YakusaBlog- Dalam perjalanan perjuangan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), sepanjang
sejarahnya, dari sejak berdirinya (1947) hingga kini, HMI telah mengalami dan
melewati sebelas fase, antara lain:
Fase
I: Konsolidasi
Spiritual dan Proses Berdirinya HMI (1946)
Bermula
dari latar belakang munculnya pemikiran dan berdirinya HMI serta kondisi
obyektif yang mendorongnya, maka rintisan untuk mendirikan HMI muncul di bulan
November 1946. Permasalahan yang dapat diangkat dari latar belakang berdirinya
HMI, merupakan suatu kenyataan yang harus diantisipasi dan dijawab secara cepat
dan konkrit dan menunjukkan apa sebenarnya Islam itu. Maka pembaharuan
pemikiran di kalangan umat Islam bangsa Indonesia suatu keniscayaan.
Fase
II: Berdirinya
dan Pengokohan (5 Februari – 30 November 1947)
Selama
lebih kurang sembilan
bulan, reaksi-reaksi terhadap HMI barulah berakhir. Masa sembilan bulan itu dipergunakan untuk
menjawab berbagai reaksi dan tantangan silih berganti, yang semuanya itu untuk
mengokohkan eksistensi HMI sehingga dapat berdiri tegar dan kokoh. Maka
diadakanlah berbagai aktivitas untuk popularisasi organisasi dengan mengadakan
ceramah-ceramah ilmiah dan rekreasi malam-malam kesenian.
Di
bidang organisasi, HMI mulai mendirikan cabang-cabang baru seperti Klaten,
Solo, dan Yogyakarta. Pengurus HMI bentukan 5 Februari 1947 otomatis menjadi PB
HMI pertama dan merangkap menjadi Pengurus HMI Cabang Yogyakarta I. Ada kesan
bahwa keanggotaan HMI hanya untuk mahasiswa Sekolah Tinggi Islam (STI). Untuk menghilangkan
anggapan yang keliru itu, tanggal 22 Agustus 1947, PB HMI diresuffle. Ketua
Lafran Pane digantikan oleh H.M. Mintaredja dari Fakultas Hukum BPT GM,
sedankan Lafran Pane menjadi Wakil Ketua merangkap Ketua HMI Cabang Yogyakarta.
Sejak itu mahasiswa BPT GM, STT mulai masuk dan berbondong-bondong menjadi
anggota HMI. Di Yogyakarta tanggal 30 November 1947 diadakan Kongres I HMI.
Fase
III: Perjuangan
Bersenjata, Perang
Kemerdekaan, Menghadapi
Penghianatan dan Pemberontakan PKI (1947-1949)
Seiring
dengan tujuan HMI yang digariskan sejak awal berdirinya, maka konsekuensinya
dalam masa perang kemerdekaan, HMI terjun ke gelanggang medan pertempuran
melawan Belanda, membantu pemerintah baik langsung maupun memegang senjata
bedil dan bambu runcing sebagai staf penerangan, penghubung dan lain-lain.
Untuk
menghadapi pemberontakan Madiun 18 September 1948, Ketua PMI/Wakil Ketua PB HMI
Ahmad Tirtosudiro membentuk Corps Mahasiswa (CM), dengan Komandan Hartono,
Wakil Komandan Ahmad Tirtosudiro, ikut membantu pemerintah menumpas
pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun dengan menggerakkan
anggota CM ke gunung-gunung, memperkuat aparat pemerintah. Sejak itulah dendam
PKI terhadap HMI tertanam dan terus berlanjut sampai puncaknya pada tahun
1964-1965 yaitu gerakan pengganyangan terhadap HMI menjelang meletusnya
Gestapu/PKI 1965.
Pada
fase ini berlangsung peringatan ulang tahun pertama HMI di Bangsal Kepatihan
tanggal 6 Februari 1948. Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia Jenderal
Sudirman memberi sambutan pada peringatan tersebut atas nama pemerintah
Republik Indonesia. Jenderal Sudirman selain mengartikan HMI sebagai Himpunan Mahasiswa
Islam, HMI juga diartikannya sebagai Harapan Masyarakat Indonesia. Karena
mayoritas bangsa Indonesia beragama Islam, HMI juga diartikan sebagai Harapan
Masyarakat Islam Indonesia.
