Marx Masuk HMI - Yakusa Blog

Yakusa Blog

Mewujudkan Komunitas Intelektual Muslim

Monday, 18 February 2019

Marx Masuk HMI


YakusaBlog- Tahun 1965 hingga tahun 1966 adalah tahun-tahun genting di Indonesia. Orde Lama, yang dipimpin oleh Bung Karno menemui ajalnya pada tahun 1966. Tak perlu lama, rezim otoriter pun tumbuh dengan nama Orde Baru, yang dipimpin oleh Soeharto. Bayi Orde Baru ini tumbuh hingga cukup dewasa sampai berumur 32 tahun.
Di tahun 1966, turun perintah untuk membasmi seluruh yang tersangka bergabung bersama Partai Komunis Indonesia (PKI). Seluruhnya ditumpas, hanya sedikit yang tersisa, nasib keselamatan pun berpihak pada mereka sebagian kecil. Termasuk Johan, seorang pria berumur 45 tahun, tersangka terlibat dalam PKI, ditumpas habis tanpa penyelidikan dan pengadilan.
Johan, yang sehari-hari hanya bekerja sebagai petani di suatu desa yang ada di Sumatera Utara, dengan penuh kesedihan yang histeris meninggalkan anaknya, Rian karena selamat dari penculikan di malam hari. Isterinya, dua tahun sebelumnya telah meninggal dunia karena sakit dan tidak bisa membeli obat. Mereka hidup sebagai petani kecil dan miskin.
Rian, itu lah nama pemuda yang ditinggalkan oleh Johan. Seorang anak yang ia didik dengan ajaran agama Islam oleh kakeknya semasa hidup. Di malam hari, ia belajar membaca Al-qur’an dan belajara tata cara shalat. Di pagi hari ia sekolah, sepulang sekolah ia membantu orangtua sekuat tenaga yang ia punya. Terkadang menemani ayahnya ke hutan mencari sesuatu yang bisa dijual kepada masyarakat.
Baca juga Cerpen: Semangka HMI
Di depannya, ia melihat sendiri bagaimana ayahnya ditangkap. Ia tidak tahu ke mana ayahnya dibawa oleh sekelompok orang yang tidak dikenalnya. Hingga saat ini, Rian pun tidak pernah lagi melihat sosok pahlawan dalam hidupnya itu. Di mana kuburannya pun ia tidak tahu. Baginya setiap tanah yang ia injak di bumi pertiwi ini, adalah makam ayahnya. Saat itu usianya menjelang 10 tahun.
Setelah kejadian itu, ia pun tinggal bersama orang yang mau menampungnya. Seorang tokoh agama yang sangat disegani di daerahnya. Ia sekolahkan hingga sampai menambatkan Madrasah Tsanawiyah (MTs) atau sederajat dengan Sekolah Menengah Pertama (SMP), Kemudian menamatkan Madrasah Aliyah (MA) atau sederajat dengan Sekolah Menengah Atas (SMA), di suatu Pondok Pesantren di dekat kampungnya.
Setelah tamat SMA, ia pun dikasih pilihan oleh orangtua angkatnya. Apakah ia tetap tinggalk di kampung untuk bekerja atau untuk melanjutkan sekolah di suatu Perguruan Tinggi? Jika ia memilih bekerja di kampung, orangtua angkatnya bersedia memberikan sebidang tanah untuk ia kelola sendiri. Tapi, jika ia memilih untuk melanjutkan sekolah lebih tinggi lagi, orangtua angkatnya tidak memiliki biaya lagi. Usia orangtua angkatnya semakin tua, dan kesehatannya pun sudah mulai berkurang.
Dengan keberanian ia pun memilih melanjutkan sekolah di salah satu perguruan tinggi yang ada di Medan walau sambil bekerja. Dengan restu oleh orangtua angkatnya, ia pun berangkat ke Kota Medan dengan uang secukupnya, hasil tabungannya. Uang itu hanya bisa memperpanjang kehidupannya di Medan beberapa hari saja.
