, tetapi jangan phobi.
Justru bobot NDP sebetulnya untuk menghilangkan itu. Sedangkan Islam itu sendiri berada di tengah umat manusia
.jadi kita ini harus Muslim di tengah umat
Islam itu sendiri. Oleh karena itu, mungkin saudara-saudara juga tahu bahwa
saya selalu mengatakan tidak setuju
dengan sensor. Orang boleh tidak dengan tidak setuju dengan suatu paham, tetapi jangan menyensor.
Karena
itu sebenamya, di Indonesia kata Allah itu diterjemahakan menjadi kata Tuhan. Menurut saya bisa.
Khomeini saja bisa kok, mengapa kita tidak bisa. Itu Yusuf bisa, bahkan itu diterbitkan oleh Rabitah Alam Islami.
Jadi tiada Tuhan dengan t kecil
(tuhan), kecuali Tuhan itu bisa. Waktu itu saya tidak tahu, bahwa Buya Hamka pernah menerangkan hal ini,
sehingga ketika saya terlibat dalam polemik
itu ada seorang teman yang bersuka rela memberikan kepada saya copy dari polemik Buya Hamka dengan
seseorang melalui surat menyurat. Dan sekarang sudah diterbitkan dalam sebuah buku, yaitu Hamka Menjawab
Masalah-masalah Agama.
Dalam
psikologi agama ada yang disebut convert complex. Convert artinya orang yang baru saja memeluk agama.
Lalu kompleks, perasaan sebagai agamawan
baru. Misalnya, di masyarakat ada saja bekas tokoh yang kurang senang pada agama, lalu menjadi fundamentalistik
sekali.
Nah,
karena tradisi intelektual kita itu begitu muda, begitu rapuh, kita sering kehilangan jejak. Kemudian
bingung. Ada cerita menyangkut dua orang
Minang: H. Agus Salaim dan Sutan Takdir Alisyahbana. Sudah tahulah Takdir Alisyahbana, seorang yang mengaku
sebagai orang yang modern dan sangat rasionalistik,
oleh karena itu, dia pengagum Ibnu Rusd. Dia selalu bilang, dunia ini kan persoalan pertengkaran antara
Ghazali dan Ibnu Rusd. Karena di dunia Islam Ghazali yang menang dan di dunia Barat Ibnu Rusd yang menang, maka
akhirnya Ibnu Rusd yang menjajah
Ghazali. Jadi Indonesia dijajah Belanda itu sebetulnya Ghazali dijajah Ibnu Rusd, menurut Takdir Alisyahbana. Karena apa?
Ghazali mewakili mistisisme,
intuisisme, sedangkan Ibnu Rusd mewakili rasionalisme.
Ada
betulnya juga, meskipun tidak seluruhnya. Suatu saat pak Takdir konon menggugat H. Agus Salim. Katanya
begini, “Pak Haji, pak haji ini kan orang
terpelajar sekali, masa masih biasa sembahyang. Artinya, kok masih mempercayai agama?” Lalu dibilang oleh H. Agus
Salim, “Maksud saudara apa ?“. “Maksud saya, sebagai orang terpelajar saya tidak membenarkan sesuatu kecuali
kalau saya paham betul”. Betul,
memang begitu. Qur’an sendiri menyatakan begitu. Akan tetapi begini, kita kan terbatas, karena
terbatas kalau rasio kita sudah pol begitu, maka sebagian kita serahkan kepada iman.” Jadi masalah iman itu adalah
bagian dari pada hidup dan itu
adalah kewajiban dari pada rasional kita. Rupanya Takdir belum puas dengan jawaban itu. Lalu Salim
membuat jawaban yang lucu dan benar. Dia
bilang begini, “Begini aja deh, Takdir kan orang Minang. Kan suka pulang ke Minagkabau, pulang kampung, naik
apa?”“naik kapal” jawab Takdir. Rupanya waktu itu belum bisa naik pesawat, pesawat belum begitu banyak. “Nah
kata Agus Salim, “Kamu naik kapal
itu menyalahi prinsipmu “Kamu tidak akan menerima sesuatu kecuali kalau paham seluruhnya. Jadi asumsinya, kalau kamu naik
kapal, adalah kalau sudah paham
tentang seluruhnya yang ada dalam kapal itu. Termasukbagaimana kapal dibikin, bagaimana menjalankannya
bagaimana kompasnya, bagaimana ini
dan sebagainya. Nah begitu ketika kamu menginjakkan kaki ke geladak kapal Tanjung Priok, itu kan sudah ada masalah
iman. Kamu percaya kepada nakhoda,
kamu percaya kepada yang bikin kapal ini bahwa ini nanti tidak pecah di Selat Sunda dan kamu kemudian tenggelam. Percaya,
percaya dan semua deretan
kepercayaan.
Agus
Salim melanjutkan, “Sedikit sekali yang kamu ketahui tentang kapal. Paling-paling
bagaimana tiketnya dijual di loketnya saja yang kamu tahu. Pembuatan tiket juga
kamu tidak tahu” katanya. Lalu Salim bilang begini, “Seandainya kamu konsisten
dengan jalan pikiran kamu hai Takdir, mustinya kamu pulang ke Minang itu
berenang. Ya, begitu, sebab berenang itu yang paling memungkmkan usahamu. Itu
saja masih banyak sekali masalah. Bagaimana gerak tangan kamu saja mungkin kamu
tidak paham,” katanya. Lalu ini yang menarik, “nanti kalau kamu berenang, di
Selat Sunda kamu di ombang-ambing ombak dan kamu akan berpegang pada apa saja
yang ada. Dalam keadaan panik, kamu akan berpegang pada apa saja yang ada.
Untung kalau kamu ketemu balok yang mengambang. Akan tetapi kalau kamu ketemu
ranting, itupun akan kamu pegang. Ketemu barang-barang kuning juga kamu
pegang”. Itu kata Agus Salim.
Nah
inilah yang saya maksudkan. Dalam keadaan panik orang sering kehilangan jejak,
sering kita berpegang kepada suatu masalah secara harga mati. Padahal itu
ranting, kalau kita pegang akan tenggelam lagi kita nanti. ini maksud saya.
Jadi kembali lagi pada laa ilaaha illa-Allah di sini memang ada diIema. Dilemanya,
sebagaimana sudah menjadi kenyataan, manusia itu hidup tidak mungkin tanpa
kepercayaan. Terlalu banyak Tuhan. Itu problemanya. Jadi sebetulnya kalau kita
membaca al-Qur’an, problemnya itu bukan bagaimana membikin manusia percaya pada
Tuhan, tetapi bagaimana membebaskan manusia dari percaya kepada terlalu banyak
Tuhan. Karena itu memang ada tema ateisme dalam al-Qur’an yaitu dahriyyah tapi
kecil sekali. Ateisme itu satu hal yang tidak mungkin. Justru yang ada dan
sangat banyak terjadi pada manusia ialah politeisme. Problema manusia
sebetulnya bukan ateisme yang utama, tetapi politeisme. Oleh karena itu
tema-tema al-Qur’an itu yang dicerminkan dalam perkataan laa ilaaha ila-Allah,
ialah usaha dan ajaran menghancurkan politeisme. Dan kalau menghancurkan
politeisme kita pergunakan politeisme dalam bahasa sekarang, akan berbunyi,
“bebaskan dirimu dan belenggu-be1enggu yang menjerat dirimu sendiri.” Sebab
semua kepercayaan dan sistem kepercayaan itu membelenggu. Tetapi kalau manusia tidak
memiliki kepercayaan sama sekali juga tidak mungkin. Oleh karena itu harus ada
kepercayaan, tetapi kepercayaan itu harus sedemikian rupa sehingga tidak
membelenggu kita, bahkan nenyelamatkan kita. Itulah kepercayaan kepada Allah,
satu-satunya Tuhan, yang Allah ini adalah the High God, Tuhan Yang Maha Tinggi.
Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu Allah lain dengan Zeus dan Indra yang merupakan
mitologi. Orang Yunani kono itu dulu percaya pada Zeus. Dan Zeus itu nama dewa
dalam mitotologi mereka. Orang Mesir, Ra, kemudian orang India, Indra.
Jadi
masalahnya begini, manusia ini tidak mungkin hidup kecuali kalau mempunyai
kepercayaan. Akan tetapi kalau terlalu banyak yang dipercayai, akan menjerat
manusia sendiri, dan tidak akan banyak membuat kemajuan. Sementara itu manusia
tidak mungkin hidup tanpa kepercayaan. Oleh karena itu dari sekian banyak
kepercayaan harus disisakan yang paling benar, yaitu la ilaaha ha-Allah ini.
Ini keterangan yang banyak sekali, akan etapi saya mau meloncat sedikit kepada isolasi
agama.
Agama
Islam itu satu rumpun dengan agama Yahudi dan Kristen yang disebut agama
Ibrahim. Nah, kita masih mewarisi ajaran Nabi Ibrahim, yaitu Inni Wajjahtu
wajhia lillà d Fatharassamawati wal ardha, Hanfam muslima wama ana minal
musyri kin. Itu suatu pernyataan Ibrahim setelah “eksperimennya” dalam mencari
Tuhan. Itu dalam aI-Qur’an yaitu ketika Ibrahim melihat bintang itu hilang, dia
bilang, ah, tidak mungkin Tuhan kok tenggelam, ini bukan Tuhan.. Setelah
melihat bulan, kemudian mendapatkan matahari itu lebih besar. Dia pun bilang inilah
Tuhan. Pokoknya setelah eksperimen melalui bintang, bulan, matahari, yaitu gejala-gejala
aIam. Kalau di sini ada masalah pembebasan, masalah negatif, masalah karena
manusia itu cenderung untuk menjadikan apa saja yang memenuhi syarat sebagai
misteri/sebagai Tuhan; sesuatu yang mengandung misteri, sesuatu yang mengandung
kehebatan sesuatu yang mengandung rasa ingin tahu. Kalau sebuah gunung yang
setiap kali meletus dan membawa bencana tidak bisa diterangkan oleh orang, maka
mereka melihatnya sebagai misteri dan kemudian menyembahnya. Inilah akar
tentang syirik sebetulnya.
Jadi,
syirik itu sebetulnya kelanjutan mitologi. Barangkali kita sudah mempelajari
bagaimana lahirnya mitologi. Oleh karena itu, mitologi secara bahasa lain boleh
dikata sebagai kecenderungan manusia untuk menuju sesuatu yang tidak dipahami.
Begitulah kira-kira. Pemimpin yang kita agung-agungkan, akhirnya berkembang
menjadi mitologi terhadap pemimpin kita itu. Nah, kalau kita menganut mitologi,
maka suatu mitos itu pasti menjerat kita. Kalau misalnya, kita memitoskan
gunung, maka tertutup kemungkinan bagi kita mempelajari apa sebetulnya
hakikatnya. Gunung itu mengandung sebuah kekuatan misterius, yang setiap kali
meletus akan menghancurkan sekian banyak orang, sawah ladang dan sebagainya.
Oleh karena itu pendekatan kita kepada gunung itu mengarah kepada pendekatan
keagamaan; disembah. Nah, itulah ontoh mitologi yang menyeret kita.