Pada
fase ini juga berlangsung Kongres Muslim Indonesia II di Yogyakarta tanggal 20
sampai dengan 25 Desember 1949. Kongres itu dihadiri oleh 185 organisasi, alim
ulama dan intelegensia seluruh Indonesia. Di antara tujuh dari keputusannya
dibidang organisasi salah satu keputusannya adalah memutuskan bahwa : Hanya satu organisasi mahasiswa Islam, yaitu
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang bercabang di tiap-tiap kota yang ada
sekolah tinggi.
Fase IV: Pembinaan dan
Pengembangan Organisasi (1950-1963)
Selama
anggota HMI banyak yang terjun ke gelanggang medan pertempuran membantu
pemerintah mengusir penjajah, selama itu pula pembinaan organisasi HMI
terabaikan. Namun hal itu dilaksanakan dengan sadar, karena itu semua untuk
merealisir tujuan HMI sendiri, serta dwitugasnya yakni tugas agamanya dan tugas
bangsanya. Maka dengan adanya pengakuan kedaulatan rakyat tanggal 27 Desember
1949, mahasiswa yang berminat melanjutkan kuliahnya bermunculan di Yogyakarta.
Sejak
tahun 1950, dilaksanakan usaha-usaha konsolidasi organisasi sebagai masalah
besar sepanjang masa. Bulan Juli 1951 PB HMI dipindahkan dari Yogyakarta ke
Jakarta. Diantara usaha-usaha yang dilaksanakan selama tiga belas tahun itu antara lain
: Pembentukan cabang-cabang baru, Menerbitkan majalah sejak 1 Agustus 1954 (Sebelumnya terbit Criterium, Cerdas dan tahun 1959 menerbitkan majalah Media), Sudah
tujuh kali Kongres HMI, Pengesahan atribut HMI seperti lambang, bendera, muts,
hymne HMI, Merumuskan
tafsir asas HMI, Pengesahan
kepribadian HMI, Pembentukan
Badan Koordinasi (BADKO) HMI, Menentukan
metode pelatihan (Training) HMI., Pembentukan lembaga-lembaga HMI di
bidang ekstern, Pendayagunakan
PPMI., Menghadapi
Pemilihan Umum (Pemilu) I tahun 1955, Penegasan
Independensi HMI, Mendesak
pemerintah supaya mengeluarkan UU PT, tuntutan agar pendidikan agama sejak dari
Sekolah Rakyat (SR) sampai Perguruan Tinggi, Mengeluarkan konsep “peranan agama dalam
pembangunan, dan lain-lainya.
Selain
masa internal, muncul pula persoalan eksternal yang sangat menonjol. Justru
karena keberhasilan HMI melaksanakan konsolidasi organisasi ada golongan yang
iri dan tidak senang kepada HMI yaitu Partai Komunis Indonesia (PKI).
Tidak
dibubarkan dan dilarangnya PKI akibatnya pemberontakan PKI di Madiun tahun
1948, PKI otomatis mempunyai kesempatan untuk bangkit kembali. Tanggal 21
Februari tahun 1957, Presiden Soekarno mengumumkan konsepsinya supaya kabinet
berkaki empat dengan unsur PNI, Masyumi, NU dan PKI (sebagai 4 besar pemenang
pemilu 1955). Berikutnya di Moscow tanggal
19 November 1957 dicetuskanlah Manfesto
Moscow, yaitu satu program untuk mengkomunikasikan Indonesia. Akibat itu
semua, PKI tampil sebagai partai pemerintah. Masyumi, akibat penentangan
terhadap kebijakan politik Presiden Soekarno, dengan Manipol Usdeknya, dengan
Keputusan Presiden nomor 200: tanggal 17 Agustus tahun 1960 Masyumi dipaksa
bubar.
Untuk
menghadapi perkembangan politik, Kongres V HMI di Medan tanggal 24-31 Desember
1957 mengeluarkan dua sikap antara
yaitu: Haram
hukumnya menganut ajaran dan paham komunikasi karena bertentangan Islam, yang kedua, Menuntut supaya Islam sebagai dasar
negara.
