YakusaBlog- Ihtisan
secara bahasa adalah kata bentukan (mustyaq)
dari al-hasan (apa pun yang baik dari
sesuatu). Istihsan sendiri kemudian berarti: “kecenderungan seseorang pada sesuatu karena menganggapnya lebih baik,
dan ini bisa bersifat lahiriah (hissy) ataupun maknawiah; meskipun hal itu
dianggap tidak baik oleh orang lain”.[1]
Pada
dasarnya, para ulama menggunakan istihsan dalam arti lughawi (bahasa), yaitu: “perbuatan sesuatu yang lebih baik”. Tetapi
dalam pengertian istilahnya para ulama berbeda pendapat disebabkan oleh
perbedaan dalam mendefenisikan istihsan itu.
Istihsan
ialah meninggalkan qiyas yang nyata untuk menjalankan yang tidak nyata
(samar-samar) atau meninggalkan hukum kulli untuk menjalankan hukum istisna’i (pengecualian)
disebabkan ada dalil yang menurut logika membenarkannya.
Jelasnya
adalah sebagai berikut: bila seorang mujtahid menghadapi suatu peristiwa yang
tidak ada nash yang menetapkan hukumnya, sedangkan untuk mencari hukumnya
terdapat dua jalan yang berbeda, jalan yang satu adalah jelas dapat memberi
ketetapan hukumnya dan jalan yang lain samar-samar, yakni dapat menetapkan
hukumnya dan dapat pula menetapkan hukum yang lain.
Padahal
pada diri mujtahid tersebut terdapat suatu dalil yang dapat digunakan untuk
mentarjihkan jalan yang samar-samar, maka ia lalu meninggalkan jalan yang nyata
tersebut untuk menempuh jalan yang samar-samar. Demikian juga bila ia
mendapatkan suatu dalil kulli yang menetapkan suatu hukum, kemudian setelah ia
mendapatkan dalil lain yang mengecualikan suatu hukum dari dalil kulli
tersebut, maka ia menetapkan hukum lain yang berbeda dengan hukum yang
ditetapkan oleh dalil kulli itu. Kedua jalan tersebut disebut istihsan.
Baca juga: Pengertian Mashlahah Dalam Ushul Fiqh
Baca juga: Pengertian Mashlahah Dalam Ushul Fiqh
Dengan
demikian memperhatikan ta’rif istihsan sebagaimana dikemukakan di atas,
nyatalah bahwa istihsan itu ada dua (2) macam yaitu:
Pertama,
mentarjihkan qiyas yang tidak nyata (samar-samar) atas qiyas yang nyata (jally), berdasarkan suatu dalil. Ulama Hanafiyah
menanamkan istihsan semacam ini dengan istihsan qiyas atau qiyas khafi.
Kedua,
mengecualikan hukum juz’iyah dari
hukum kulliyah dengan suatu dalil. Istihsan kedua ini oleh ulama Hanfiyah
disebut istihsan darurat. Sebab penyimpangan dari hukum kulli tersebut adalah
karena darurat atau karena suatuk kepentingan yang mengharuskan adanya
penyimpangan dengan maksud untuk menghadapi keadaan yang mendesak atau
menghindari kesulitan.[2]
Adapun
menurut istilah istihsan memiliki beberapa defenisi dikalangan ulama ushul fiqh.
Diantaranya adalah: Pertama,
mengeluarkan hukum suatu masalah dari hukum masalah-masalah yang serupa
dengannya kepada hukum lain karena didasarkan hal lain yang lebih kuat dalam
pandangan mujtahid.[3]
Kedua, dalil yang terbetik dalam diri
seorang mujtahid, namun tidak dapat diungkapkannya dengan kata-kata.[4] Ketiga, meninggalkan yang menjadi
konsekwensi qiyas tertentu menuju qiyas yang lebih kuat darinya.[5] Keempat, mengamalkan dalil yang paling
kuat diantara dua dalil.[6]
Dari
defenisi-defenisi tersebut, kita dapat melihat bahwa inti dari istihsan adalah
ketika seorang mujtahid lebih cenderung dan memilih hukum tertentu dan
meninggalkan hukum yang lain disebabkan satu hal yang dalam pandangannya lebih
menguatkan hukum kedua dari hukum yang pertama.
