Pengertian Istihsan Dalam Ushul Fiqh - Yakusa Blog

Yakusa Blog

Mewujudkan Komunitas Intelektual Muslim

Sunday, 2 June 2019

Pengertian Istihsan Dalam Ushul Fiqh

YakusaBlog- Ihtisan secara bahasa adalah kata bentukan (mustyaq) dari al-hasan (apa pun yang baik dari sesuatu). Istihsan sendiri kemudian berarti: “kecenderungan seseorang pada sesuatu karena menganggapnya lebih baik, dan ini bisa bersifat lahiriah (hissy) ataupun maknawiah; meskipun hal itu dianggap tidak baik oleh orang lain”.[1]
Pada dasarnya, para ulama menggunakan istihsan dalam arti lughawi (bahasa), yaitu: “perbuatan sesuatu yang lebih baik”. Tetapi dalam pengertian istilahnya para ulama berbeda pendapat disebabkan oleh perbedaan dalam mendefenisikan istihsan itu.
Istihsan ialah meninggalkan qiyas yang nyata untuk menjalankan yang tidak nyata (samar-samar) atau meninggalkan hukum kulli untuk menjalankan hukum istisna’i (pengecualian) disebabkan ada dalil yang menurut logika membenarkannya.
Jelasnya adalah sebagai berikut: bila seorang mujtahid menghadapi suatu peristiwa yang tidak ada nash yang menetapkan hukumnya, sedangkan untuk mencari hukumnya terdapat dua jalan yang berbeda, jalan yang satu adalah jelas dapat memberi ketetapan hukumnya dan jalan yang lain samar-samar, yakni dapat menetapkan hukumnya dan dapat pula menetapkan hukum yang lain.
Padahal pada diri mujtahid tersebut terdapat suatu dalil yang dapat digunakan untuk mentarjihkan jalan yang samar-samar, maka ia lalu meninggalkan jalan yang nyata tersebut untuk menempuh jalan yang samar-samar. Demikian juga bila ia mendapatkan suatu dalil kulli yang menetapkan suatu hukum, kemudian setelah ia mendapatkan dalil lain yang mengecualikan suatu hukum dari dalil kulli tersebut, maka ia menetapkan hukum lain yang berbeda dengan hukum yang ditetapkan oleh dalil kulli itu. Kedua jalan tersebut disebut istihsan.