Jadi
artinya, suatu mitologi menutup kemungkinan suatu objek untuk diteliti secara
ilmiah. Seorang ahli vulkanologi misalnya, melihat itu sebagai sesuatu yang biasa,
tidak lagi mengandung misteri. Begitulah kira-kira. Sebab untuk syarat sebagai
tuhan haruslah misteri, tidak bisa dipahami. Jangan lupa bahwa kita masih banyak
mewarisi mengapa hari itu tujuh. Dan Tuhan itu diandaikan bintang-bintang atau
benda-benda langit. Jadi yang paling besar adalah matahari, kemudian yang kedua
adalah rembulan, kemudian bintang seperti mars, venus dan sebagainya. Itu sebabnya
kemudian orang-orang Babilonia menyediakan setiap hari satu tahun. Nah, itu
masih bisa dilihat sampai sekarang. Misalnya namanya dalam bahasa Inggris,
seperti Sunday, itu artinya hari matahari. Waktu itu orang menyembah matahari.
Monday artinya hari rembulan. Kalau dalam bahasa Francis itu lebih kentara
lagi: Mardi (hari mars), Mercredi (hari merkurius), Jeuvi (harijupiter),
Vendredi (hari venus), Saturday (hari saturnus).
Baru ketika
bangsa Semit, bangsa Semit yang sudah bertahuhid yang dimulai oleh Ibrahim
mengambil alih, mitos itu dihapus dan kemudian nama hari yang tujuh diganti
dengan angka. Ahad, Senin, Selasa, itu maksudnya satu, dua, tiga, dan
seterusnya. Tapi hari Sabtunya tetap dipertahankan. Jadi artinya kalau Ibrahim
dahulu itu ada pikiran atau usaha begitu, ada pikiran untuk menyembah bintang,
itu sebetulnya karena ia memang orang Babilonia. Tapi kemudian lihat
kesimpulannya, ketika matahari tenggelam, dia bilang “ah masa tuhan tenggelam
“. Nah, lalu diapun bilang, “Inni wajjahtu wajhia lilladzi tharassamaawaati
wal ard”. Sesungguhnya akau menghadapkan wajahku kepada Tuhan yang
menciptakan langit dan bumi ini. Jadi, “Janganlah kamu bersujud kepada matahari
dan rembulan, tapi bersujudlah kepada Allah yang menciptakannya.”
Nah,
jadi meskipun matahari itu sampai sekarang belum seluruhnya kita pahami,
artinya masih mengandung misteri, ada potensi untuk paham. Karena itu matahari
tidak akan memenuhi syarat sebagai Tuhan, karena suatu saat akan dipahami
manusia. Begitu juga seluruh alam ini. Di situlah kita bisa melihat mengapa
Allah menjanjikan: “Kami akan perlihatkan tanda-tanda-Ku seluruh cakrawala
dan dalam diri mereka sendiri, sehingga terlihat bagi mereka bahwa Allah itu
benar”. Artinya, orang akan haqqul yaqin bahwa Allah itu benar bila seluruh
alam ini sudah dipahami, bisa dipahami, sehingga tidak tersisa misteri lagi. Dengan
perkataan lain bahwa Allah itu Allah, oleh karena itu yang tidak bisa dipahami
manusia. Tuhan itu adalah yang tidak mungkin dipahami manusia, dan sebetulnya
konteks ketuhan menurut Tauhid itu adalah konteks mengenai misteri, laisa
kamislihi syai’un (tiada sesuatu yang sebanding dengan Dia). Jadi Dia tidak
bisa digambarkan, tidak dapat dipahami. Sebab Allah itu mutlak. Perkataan memahami
Tuhan itu kontradiksi inter- minus. Sebab memahami berarti mengetahui
batas-batasnya. Jadi, kalau memahami Tuhan berarti sudah apriori bahwa Tuhan
terbatas, terjangkau oleh kita.
Oleh
karena itu, kalau Allah itu memang mutlak, maka dia tidak dapat dipahami.
Sebetulnya ini kontroversi yang lama di kalangan umat Islam. Yaitu antara
Mu’tazilah dan Asy’ary mengenai isu mengenai apakah manusia itu bisa melihat
Tuhan atau tidak, di surga nanti. Menurut Mu’tazilah tetap tidak bisa, sedangkan
menurut asy’ariyah bisa, meskipun selalu ditutup dengan bila kaifa, tanpa
bagaimana. Jadi sebetulnya antara keduanya tidak ada perbedaan. Kalau tanpa
bagaimana berarti tanpa bisa diketahui sendiri. Mengetahui tanpa bisa diketahui.
Mengetahui tanpa bisa mengetahui bagaimana mengetahui itu. Itu bila kaifa
dari sistem Asy’ariyah yang banyak dianut sebagian dari kita yang berpaham Sunni.
Yang
jelas adalah bahwa dalam al-Qur’an, ajaran yang dominan itu bukan tentang
mengetahui Tuhan, tapi mendeluhan. Jadi taqarrub itu, mendekati Tuhan. Allah
asal tujuan dan segala yang ada dalam hidup ini. Oleh karena itu, perjalanan hidup
kita sebetulnya menuju kepada Allah. Maka dan itu sebutlah di sini dalam bahasa
yang sedikit kontemporer, kesadaran mengorientasikan hidup kepada Allah. Oleh
karena itu, seluruh perbuatan kita haruslah Lillahi ta‘ala. Jadi justru harus tertuju
pada Allah Subhanahu Wata’ala. Dan ini yang kita ungkapkan dengan berbagai
ungkapan, termasuk ridha, nidha .allah. Dalam al-Qur’an disebutkan “mencari
muka Tuhan”. Jadi kita itu memang mencari muka, yaitu mencari muka Tuhan, artinya
bagaimana melakukan sesuatu yang berkenan pada Tuhan, mendapatkan ridha-Nya.
Kita
menuju kepada Allah, jadi selalu mendekat, taqarrub kepada Allah. Nah,
kita mendekati Tuhan itu adalah dinamis; iman itu dinamis, bisa berkurang dan bisa
bertambah. Artinya dinamis, sebab manusia itu dengan segala keterbatasannya
kemungkinan besar dia membuat kesalahan. Oleh karena itu dia harus mengikuti
garis yang lurus membentang antara dirinyya dan Allah, yaitu Alshshirot al-mustaqiim.
Jalan yang lurus, lurus itu terhimpit dengan hati nurani kita, dengan fitrah
kita. Sudah banyak sekali diterangkan dalam NDP tentang peranan hati nurani
yang kadang-kadang disebut juga dhamier dan sebagainya itu. Dhamier, fitrah
atau hati nurani itu adalah kesadaran yang dalam pada diri kita tentang apa
yang baik dan buruk, dan apa yang benar dan salah. Itu tentu saja tidak bisa
dibiarkan sendirian, tapi harus ditolong oleh suatu ajaran. Di sini kemudian
ajaran agama untuk menguatkan apa yang ada pada hati nurani. Oleh arena itu
menurut Ibnu Taymiyyah agama itu tiada lain adalah fitrah yang diwahyukan, atau
fitrah yang diturunkan. Selain ada fitrah yang diciptakan pada diri kita, juga
ada fitrah yang diwahyukan. Itulah agama. Jadi artinya agama itu adalah fitrah
yang diturunkan dari langit oleh Allah Subhanahu Wataala, untuk memperkuat
fitrah yang ada dalam diri kita sendini. Mungkin teman-teman juga pernah
mendengar Robinson Cruso.
Robinson
Cruso adalah novel yang dikarang Daniel Deboe, menceritakan tentang seseorang
yang terdampar di pulau dan hidup sendiri dengan segala romantikanya. Itu
sebetulnya adalah plagiat dari seorang filsuf muslim, namanya Ibn Thufayl yaitu
suatu karya yang namanya Al-Hay Ibnu, Yaqdzan. ” Orang Hidup, Anak
kesadarannnya sendiri.”. Ini sebetulnya sebuah kisah filosofis berdasarkan konsep
tentang fitrah itu. Karena manusia itu-seperti dikatakan oleh hadits “alwaladu
yuladu ‘ala al-fitrah ‘ dilahirkan dalam keadaan suci. Maka seorang filsuf
Muslim ini membuat hipotesa kalau seandainya manusia itu hidup dengan konsisten
mendengarkan kesadarannya sendiri dan bebas dan polusi budaya, polusi kultural
(orang ini dikatakan bagai hidup di sebuah pulau sendirian). Kalau orang ini masih
seperti itu, dia akan menjadi manusia sempurna: insan kamil, maka sebetulnya
novel ini yang berurusan dengan persoalan insan kamil dalam konsep sufi
itu. Inilah yang diplagiat oleh Daniel Deboe dan menjadi Robinson Cruso. Sebetulnya
ada urusannya dengan fitrah ini.
Jadi
fitrah itu kemudian diperkuat oleh agama. Nah agama ini yang kemudian memberi
kesadaran tentang bagaimana Allah itu harus dipersepsi, misalnya dengan
ayat-ayat dan Tauhid dan sebagainya itu. Dan manusia harus berjalan pada jalan
ini menuju kepada Allah. Tapi karena Allah itu mutlak, maka Dia bakalan tidak
bisa dicapai. Kita tidak akan bisa mencapai Tuhan dalam arti menguasai. Sebab
itu akan berarti Tuhan itu terbatas. Jadi kontradiksi lagi dengan pemutlakan
Tuhan. ini mempunyai implikasi bahasa kebenaran yang ada pada benak manusia itu
tidak pernah merupakan kebenaran mutlak, sebab keterbatasan kita. Akan tetapi,
tidak berarti bahwa kebenaran yang ada dari kita itu lalu kita buang begitu
saja, karena relatif. Itu tidak bisa tidak. Misalnya saja kita dari Jakarta ini
mau ke Bandung. Tentu saja sebagai analogi, Bandung menjadi tujuan kita. Tapi
dari Jakarta tidak bisa begitu saja kita loncat ke Bandung. kita harus melalui
Cibinong, melalui Bogor, melalui Puncak dan sebagainya. Nah itulah yang kita
alami dalam hidup, yaitu Cibinong, Bogor, Cianjur, sampai Padalarang dan sebagainya.
Akan tetapi tidak berarti karena itu kita tahu Cibinong bukan Bandung maka
sudahlah kita tak usah ke Cibinong karena tujuannya Bandung. Soalnya ialah Bandung
tidak bisa dicapai, kecuali melalui Cibinong. Kebenaran mutlak tidak bisa dicapai
kecua1i dengan eksperimen relatif, kecuali dengan mengalami kebenaran-kebenaran
relatif. Jadi kebenaran relatif apa pun yang kita alami, itu harus kita pegang,
tetapi karena pada waktu yang sama kita tahu bahwa ini kebenaran yang relatif,
maka kita harus memegangnya sedemikian rupa sehingga harga tidak mati. karena
kita tahu Cibinong bukan tujuan kita, Cibinong harus kita lewati, tetapi kita harus
segera menuju Bogor, segera menuju ke Puncak, ke Padalarang dan seterusnya.
Nah,
oleh karena itu dinamis. Di sini lalu kemudian bergerak terus menerus. Itulah
sebabnya mengapa agama itu, agama Islam terutama, selalu dilukiskan sebagai
jalan. Ini penting sekali. Kita melihat, agama Islam itu dulu selalu disebut sebagai
jalan. Shirat itu artinya jalan. Kalau ada dongeng al-shirot
al-mustaqim itu adalah titian rambut dibelah tujuh yang membentang dintara
dunia dan surga dan di bawahnya api neraka, itu berasal dari Persi, dan agama
Zoroaster. Kemudian tadi syari’ah itu juga jalan. Kemudian ada lagi, maslak itu
juga jalan. Jadi agama itu dilukiskan sebagai jalan oleh karena mendekati Tuhan
itu tidak harus sekali jadi, tetapi harus berproses. Dalam proses inilah
pentingnya ijtihad. Maka dari itu kemudian ijtihad harus terus menerus
dilakukan. Karena, Tuhan tidak pernah bisa untuk dicapai tapi kita harus dituntut
untuk mendekatkan diri pada Tuhan, semakin dekat, maka ada proses dinamis, dan
itu jadi ijtihad.
