YakusaBlog- Lima
Februari Dua Ribu Sembilan Belas, HMI sah berusia Tujuh Puluh Dua tahun. Tak
perlu ada buku yang harus dicatat karena sejarah sendiri sudah mencatatnya. Tak
perlu ada saksi, karena tanah Pertiwi ini sendiri telah merasakannya. Tak perlu
untuk diperintah mengingatkannya, di setiap media sosial, baik itu daring maupun luring, kader-kader dan alumninya sudah ingat dan mengucapkannya.
Di
ulang tahun HMI yang ke-72, Satia, seorang kader HMI-Wan di HMI Cabang yang ada
di daerah Sumatera Barat, ikut memperingati Milad HMI ke-72 yang dilaksankan
oleh Cabangnya sendiri. Ia mengobarkan waktunya, yang seharusnya pulang kampung
ke daerah Tapanuli, untuk mengikuti atau merayakan milad organisasi yang ia
cintai.
“Manga ang ka siko? (Mengapa kamu ke sini?)”
Di tengah-tengah keramain, sebelum kegiatan dimulai, seorang temannya
menegurnya.
Tia
(nama panggilannya) terkejut saat temannya bertanya secara tiba-tiba dari
belakang sambil memukul pelan lengannya. Tia tersenyum tidak menjawab.
“Mengapa kau di sini?” Temannya bertanya lagi.
“Ambo (aku) kan kader HMI. Salahkah kok amboikuik? (Salahkah kalau aku ikut)” Jawab Tia
dalam bahasa minang seadanya.
Tia
sebenarnya belum lancar berbahasa Minang, karena ia masih setahun di daerah
Minang itu. Tempat ia kuliah mengambil jurusan pendidikan. Cita-cita menjadi
seorang guru sudah tertanam sejak ia di pesantren. Di HMI, walau masih
dikatakan baru, ia sudah aktif membuat les privat gratis bagi anak-anak yang
kurang mampu di lingkungannya.
“Indak baitu maksud ambo.” (Bukan begitu
maksudku). Temannya itu memperjelas. “Tapi kau bilangkan, ang (kau) mau baliak ke kampuang (pulang ke kampung).” Temannya
melanjutkan.
“Indak jadi ambo baliak.” (Tidak jadi aku
pulang). Jawab Tia. Sambil menatap ke suatu arah. Ia berhenti pada titik arah
yang begitu indah. Lebih indah dari titik koordinat bumi berdasarkan garis
lintang dan garis bujur.
“Tuhan…,
rancaknyo…” (Tuhan… cantiknya…). Tia
tak sengajar mengeluarkan suara itu dari mulutnya. Memuji titik arah yang
dilihatnya secara horizontal dan tidak jauh dari tempatnya terpaku.
Temannya
itu heran melihat Tia. Temannya itu pun melihat secara horizontal ke titik arah
yang dilihat oleh Tia. Temannya itu mengangguk-anggukkan kepalanya karena sudah
paham kenapa Tia mengatakan seperti itu. “Hmmm…” Cetusnya.
Tia
terus memandangi kearah titik indah itu. “Itu makhluk apa? Kenapa begitu rancak (cantik). Memang putri-putri
minang ini luar biasa cantiknya. Itu bidadari yang sengaja dijatuhkan ke bumi
oleh Tuhan.” Sambil ia menatap ke atas.
“Hei…Tia.”
Temannya itu menggoyang-goyangkan lengannya. “Kalau mengenai perempuan, ang cepat kali.” Kata temannya.
“Makhluk
seperti itu siapa yang tidak mengaguminya. Itu bidadari yang diturunkan ke
bumi.” Kata Tia.
“Iya,
kemudian sasek ke HMI.” Kata
temannya.
“Apa
itu sasek?” Tanya Tia. Ia tidak tahu
apa arti sasek, maklumlah vocabubulary-nya belum kaya. “Jangan kau
bilang sangek.” Lanjut Tia menuduh temannya
piktor (pikiran kotor).
“Sembarangan
kau. Sasek itu artinya nyasar. Dia nyasar
di HMI maksudku.” Temannya menjelaskan.
“Ooo…baitu.” (Ooo…begitu). “Hahaha…” Tia
tertawa.
“Kenapo ang galak?” (Kenapa kamu ketawa).
Tanya temannya.
“Hahaa…
dia sangek…” Kata-kata Tia langsung
terpotong.