Baca juga: Pengertian Mashlahah Dalam Ushul Fiqh
Dengan demikian memperhatikan ta’rif istihsan sebagaimana dikemukakan di atas, nyatalah bahwa istihsan itu ada dua (2) macam yaitu:
Pertama, mentarjihkan qiyas yang tidak nyata (samar-samar) atas qiyas yang nyata (jally), berdasarkan suatu dalil. Ulama Hanafiyah menanamkan istihsan semacam ini dengan istihsan qiyas atau qiyas khafi.
Kedua, mengecualikan hukum juz’iyah dari hukum kulliyah dengan suatu dalil. Istihsan kedua ini oleh ulama Hanfiyah disebut istihsan darurat. Sebab penyimpangan dari hukum kulli tersebut adalah karena darurat atau karena suatuk kepentingan yang mengharuskan adanya penyimpangan dengan maksud untuk menghadapi keadaan yang mendesak atau menghindari kesulitan.[2]
Adapun menurut istilah istihsan memiliki beberapa defenisi dikalangan ulama ushul fiqh. Diantaranya adalah: Pertama, mengeluarkan hukum suatu masalah dari hukum masalah-masalah yang serupa dengannya kepada hukum lain karena didasarkan hal lain yang lebih kuat dalam pandangan mujtahid.[3] Kedua, dalil yang terbetik dalam diri seorang mujtahid, namun tidak dapat diungkapkannya dengan kata-kata.[4] Ketiga, meninggalkan yang menjadi konsekwensi qiyas tertentu menuju qiyas yang lebih kuat darinya.[5] Keempat, mengamalkan dalil yang paling kuat diantara dua dalil.[6]
Dari defenisi-defenisi tersebut, kita dapat melihat bahwa inti dari istihsan adalah ketika seorang mujtahid lebih cenderung dan memilih hukum tertentu dan meninggalkan hukum yang lain disebabkan satu hal yang dalam pandangannya lebih menguatkan hukum kedua dari hukum yang pertama.
Sebagai contoh misalnya, pendapat yang disebutkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal (w. 264 H) bahwa tayammum itu wajib dilakukan pada setiap waktu shalat atas dasar istihsan, padahal secara qiyas tayammum itu sama kedudukannya dengan berwudhu’ dengan menggunakan air yang tidak wajib dilakukan pada setiap waktu shalat, kecuali jika wudhu’nya batal. Dengan kata lain, tayammum secara qiyas seharusnya tidak perlu dilakukan pada setiap waktu shalat, namun atas dasar Istihsan Imam Ahmad memandang ia wajib dilakukan setiap waktu shalat berganti.[7]
Lebih jauh, Syekh Abd al-Wahhab al-Khallaf memberikan gambaran aplikatif seputar penggunaan Istihsan ini dengan mengatakan: “Jika sebuah kasus terjadi yang berdasarkan keumuman nash yang ada atau kaidah hukum umum tertenu, kasus itu seharusnya dihukumi dengan hukum tertentu, namun dalam pandangan sang mujtahid nampak bahwa kasus ini memiliki kondisi dan hal-hal lain yang bersifat khusus yang kemudian – dalam pandangannya – bila nash yang umum, atau kaidah umum, atau memperlakukannya sesuai qiyas yang ada, justru akan menyebabkan hilangnya maslahat atau terjadinya mafsadat. (Karena itu), ia pun meninggalkan hukum tersebut merujuk hukum yang lain, yang merupakan hasil dari pengkhususan kasus itu dari (hukum) umumnya, atau pengecualiaannya dari kaidah umumnya, atau qiyas khafy, yang tidak terduga (sebelumnya). Proses meninggalkan inilah yang disebut dengan Istihsan. Dan ia merupakan salah satu metode ijtihad dengan ra’yu. Sebab seorang mujtahid mengukur kondisi yang bersifat khusus untuk kasus ini dengan ijtihad yang ia landaskan pada logikanya, lalu menguatkan satu dalil atas dalil juga atas hasil ijtihad”.[8][]


Catatan: Tulisan di atas disadur dari bukunya Dr. H. Sudirman Suparmin, Lc., Ma., dengan judul Ushul Fiqh; Metode Penetapan Hukum Islam, Cipta Pustaka Media, Bandung, 2014, hal. 86-89.




[1] Ibnu Manzhur, Lisan al-Arab, Dar as-Shodir, Beirut, jilid 13 h. 117.
[2] Muktar Yahya da Fathurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, Bandung, al-Ma’arif. 1997. h. 100-101.
[3] Defenisi ini diterjemahkan secara bebas dari defenisi Istihsan yang disebutkan oleh al-Karkhy, salah seorang ulama Hanafiyah, dan kemudian dipilih pula oleh Ibnu Qudamah al-Hanbaly. Lih. Kasyf al-Asrar, jilid 4 h. 3. Dan Raudhah al-Nazhir. Jilid 1 h. 497.
[4] Al-Mustashfa, 1/138.
[5] Al-Istihsan h.1.
[6] Ibid.
[7] Ibnu Qudhamah, Ruadhah al-Nazhir, Jamiah al-Imam Muhammad bin Su’ud, 1399 H. jilid 1 h. 497.
[8] Mashadir al-Tasyri’ Fima La Nashsha Fihi, h. 70, sebagaimana disebutkan dalam Ushul al-Fiqh al-Muyassar. Jilid 2 h. 52.

No comments:

Post a Comment