Sebagai
contoh misalnya, pendapat yang disebutkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal (w. 264 H)
bahwa tayammum itu wajib dilakukan pada setiap waktu shalat atas dasar
istihsan, padahal secara qiyas tayammum itu sama kedudukannya dengan berwudhu’
dengan menggunakan air yang tidak wajib dilakukan pada setiap waktu shalat,
kecuali jika wudhu’nya batal. Dengan kata lain, tayammum secara qiyas
seharusnya tidak perlu dilakukan pada setiap waktu shalat, namun atas dasar
Istihsan Imam Ahmad memandang ia wajib dilakukan setiap waktu shalat berganti.[7]
Lebih
jauh, Syekh Abd al-Wahhab al-Khallaf memberikan gambaran aplikatif seputar
penggunaan Istihsan ini dengan mengatakan: “Jika
sebuah kasus terjadi yang berdasarkan keumuman nash yang ada atau kaidah hukum
umum tertenu, kasus itu seharusnya dihukumi dengan hukum tertentu, namun dalam
pandangan sang mujtahid nampak bahwa kasus ini memiliki kondisi dan hal-hal
lain yang bersifat khusus yang kemudian – dalam pandangannya – bila nash yang
umum, atau kaidah umum, atau memperlakukannya sesuai qiyas yang ada, justru
akan menyebabkan hilangnya maslahat atau terjadinya mafsadat. (Karena itu), ia
pun meninggalkan hukum tersebut merujuk hukum yang lain, yang merupakan hasil
dari pengkhususan kasus itu dari (hukum) umumnya, atau pengecualiaannya dari
kaidah umumnya, atau qiyas khafy, yang tidak terduga (sebelumnya). Proses meninggalkan
inilah yang disebut dengan Istihsan. Dan ia merupakan salah satu metode ijtihad
dengan ra’yu. Sebab seorang mujtahid mengukur kondisi yang bersifat khusus
untuk kasus ini dengan ijtihad yang ia landaskan pada logikanya, lalu
menguatkan satu dalil atas dalil juga atas hasil ijtihad”.[8][]
Catatan:
Tulisan di atas disadur dari bukunya Dr. H. Sudirman Suparmin, Lc., Ma., dengan
judul Ushul Fiqh; Metode Penetapan Hukum
Islam, Cipta Pustaka Media, Bandung, 2014, hal. 86-89.
Sbr.gbr: http://rumahsyariah14.blogspot.com/
[1] Ibnu
Manzhur, Lisan al-Arab, Dar
as-Shodir, Beirut, jilid 13 h. 117.
[2]
Muktar Yahya da Fathurrahman, Dasar-dasar
Pembinaan Hukum Fiqh Islami, Bandung, al-Ma’arif. 1997. h. 100-101.
[3] Defenisi
ini diterjemahkan secara bebas dari defenisi Istihsan yang disebutkan oleh
al-Karkhy, salah seorang ulama Hanafiyah, dan kemudian dipilih pula oleh Ibnu
Qudamah al-Hanbaly. Lih. Kasyf al-Asrar,
jilid 4 h. 3. Dan Raudhah al-Nazhir. Jilid 1 h. 497.
[4] Al-Mustashfa,
1/138.
[5]
Al-Istihsan h.1.
[6]
Ibid.
[7]
Ibnu Qudhamah, Ruadhah al-Nazhir,
Jamiah al-Imam Muhammad bin Su’ud, 1399 H. jilid 1 h. 497.
[8] Mashadir al-Tasyri’ Fima La Nashsha Fihi,
h. 70, sebagaimana disebutkan dalam Ushul
al-Fiqh al-Muyassar. Jilid 2 h. 52.
No comments:
Post a Comment