YakusaBlog- Tahun
1965 hingga tahun 1966 adalah tahun-tahun genting di Indonesia. Orde Lama, yang
dipimpin oleh Bung Karno menemui ajalnya pada tahun 1966. Tak perlu lama, rezim
otoriter pun tumbuh dengan nama Orde Baru, yang dipimpin oleh Soeharto. Bayi
Orde Baru ini tumbuh hingga cukup dewasa sampai berumur 32 tahun.
Di
tahun 1966, turun perintah untuk membasmi seluruh yang tersangka bergabung
bersama Partai Komunis Indonesia (PKI). Seluruhnya ditumpas, hanya sedikit yang
tersisa, nasib keselamatan pun berpihak pada mereka sebagian kecil. Termasuk Johan,
seorang pria berumur 45 tahun, tersangka terlibat dalam PKI, ditumpas habis
tanpa penyelidikan dan pengadilan.
Johan,
yang sehari-hari hanya bekerja sebagai petani di suatu desa yang ada di
Sumatera Utara, dengan penuh kesedihan yang histeris meninggalkan anaknya, Rian
karena selamat dari penculikan di malam hari. Isterinya, dua tahun sebelumnya
telah meninggal dunia karena sakit dan tidak bisa membeli obat. Mereka hidup
sebagai petani kecil dan miskin.
Rian,
itu lah nama pemuda yang ditinggalkan oleh Johan. Seorang anak yang ia didik
dengan ajaran agama Islam oleh kakeknya semasa hidup. Di malam hari, ia belajar
membaca Al-qur’an dan belajara tata cara shalat. Di pagi hari ia sekolah,
sepulang sekolah ia membantu orangtua sekuat tenaga yang ia punya. Terkadang menemani
ayahnya ke hutan mencari sesuatu yang bisa dijual kepada masyarakat.
Baca juga Cerpen: Semangka HMI
Di
depannya, ia melihat sendiri bagaimana ayahnya ditangkap. Ia tidak tahu ke
mana ayahnya dibawa oleh sekelompok orang yang tidak dikenalnya. Hingga saat
ini, Rian pun tidak pernah lagi melihat sosok pahlawan dalam hidupnya itu. Di mana
kuburannya pun ia tidak tahu. Baginya setiap tanah yang ia injak di bumi
pertiwi ini, adalah makam ayahnya. Saat itu usianya menjelang 10 tahun.
Setelah
kejadian itu, ia pun tinggal bersama orang yang mau menampungnya. Seorang tokoh
agama yang sangat disegani di daerahnya. Ia sekolahkan hingga sampai
menambatkan Madrasah Tsanawiyah (MTs) atau sederajat dengan Sekolah Menengah Pertama (SMP), Kemudian menamatkan Madrasah Aliyah (MA) atau sederajat dengan Sekolah Menengah Atas (SMA), di
suatu Pondok Pesantren di dekat kampungnya.
Setelah
tamat SMA, ia pun dikasih pilihan oleh orangtua angkatnya. Apakah ia tetap
tinggalk di kampung untuk bekerja atau untuk melanjutkan sekolah di suatu
Perguruan Tinggi? Jika ia memilih bekerja di kampung, orangtua angkatnya
bersedia memberikan sebidang tanah untuk ia kelola sendiri. Tapi, jika ia
memilih untuk melanjutkan sekolah lebih tinggi lagi, orangtua angkatnya tidak
memiliki biaya lagi. Usia orangtua angkatnya semakin tua, dan kesehatannya pun
sudah mulai berkurang.
Dengan
keberanian ia pun memilih melanjutkan sekolah di salah satu perguruan tinggi
yang ada di Medan walau sambil bekerja. Dengan restu oleh orangtua angkatnya,
ia pun berangkat ke Kota Medan dengan uang secukupnya, hasil tabungannya. Uang itu
hanya bisa memperpanjang kehidupannya di Medan beberapa hari saja.