Sebetulnya
akar ijtthad itu ialah j, h, dan d. Jadi sama dengan jihad. Satu akar
kata dengan jihad. Satu akar juga dengan juhd, juga dengan mujahadah,
yang semua itu sebetulnya sama dengan jihad. Jadi mengandung makna bekerja
keras, bekerja dengan sungguh-sungguh. Mujahadah. Lalu di sini, “walladziina
jaahadu fina lanah diyannahum subulana “, Barang siapa
bersungguh-sungguh berusaha untuk mendekati Tuhan, maka akan Tuhan tunjukkan
kepada mereka jalan-jalan. Nah kebetulan ke Cibubur ini tadi saya melewati
Jagorawi sedikit Jagorawi ini jalan ashshirotolmustaqim, tetapi di situ
banyak jalur. Misalnya yang sudah matang dalam Islam, itu ada jalur sufi, jalur
fiqh, dan lain-lain. Orang yang versi ke-Islamannya itu sufisme apakah anda
akan mengatakan bahwa orang-orang sufi itu sesat? Saya kira kita tidak berhak
mengatakan begitu. Ada yang persepsinya kepada Islam itu hukum.
Jadi,
masalah agama adalah masalah hukum. Ada yang persepsinya teologis, mutakallimun,
ada yang persepsinya masalah filsafat dan banyak sekali jalan-jalannya menuju
Tuhan ini. Juga disebutkan, jalan menuju Tuhan itu subulussalam “berbagai
jalan menuju keselamatan”. Mengapa begitu’ .Jadi dengan iman kita mengorientasikan
hidup kita kepada Allah, Inna lillahi wainna ilaihi rojiun.
Kemudian,
berilmu, karena perjalanan menuju Allah itu meskipun mengikuti al-shirot
al-mustaqim dan berhimpit dengan hati nurani kita, tapi disitu ada masalah
perkembangan. OLeh karena itu harus berilmu, harus mujahadah. Jihad atau
mujahadah di sini ada kaitannya dengan ilmu pengetahuan. Semua itu tentu saja
tidak mempunyai arti apa-apa, sebelum kita amalkan, kita wujudkan dalam amal
perbuatan itu. Maka dari itu ideologi misalnya, tidak bisa menjadi mutlak. Ideologi
itu berkembang, ilmu pengetahuan pun berkembang, tidak ada yang benar-benar
mutlak. Lihat saja itu dulu, pada zaman sahabat, itu tidak ada sifat dua puluh.
Maka sifat dua puluh itu muncul oleh Asy’ari oleh karena ada persoalan yaitu
bagaimana membendung pengaruh dari hellenisme melalui filsafat Yunani, yang
pada waktu itu mulai gejala mengancam Islam itu sendiri. Maka kemudian dia tampil
dengan sifat dua puluh itu.
Saya terangkan begitu, dengan kata
lain kita harus menyejarah, bersatu dengan suatu konsep historis dan karena itu
kita menjadi dinamis, terus berkembang, tidak ada yang harga mati. Oleh karena
itu, orientasi hidup kepada Allah yang dalam bahasa agamanya beriman kepada Allah
itu sering kali dalam al-Qur’an itu dikontraskan dengan beriman kepada Thaghut.
Thaghut itu siapa? Thaghut itu tiada lain adalah tirani, sikap-sikap tirani.
Tiranisme. Kenapa disebut tirani? Yang disebut tirani dah sikap memaksakan
suatu kehendak kepada orang lain. Oleh sebab itu, Nabi atau Rasulullah sendiri
sudah diingatkan, kamu jangan jadi tiran. “Innama anta muzakkir, lasta
alaihim biimushaitir” Hai
Muhammad, kamu itu cuma memperingatkan, tidak untuk mengancam orang, memaksa
orang. Muhammad itu manusia biasa, maka itu suatu saat juga tergoda untuk
memaksakan pahamnya kepada orang lain. Lalu Allah pun turun dengan Firmannya
yang berat sekali pada surat Yunus ayat 101. “Kalau seandainya Tuhanmu mau
hai Muhammad, menghendaki semua manusia tanpa kecuali akan beriman,
apakah kamu akan memaksa setiap orang supaya menjadi beriman?” Tidak
boleh, sebab walaupun dia rasul Allah, kalau dia sudah memaksa, dia sudah
terjerembab ke dalam tirani. Thaghut. Tentu saja tirani yang paling berbahaya
ialah tirani politik. Artinya tirani yang asasi betul. Oleh karena itu tokoh
simbol dari pada tiranisme dalam al-Qur’an itu selalu Fir’aun. Agama Islam
adalah agama yang sama sekali tidak membenarkan tirani, oleh karena itu salah
satu konsekuensi berorientasi hidup kepada Allah itu adalah sikap-sikap
demokratis, sikap bermusyawarah dan sebagainya. Jadi, begitu kira-kira cakupan
seluruhnya itu. Titik berat argumen dalam NDP itu sebetulnya demikian. Di dalam
NDP kita tidak berbicara mengenai bagaimana orang sholat, bagaimana orang zakat
dan sebagainya, tetapi kita membatasi pembicaraan kepada hal-hal prinsipil dan
strategis, yaitu nilai-nilai dasar yang akan langsung mempengaruhi cara
berpilkir kita, pandangan hidup kita.
Nilai-Nilai
Dasar Perjuangan Himpunan Mahasiswa Islam
I
. DASAR-DASAR KEPERCAYAAN
Manusia
memerlukan suatu bentuk kepercayaan. Kepercayaan itu akan melahirkan tata nilai
guna menopang hidup budayanya. Sikap tanpa percaya atau ragu yang sempurna
tidak mungkin dapat terjadi. Tetapi selain kepercayaan itu dianut karena
kebutuhan dalam waktu yang sama juga harus merupakan kebenaran. Demikian pula
cara berkepercayaan harus pula benar. Menganut kepercayaan yang salah bukan
saja tidak dikehendaki akan tetapi bahkan berbahaya.
Disebabkan
kepercayaan itu diperlukan, maka dalam kenyataan kita temui bentuk-bentuk
kepercayaan yang beraneka ragam di kalangan masyarakat. Karena bentuk- bentuk
kepercayaan itu berbeda satu dengan yang lain, maka sudah tentu ada dua
kemungkinan: kesemuanya itu salah atau salah satu saja diantaranya yang benar.
Disamping itu masing-masing bentuk kepercayaan mungkin mengandung unsur-unsur
kebenaran dan kepalsuan yang campur baur.
Sekalipun
demikian, kenyataan menunjukkan bahwa kepercayaan itu melahirkan nilai-nilai.
Nilai-nilai itu kemudian melembaga dalam tradis-tradisi yang diwariskan turun
temurun dan mengikat anggota masyarakat yang mendukungnya. Karena kecenderungan
tradisi untuk tetap mempertahankan diri terhadap kemungkinan perubahan
nilai-nilai, maka dalam kenyataan ikatan-ikatan tradisi sering menjadi
penghambat perkembangan peradaban dan kemajuan manusia. Disinilah terdapat
kontradiksi kepercayaan diperlukan sebagai sumber tatanilai guna menopang
peradaban manusia, tetapi nilai-nilai itu melembaga dalam tradisi yang membeku
dan mengikat, maka justru merugikan peradaban.
Oleh
karena itu, pada dasarnya, guna perkembangan peradaban dan kemajuannya, manusia
harus selalu bersedia meninggalkan setiap bentuk kepercayaan dan tata nilai
yang tradisional, dan menganut kepercayaan yang sungguh-sungguh yang merupakan
kebenaran. Maka satu-satunya sumber nilai dan pangkal nilai itu haruslah
kebenaran itu sendiri. Kebenaran merupakan asal dan tujuan segala kenyataan.
Kebenaran yang mutlak adalah Tuhan Allah.
Perumusan
kalimat persaksian (Syahadat) Islam yang kesatu : Tiada Tuhan selain Allah
mengandung gabungan antara peniadaan dan pengecualian. Perkataan "Tidak
ada Tuhan" meniadakan segala bentuk kepercayaan, sedangkan perkataan "Selain
Allah" memperkecualikan satu kepercayaan kepada kebenaran. Dengan peniadaan
itu dimaksudkan agar manusia membebaskan dirinya dari belenggu segenap
kepercayaan yang ada dengan segala akibatnya, dan dengan pengecualian itu
dimaksudkan agar manusia hanya tunduk pada ukuran kebenaran dalam menetapkan
dan memilih nilai - nilai, itu berarti tunduk pada Allah, Tuhan Yang Maha Esa,
Pencipta segala yang ada termasuk manusia. Tunduk dan pasrah itu disebut Islam.
Tuhan
itu ada, dan ada secara mutlak hanyalah Tuhan. Pendekatan ke arah pengetahuan
akan adanya Tuhan dapat ditempuh manusia dengan berbagai jalan, baik yang
bersifat intuitif, ilmiah, historis, pengalaman dan lain-lain. Tetapi karena kemutlakan
Tuhan dan kenisbian manusia, maka manusia tidak dapat menjangkau sendiri kepada
pengertian akan hakekat Tuhan yang sebenarnya. Namun demi kelengkapan
kepercayaan kepada Tuhan, manusia memerlukan pengetahuan secukupnya tentang
Ketuhanan dan tatanilai yang bersumber kepada-Nya. Oleh ebab itu diperlukan
sesuatu yang lain yang lebih tinggi namun tidak bertentangan dengan insting dan
indera.
Sesuatu
yang diperlukan itu adalah "Wahyu" yaitu pengajaran atau pemberitahuan
yang langsung dari Tuhan sendiri kepada manusia. Tetapi sebagaimana kemampuan
menerima pengetahuan sampai ketingkat yang tertinggi tidak dimiliki oleh setiap
orang, demikian juga wahyu tidak diberikan kepada setiap orang. Wahyu itu
diberikan kepada manusia tertentu yang memenuhi syarat dan dipilih oleh Tuhan
sendiri yaitu para Nabi dan Rasul atau utusan Tuhan. Dengan kewajiban para Rasul
itu untuk menyampaikannya kepada seluruh ummat manusia. Para rasul dan nabi itu
telah lewat dalam sejarah semenjak Adam, Nuh, Ibrahim, Musa,Isa atau Yesus anak
Mariam sampai pada Muhammad SAW. Muhammad adalah Rasul penghabisan, jadi tiada
Rasul lagi sesudahnya. Jadi para Nabi dan Rasul itu adalah manusia biasa dengan
kelebihan bahwa mereka menerima wahyu dari Tuhan.
Wahyu
Tuhan yang diberikan kepada Muhammad SAW terkumpul keseluruhnya dalam kitab
suci Al-Quran. Selain berarti bacaan, kata Al-Quran juga bearti "kumpulan"
atau kompilasi, yaitu kompilasi dari segala keterangan. Sekalipun garis-garis besar
Al-Quran merupakan suatu kompendium, yang singkat namun mengandung
keterangan-keterangan tentang segala sesuatu sejak dari sekitar alam dan
manusia sampai kepada hal-hal gaib yang tidak mungkin diketahui manusia dengan
cara lain (16:89).
Jadi
untuk memahami Ketuhanan Yang Maha Esa dan ajaran-ajaran-Nya, manusia harus
berpegang kepada Al-Quran dengan terlebih dahulu mempercayai ke-rasul-an
Muhammmad SAW. Maka kalimat kesaksian yang kedua memuat esensi kedua dari
kepercayaan yang harus dianut manusia, yaitu bahwa Muhammad adalah Rasul Allah.
Kemudian
di dalam Al-Quran dapat keterangan lebih lanjut tentang Ketuhanan Yang maha Esa
ajaran-ajaranNya yang merupakan garis besar dan jalan hidup yang mesti diikuti
oleh manusia. Tentang Tuhan antara lain: surat Al-Ikhlas (112: 1-4) menerangkan
secara singkat; katakanlah : "Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa. Dia itu
adalah Tuhan. Tuhan tempat menaruh segala harapan. Tiada Ia berputra dan tiada
pula berbapa”. Selanjutnya Ia adalah Maha Kuasa, Maha Mengetahui, Maha Adil,
Maha Bijaksana, Maha Kasih dan Maha Sayang, Maha Pengampun dan seterusnya
daripada segala sifat kesempurnaan yang selayaknya bagi Yang Maha Agung dan
Maha Mulia, Tuhan seru sekalian Alam.
Juga
diterangkan bahwa Tuhan adalah yang pertama dan yang penghabisan, Yang lahir
dan Yang Bathin (57:3), dan "kemanapun manusia berpaling maka disanalah
wajah Tuhan" (2:115). Dan "Dia itu bersama kamu kemanapun kamu berada"
(57:4). Jadi Tuhan tidak terikat ruang dan waktu. Sebagai "yang pertama
dan yang penghabisan", maka sekaligus Tuhan adalah asal dan tujuan segala
yang ada, termasuk tata nilai. Artinya; sebagaimana tata nilai harus bersumber
kepada kebenaran dan berdasarkan kecintaan kepadaNya, Iapun sekaligus menuju
kepada kebenaran dan mengarah kepada "persetujuan" atau
"ridhanya". Inilah kesatuan antara asal dan tujuan hidup yang
sebenarnya (Tuhan sebagai tujuan hidup yang benar, diterangkan dalam bagian
yang lain).
Tuhan
menciptakan alam raya ini dengan sebenarnya, dan mengaturnya dengan pasti
(6:73, 25:2). Oleh karena itu alam mempunyai eksistensi yang riil dan obyektif,
serta berjalan mengikuti hukum-hukum yang tetap. Dan sebagai ciptaan daripada
sebaik-baiknya penciptanya, maka alam mengandung kebaikan pada dirinya dan
teratur secara harmonis (23:14). Nilai ciptaan ini untuk manusia bagi keperluan
perkembangan peradabannya (31:20)). Maka alam dapat dan dijadikan obyek
penyelidikan guna dimengerti hukum-hukum Tuhan (sunnatullah) yang berlaku
didalamnya. Kemudian manusia memanfaatkan alam sesuai dengan hukumhukumnya sendiri
(10:101).
Jadi
kenyataan alam ini berbeda dengan persangkaan idealisme maupun agama Hindu yang
mengatakan bahwa alam tidak mempunyai eksistensi riil dan obyektif, melainkan
semua palsu atau maya atau sekedar emansipasi atau pancaran daripada dunia lain
yang kongkrit, yaitu idea atau nirwana (38:27). Juga tidak seperti dikatakan
filsafat Agnosticisme yang mengatakan bahwa alam tidak mungkin dimengerti
manusia. Dan sekalipun filsafat materialisme mengatakan bahwa alam ini
mempunyai eksistensi riil dan obyektif sehingga dapat dimengerti oleh manusia,
namun filsafat itu mengatakan bahwa alam ada dengan sendirinya. Peniadaan
pencipta ataupun peniadaan Tuhan adalah satu sudut daripada filsafat materialisme.
Manusia
adalah puncak ciptaan dan mahluk-Nya yang tertinggi (95:4, 17:70). Sebagai
mahluk tertinggi manusia dijadikan "Khalifah" atau wakil Tuhan di
bumi (6:165). Manusia ditumbuhkan dari bumi dan diserahi untuk memakmurkannya (11:61).
Maka urusan di dunia telah diserahkan Tuhan kepada manusia. Manusia sepenuhnya
bertanggungjawab atas segala perbuatannya di dunia. Perbuatan manusia ini
membentuk rentetan peristiwa yang disebut "sejarah". Dunia adalah wadah
bagi sejarah, dimana manusia menjadi pemilik atau "rajanya".
Sebenarnya
terdapat hukum-hukum Tuhan yang pasti (sunattullah) yang menguasai sejarah,
sebagaimana adanya hukum yang menguasai alam tetapi berbeda dengan alam yang
telah ada secara otomatis tunduk kepada sunatullah itu, manusia karena
kesadaran dan kemampuannya untuk mengadakan pilihan untuk tidak terlalu tunduk
kepada hukum-hukum kehidupannya sendiri (33:72). Ketidakpatuhan itu disebabkan
karena sikap menentang atau kebodohan.
Hukum
dasar alami daripada segala yang ada inilah "perubahan dan perkembangan",
sebab: segala sesuatu ini adalah ciptaan Tuhan dan pengembangan olehNya dalam
suatu proses yang tiada henti-hentinya (29:20). Segala sesuatu ini adalah
berasal dari Tuhan dan menuju kepada Tuhan. Maka satu-satunya yang tak mengenal
perubahan hanyalah Tuhan sendiri, asal dan tujuan segala sesuatu (28:88). Di
dalam memenuhi tugas sejarah, manusia harus berbuat sejalan dengan arus
perkembangan itu menunju kepada kebenaran. Hal itu berarti bahwa manusia harus
selalu berorientasi kepada kebenaran, dan untuk itu harus mengetahui jalan menuju
kebenaran itu (17:72). Dia tidak mesti selalu mewarisi begitu saja nilainilai tradisional
yang tidak diketahuinya dengan pasti akan kebenarannya (17:26).
Oleh
karena itu kehidupan yang baik adalah yang disemangati oleh iman dan diterangi
oleh ilmu (58:11). Bidang iman dan pencabangannya menjadi wewenang wahyu,
sedangkan bidang ilmu pengetahuan menjadi wewenang manusia untuk mengusahakan
dan mengumpulkannya dalam kehidupan dunia ini. Ilmu itu meliputi tentang alam
dan tentang manusia (sejarah).
Untuk
memperoleh ilmu pengetahuan tentang nilai kebenaran sejauh mungkin, manusia
harus melihat alam dan kehidupan ini sebagaimana adanya tanpa melekatkan
padanya kualitas-kualitas yang bersifat ketuhanan. Sebab sebagaimana diterangkan
dimuka, alam diciptakan dengan wujud yang nyata dan objektif sebagaimana
adanya. Alam tidak menyerupai Tuhan, dan Tuhan pun untuk sebagian atau
seluruhnya tidak sama dengan alam. Sikap memper-Tuhan-kan atau mensucikan
(sakralisasi) haruslah ditujukan kepada Tuhan sendiri. - Tuhan Allah Yang Maha
Esa (41:37).
Ini
disebut "Tauhid" dan lawannya disebut "syirik" artinya
mengadakan tandingan terhadap Tuhan, baik seluruhnya atau sebagian maka
jelasnya bahwa syirik menghalangi perkembangan dan kemajuan peradaban
kemanusiaan menuju kebenaran.
Kesudahan
sejarah atau kehidupan duniawi ini ialah "hari kiamat". Kiamat merupakan
permulaan bentuk kehidupan yang tidak lagi bersifat sejarah atau duniawi, yaitu
kehidupan akhirat. Kiamat disebut juga "hari agama", atau yaumuddin,
dimana Tuhan menjadi satu-satunya pemilik dan raja (1:4, 22:56, 40:16). Disitu
tidak lagi terdapat kehidupan historis, seperti kebebasan, usaha danmtata
masyarakat. Tetapi yang ada adalah pertanggunggan jawab individu manusia yang bersifat
mutlak dihadapan illahi atas segala perbuatannya dahulu didalam sejarah (2:48).
Selanjutnya kiamat merupakan "hari agama", maka tidak yang mungkin
kita ketahui selain daripada yang diterangkan dalam wahyu. Tentang hari kiamat
dan kelanjutannya / kehidupan akhirat yang non-historis manusia hanya diharuskan
percaya tanpa kemungkinan mengetahui kejadian-kejadiannya (7:187).
II. PENGERTIAN-PENGERTIAN DASAR TENTANG
KEMANUSIAAN
Telah
disebutkan di muka, bahwa manusia adalah puncak ciptaan, merupakan mahluk yang
tertinggi dan adalah wakil dari Tuhan di bumi. Sesuatu yang membuat manusia
yang menjadi manusia bukan hanya beberapa sifat atau kegiatan yang ada padanya,
melainkan suatu keseluruhan susunan sebagai sifat-sifat dan kegiatan-kegiatan yang
khusus dimiliki manusia saja yaitu Fitrah. Fitrah membuat manusia berkeinginan
suci dan secara kodrati cenderung kepada kebenaran (Hanief) (30:30).
"Dlamier" atau hati nurani adalah pemancar keinginan pada kebaikan, kesucian
dan kebenaran. Tujuan hidup manusia ialah kebenaran yang mutlak atau kebenaran
yang terakhir, yaitu Tuhan Yang Maha Esa (51:56, 3:156).
Fitrah
merupakan bentuk keseluruhan tentang diri manusia yang secara asasi dan
prinsipil membedakannya dari mahluk-mahluk yang lain. Dengan memenuhi hati nurani,
seseorang berada dalam fitrahnya dan menjadi manusia sejati.
Kehidupan
dinyatakan dalam kerja atau amal perbuatanya (19:105, 53:39). Nilai- nilai
tidak dapat dikatakan hidup dan berarti sebelum menyatakan diri dalam kegiatan-kegiatan
amaliah yang kongkrit (61:2-3). Nilai hidup manusia tergantung kepada nilai
kerjanya. Di dalam dan melalui amal perbuatan yang berperikemanusiaan (fitrah
sesuai dengan tuntutan hati nurani) manusia mengecap kebahagiaan, dan
sebaliknya di dalam dan melalui amal perbuatan yang tidak berperikemanusiaan
(jahad) ia menderita kepedihan (16:97, 4:111).
Hidup
yang penuh dan berarti ialah yang dijalani dengan sungguh-sungguh dan sempurna,
yang didalamnya manusia dapat mewujudkan dirinya dengan mengembangkan
kecakapan-kecakapan dan memenuhi keperluan-keperluannya. Manusia yang hidup
berarti dan berharga ialah dia yang merasakan kebahagiaan dan kenikmatan dalam
kegiatan-kegiatan yang membawa perubahan kearah kemajuan-kemajuan baik yang mengenai
alam maupun masyarakat yaitu hidup berjuang dalam arti yang seluas-luasnya
(29:6).
Dia
diliputi oleh semangat mencari kebaikan, keindahan dan kebenaran (4:125). Dia
menyerap segala sesuatu yang baru dan berharga sesuai dengan perkembangan
kemanusiaan dan menyatakan dalam hidup berperadaban dan berkebudayaan (39:18).
Dia adalah aktif, kreatif dan kaya akan kebijaksanaan (wisdom, hikmah) (2:269).
Dia berpengalaman luas, berpikir bebas, berpandangaN lapang dan terbuka,
bersedia mengikuti kebenaran dari manapun datangnya 6:125). Dia adalah manusia
toleran dalam arti kata yang benar, penahan amarah dan pemaaf (3:134).
Keutamaan itu merupakan kekayaan manusia yang menjadi milik daripada
pribadi-pribadi yang senantiasa berkembang dan selamanya tumbuh kearah yang
lebih baik.
Baginya
tidak ada pembagian dua (dichotomy) antara kegiatan-kegiatan rohani dan
jasmani, pribadi dan masyarakat, agama dan politik maupun dunia akhirat.
Kesemuanya dimanifestasikan dalam suatu kesatuan kerja yang tunggal pancaran
niatnya, yaitu mencari kebaikan, keindahan dan kebenaran (98:5).
Dia
seorang yang ikhlas, artinya seluruh amal perbuatannya benar-benar berasal dari
dirinya sendiri dan merupakan pancaran langsung dari pada kecenderungannya yang
suci yang murni (2:207, 76:89). Suatu pekerjaan dilakukan karena keyakinan akan
nilai pekerjaan itu sendiri bagi kebaikan dan kebenaran, bukan karena hendak
memperoleh tujuan lain yang nilainya lebih rendah (pamrih) (2:264). Kerja yang
ikhlas mengangkat nilai kemanusiaan pelakunya dan memberinya kebahagiaan
(35:10). Hal itu akan menghilangkan sebab-sebab suatu jenis pekerjaan ditinggalkan
dan kerja amal akan menjadi kegiatan kemanusiaan yang paling berharga.
Keikhlasan adalah kunci kebahagiaan hidup manusia, tidak ada kebahagiaan sejati
tanpa keikhlasan dan keikhlasan selalu menimbulkan kebahagiaan.
Hidup
fitrah ialah bekerja secara ikhlas yang memancarkan dari hati nurani yang
hanief atau suci.
III. KEMERDEKAAN
MANUSIA (IKHTIAR) DAN KEHARUSAN UNIVERSAL (TAKDIR)
Keikhlasan
yang insani itu tidak mungkin ada tanpa kemerdekaan. Kemerdekaan dalam arti
kerja sukarela tanpa paksaan, yang didorong oleh kemauan yang murni,
kemerdekaan dalam pengertian kebebasan memilih sehingga pekerjaan itu
benar-benar dilakukan sejalan dengan hati nurani. Keikhlasan merupakan
pernyataan kreatif kehidupan manusia yang berasal dari perkembangan tak terkekang
daripada kemauan baiknya. Keikhlasan adalah gambaran terpenting daripada
kehidupan manusia sejati. Kehidupan sekarang di dunia dan abadi (external)
berupa kehidupan kelak sesudah mati di akhirat. Dalam aspek pertama manusia
melakukan amal perbuatan dengan baik dan buruk yang harus dipikul secara
individual, dan komunal sekaligus (8:25). Sedangkan dalam aspek kedua manusia
tidak lagi melakukan amal perbuatan, melainkan hanya menerima akibat baik dan
buruk dari amalnya dahulu di dunia secara individual. Di akhirat tidak terdapat
pertanggung jawaban bersama, tapi hanya ada pertanggung jawaban perseorangan
yang mutlak (2:48, 31:33). Manusia dilahirkan sebagai individu, hidup ditengah
alam dan masyarakat sesamanya, kemudian menjadi individu kembali.
Jadi
individualitas adalah pernyataan asasi yang pertama dan terakhir, dari pada
kemanusiaan, serta letak kebenarannya daripada nilai kemanusiaan itu sendiri.
Karena individu adalah penanggung jawab terakhir dan mutlak daripada awal
perbuatannya, maka kemerdekaan pribadi, adalah haknya yang pertama dan asasi.
Tetapi
individualitas hanyalah pernyataan yang asasi dan primer saja dari pada
kemanusiaan. Kenyataan lain, sekalipun bersifat sekunder, ialah bahwa individu
dalam suatu hubungan tertentu dengan dunia sekitarnya. Manusia hidup ditengah
alam sebagai makhluk sosial hidup ditengah sesama. Dari segi ini manusia adalah
bagian dari keseluruhan alam yang merupakan satu kesatuan.
Oleh
karena itu kemerdekaan harus diciptakan untuk pribadi dalam kontek hidup
ditengah masyarakat. Sekalipun kemerdekaan adalah esensi daripada kemanusiaan,
tidak berarti bahwa manusia selalu dan dimana saja merdeka. Adanya batas-batas
dari kemerdekaan adalah suatu kenyataan. Batas-batas tertentu itu dikarenakan
adanya hukum-hukum yang pasti dan tetap menguasai alam , hukum yang menguasai
benda-benda maupun masyarakat manusia sendiri yang tidak tunduk dan tidak pula
bergantung kepada kemauan manusia. Hukum-hukum itu mengakibatkan adanya "keharusan
universal" atau "kepastian umum" dan “takdir” (57:22).
Jadi
kalau kemerdekaan pribadi diwujudkan dalam kontek hidup di tengah alam dan
masyarakat dimana terdapat keharusan universal yang tidak tertaklukan, maka
apakah bentuk yang harus dipunyai oleh seseorang kepada dunia sekitarnya? Sudah
tentu bukan hubungan penyerahan, sebab penyerahan berarti peniadaan terhadap
kemerdekaan itu sendiri. Pengakuan akan adanya keharusan universal yang
diartikan sebagai penyerahan kepadanya sebelum suatu usaha dilakukan berarti
perbudakan. Pengakuan akan adanya kepastian umum atau takdir hanyalah pengakuan
akan adanya batas-batas kemerdekaan. Sebaliknya suatu persyaratan yang positif
daripada kemerdekaan adalah pengetahuan tentang adanya kemungkinan-kemungkinan
kreatif manusia. Yaitu tempat bagi adanya usaha yang bebas dan dinamakan
"ikhtiar" artinya pilih merdeka.
Ikhtiar
adalah kegiatan kemerdekaan dari individu, juga berarti kegiatan dari manusia
merdeka. Ikhtiar merupakan usaha yang ditentukan sendiri dimana manusia berbuat
sebagai pribadi banyak segi yang integral dan bebas; dan dimana manusia tidak
diperbudak oleh suatu yang lain kecuali oleh keinginannya sendiri dan
kecintaannya kepada kebaikan. Tanpa adanya kesempatan untuk berbuat atau berikhtiar,
manusia menjadi tidak merdeka dan menjadi tidak bisa dimengerti untuk
memberikan pertanggung jawaban pribadi dari amal perbuatannya. Kegiatan merdeka
berarti perbuatan manusia yang merubah dunia dan nasibnya sendiri (13:11). Jadi
sekalipun terdapat keharusan universal atau takdir manusia dengan haknya untuk
berikhtiar mempunyai peranan aktif dan menentukan bagi dunia dan dirinya
sendiri.
Manusia
tidak dapat berbicara mengenai takdir suatu kejadian sebelum kejadian itu
menjadi kenyataan. Maka percaya kepada takdir akan membawa keseimbangan jiwa
tidak terlalu berputus asa karena suatu kegagalan dan tidak perlu membanggakan
diri karena suatu kemunduran. Sebab segala sesuatu tidak hanya terkandung pada
dirinya sendiri, melainkan juga kepada keharusan yang universal itu (57:23).
IV. KETUHANAN
YANG MAHA ESA DAN PERIKEMANUSIAAN
Telah
jelas bahwa hubungan yang benar antara individu manusia dengan dunia sekitarnya
bukan hubungan penyerahan. Sebab penyerahan meniadakan kemerdekaan dan
keikhklasan dan kemanusiaan. Tetapi jelas pula bahwa tujuan manusia hidup
merdeka dengan segala kegiatannya ialah kebenaran. Oleh karena itu sekalipun
tidak tunduk pada sesuatu apapun dari dunia sekelilingnya, namun manusia
merdeka masih dan mesti tunduk kepada kebenaran. Karena menjadikan sesuatu
sebagai tujuan adalah berarti pengabdian kepada-Nya.
Jadi
kebenaran-kebenaran menjadi tujuan hidup dan apabila demikian maka sesuai
dengan pembicaraan terdahulu maka tujuan hidup yang terakhir dan mutlak ialah
kebenaran terakhir dan mutlak sebagai tujuan dan tempat menundukkan diri. Adakah
kebenaran terakhir dan mutlak itu? Ada, sebagaimana tujuan akhir dan mutlak
daripada hidup itu ada. Karena sikapnya yang terakhir (ultimate) dan mutlak
maka sudah pasti kebenaran itu hanya satu secara mutlak pula.
Dalam perbendaharaan kata dan kulturiil, kita
sebut kebenaran mutlak itu "Tuhan", kemudian sesuai dengan uraian Bab
I, Tuhan itu menyatakan diri kepada manusia sebagai Allah (31:30). Karena
kemutlakannya, Tuhan bukan saja tujuan segala kebenaran (3:60). Maka dia adalah
Yang Maha Benar. Setiap pikiran yang maha benar adalah pada hakikatnya pikiran
tentang Tuhan Yang Maha Esa.
Oleh
sebab itu seseorang manusia merdeka ialah yang ber-ketuhanan Yang Maha Esa.
Keiklasan tiada lain adalah kegiatan yang dilakukan semata-mata bertujuan
kepada Tuhan Yang Maha Esa, yaitu kebenaran mutlak, guna memperoleh persetujuan
atau "ridho" daripada-Nya. Sebagaimana kemanusiaan terjadi karena adanya
kemerdekaan dan kemerdekaan ada karena adanya tujuan kepada Tuhan semata-mata.
Hal itu berarti segala bentuk kegiatan hidup dilakukan hanyalah karena nilai
kebenaran itu yang terkandung didalamnya guna mendapat pesetujuan atau ridho
kebenaran mutlak. Dan hanya pekerjaan "karena Allah" itulah yang
bakal memberikan rewarding bagi kemanusiaan (92:19-21).
Kata
"iman" berarti percaya dalam hal ini percaya kepada Tuhan sebagai tujuan
hidup yang mutlak dan tempat mengabdikan diri kepada-Nya. Sikap menyerahkan
diri dan mengabdi kepada Tuhan itu disebut Islam. Islam menjadi nama segenap ajaran
pengabdian kepada Tuhan Yang Maha Esa (3:19). Pelakunya disebut "Muslim".
Tidak lagi diperbudak oleh sesama manusia atau sesuatu yang lain dari dunia
sekelilingnya, manusia muslim adalah manusia yang merdeka yang menyerahkan dan
menyembahkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa (33:39). Semangat tauhid (memutuskan
pengabdian hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa) menimbulkan kesatuan tujuan hidup,
kesatuan kepribadian dan kemasyarakatan. Kehidupan bertauhid tidak lagi berat
sebelah, parsial dan terbatas. Manusia bertauhid adalah manusia yang sejati dan
sempurna yang kesadaran akan dirinya tidak mengenal batas.
Dia
adalah pribadi manusia yang sifat perorangannya adalah keseluruhan (totalitas)
dunia kebudayaan dan peradaban. Dia memiliki seluruh dunia ini dalam arti kata
mengambil bagian sepenuh mungkin dalam menciptakan dan menikmati kebaikan-kebaikan
dan peradaban kebudayaan.
Pembagian
kemanusiaan yang tidak selaras dengan dasar kesatuan kemanusiaan (human
totality) itu antara lain ialah pemisahan antara eksistensi ekonomi dan moral
manusia, antara kegiatan duniawi dan ukhrowi antara tugas-tugas peradaban dan
agama. Demikian pula sebaliknya, anggapan bahwa manusia adalah tujuan pada
dirinya membela kemanusiaan seseorang menjadi: manusia sebagai pelaku kegiatan
dan manusia sebagai tujuan kegiatan. Kepribadian yang pecah berlawanan dengan
kepribadian kesatuan (human totality) yang homogen dan harmonis pada dirinya
sendiri: jadi berlawanan dengan kemanusiaan.
Oleh
karena hakikat hidup adalah amal perbuatan atau kerja, maka nilai-nilai tidak
dapat dikatakan ada sebelum menyatakan diri dalam kegiatan-kegiatan konkrit dan
nyata (26:226). Kecintaan kepada Tuhan sebagai kebaikan, keindahan dan
kebenaran yang mutlak dengan sendirinya memancar dalam kehidupan seharihari dalam
hubungannya dengan alam dan masyarakat, berupa usaha-usaha yang nyata guna
menciptakan sesuatu yang membawa kebaikan, keindahan dan kebenaran bagi sesama
manusia "amal saleh" (harfiah: pekerjaan yang selaras dengan
kemanusiaan) merupakan pancaran langsung daripada iman (lihat Qur’an: aamanu
wa’amilushshaalihaat, tidak kurang dari 50 kali pengulangan kombinasi
kata).
Jadi
Ketuhanan Yang Maha Esa memancar dalam perikemanusiaan. Sebaliknya karena kemanusiaan
adalah kelanjutan kecintaan kepada kebenaran maka tidak ada perikemanusiaan
tanpa Ketuhanan Yang Maha Esa. Perikemanusiaan tanpa Ketuhanan adalah tidak
sejati (24:39). Oleh karena itu semangat Ketuhanan Yang Maha Esa dan semangat mencari
ridho daripada-Nya adalah dasar peradaban yang benar dan kokoh. Dasar selain
itu pasti goyah dan akhirnya membawa keruntuhan peradaban (9:109).
Syirik
merupakan kebalikan dari tauhid, secara harafiah artinya mengadakan tandingan,
dalam hal ini kepada Tuhan. Syirik adalah sifat menyerah dan menghambakan diri
kepada sesuatu selain kebenaran baik kepada sesama manusia maupun alam. Karena
sifatnya yang meniadakan kemerdekaan asasi, syirik merupakan kejahatan terbesar
kepada kemanusiaan (31:13). Pada hakikatnya segala bentuk kejahatan dilakukan
orang karena syirik (6:82). Sebab dalam melakukan kejahatan itu dia
menghambakan diri kepada motif yang mendorong dilakukannya kejahatan tersebut
yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kebenaran. Demikian pula karena syirik
seseorang mengadakan pamrih atas pekerjaan yang dilakukannya (Hadist, “sesunggunya
sesuatu yang paling aku khawatirkan menimpa kamu sekalian adalah syirik
kecil, yaitu riya - pamrih”. Rawahu Ahmad, hadist hasan). Dia bekerja bukan
karena nilai pekerjaan itu sendiri dalam hubungannya dengan kebaikan, keindahan
dan kebenaran, tetapi karena hendak memperoleh sesuatu yang lain.
Musyrik
adalah pelaku daripada syirik. Seseorang yang menghambakan diri kepada sesuatu
selain Tuhan baik manusia maupun alam disebut musyrik, sebab dia mengangkat
sesuatu selain Tuhan menjadi setingkat dengan Tuhan (3:64). Demikian pula
seseorang yang menghambakan (sebagaimana dengan tiran atau diktator) adalah
musyrik, sebab dia mengangkat dirinya sendiri setingkat dengan Tuhan (28:4).
Kedua perlakuan itu merupakan penentang terhadap kemanusiaan, baik bagi dirinya
sendiri maupun kepada orang lain.
Maka
sikap berperikemanusiaan adalah sikap yang adil, yaitu sikap menempatkan
sesuatu kepada tempatnya yang wajar, seseorang yang adil (wajar) ialah yang
memandang manusia. Tidak melebihkan sehingga menghambakan dirinya kepada-Nya.
Dia selau menyimpan itikad baik dan lebih baik (ikhsan). Maka ketuhanan
menimbulkan sikap yang adil kepada sesama manusia (16:90).
V. INDIVIDU DAN MASYARAKAT
Telah
diterangkan dimuka, bahwa pusat kemanusiaan adalah masing-masing pribadinya dan
bahwa kemerdekaan pribadi adalah hak asasinya yang pertama. Tidak sesuatu yang
lebih berharga daripada kemerdekaan itu. Juga telah dikemukakan bahwa manusia
hidup dalam suatu bentuk hubungan tertentu dengan dunia sekitarnya, sebagai
mahkluk sosial, manusia tidak mungkin memenuhi kebutuhan kemanusiaannya dengan
baik tanpa berada ditengah sesamanya dalam bentuk-bentuk hubungan tertentu.
Maka
dalam masyarakat itulah kemerdekaan asasi diwujudkan. Justru karena adanya
kemerdekaan pribadi itu maka timbul perbedaan-perbedaan antara suatu pribadi
dengan lainnya (43:32). Sebenarnya perbedaan-perbedaan itu adalah untuk
kebaikannya sendiri: sebab kenyataan yang penting dan prinsipil, ialah bahwa
kehidupan ekonomi, sosial, dan kultural menghendaki pembagian kerja yang
berbeda-beda (5:48).
Pemenuhan
suatu bidang kegiatan guna kepentingan masyarakat adalah suatu keharusan,
sekalipun hanya oleh sebagian anggotanya saja (92:4). Namun sejalan dengan
prinsip kemanusiaan dan kemerdekaan, dalam kehidupan yang teratur tiaptiap
orang harus diberi kesempatan untuk memilih dari beberapa kemungkinan dan untuk
berpindah dari satu lingkungan ke lingkungan lainnya (17:84, 39:39).
Peningkatan kemanusiaan tidak dapat terjadi tanpa memberikan kepada setiap
orang keleluasaan untuk mengembangkan kecakapannya melalui aktifitas dan kerja
yang sesuai dengan kecenderungannya dan bakatnya.
Namun
inilah kontradiksi yang ada pada manusia dia adalah mahkluk yang sempurna
dengan kecerdasan dan kemerdekaannya dapat berbuat baik kepada sesamanya,
tetapi pada waktu yang sama ia merasakan adanya pertentangan yang konstan dan
keinginan tak terbatas sebagai hawa nafsu. Hawa nafsu cenderung kearah
merugikan orang lain (kejahatan) dan kejahatan dilakukan orang karena mengikuti
hawa nafsu (12:53, 30:29).
Ancaman
atas kemerdekaan masyarakat, dan karena itu juga berarti ancaman terhadap
kemerdekaan pribadi anggotanya ialah keinginan tak terbatas atau hawa nafsu
tersebut, maka selain kemerdekaan, persamaan hak antara sesama manusia adalah
esensi kemanusiaan yang harus ditegakkan. Realisasi persamaan dicapai dengan
membatasi kemerdekaan. Kemerdekaan tak terbatas hanya dapat dipunyai satu
orang, sedangkan untuk lebih satu orang, kemerdekaan tak terbatas tidak
dilaksanakan dalam waktu yang bersamaan, kemerdekaan seseorang dibatasi oleh
kemerdekaan orang lain. Pelaksanaan kemerdekaan tak terbatas hanya berarti
pemberian kemerdekaan kepada pihak yang kuat atas yang lemah (perbudakan dalam
segala bentuknya), sudah tentu hak itu bertentangan dengan prinsip keadilan.
Kemerdekaan dan keadilan merupakan dua nilai yang saling menopang. Sebab harga
diri manusia terletak pada adanya hak bagi orang lain untuk mengembangkan
kepribadiannya. Sebagai kawan hidup dengan tingkat yang sama. anggota
masyarakat harus saling menolong dalam membentuk masyarakat yang bahagia (5:2).
Sejarah
dan perkembangannya bukanlah suatu yang tidak mungkin dirubah. Hubungan yang
benar antara manusia dengan sejarah bukanlah penyerahan pasif. Tetapi sejarah
ditentukan oleh manusia sendiri. Tanpa pengertian ini adanya azab Tuhan (akibat
buruk) dan pahala (akibat baik) bagi satu amal perbuatan mustahil ditanggung
manusia (99:7-8). Manusia merasakan akibat amal perbuatannya sesuai dengan
ikhtiar. Dalam hidup ini (dalam sejarah) dalam hidup kemudian sesudah sejarah
(9:74, 16:30). Semakin seseorang bersungguh-sungguh dalam kekuatan yang
bertanggung jawab dengan kesadaran yang terus menerus akan tujuan dalam
membentuk masyarakat semakin ia mendekati tujuan (29:69).
Manusia
mengenali dirinya sebagai makhluk yang nilai dan martabatnya dapat sepenuhnya
dinyatakan, jika ia mempunyai kemerdekaan tidak saja mengatur hidupnya sendiri
tetapi juga untuk memperbaiki dengan sesama manusia dalam lingkungan
masyarakat. Dasar hidup gotong-royong ini ialah keistimewaan dan kecintaan
sesama manusia dalam pengakuan akan adanya persamaan dan kehormatan bagi setiap
orang (49:13, 49:10).
VI. KEADILAN SOSIAL DAN KEADILAN EKONOMI
Telah
kita bicarakan tentang hubungan antara individu dengan masyarakat dimana
kemerdekaan dan pembatas kemerdekaan saling bergantungan, dan dimana perbaikan kondisi
masyarakat tergantung pada perencanaan manusia dan usahausaha bersamanya. Jika
kemerdekaan dicirikan dalam bentuk yang tidak bersyarat (kemerdekaan tak
terbatas) maka sudah terang bahwa setiap orang diperbolehkan mengejar dengan
bebas segala keinginan pribadinya.
Akibatnya
pertarungan keinginan yang bermacam-macam itu satu sama lain dalam kekacauan
atau anarchi (92:8-10). Sudah barang tentu menghancurkan masyarakat dan
meniadakan kemanusiaan sebab itu harus ditegakkan keadilan dalam masyarakat
(5:8). Siapakah yang harus menegakkan keadilan, dalam masyarakat? Sudah barang
pasti ialah masyarakat sendiri, tetapi dalam prakteknya diperlukan adanya satu
kelompok dalam masyarakat yang karena kualitas-kualitas yang dimilikinya
senantiasa mengadakan usaha-usaha menegakkan keadilan itu dengan jalan selalu
menganjurkan sesuatu yang bersifat kemanusiaan serta mencegah terjadinya
sesuatu yang berlawanan dengan kemanusiaan (2:104).
Kualitas
terpenting yang harus dipunyainya, ialah rasa kemanusiaan yang tinggi sebagai
pancaran kecintaan yang tak terbatas pada Tuhan. Di samping itu diperlukan
kecakapan yang cukup. Kelompok orang-orang itu adalah pimpinan masyarakat; atau
setidak-tidaknya mereka adalah orang-orang yang seharusnya memimpin masyarakat.
Memimpin adalah menegakkan keadilan, menjaga agar setiap orang memperoleh hak
asasinya, dan dalam jangka waktu yang sama menghormati kemerdekaan orang lain
dan martabat kemanusiaannya sebagai manifestasi kesadarannya akan tanggung
jawab sosial.