(Buku dapat dipesan di Tokopedia. Klik Gambar)
Fase
V: Tantangan I
(1964-1965)
Dendam
PKI terhadap HMI yang tertanam karena keikutsertaan HMI dalam menumpas
pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948, menempatkan HMI sebagai organisasi yang
harus bubar, karena dianggap sebagai penghalang bagi tercapainya tujuan PKI.
Untuk itulah dilaksanakanlah berbagai usaha untuk membubarkan HMI.
Sesuai
hasil Kongres II Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), organisasi underbow PKI di Salatiga, Juni 1961,
untuk melekuidisi HMI. PKI, CGMI dan organisasi lainnya yang seideologi mulai
melakukan gerakan pembubaran HMI disokong seluruh simpatisan dari tiga partai besar yaitu Partai Komunis Indonesia
(PKI), Partai Indonesia (PARTINDO) dan Partai Nasional Indonesia (PNI) dan juga
seluruh underbow ketiga partai
tersebut yang semuanya berjumlah 42 partai. Untuk membubarkan HMI sekitar bulan
Maret 1965, dibentuk Panitia Aksi Pembubaran HMI di Jakarta yang terdiri dari
CGMI, GMNI, GRMINDO, GMD, MMI, Pemuda Marhaenis, Pemuda Rakyat, Pemuda
Indonesia, PPI, dan APPI.
Menjawab
tantangan ini, Generasi Muda Islam (GEMUIS) yang terbentuk tahun1964 membentuk
Panitia Solidaritas Pembebelaan HMI, yang terdiri dari unsur-unsur pemuda,
pelajar, mahasiswa Islam seluruh Indonesia. Bagi umat Islam, HMI merupakan taruhan
terakhir yang harus dipertahankan setelah sebelumnya Masyumi dibubarkan. Kalau
HMI sampai dibubarkan, maka satu-persatu dari organisasi Islam akan terkena
sapu pembubaran.
Namun
gerakan pembubaran HMI ini gagal justeru dipuncak usaha-usaha pembubarannya.
Dalam acara penutupan Kongres CGMI tanggal 29 September 1965 di Istora Senayan.
Meski PKI terus melakukan provokasi kepada Presiden Soekarno, seperti
diungkapkan DN. Aidit, “Kalau anggota CGMI tidak bisa membubarkan HMI, anggota
CGMI yang laki-laki lebih pakai kain sarung saja... kalau semua front (garis depan-peny) sudah minta, Presiden akan membubarkan HMI”. Namun ternyata
HMI tidak dibubarkan, bahkan dengan tegas Presiden Soekarno mengungkapkan dalam
pidatonya: “Pemerintah mempunyai kebijakan untuk memberikan kesempatan
seluas-luasnya kepada kehidupan organisasi mahasiswa yang revolusioner. Tapi
kalau organisasi mahasiswa yang menyeleweng itu menjadi kontra revolusi
umpamanya HMI, aku sendiri yang akan membubarkannya. Demikian pula kalau CGMI
menyeleweng menjadi kontra revolusi juga akan kububarkan”.
Karena
gagal usaha untuk membubarkan HMI, maka PKI sudah siap bermain kekerasan. PKI
takut didahului umat Islam untuk merebut kekuasaan dari pemerintahan yang sah,
maka meletuslah Pemberontakan G 30 S/PKI 1965.
Fase VI:
Kebangkitan HMI Sebagai Pejuang Orde Baru dan Pelopor Kebangkitan Angkatan ’66
(1966-1968)
Pada fase ini HMI mengalami dan melewati tantangannya,
yaitu; tanggal
1 Oktober adalah tugu pemisah antara Orde Lama dan Orde Baru. Apa yang disinyalir PKI, seandainya PKI
gagal membubarkan PKI, maka HMI akan tampil kedua kalinya menumpas
pemberontakan PKI dan itu benar-benar terjadi. Wakil
Ketua PB HMI Mar’ie Muhammad, pada tanggal 25 Oktober 1965 mengambil inisiatif
mendirikan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), sebagaimana yang dilakukan
oleh Wakil Ketua PB HMI Ahmad Tirtosudiro membentuk Corps Mahasiswa (CM) untuk
menghadapi pemberontakan PKI di Madiun. Tritura
10 Januari 1966: “Bubarkan PKI, Reatol Kabinet dan Turunkan Harga”. Surat Perintah Sebekas Maret 1966. Dibubarkan dan dilarangnya PKI tanggal
12 Maret 1966. Kabinet Ampera
terbentuk, HMI diajak hearing
pembentukan kabinet, dan alumni HMI masuk dalam kabinet.