Sesampai
di Medan, ia tidak langsung mendapatkan pekerjaan. Hampir dua bulan ia hidup
seperti orang pengemis. Tapi, ia pertahankan untuk supaya tidak meminta-minta
layaknya seorang pengemis. Demi menjaga mentalitasnya agar tidak menjadi
pengemis, seperti banyaknya pejabat yang ia lihat mengemis jabatan kepada rezim
yang menghilangkan ayahnya, ia pun terkadang mengambil sisa makanan yang sudah
basi di tong sampah.
Dengan
kegigihannya ia mencari pekerjaan, ia pun mendapatkan pekerjaan yang bisa hanya
memperpanjang hidupnya saja. Tujuan untuk kuliah terpaksa ia tunda dan sambil
mengumpulkan biaya kualiah.
Setahun
ia telah bekerja. Ia merasa duit yang ia kumpulkan sudah bisa dana awal untuk
masuk kuliah. Mendapaftar lah ia ke salah satu perguruan tinggi yang ada di
Kota Medan.
Sebulan
ia menjalani sebagai status mahasiswa, ia begitu senang dan bahagia karena
belajar adalah suatu kenikmatan baginya. Bergumul dengan buku-buku, berdiskusi
dengan mahasiswa-mahasiswa lain, adalah suatu dunia yang ia impikan.
Di
kampusnya, ia pun bergabung dengan salah satu organisasi yang sangat anti pada
pemerintah. Mereka mengatakan gerakan mereka adalah gerakan kiri, karena anti
pemerintah. Mengklaim bahwa mereka peduli kepada rakyat-rakyat kecil dan
tertindas. Rian pun mulai teringat dengan keadaan masyarakat desanya, dan
kembali teringat pada ayahnya yang sebenarnya mulai ia hilangkan dalam
ingatannya. Luka lama itu sudah ia ikhlaskan. Waktu itu ia tidak tahu mengapat
ayahnya ikut culik padahal tidak terlibat aktif dalam partai yang dilarang oleh
rezim Orde Baru. Ia pun tidak menuduh itu adalah perbuatan rezim pemerintah
saat itu. Bagi dia mungkin itu adalah suatu kejahatan yang terorganisir yang
tidak suka dengan ayahnya. Atau ingin memiliki sesuatu dari ayahnya tapi
ayahnya tidak memberikannya.
Satu
tahun ia mengikuti organisasi yang ia masuki itu, tinggal di suatu rumah yang
mereka jadikan sebagai sekretariat atau tempat berkumpul. Awalnya ia begitu
senang dan betah, dapat berdiskusi dan dapat membaca buku-buku, walau secara
sembunyi-sembunyi. Karena pada kala itu banyak buku-buku dan
pembicaraan-pembicaraan yang disembunyikan karena rezim terus mengintip sesuatu
yang ingin menumbangkan tugu otoriter yang sudah dibangun.
Sebagai
mahasiswa yang terus mencari kebenaran, ia banyak membaca buku. Ia pun
bersentuhan dengan buku yang menjadi tokoh Komunis, Karl Marx dan tokoh-tokoh pemikir komunis lainnya. Rian pun
tertarik dengan pemikiran-pemikiran Marx. Dengan begitu tertariknya pada
pemikiran Marx, ia pun menambahkan namanya menjadi Rian Marx.
Dua
tahun ia sudah aktif di organsasi tersebut, tapi ada sesuatu yang kurang menurutnya.
Ia mendapatkan suatu konsumsi pemikiran yang banyak. Tapi, ia merasa
spritualnya tidak terisi. Ia pun merasa ada sesuatu yang kurang. Bahkan ia pun
berani mengkritik tokoh-tokoh pemikir yang dibanggakan oleh organisasi mereka
dan teman-temannya. Kalau hanya anti pemerintah dan demonstrasi yang membuat
rezim semakin gila, maka untuk apa ini semua? Demikian dalam benaknya.