Negara
adalah bentuk masyarakat yang terpenting, dan pemerintah adalah susunan
masyarakat yang terkuat dan berpengaruh. Oleh sebab itu pemerintah yang pertama
berkewajiban menegakkan kadilan. Maksud semula dan fundamental daripada
didirikannya negara dan pemerintah ialah guna melindungi manusia yang menjadi
warga negara daripada kemungkinan perusakkan terhadap kemerdekaan dan harga
diri sebagai manusia sebaliknya setiap orang mengambil bagian pertanggungjawaban
dalam masalah-masalah atas dasar persamaan yang diperoleh melalui demokrasi.
Pada
dasarnya masyarakat dengan masing-masing pribadi yang ada didalamnya haruslah
memerintah dan memimpin diri sendiri (Hadist: “kullukum raain
wakullukum mas uulun ‘an raiyyatih” -Bukhari & Muslim). Oleh karena itu
pemerintah haruslah merupakan kekuatan pimpinan yang lahir dari masyarakat sendiri.
Pemerintah haruslah demokratis, berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk
rakyat, menjalankan kebijaksanaan atas persetujuan rakyat berdasarkan musyawarah
dan dimana keadilan dan martabat kemanusiaan tidak terganggu (42:28, 42:42).
Kekuatan yang sebenarnya didalam negara ada ditangan rakyat, dan pemerintah
harus bertanggung jawab pada rakyat.
Menegakkan
keadilan mencakup penguasaan atas keinginan-keinginan dan kepentingan-kepentingan
pribadi yang tak mengenal batas (hawa nafsu). Adalah kewajiban dari negara
sendiri dan kekuatan-kekuatan sosial untuk menjunjung tinggi prinsip
kegotongroyongan dan kecintaan sesama manusia. Menegakkan keadilan adalah
amanat rakyat kepada pemerintah yang musti dilaksanakan (4:58). Ketaatan rakyat
kepada pemerintah yang adil merupakan ketaatan kepada diri sendiri yang wajib
dilaksanakan. Didasari oleh sikap hidup yang benar, ketaatan kapada pemerintah
termasuk dalam lingkungan ketaatan kepada Tuhan (Kebenaran Mutlak) dan Rasulnya
(pengajar tentang Kebenaran) (4:59). Pemerintah yang benar dan harus ditaati
ialah mengabdi kepada kemanusiaan, kebenaran dan akhirnya kepada Tuhan Yang
Maha Esa (5:45).
Perwujudan
menegakkan keadilan yang terpenting dan berpengaruh ialah menegakkan keadilan
di bidang ekonomi atau pembagian kekeyaan diantara anggota masyarakat. Keadilan
menuntut agar setiap orang dapat bagian yang wajar dari kekayaan atau rejeki.
Dalam masyarakat yang tidak mengenal batas-batas individual, sejarah merupakan
perjuangan dialektis yang berjalan tanpa kendali dari pertentangan-pertentangan
golongan yang didorong oleh ketidakserasian antara pertumbuhan kekuatan
produksi disatu pihak dan pengumpulan kekayaan oleh golongan-golongan kecil
dengan hak-hak istimewa dilain pihak (57:20). Karena kemerdekaan tak terbatas
mendorong timbulnya jurang-jurang pemisah antara kekayaan dan kemiskinan yang
semakin dalam. Proses selanjutnya yaitu bila sudah mencapai batas maksimal -
pertentangan golongan itu akan menghancurkan sendi-sendi tatanan sosial dan
membinasakan kemanusiaan dan peradabannya (17:16).
Dalam
masyarakat yang tidak adil, kekeyaan dan kemiskinan akan terjadi dalam kualitas
dan proporsi yang tidak wajar sekalipun realitas selalu menunjukkan perbedaan-perbedaan
antara manusia dalam kemampuan fisik maupun mental namun dalam kemiskinan dalam
masyarakat dengan pemerintah yang tidak menegakkan keadilan adalah keadilan
yang merupakan perwujudan dari kezaliman. Orang-orang kaya menjadi pelaku
daripada kezaliman sedangkan orang-orang miskin dijadikan sasaran atau
korbannya. Oleh karena itu sebagai yang menjadi sasaran kezaliman, orang-orang
miskin berada dipihak yang benar. Pertentangan antara kaum miskin menjadi
pertentangan antara kaum yang menjalankan kezaliman dan yang dizalimi. Dikarenakan
kebenaran pasti menang terhadap kebhatilan, maka pertentangan itu disudahi
dengan kemenangan tak terhindar bagi kaum miskin, kemudian mereka memegang
tampuk pimpinan dalam masyarakat (4:160-161, 26:182-183, 2:279, 28:5).
Kejahatan
di bidang ekonomi yang menyeluruh adalah penindasan oleh kapitalisme. Dengan
kapitalisme dengan mudah seseorang dapat memeras orangorang yang berjuang
mempertahankan hidupnya karena kemiskinan, kemudian merampas hak-haknya secara
tidak sah, berkat kemampuannya untuk memaksakan persyaratan kerjanya dan hidup
kepada mereka. Oleh karena itu menegakkan keadilan mencakup pemberantasan
kapitalisme dan segenap usaha akumulasi kekayaan pada sekelompok kecil
masyarakat (2:278-279). Sesudah syirik, kejahatan terbesar kepada kemanusiaan
adalah penumpukan harta kekayaan beserta penggunaanya yang tidak benar,
menyimpang dari kepentingan umum, tidak mengikuti jalan Tuhan (104:1-3). Maka
menegakkan keadilan inilah membimbing manusia ke arah pelaksanaan tata
masyarakat yang akan memberikan kepada setiap orang kesempatan yang sama untuk
mengatur hidupnya secara bebas dan terhormat (amar ma'ruf) dan pertentangan
terus menerus terhadap segala bentuk penindasan kepada manusia kepada kebenaran
asasinya dan rasa kemanusiaan (nahi munkar). Dengan perkataan lain harus
diadakan restriksi-restriksi atau caracara memperoleh, mengumpulkan dan
menggunakan kekayaan itu. Cara yang tidak bertentangan dengan kamanusiaan
diperbolehkan (yang ma'ruf dihalalkan) sedangkan cara yang bertentangan dengan
kemanusiaan dilarang (yang munkar diharamkan) (3:110).
Pembagian
ekonomi secara tidak benar itu hanya ada dalam suatu masyarakat yang tidak menjalankan
prisip Ketuhanan YME, dalam hal ini pengakuan berketuhanan Yang Maha Esa tetapi
tidak melaksanakannya sama nilainya dengan tidak berketuhanan sama sekali.
Sebab nilai-nilai yang tidak dapat dikatakan hidup sebelum menyatakan diri
dalam amal perbuatan yang nyata (61:2-3).
Dalam
suatu masyarakat yang tidak menjadikan Tuhan sebagai satu-satunya tempat tunduk
dan menyerahkan diri, manusia dapat diperbudaknya antara lain oleh harta benda.
Tidak lagi seorang pekerja menguasai hasil pekerjaanya, tetapi justru dikuasai
oleh hasil pekerjaan itu. Produksi seorang buruh memperbesar kapital majikan
dan kapital itu selanjutnya lebih memperbudak buruh. Demikian pula terjadi pada
majikan bukan ia menguasai kapital tetapi kapital itulah yang menguasainya.
Kapital atau kekayaan telah menggenggam dan memberikan sifatsifat tertentu
seperti keserakahan, ketamakan dan kebengisan.
Oleh
karena itu menegakkan keadilan bukan saja dengan amar ma'ruf nahi munkar
sebagaimana diterapkan dimuka, tetapi juga melalui pendidikan yang intensif
terhadap pribadi-pribadi agar tetap mencintai kebenaran dan menyadari secara
mendalam akan andanya tuhan. Sembahyang merupakan pendidikan yang kontinyu,
sebagai bentuk formil peringatan kepada tuhan. Sembahyang yang benar akan lebih
efektif dalam meluruskan dan membetulkan garis hidup manusia. Sebagaimana ia
mencegah kekejian dan kemungkaran (29:45). Jadi sembah yang merupakan penopang
hidup yang benar (Hadist: “sembahyang adalah tiang agama. Barangsiapa
mengerjakannya berarti menegakkan agama. Barangsiapa meninggalkannya
berarti merobohkan agama” -Baihaqi). Sembahyang menyelesaikan masalah -
masalah kehidupan, termasuk pemenuhan kebutuhan yang ada secara instrinsik pada
rohani manusia yang mendalam, yaitu kebutuhan sepiritual berupa pengabdian yang
bersifat mutlak (31:30). Pengabdian yang tidak tersalurkan secara benar kepada
tuhan Yang Maha Esa tentu tersalurkan kearah sesuatu yang lain. Dan
membahayakan kemanusiaan. Dalam hubungan itu telah terdahulu keterangan tentang
syirik yang merupakan kejahatan fundamental terhadap kemanusiaan.
Dalam
masyarakat yang adil mungkin masih terdapat pembagian manusia menjadi golongan
kaya dan miskin. Tetapi hal itu terjadi dalam batas-batas kewajaran dan
kemanusian dengan pertautan kekayaan dan kemiskinan yang mendekat. Hal itu
sejalan dengan dibenarkannya pemilikan pribadi (private ownership) atas harta
kekayaan dan adanya perbedaan - perbedaan tak terhindar dari pada kemampuan -
kemampuan pribadi, fisik maupun mental (30:37).
Walaupun
demikian usaha - usaha kearah perbaikan dalam pembagian rejeki ke arah yang
merata tetap harus dijalankan oleh masyarakat. Dalam hal ini zakat adalah penyelesaian
terakhir masalah perbedaan kaya dan miskin itu. Zakat dipungut dari orang -
orang kaya dalam jumlah presentase tertentu untuk dibagikan kepada orang miskin
(9:60). Zakat dikenakan hanya atas harta yang diperoleh secara benar, sah, dan
halal saja. Sedang harta kekayaan yang haram tidak dikenakan zakat tetapi harus
dijadikan milik umum guna manfaat bagi rakyat dengan jalan penyitaan oleh
pemerintah. Oleh karena itu, sebelum penarikan zakat dilakukan terlebih dahulu
harus dibentuk suatu masyarakat yang adil berdasarkan ketuhanan Tuhan Yang Maha
Esa, dimana tidak lagi didapati cara memperoleh kekayaan secara haram, dimana
penindasan atas manusia oleh manusia dihapuskan (2:188).
Sebagaimana
ada ketetapan tentang bagaimana harta kekayaan itu diperoleh, juga ditetapkan
bagaimana mempergunakan harta kekayaan itu. Pemilikan pribadi dibenarkan hanya
jika hanya digunakan hak itu tidak bertentangan, pemilikan pribadi menjadi
batal dan pemerintah berhak mengajukan konfiskasi.
Seorang
dibenarkan mempergunakan harta kekayaan dalam batas-batas tertentu, yaitu dalam
batas tidak kurang tetapi juga tidak melebihi rata-rata penggunaan dalam
masyarakat (25:67). Penggunaan yang berlebihan (tabzier atau israf)
bertentangan dengan perikemanusiaan (17:26-27). Kemewahan selalu menjadi
provokasi terhadap pertentangan golongan dalam masyarakat membuat akibat
destruktif (17:16). Sebaliknya penggunaan kurang dari rata-rata masyarakat (taqti)
merusakkan diri sendiri dalam masyarakat disebabkan membekunya sebagian dari
kekayaan umum yang dapat digunakan untuk manfaat bersama (47:38).
Hal
itu semuanya merupakan kebenaran karena pada hakekatnya seluruh harta kekayaan
ini adalah milik Tuhan (10:55). Manusia seluruhnya diberi hak yang sama atas
kekayaan itu dan harus diberikan bagian yang wajar dari padanya (7:10).