Sesampai di Medan, ia tidak langsung mendapatkan pekerjaan. Hampir dua bulan ia hidup seperti orang pengemis. Tapi, ia pertahankan untuk supaya tidak meminta-minta layaknya seorang pengemis. Demi menjaga mentalitasnya agar tidak menjadi pengemis, seperti banyaknya pejabat yang ia lihat mengemis jabatan kepada rezim yang menghilangkan ayahnya, ia pun terkadang mengambil sisa makanan yang sudah basi di tong sampah.
Dengan kegigihannya ia mencari pekerjaan, ia pun mendapatkan pekerjaan yang bisa hanya memperpanjang hidupnya saja. Tujuan untuk kuliah terpaksa ia tunda dan sambil mengumpulkan biaya kualiah.
Setahun ia telah bekerja. Ia merasa duit yang ia kumpulkan sudah bisa dana awal untuk masuk kuliah. Mendapaftar lah ia ke salah satu perguruan tinggi yang ada di Kota Medan.
Sebulan ia menjalani sebagai status mahasiswa, ia begitu senang dan bahagia karena belajar adalah suatu kenikmatan baginya. Bergumul dengan buku-buku, berdiskusi dengan mahasiswa-mahasiswa lain, adalah suatu dunia yang ia impikan.
Di kampusnya, ia pun bergabung dengan salah satu organisasi yang sangat anti pada pemerintah. Mereka mengatakan gerakan mereka adalah gerakan kiri, karena anti pemerintah. Mengklaim bahwa mereka peduli kepada rakyat-rakyat kecil dan tertindas. Rian pun mulai teringat dengan keadaan masyarakat desanya, dan kembali teringat pada ayahnya yang sebenarnya mulai ia hilangkan dalam ingatannya. Luka lama itu sudah ia ikhlaskan. Waktu itu ia tidak tahu mengapat ayahnya ikut culik padahal tidak terlibat aktif dalam partai yang dilarang oleh rezim Orde Baru. Ia pun tidak menuduh itu adalah perbuatan rezim pemerintah saat itu. Bagi dia mungkin itu adalah suatu kejahatan yang terorganisir yang tidak suka dengan ayahnya. Atau ingin memiliki sesuatu dari ayahnya tapi ayahnya tidak memberikannya.
Satu tahun ia mengikuti organisasi yang ia masuki itu, tinggal di suatu rumah yang mereka jadikan sebagai sekretariat atau tempat berkumpul. Awalnya ia begitu senang dan betah, dapat berdiskusi dan dapat membaca buku-buku, walau secara sembunyi-sembunyi. Karena pada kala itu banyak buku-buku dan pembicaraan-pembicaraan yang disembunyikan karena rezim terus mengintip sesuatu yang ingin menumbangkan tugu otoriter yang sudah dibangun.
Sebagai mahasiswa yang terus mencari kebenaran, ia banyak membaca buku. Ia pun bersentuhan dengan buku yang menjadi tokoh Komunis, Karl Marx dan tokoh-tokoh pemikir komunis lainnya. Rian pun tertarik dengan pemikiran-pemikiran Marx. Dengan begitu tertariknya pada pemikiran Marx, ia pun menambahkan namanya menjadi Rian Marx.
Dua tahun ia sudah aktif di organsasi tersebut, tapi ada sesuatu yang kurang menurutnya. Ia mendapatkan suatu konsumsi pemikiran yang banyak. Tapi, ia merasa spritualnya tidak terisi. Ia pun merasa ada sesuatu yang kurang. Bahkan ia pun berani mengkritik tokoh-tokoh pemikir yang dibanggakan oleh organisasi mereka dan teman-temannya. Kalau hanya anti pemerintah dan demonstrasi yang membuat rezim semakin gila, maka untuk apa ini semua? Demikian dalam benaknya.