Rian
Marx pun mencari bagaimana supaya spritualitasnya pun terpenuhi. Gaya pergaualan
teman-temannya membuat ia muak dan tidak berbanding lurus dengan apa yang
dikatakan dan yang dilakukan. Terkadang, gerakan-gerakan idealismenya hanya
topeng belaka. Terkadang hanya terjadi onani pikiran. Terlalu banyak
menyalahkan tapi tidak pernah mengkoreksi diri. Banyak sesuatu ia membuat ia
resah. Ditambah lagi, saat-saat tertentu ada temannya yang mengejek suatu
ajaran agamanya. Sontak, ia pun protes bahwa pemahaman mereka tentang Islam lah
yang belum tepat. Islam itu mengajarkan perjuangan juga, Rasulullah Saw
memperjuangkan budak, para perempuan, orang miskin dan berhasil merevolusi
dunia. Demikian katanya. Marx sendiri hanya banyak berkata saja dalam
buku-bukunya tapi tidak dalam prakteknya. Rian Marx pun mulai mengkritik Karl
Marx.
Rian Marx pun melihat kembali dalam negaranya,
ternyata bukan hanya ajaran komunis yang dilarang di Indonesia. Ia melihat
ajaran Islam yang tidak sesuai maunya rezim otoriter Soeharto harus juga
ditumpas. Tokoh-tokoh Islam yang mengkritiknya (Pemerintahan Soeharto) ternyata
dilenyapkan. Ia pun mulai sadar dengan kejadian puluhan tahun yang lalu,
kejadian yang menimpa ayah kandungnya.
Rian
Marx ingat, ayahnya adalah jebolan pesantren yang sangat anti dengan
pemerintah, baik di rezim Orde Lama maupun di usia dini rezim Orde Baru. Ayah
Rian, semasa mudanya aktif di suatu organisasi Islam, yang kemudian dilarang di
Indonesia. Rian Marx sadar, ternyata penculikan ayahnya bukan karena ayahnya
terlibat anggota PKI, karena ia tidak pernah sibuk dalam partai.
Rian
Marx pun mencari organisasi yang dapat mengisi spritualitasnya dan juga
keilmuannya. Dalam belajar ilmu agama dapat juga belajar ilmu dunia. Ia pun
menemukan suatu organisasi yang berdiri dua tahun setelah kemerdekaan negara. Mempunyai
tujuan yang mempertahankan negara yang ia cintai dan mengajarkan ajaran agama
yang ia cintai. Ia pun melepaskan suluruh atribut organisasinya yang
sebelumnya, kemudian bergabung dengan HMI.
Baca juga Cerpen: Bidadari Nyasar Di HMI
Setelah
ber-HMI, ia pun mendapatkan apa yang ia cari. Baginya juga, Islam bukan hanya
agama ritual belaka, tapi Islam adalah suatu agama yang banyak mengajarkan
banyak hal. Islam juga mengajarkan tentang perlawanan kepada penguasa yang
dzalim. Islam juga mengajarkan supaya menentang ketidak-adilan. Islam mengajarkan
kepedulian kepada sosial dan mengjarakan hal-hal terkait masa depan jika
ummatnya mau memikirkannya. Dan tidak ada larangan mempergunakan akal untuk
mengelola alam semesta ini dengan catatan tidak menyekutukan Tuhan Yang Maha
Esa.
Ajaran
Muhammad Saw. lebih lengkap daripada ajaran Karl Marx. Intelektual dan spiritual
tidaklah bertentangan, dan agama itu adalah alat perjuangan di dunia dan
akhirat. Perjuangan untuk kemaslahatan bersama, seluruh manusia, bukan hanya
golongan saja. Menentang seluruh apa yang jahat, dan menegakkan seluruh apa
yang baik. Rian Marx pun terus ber-HMI, hingga sampai darah dagingnya
Hijau-Hitam. Ia hidup dalam kesederhanaan dengan memegang teguh ajaran Islam
dan terus mengawal negara Indonesia.[]
Penulis:
Ibnu Arsib (Bukan siapa-siapa, hanya manusia biasa).
Ket.gbr: Ilustration
sbr.gbr: http://serikatnews.com/
NB: Cerita di atas adalah cerita karangan, apabila ada nama dan kejadian yang sama, hal itu bukan unsu kesengajaan.
Sadap...
ReplyDeleteTerimakasih sudah membaca dan memberikan tanggapan.
Delete