“Hussh…
bicaro kadoh ang.” (Hussh.. ngomong
jorok kau). Temannya memotong sambil memukul pelan lengannya.
“Maksudku
sasek…sasek…nyasar. Iya, maksudku nyasar di HMI.” Tia memperbaiki
kata-katanya sambil tersenyum pada temannya. “Dia nyasar dan ketemu aku. Hehehe…”
Tia tertawa kecil pada temannya.
“Kau
sudah kenalan dengannya?”
“Belum…”
Jawab Tia dengan senyuman ramah pada temannya.
“Terus,
kenapa kau katakan, Dia nyasar kemudian ketemu samamu?” Tanya temannya heran.
“Nanti.
Aku ramal aku bisa kenalan dengannya.”
“Sok
jadi peramal kau.” Ketus temannya. “Huh, sok jadi Dilan kau.” Lanjutnya.
Tia
diam tidak menyahuti perkataan temannya. Tia terus memperhatikan ke titik indah
itu. Matahari yang mulai menepi pun sepertinya ingin melihat sekali lagi wajah
bidadari itu sebelum kembali menerangi pulau lain.
Bidadari itu mulai begitu sibuk menyalami teman-temannya, juga menyalami
para alumni-alumni HMI yang berhadir. Terlihat goresan senyuman yang indah
diwajahnya. Busana yang ia pake sore hari itu sangat indah, sehingga menambah
kecerahan pada wajahnya yang memancarkan cahaya. Bidadari itu tidak memakai makeup. Kecantikannya timbul dari dalam,
inner beauty, sehingga terpancar oleh
kulit wajahnya yang indah. Tidak terlihat sedikit pun goresan lipstik di bibir
tipisnya.
Senyumnya
indah sekali. Bibirnya berwarna merah alami semerah jambu air. Jilbabya berwarna
hijau hingga bersatu keindahan dengan warna busana syar’i yang dipakainya. Melingkar
Gordon (salempang) HMI di lehernya, sehingga menambah elegan.
“Nampaknya
ia bukan kader biasa. Ia pasti ada jabatan di HMI.” Ketus Tia.
“Memang
iya. Dia adalah Ketua Umum Kohati di komisariatnya.” Temannya menjelaskan.
“Mengapo ang tau?” (Mengapa kau tahu).
Tanya Tia penasaran.
“Dek ambo batamu dengannyo.” (Karena aku
bertemu dengannya.) Kata temannya.
“Ambo jugo musiti betamu dengannyo.” (Aku
juga harus bertemu dengannya).
“Terserah.”
Jawab temannya cuek. “Tapi dia itu senior kita di kampus dan di HMI. Dia itu
sudah semester lima dan sudah duluan masuk HMI dari kito (kita).” Temannya mematahkan semangat Tia.
“Ambo indak paduli.” (Aku tidak peduli).
Tia tidak mau kalah dan tidak mau dipatahkan semangatnya.
“Liek!” (Lihat). Kata Tia, dan temannya
itu pun melihat ke arah bidadari itu sedang berdiri menyalami alumni-alumni dan
teman-temannya yang baru hadir. “Aku yakin, selain rancak (cantik) pasti ia juga cadiak
(pintar). Memang begitulah seharusnya seorang perempuan. Ia harus cantik, luar
dan dalam hati serta harus pintar.” Tia lanjut memuji.
“Ah,
ang kesiko namuah maliek paja tu atau
namuah mamparingati Milad HMI?” (Ah,
kau ke sini mau melihat dia atau mau memperingati Milad HMI?” Tanya temannya.
“Mau
memperingati HMI lah. Dan Alhamdulillah, ia pertemukan aku dengan bidadari.
Hahaa…” Kali ini Tia tertawa sedikit keras. “Ada untungnya juga aku gak jadi
pulang kampung. Aku bisa memperingati HMI yang kucintai dengan dia yang akan ku…”
Suara Tia terpotong.
“Udah..udah.
Aku gak mau ngomongin Dia lagi.” Kata temannya.
“Tapi
aku ingin tahu namanya.” Kata Tia.
“Namanya
Dia.” Jawab temannya.
Karena
Tia tidak konsentrasi mendengarkan jawaban temannya, Tia pikir itu pertanyaan.
Tia pun balik bertanya, “Namanya siapa?”
“Namanya,
Dia.”
“Iya.