Fase
VII: Partisipasi HMI
Dalam
Pembangunan (1969-1970)
Setelah
Orde Baru mantap dan Pancasila serta Undang-Undang Dasar 1945 sudah dilaksankan
secara murni dan konsekuen, maka sejak tanggal 1 April 1969 dimulailah rencana
pembangunan lima tahun (Repelita-peny) dan sudah menyelesaikan
pembangunan 25 tahun pertama, kemudian menyusul pembangunan 25 tahun kedua.
Pembangunan Indonesia menuju masyarakat adil dan makmur bukanlah pekerjaan
mudah, tetapi sebaliknya merupakan pembangunan raksasa (yang sangat sulit-peny)
sebagai usaha kemanusiaan yang tidak habis-habisnya. Partisipasi segenap warga
negara sangat dibutuhkan. HMI pun sesuai dengan lima aspek pemikirannya, telah
memberikan sumbangan dan partisipasinya dalam pembangunan : (a). Partisipasi
dalam pembentukan suasan, situasi dan iklim yang memungkinkan dilaksanakannya
pembangunan, (b). Partisipasi dalam pemberian konsep-konsep di berbagai aspek
pemikiran; (pertisipasi dalam bentuk langsung dari pembangunan).
FaseVIII: Pergolakan dan
Pembaharuan Pemikiran (1970-1998)
Selama
kurun waktu Orde Lama (1959-1965) kebebasan mengeluarkan pendapat baik yang
bersifat akademis terlebih-lebih politik terkekang dengan ketat. Suasana itu
berubah tatkala Orde Baru muncul, walaupun kebebasan hakiki belum diperoleh
sebagaimana mestinya. Sama halnya dipenghujung pemerintahan Soeharto dianggap
sebagai suatu perbedaan yang tidak pada tempatnya (tidak ada keadilan-peny).
Namun walaupun demikian, kebebasan datang, kondisi terbatas dapat dimanfaatkan,
baik yang berkaitan dengan agama, akademik, dan politik. Kejumudan dan suasana
tertekan pada masa Orde Lama mulai cair terutama dalam pembaharuan pemikiran
Islam yang dipandang sebagai suatu keharusan, sebagai jawaban terhadap berbagai
masalah untuk memenuhi kebutuhan kontemporer. Hal seperti itu muncul dikalangan
HMI dan mencapai puncaknya pada tahun 1970. Tatkala Nurcholis Madjid (dikenal
panggilan Cak Nur-peny) menyampaikan ide pembaharuannya dengan topik Keharusan
Pembaharuan Pemikiran Dalam Islam Dan Masalah Integrasi Umat. Sikap itu
diambil, karena apabila kondisi ini dibiarkan mengakibatkan persoalan-persoalan
umat yang terbelenggu selama ini, tidak akan memperoleh jawaban yang efektif.
Sebagai
konsekuensinya muncul pergolakan pemikiran dalam tubuh HMI yang dalam berbagai
substansi permasalahan timbul perbedaan pendapat, penafsiran dan interpretasi.
Hal itu tercuat dalam bentuk seperti persoalan negara Islam, Islam Kaffah,
sampai kepada penyesuaian dasar HMI dari Islam menjadi Pancasila. Sejak
diberlakukannya Undang-Undang Nomor: 8 Tahun 1985 yang mengharuskan bahwa semua
partai dan organisasi harus berdasarkan Pancasila. Kongres ke-16 HMI di Padang
tahun 1986, HMI menyesuaikan diri dengan mengubah asas Islam dengan Pancasila.
Akibat penyesuaian ini beberapa orang anggota HMI membentuk MPO (Majelis
Penyelamat Organisasi-peny), akibatnya HMI pecah menjadi dua yaitu HMI DIPO (karena sekretriatnya di jln.
Diponegoro dan sekarang sudah di Jl. Sultan Agung-peny) dan HMI MPO.
Fase IX: Reformasi (1998-2000)
Apabila
dicermati dengan seksama secara secara historis HMI sudah mulai melaksanakan
gerakan reformasi dengan menyampaikan beberapa pandangan yang berbeda serta
kritik maupun evaluasi secara langsung terhadap pemerintahan Orde Baru di bawah
kepemimpinan Presiden Soeharto pada tahun 1995. Sesuai dengan kebijakan PB HMI,
bahwa HMI tidak akan melakukan tindakan-tindakan inkonstitusional dan
konfrontasi terhadap Pemerintah. HMI melakukan dan menyampaikan kritik secara
langsung yang bersifat konstruktif.
Koreksi
dan kritik yang dimaksud, pertama, disampaikan M. Yahya Zaini Ketua Umum
PB HMI Periode 1992-1995 ketika
memberikan kata sambutan pada pembukaan Kongres HMI ke-20 HMI di Istana Negara
Jakarta tanggal 21 Januari 1995. Koreksi itu antara lain, bahwa menurut
penilaian HMI, pembangunan ekonomi kurang diikuti dengan pembanguna politik.
Masih dirasakan tingkat perubahan pada sistem politik tidak sebanding dengan
perubahan ekonomi. Dalam pembangunan politik istitusi-isntitusi politik atau
badan-badan demokrasi belum maksimal memainkan fungsi perannya. Akibatnya
aspirasi masyarakat masih sering tersumbat (terhalang atau tidak sampai-peny).
Kondisi inilah yang menuntut kita, pemerintah dan masyarakat untuk terus
menggelindingkan (mewujudkan-peny) proses demokrasi dengan bingkai
Pancasila tetapi ini harus diikuti dengan pemberdayaan masyarakat. Dalam
suasana demikian, proses saling kontrol akan terbangun. Selain itu HMI melihat
masih banyak distorsi dalam proses pembangunan. Gejala penyalah gunaan
kekuasaan, kesewenang-wenangan, praktek kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN-peny)
adalah cerminan tidak berfungsi sistem nilai yang menjadi kontrol dan landasan
etika dan bekerjanya suatu sistem.
Suatu
reformasi berikutnya dengan fokus yang lebih tajam, lugas dihadapan Presiden
Soeharto tatkala menghadiri dan memberikan sambutan pada peringatan Ulang Tahun
Emas 50 tahun HMI di Jakarta tanggal 20 Maret 1997 (satu tahun sebelum
reformasi), dimana Taufik Hidayat Ketua Umum PB HMI 1995-1997 menegaskan;
sekaligus jawaban atas kritik-kritik yang memandang HMI terlalu dekat dengan
kekuasaan. Bagi HMI, kekuasaan atau politik bukanlah wilayah yang haram,
politik justeru mulia, apabila dijalankan di atas etika dan bertujuan untuk
menegakkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Lantaran itu, HMI akan mendukung
kekuasaan pemerintah yang sungguh-sungguh dalam meperjuangkan kebenaran dan
keadilan. Sebaliknya, HMI akan tampil ke depan menentang kekuasaan yang korup
dan menyeleweng. Inilah dibuktikan ketika HMI terlibat aktif dalam merintis dan
menegakkan Orde Baru. Demikian juga pada saat sekarang ini dan masa-masa yang
mendatang. Kritik-kritik ini tidak boleh mengurangi rasa percaya diri HMI untuk
tetap melaksanakan amar ma’ruf dan nahi munkar.
Pemikiran
dan reformasi selanjutnya disampaikan Ketua Umum PB HMI 1997-1998 Anas
Urbaningrum pada waktu peringatan Ulang Tahun HMI ke-51 di Graha Insan Cita
Depok tanggal 22 Februari 1998, dengan judul Urgensi Reformasi Bagi
Pembangunan Bangsa Yang Bermartabat. Pidato itu disampaikan 3 bulan sebelum
lengsernya Presiden Soeharto 21 Mei 1998. Suara dan tuntutan reformasi telah
dikumandangkan pula dalam berbagai aspek, yang disamapaikan Anas Urbaningrum
pada peringatan ulang tahun ke-52 di Auditorium Sapta Pesona Departemen
Parawisata Seni dan Budaya Jakarta 5 Februari 1999, dengan judul Dari HMI
Untuk Kebersamaan Bangsa Menuju Indonesia Baru. Tuntutan reformasi juga
disampaikan Ketua Umum PB HMI M. Fahruddin pada peringatan Ulangtahun HMI ke-53
di Taman Ismail Marzuki Jakarta, 5 Februari 2000 dengan judul “Merajut
Kekuasaan Oposisi Membangun Demokrasi, Membangun Peradaban Baru Indonesia.”
Fase X: Tantangan II
(2000-sekarang)
Fase
tantangan kedua ini muncul justru setelah Orde Reformasi berjalan dua tahun.
Semestinya berdasarkan landasan-landasan atau sikap-sikap yang telah diambil PB
HMI memasuki era reformasi semestinya HMI mengalami perkembangan yang
signifikan menjawab berbagai tantangan sesuai dengan perannya sebagai
organisasi perjuangan yang harus tampil sebagai pengambil inisiatif dalam
memajukan kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara. Akan tetapi justru
sebaliknya HMI secara umum mengalami kemunduran, yang secara intensif
disinyalir Agussalim Sitompul dalam bukunya 44 Indikator Kemunduruan HMI.
Jika
pada fase tantangan I (1964-1965) HMI dihadapkan pada tantangan eksternal yaitu
menghadapi PKI, pada fase tantangan II ini HMI dihadapkan sekaligus pada dua
tantangan besar secara internal dan eksternal sekaligus.
Pertama,
tantangan internal. Kajian tentang HMI saat ini menunjukkan bahwa dalam
kehidupan sekarang dan mendatang, HMI ditantang: (a). Masalah eksistensi dan keberadaan
HMI, seperti menurunnya jumlah mahasiswa baru masuk HMI, tidak terdapatnya HMI
diberbagai perguruan tinggi, institut, fakultas, akademi, program studi,
sebagai basis HMI. (b). Masalah
relevansi pemikiran-pemikiran HMI, untuk melakukan perbaikan dan perubahan yang
mendasar terhadap berbagai masalah yang muncul yang dihadapi bangsa Indonesia. (c). Masalah peran HMI sebagai
organisasi perjuangan yang sanggup tampil dalam barisan terdepan sebagai avent
grade, kader pelopor bangsa dalam mengambil inisiatif untuk melakukan berbagai
perubahan yang sangat dibutuhkan masyarakat. (d). Masalah efektifitas HMI untuk
memecahkan masalah yang dihadapi bangsa, karena banyak organisasi yang sejenis
maupun yang lain, yang dapat dapat tampil lebih efektif dan dapat mengambil
inisiatif terdepan untuk memberi solusi terhadap problem yang dihadapi bangsa
Indonesia.
Sebagai
jawabannya, menurut perpecahan yang bersifat teoritis dan praktis, akan tetapi
semuanya bersifat konseptual, integratif, inklusif. Sebab pendekatan yang tidak
konseptual, parsial dan ekslusif tidak akan melahirkan jawaban yang efektif.
Untuk itu dibutuhkan ide dan pemikiran dari anggota aktifitas kader, dan
pengurus HMI di seluruh jenjang organisasi.
Kedua,
tantangan eksternal. Berbagai tantangan eksternal juga
dihadapkan kepada HMI yang tidak skala besar dan rumitnya dari tantangan
internal, antara lain: (a). Tantangan
menghadapi perubahan jaman yang jauh berbeda dari abad ke-20 dan yang muncul
pada abad ke-21 ini. (b). Tantangan
terhadap peralihan generasi yang hidup
dalam jaman dan situasi yang berada dalam berbagai aspek kehidupan
khususnya yang dijalani generasi muda bangsa. (c). Tantangan untuk mempersiapkan
kader-kader dan alumni HMI, yang akan menggantikan alumni-alumni HMI yang saat
ini menduduki berbagai posisi strategis dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Karena regenerasi atau pergantian pejabat-pejabat,
suka tidak suka, mau tidak mau, pasti terus berlangsung. (d). Tantangan menghadapi bahaya abadi
komunis. (e). Tantangan
menghadapi golongan lain, yang mempunyai misi lain dari umat Islam dan bangsa
Indonesia. (f). Tantangan
tentang adanya kerawanan aqidah.
(g). Tantangan
menghadapi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang terus berkembang tanpa
henti. (h). Tantangan
menghadapi perubahan dan pembaharuan di segala aspek kehidupan manusia yang
terus berlangsung sesuai dengan semangat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang sangat kompetitif. (i). Tantangan
menghadapi masa depan yang belum dapat diketahui bentuk dan coraknya. (j). Kondisi umat Islam di Indonesia
yang dalam kondisinya belum bersatu.
(k). Kondisi
dan keadaan Perguruan Tinggi serta dunia kemahasiswaan, kepemudaan, yang penuh
dengan berbagai persoalan dan problematika yang sangat kompleks. (l). Tantangan HMI menuju Masyarakat Ekonomi
Asean (peny). (m). Tantangan
menghadapi politik Indonesia yang tidak kondusif dan tidak membangun karakter
kebangsaan Indonesia.
Pada
fase tantangan II ini, nampaknya HMI semakin memudar dan mundur yang telah
berlangsung 25 tahun sejenak, dari tahun 1980-2005. HMI tidak mampu bangkit
secara signifikan, bahkan dalam dua periode terakhir PB HMI mengalami
perpecahan. Karena itu, menghadapi tantangan tersebut, HMI dengan segenap
aparatnya harus mampu menghadapinya dengan penuh semangat dan militansi yang
tinggi. Apakah HMI mampu menghadapi tantangan itu, sangat ditentukan oleh
pemegang kendali organisasi sejak dari PB HMI, Pengurus Badko HMI, Cabang HMI,
Korkom HMI, Komisariat, Lembaga-Lembaga Kekaryaan, serta segenap anggota HMI,
maupun alumninya yang tergabung dalam KAHMI sebagai penerus, pelanjut serta
penyempurna mission sacre HMI. Peralihan jaman, peralihan generasi, saat
ini menentukan bagi eksistensi HMI di masa mendatang.
Fase XI: Kebangkitan Kembali
Gelombang
kritik terhadap HMI tentang kemundurannya telah menghasilkan dua umpan balik. Pertama,
telah muncul kesadaran individual dan kesadaran kolektif (bersama-peny)
di kalangan anggota, aktivis, kader, bahkan alumni HMI serta pengurs dimulai
dari Komisariat sampai PB HMI, bahwa HMI sedang mengalami kemunduran. Kedua,
selanjutnya dari kesadaran itu muncul kesadaran baru, baik secara individual
dan kesadaran bersama dikalangan anggota, aktivis, kader, alumni dan pengurus
bahwa dalam tubuh HMI mutlak dilakukan perubahan dan pembaharuan supaya dapat
bangkit kembali seperti masa jaya-jaya dulu.
Sampai
sejauh mana kebenaran dan bukti adanya indikator-indikator kebangkitan kembali
HMI, sejarahlah yang akan menentukan kelak. Kita semua berharap dengan penuh
optimis sesuai dengan ajaran Islam supaya manusia bersikap optimis, agar HMI
dapat mengakhiri masa kemundurannya dan memasuki masa kebangkitannya secara
meyakinkan.
Di
tangan generasi sekaranglah sebagai generasi penerus, pelanjut, dan penyempurna
perjuangan organisasi mahasiswa Indonesia tertua ini (HMI). Yakinkan dengan
Iman, Usahakan dengan Ilmu, Sampaikan dengan Amal, Bahagia HMI, Jayalah Kohati,
Yakin Usaha Sampai.[]
Ket.gbr: net/Ilustrasi
Sumber: http://muniersara.blogspot.co.id
No comments:
Post a Comment