Pemilikan
oleh seseorang (secara benar) hanya bersifat relatif sebagai mana amanat dari
Tuhan. Penggunaan harta itu sendiri harus sejalan dengan yang dikehendaki
tuhan, untuk kepentingan umum (57:7). Maka kalau terjadi kemiskinan, orang -
orang miskin diberi hak atas sebagian harta orang - orang kaya, terutama yang
masih dekat dalam hubungan keluarga (70:24-25). Adalah kewajiban negara dan
masyarakat untuk melindungi kehidupan keluarga dan memberinya bantuan dan
dorongan. Negara yang adil menciptakan persyaratan hidup yang wajar sebagaimana
yang diperlukan oleh pribadi-pribadi agar diandan keluarganya dapat mengatur
hidupnya secara terhormat sesuai dengan kainginan-keinginannya untuk dapat
menerima tanggungjawab atas kegiatan-kegiatnnya. Dalam prakteknya, hal itu
berarti bahwa pemerintah harus membuka jalan yang mudah dan kesempatan yang
sama kearah pendidikan, kecakapan yang wajar kemerdekaan beribadah sepenuhnya
dan pembagian kekayaan bangsa yang pantas.
VII. KEMANUSIAAN DAN ILMU PENGETAHUAN
Dari
seluruh uraian yang telah di kemukakan, dapatlah disimpulkan dengan pasti bahwa
inti dari pada kemanusiaan yang suci adalah Iman dan kerja kemanusiaan atau
Amal Saleh (95:6).
Iman
dalam pengertian kepercayaan akan adanya kebenaran mutlak yaitu Tuhan Yang Maha
Esa, serta menjadikanya satu-satunya tujuan hidup dan tempat pengabdian diri
yang terakhir dan mutlak. Sikap itu menimbulkan kecintaan tak terbatas pada
kebenaran, kesucian dan kebaikan yang menyatakan dirinya dalam sikap pri
kemanusiaan. Sikap pri kemanusiaan menghasilkan amal saleh, artinya amal yang
bersesuaian dengan dan meningkatkan kemanusiaan. Sebaik-baiknya manusia ialah
yang berguna untuk sesamanya. Tapi bagaimana hal itu harus dilakukan manusia?.
Sebagaimana
setiap perjalanan kearah suatu tujuan ialah gerakan kedepan demikian pula
perjalanan ummat manusia atau sejarah adalah gerakan maju kedepan. Maka semua
nilai dalam kehidupan relatif adanya berlaku untuk suatu tempat dan suatu waktu
tertentu. Demikianlah segala sesuatu berubah, kecuali tujuan akhir dari segala
yang ada yaitu kebenaran mutlak (Tuhan) (28:88). Jadi semua nilai yang benar
adalah bersumber atau dijabarkan dari ketentuanketentuan hukum-hukum Tuhan
(6:57). Oleh karena itu manusia berikhtiar dan merdeka, ialah yang bergerak. Gerakan
itu tidak lain dari pada gerak maju kedepan (progresif). Dia adalah dinamis,
tidak statis. Dia bukanlah seorang tradisional, apalagi reaksioner (17:36). Dia
menghendaki perubahan terus menerus sejalan dengan arah menuju kebenaran mutlak.
Dia senantiasa mencarai kebenaran-kebenaran selama perjalanan hidupnya.
Kebenaran-kebenaran itu menyatakan dirinya dan ditemukan didalam alam dari
sejarah umat manusia.
Ilmu
pengetahuan adalah alat manusia untuk mencari dan menemukan kebenaran-kebenaran
dalam hidupnya, sekalipun relatif namun kebenarankebenaran merupakan tonggak
sejarah yang mesti dilalui dalam perjalanan sejarah menuju kebenaran mutlak.
Dan keyakinan adalah kebenaran mutlak itu sendiri pada suatu saat dapat dicapai
oleh manusia, yaitu ketika mereka telah memahami benar seluruh alam dan
sejarahnya sendiri (41:53).
Jadi
ilmu pengetahuan adalah persyaratan dari amal soleh. Hanya mereka yang
dibimbing oleh ilmu pengetahuan dapat berjalan diatas kebenaran-kebenaran, yang
menyampaikan kepada kepatuhan tanpa reserve kepada Tuhan Yang Maha Esa (35:28).
Dengan iman dan kebenaran ilmu pengetahuan manusia mencapai puncak kemanusiaan
yang tertinggi (58:11).
Ilmu
pengetahuan ialah pengertian yang dipunyai oleh manusia secara benar tentang
dunia sekitarnya dan dirinya sendiri. Hubungan yang benar antara manusia dan
alam sekelilingnya ialah hubungan dan pengarahan. Manusia harus menguasai alam
dan masyarakat guna dapat mengarahkanya kepada yang lebih baik. Penguasaan dan
kemudian pengarahan itu tidak mungkin dilaksanakan tanpa pengetahuan tentang
hukum-hukumnya agar dapat menguasai dan menggunakanya bagi kemanusiaan. Sebab
alam tersedia bagi ummat manusia bagi kepentingan pertumbuhan kemanusiaan. Hal
itu tidak dapat dilakukan kecuali mengerahkan kemampuan intelektualitas atau
rasio (45:13).
Demikian
pula manusia harus memahami sejarah dengan hukum-hukum yang tetap (3:137).
Hukum sejarah yang tetap (sunatullah untuk sejarah) yaitu garis besarnya ialah
bahwa manusia akan menemui kejayaan jika setia kepada kemanusiaan fitrinya dan
menemui kehancuran jika menyimpang daripadanya dengan menuruti hawa nafsu
(91:9-10).
Tetapi
cara-cara perbaikan hidup sehingga terus-menerus maju kearah yang lebih baik
sesuai dengan fitrah adalah masalah pengalaman. Pengalaman ini harus ditarik
dari masa lampau, untuk dapat mengerti masa sekarang dan memperhitungkan masa
yang akan datang (12:111). Menguasai dan mengarahkan masyarakat ialah mengganti
kaidah-kaidah umumnya dan membimbingnya kearah kemajuan dan kebaikan.
VIII. KESIMPULAN DAN PENUTUP
Dari seluruh uraian yang telah lalu
dapatlah diambil kesimpulan secara garis besar sebagai berikut:
1. Hidup yang benar
dimulai dengan percaya atau iman kepada Tuhan. Tuhan Yang Maha Esa dan
keinginan mendekat serta kecintaan kepada-Nya, yaitu takwa. Iman dan
takwa bukanlah nilai yang statis dan abstrak. Nilai-nilai itu mamancar dengan
sendirinya dalam bentuk kerja nyata bagi kemanusiaan dan amal saleh.
Iman tidak memberi arti apa-apa bagi manusia jika tidak disertai dengan
usaha-usaha dan kegiatan-kegiatan yang sungguh-sungguh untuk menegakkan
perikehidupan yang benar dalam peradaban dan berbudaya.
2. Iman dan takwa
dipelihara dan diperkuat dengan melakukan ibadah atau pengabdian formil
kepada Tuhan. Ibadah mendidik individu agar tetap ingat dan taat kepada Tuhan
dan berpegang tuguh kepada kebenaran sebagai mana dikehendaki oleh hati nurani
yang hanif. Segala sesuatu yang menyangkut bentuk dan cara beribadah menjadi
wewenang penuh dari pada agama tanpa adanya hak manusia untuk mencampurinya.
Ibadat yang terus menerus kepada Tuhan menyadarkan manusia akan kedudukannya di
tengah alam dan masyarakat dan sesamanya. Ia tidak melebihkan diri sehingga
mengarah kepada kedudukan Tuhan dengan merugikan kemanusiaan orang lain, dan
tidak mengurangi kehormatan dirinya sebagai mahluk tertinggi dengan akibat
perbudakan diri kepada alam maupun orang lain Dengan ibadah manusia dididik
untuk memilki kemerdekaannya, kemanusiaannya dan dirinya sendiri, sebab ia
telah berbuat ikhlas, yaitu pemurniaan pengabdian kepada Kebenaran
semata..
3. Kerja kemanusiaan atau
amal saleh mengambil bentuknya yang utama dalam usaha yanag sungguh - sungguh
secara essensial menyangkut kepentingan manusia secara keseluruhan, baik dalam
ukuran ruang maupun waktu. Yaitu menegakkan keadilan dalam masyarakat
sehingga setiap orang memperoleh harga diri dan martabatnya sebagai manusia.
Hal itu berarti usaha - usaha yang terus menerus harus dilakukan guna
mengarahkan masyarakat kepada nilai-nilai yang baik, lebih maju dan lebih
insani usaha itu ialah "amar ma'ruf”, disamping usaha lain untuk
mencegah segala bentuk kejahatan dan kemerosotan nilai - nilai kemanusiaan atau
nahi mungkar. Selanjutnya bentuk kerja kemanusiaan yang lebih nyata ialah pembelaan
kaum lemah, kaum tertindas dan kaum miskin pada umumnya serta usaha-usaha
kearah penungkatan nasib dan taraf hidup mereka yang wajar dan layak sebagai
manusia.
4. Kesadaran dan rasa
tanggung jawab yang besar kepada kemanusiaan melahirkan jihad, yaitu
sikap berjuang. Berjuang itu dilakukan dan ditanggung bersama oleh manusia
dalam bentuk gotong royong atas dasar kemanusiaan dan kecintaan kepada Tuhan.
Perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan menuntut ketabahan, kesabaran, dan
pengorbanan. Dan dengan jalan itulah kebahagiaan dapat diwujudkan dalam
masyarakat manusia. Oleh sebab itu persyaratan bagi berhasilnya perjuangan
adalah adanya barisan yang merupakan bangunan yang kokoh kuat.
Mereka terikat satu sama lain oleh persaudaraan dan solidaritas yang tinggi dan
oleh sikap yang tegas kepada musuh-musuh dari kemanusiaan. Tetapi justru demi
kemanusiaan mereka adalah manusia yang toleran. Sekalipun mengikuti jalan yang
benar, mereka tidak memaksakan kepada orang lain atau golongan lain.
5. Kerja kemanusiaan atau
amal saleh itu merupakan proses perkembangan yang permanen. Perjuang
kemanusiaan berusaha mengarah kepada yang lebih baik, lebih benar. Oleh sebab
itu, manusia harus mengetahui arah yang benar dari pada perkembangan
peradaban disegala bidang. Dengan perkataan lain, manusia harus mendalami dan
selalu mempergunakan ilmu pengetahuan. Kerja manusia dan kerja
kemanusiaan tanpa ilmu tidak akan mencapai tujuannya, sebaliknya ilmu tanpa
rasa kemanusiaan tidak akan membawa kebahagiaan bahkan mengahancurkan
peradaban. Ilmu pengetahuan adalah karunia Tuhan yang besar artinya bagi
manusia. Mendalami ilmu pengetahun harus didasari oleh sikap terbuka. Mampu
mengungkapkan perkembangan pemikiran tentang kehidupan berperadaban dan
berbudaya. Kemudian mengambil dan mengamalkan diantaranya yang terbaik.
Dengan demikian, tugas hidup
manusia menjadi sangat sederhana, yaitu ber-IMAN,
ber-ILMU dan ber-AMAL.[IAR]
[1] Penyusun NDP dengan
Endang Saifuddin Ansyari dan Sakib Mahmud
Sumber: Hasil-Hasil Kongres HMI (Konstitusi HMI).
No comments:
Post a Comment