Siapa namanya?” Tanya Tia lagi padahal sudah diberitahu oleh temannya.
“Jumpa
dia aja langsung. Tanya langsung sendiri.” Temanya sedikit emosi. “Udah ah,
malas ngomong samamu.” Kata temannya lagi.
Temannya
pun meninggalkan mencari tempat duduk karena acara mau dimulai. Tia tetap
memandangi bidari itu. Bidadari itu sudah mengambil posisi duduk bersama
beberapa alumni berjilbab sama dengannya.
Tia
melihat ke kiri dan kanan, takut tidak mendapatkan kursi, ia pun berlari ke
arah tempat duduk temannya tadi. Wajah bidadari itu sudah menghilang dari penglihatan tapi masih terbayang diingatannya. Wajah itu sudah mengarah kepada pembawa acara. Sesaat
lagi akan dilaksanakan serangkaian kegiatan.
Tia
tersenyum lagi pada temannya saat ia duduk disampingnya. Senyumnya seperti
senyum orang tak berdosa. Temannya tidak membalas senyumannya, tapi berkata, “Awas
kalau ang ngomongin Dia lagi.” Ancam
temannya supaya Tia tidak ribut. Tia hanya mengangguk-angguk dengan senyuman.
Acara
pun dibuka oleh MC dengan mungucapakan
salam. Firman Allah yang suci pun dibaca oleh seorang kader HMI-Wan, seluruh
yang ada di dalam ruangan itu terdiam khusyuk mendengarkan. Seorang kader itu
membacakan surah Al-Anfal yang dimulai dari ayat 20 hingga ayat 27. Disaat memasuki
ayat 27, seorang kader yang membaca Al-qur’an di depan seluruh para undangan
dan panitia pelaksana, ia sempat dia hampir satu menit sambil meneteskan air
mata. Dalam ayat 27 tersebut sangat menyentuh hatinya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghianati Allah dan
Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu menghianati amanat-amanat yang
dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” Demikian terjemahannya jika
dilafaskan dalam bahasa kita sehari-hari.
Entah
apa sebab ia menangis, apakah karena dia banyak menghianati Allah dan
Rasul-Nya, atau kader-kader HMI banyak menghianati Allah dan Rasul-Nya yang
mengatasnamakan organisasi Islam, dan banyak para pengemban amanah di HMI tidak
menjalankan amanah yang dipercayakan kepadanya? Hanya Allah lah dan dialah yang
tahu sebab ia menetas air mata kemudian ia membacakan ayat 27 sebagai penutup
bacaannya.
Setelah
kegiatan selesai dilaksanakan, berbagai rangkaian akhirnya terlaksanakan dengan
tuntas dan sukses. Akhirnya Tia, mendapatkan kesempatan untuk berkenalan dengan
bidadari yang nyasar di HMI itu. Walau hanya mendapatkan nama dan bersalaman
dengan bidadari itu, Tia sudah senang. Setidaknya lembutnya surga bisa ia
rasakan melalui tangan Ketua Kohati itu.
“Aku
udah dapat namanya.” Kata Tia pada temannya yang tadi. “Namanya, Dia.” Lanjut
Tia.
“Kan,
aku udah bilang tadi, Dia, namanya. Kau tak percaya.” Jawab temannya dengan
kesal. "Ongok ang..." (Tolol kau). Temannya mengucapkannya ditelinga Tia. Tidak ada yang mendengarnya kecuali Tia.
“Hehehe…”
Tia hanya cengar-cengir pada temannya.
Tiba-tiba
saja nama Dia dipanggil untuk membacakan sebuah puisi diiringi musik sebagai
bentuk hiburan kepada seluruh undangan. Tia tersenyum seluas bumi dengan titik
koordinat pada perempuan itu. Mata Tia tidak berkedip selama bidadari itu
berada di depan membacakan puisi dengan diiringi musik. Dan telinganya terbuka
lebar, selebar daun Victoria Regia. Tubuhnya berdiri kokoh dan tak goyang,
seperti kokohnya Jam Gadang.[]
Baca juga Cerpen: Indikator Kemunduran HMI Zaman Now
Penulis: Ibnu Arsib (Bukan siapa-siapa, hanya manusia biasa).
ket.gbr: Ilustration
Nb: Apabila ada kesamaan nama dan cerita, penulis minta maaf, karena itu bukan unsur kesengajaan. Tarimo kasi (Terimakasih).
No comments:
Post a Comment