Rian Marx pun mencari bagaimana supaya spritualitasnya pun terpenuhi. Gaya pergaualan teman-temannya membuat ia muak dan tidak berbanding lurus dengan apa yang dikatakan dan yang dilakukan. Terkadang, gerakan-gerakan idealismenya hanya topeng belaka. Terkadang hanya terjadi onani pikiran. Terlalu banyak menyalahkan tapi tidak pernah mengkoreksi diri. Banyak sesuatu ia membuat ia resah. Ditambah lagi, saat-saat tertentu ada temannya yang mengejek suatu ajaran agamanya. Sontak, ia pun protes bahwa pemahaman mereka tentang Islam lah yang belum tepat. Islam itu mengajarkan perjuangan juga, Rasulullah Saw memperjuangkan budak, para perempuan, orang miskin dan berhasil merevolusi dunia. Demikian katanya. Marx sendiri hanya banyak berkata saja dalam buku-bukunya tapi tidak dalam prakteknya. Rian Marx pun mulai mengkritik Karl Marx.
 Rian Marx pun melihat kembali dalam negaranya, ternyata bukan hanya ajaran komunis yang dilarang di Indonesia. Ia melihat ajaran Islam yang tidak sesuai maunya rezim otoriter Soeharto harus juga ditumpas. Tokoh-tokoh Islam yang mengkritiknya (Pemerintahan Soeharto) ternyata dilenyapkan. Ia pun mulai sadar dengan kejadian puluhan tahun yang lalu, kejadian yang menimpa ayah kandungnya.
Rian Marx ingat, ayahnya adalah jebolan pesantren yang sangat anti dengan pemerintah, baik di rezim Orde Lama maupun di usia dini rezim Orde Baru. Ayah Rian, semasa mudanya aktif di suatu organisasi Islam, yang kemudian dilarang di Indonesia. Rian Marx sadar, ternyata penculikan ayahnya bukan karena ayahnya terlibat anggota PKI, karena ia tidak pernah sibuk dalam partai.
Rian Marx pun mencari organisasi yang dapat mengisi spritualitasnya dan juga keilmuannya. Dalam belajar ilmu agama dapat juga belajar ilmu dunia. Ia pun menemukan suatu organisasi yang berdiri dua tahun setelah kemerdekaan negara. Mempunyai tujuan yang mempertahankan negara yang ia cintai dan mengajarkan ajaran agama yang ia cintai. Ia pun melepaskan suluruh atribut organisasinya yang sebelumnya, kemudian bergabung dengan HMI.
Baca juga Cerpen: Bidadari Nyasar Di HMI
Setelah ber-HMI, ia pun mendapatkan apa yang ia cari. Baginya juga, Islam bukan hanya agama ritual belaka, tapi Islam adalah suatu agama yang banyak mengajarkan banyak hal. Islam juga mengajarkan tentang perlawanan kepada penguasa yang dzalim. Islam juga mengajarkan supaya menentang ketidak-adilan. Islam mengajarkan kepedulian kepada sosial dan mengjarakan hal-hal terkait masa depan jika ummatnya mau memikirkannya. Dan tidak ada larangan mempergunakan akal untuk mengelola alam semesta ini dengan catatan tidak menyekutukan Tuhan Yang Maha Esa.
Ajaran Muhammad Saw. lebih lengkap daripada ajaran Karl Marx. Intelektual dan spiritual tidaklah bertentangan, dan agama itu adalah alat perjuangan di dunia dan akhirat. Perjuangan untuk kemaslahatan bersama, seluruh manusia, bukan hanya golongan saja. Menentang seluruh apa yang jahat, dan menegakkan seluruh apa yang baik. Rian Marx pun terus ber-HMI, hingga sampai darah dagingnya Hijau-Hitam. Ia hidup dalam kesederhanaan dengan memegang teguh ajaran Islam dan terus mengawal negara Indonesia.[]

Penulis: Ibnu Arsib (Bukan siapa-siapa, hanya manusia biasa).


Ket.gbr: Ilustration
sbr.gbr: http://serikatnews.com/
NB: Cerita di atas adalah cerita karangan, apabila ada nama dan kejadian yang sama, hal itu bukan unsu kesengajaan.

2 comments: