Bidadari Nyasar Di HMI - Yakusa Blog

Yakusa Blog

Mewujudkan Komunitas Intelektual Muslim

Thursday, 14 February 2019

Bidadari Nyasar Di HMI


YakusaBlog- Lima Februari Dua Ribu Sembilan Belas, HMI sah berusia Tujuh Puluh Dua tahun. Tak perlu ada buku yang harus dicatat karena sejarah sendiri sudah mencatatnya. Tak perlu ada saksi, karena tanah Pertiwi ini sendiri telah merasakannya. Tak perlu untuk diperintah mengingatkannya, di setiap media sosial, baik itu daring maupun luring, kader-kader dan alumninya sudah ingat dan mengucapkannya.
Di ulang tahun HMI yang ke-72, Satia, seorang kader HMI-Wan di HMI Cabang yang ada di daerah Sumatera Barat, ikut memperingati Milad HMI ke-72 yang dilaksankan oleh Cabangnya sendiri. Ia mengobarkan waktunya, yang seharusnya pulang kampung ke daerah Tapanuli, untuk mengikuti atau merayakan milad organisasi yang ia cintai.
Manga ang ka siko? (Mengapa kamu ke sini?)” Di tengah-tengah keramain, sebelum kegiatan dimulai, seorang temannya menegurnya.
Tia (nama panggilannya) terkejut saat temannya bertanya secara tiba-tiba dari belakang sambil memukul pelan lengannya. Tia tersenyum tidak menjawab.
“Mengapa kau di sini?” Temannya bertanya lagi.
Ambo (aku) kan kader HMI. Salahkah kok amboikuik? (Salahkah kalau aku ikut)” Jawab Tia dalam bahasa minang seadanya.
Tia sebenarnya belum lancar berbahasa Minang, karena ia masih setahun di daerah Minang itu. Tempat ia kuliah mengambil jurusan pendidikan. Cita-cita menjadi seorang guru sudah tertanam sejak ia di pesantren. Di HMI, walau masih dikatakan baru, ia sudah aktif membuat les privat gratis bagi anak-anak yang kurang mampu di lingkungannya.
Indak baitu maksud ambo.” (Bukan begitu maksudku). Temannya itu memperjelas. “Tapi kau bilangkan, ang (kau) mau baliak ke kampuang (pulang ke kampung).” Temannya melanjutkan.
Indak jadi ambo baliak.” (Tidak jadi aku pulang). Jawab Tia. Sambil menatap ke suatu arah. Ia berhenti pada titik arah yang begitu indah. Lebih indah dari titik koordinat bumi berdasarkan garis lintang dan garis bujur.
“Tuhan…, rancaknyo…” (Tuhan… cantiknya…). Tia tak sengajar mengeluarkan suara itu dari mulutnya. Memuji titik arah yang dilihatnya secara horizontal dan tidak jauh dari tempatnya terpaku.
Temannya itu heran melihat Tia. Temannya itu pun melihat secara horizontal ke titik arah yang dilihat oleh Tia. Temannya itu mengangguk-anggukkan kepalanya karena sudah paham kenapa Tia mengatakan seperti itu. “Hmmm…” Cetusnya.
Tia terus memandangi kearah titik indah itu. “Itu makhluk apa? Kenapa begitu rancak (cantik). Memang putri-putri minang ini luar biasa cantiknya. Itu bidadari yang sengaja dijatuhkan ke bumi oleh Tuhan.” Sambil ia menatap ke atas.
“Hei…Tia.” Temannya itu menggoyang-goyangkan lengannya. “Kalau mengenai perempuan, ang cepat kali.” Kata temannya.
“Makhluk seperti itu siapa yang tidak mengaguminya. Itu bidadari yang diturunkan ke bumi.” Kata Tia.
“Iya, kemudian sasek ke HMI.” Kata temannya.
“Apa itu sasek?” Tanya Tia. Ia tidak tahu apa arti sasek, maklumlah vocabubulary-nya belum kaya. “Jangan kau bilang sangek.” Lanjut Tia menuduh temannya piktor (pikiran kotor).
“Sembarangan kau. Sasek itu artinya nyasar. Dia nyasar di HMI maksudku.” Temannya menjelaskan.
“Ooo…baitu.” (Ooo…begitu). “Hahaha…” Tia tertawa.
Kenapo ang galak?” (Kenapa kamu ketawa). Tanya temannya.
“Hahaa… dia sangek…” Kata-kata Tia langsung terpotong.
“Hussh… bicaro kadoh ang.” (Hussh.. ngomong jorok kau). Temannya memotong sambil memukul pelan lengannya.
“Maksudku saseksasek…nyasar. Iya, maksudku nyasar di HMI.” Tia memperbaiki kata-katanya sambil tersenyum pada temannya. “Dia nyasar dan ketemu aku. Hehehe…” Tia tertawa kecil pada temannya.
“Kau sudah kenalan dengannya?”
“Belum…” Jawab Tia dengan senyuman ramah pada temannya.
“Terus, kenapa kau katakan, Dia nyasar kemudian ketemu samamu?” Tanya temannya heran.
“Nanti. Aku ramal aku bisa kenalan dengannya.”
“Sok jadi peramal kau.” Ketus temannya. “Huh, sok jadi Dilan kau.” Lanjutnya.
Tia diam tidak menyahuti perkataan temannya. Tia terus memperhatikan ke titik indah itu. Matahari yang mulai menepi pun sepertinya ingin melihat sekali lagi wajah bidadari itu sebelum kembali menerangi pulau lain.
Bidadari itu mulai begitu sibuk menyalami teman-temannya, juga menyalami para alumni-alumni HMI yang berhadir. Terlihat goresan senyuman yang indah diwajahnya. Busana yang ia pake sore hari itu sangat indah, sehingga menambah kecerahan pada wajahnya yang memancarkan cahaya. Bidadari itu tidak memakai makeup. Kecantikannya timbul dari dalam, inner beauty, sehingga terpancar oleh kulit wajahnya yang indah. Tidak terlihat sedikit pun goresan lipstik di bibir tipisnya.
Senyumnya indah sekali. Bibirnya berwarna merah alami semerah jambu air. Jilbabya berwarna hijau hingga bersatu keindahan dengan warna busana syar’i yang dipakainya. Melingkar Gordon (salempang) HMI di lehernya, sehingga menambah elegan.
“Nampaknya ia bukan kader biasa. Ia pasti ada jabatan di HMI.” Ketus Tia.
“Memang iya. Dia adalah Ketua Umum Kohati di komisariatnya.” Temannya menjelaskan.
Mengapo ang tau?” (Mengapa kau tahu). Tanya Tia penasaran.
Dek ambo batamu dengannyo.” (Karena aku bertemu dengannya.) Kata temannya.
Ambo jugo musiti betamu dengannyo.” (Aku juga harus bertemu dengannya).
“Terserah.” Jawab temannya cuek. “Tapi dia itu senior kita di kampus dan di HMI. Dia itu sudah semester lima dan sudah duluan masuk HMI dari kito (kita).” Temannya mematahkan semangat Tia.
Ambo indak paduli.” (Aku tidak peduli). Tia tidak mau kalah dan tidak mau dipatahkan semangatnya.
Liek!” (Lihat). Kata Tia, dan temannya itu pun melihat ke arah bidadari itu sedang berdiri menyalami alumni-alumni dan teman-temannya yang baru hadir. “Aku yakin, selain rancak (cantik) pasti ia juga cadiak (pintar). Memang begitulah seharusnya seorang perempuan. Ia harus cantik, luar dan dalam hati serta harus pintar.” Tia lanjut memuji.
“Ah, ang kesiko namuah maliek paja tu atau namuah mamparingati Milad HMI?” (Ah, kau ke sini mau melihat dia atau mau memperingati Milad HMI?” Tanya temannya.
“Mau memperingati HMI lah. Dan Alhamdulillah, ia pertemukan aku dengan bidadari. Hahaa…” Kali ini Tia tertawa sedikit keras. “Ada untungnya juga aku gak jadi pulang kampung. Aku bisa memperingati HMI yang kucintai dengan dia yang akan ku…” Suara Tia terpotong.
“Udah..udah. Aku gak mau ngomongin Dia lagi.” Kata temannya.
“Tapi aku ingin tahu namanya.” Kata Tia.
“Namanya Dia.” Jawab temannya.
Karena Tia tidak konsentrasi mendengarkan jawaban temannya, Tia pikir itu pertanyaan. Tia pun balik bertanya, “Namanya siapa?”
“Namanya, Dia.”
“Iya. Siapa namanya?” Tanya Tia lagi padahal sudah diberitahu oleh temannya.
“Jumpa dia aja langsung. Tanya langsung sendiri.” Temanya sedikit emosi. “Udah ah, malas ngomong samamu.” Kata temannya lagi.
Temannya pun meninggalkan mencari tempat duduk karena acara mau dimulai. Tia tetap memandangi bidari itu. Bidadari itu sudah mengambil posisi duduk bersama beberapa alumni berjilbab sama dengannya.
Tia melihat ke kiri dan kanan, takut tidak mendapatkan kursi, ia pun berlari ke arah tempat duduk temannya tadi. Wajah bidadari itu sudah menghilang dari penglihatan tapi masih terbayang diingatannya. Wajah itu sudah mengarah kepada pembawa acara. Sesaat lagi akan dilaksanakan serangkaian kegiatan.
Tia tersenyum lagi pada temannya saat ia duduk disampingnya. Senyumnya seperti senyum orang tak berdosa. Temannya tidak membalas senyumannya, tapi berkata, “Awas kalau ang ngomongin Dia lagi.” Ancam temannya supaya Tia tidak ribut. Tia hanya mengangguk-angguk dengan senyuman.
Acara pun dibuka oleh MC dengan mungucapakan salam. Firman Allah yang suci pun dibaca oleh seorang kader HMI-Wan, seluruh yang ada di dalam ruangan itu terdiam khusyuk mendengarkan. Seorang kader itu membacakan surah Al-Anfal yang dimulai dari ayat 20 hingga ayat 27. Disaat memasuki ayat 27, seorang kader yang membaca Al-qur’an di depan seluruh para undangan dan panitia pelaksana, ia sempat dia hampir satu menit sambil meneteskan air mata. Dalam ayat 27 tersebut sangat menyentuh hatinya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu menghianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” Demikian terjemahannya jika dilafaskan dalam bahasa kita sehari-hari.
Entah apa sebab ia menangis, apakah karena dia banyak menghianati Allah dan Rasul-Nya, atau kader-kader HMI banyak menghianati Allah dan Rasul-Nya yang mengatasnamakan organisasi Islam, dan banyak para pengemban amanah di HMI tidak menjalankan amanah yang dipercayakan kepadanya? Hanya Allah lah dan dialah yang tahu sebab ia menetas air mata kemudian ia membacakan ayat 27 sebagai penutup bacaannya.
Setelah kegiatan selesai dilaksanakan, berbagai rangkaian akhirnya terlaksanakan dengan tuntas dan sukses. Akhirnya Tia, mendapatkan kesempatan untuk berkenalan dengan bidadari yang nyasar di HMI itu. Walau hanya mendapatkan nama dan bersalaman dengan bidadari itu, Tia sudah senang. Setidaknya lembutnya surga bisa ia rasakan melalui tangan Ketua Kohati itu.
“Aku udah dapat namanya.” Kata Tia pada temannya yang tadi. “Namanya, Dia.” Lanjut Tia.
“Kan, aku udah bilang tadi, Dia, namanya. Kau tak percaya.” Jawab temannya dengan kesal. "Ongok ang..." (Tolol kau). Temannya mengucapkannya ditelinga Tia. Tidak ada yang mendengarnya kecuali Tia.
“Hehehe…” Tia hanya cengar-cengir pada temannya.
Tiba-tiba saja nama Dia dipanggil untuk membacakan sebuah puisi diiringi musik sebagai bentuk hiburan kepada seluruh undangan. Tia tersenyum seluas bumi dengan titik koordinat pada perempuan itu. Mata Tia tidak berkedip selama bidadari itu berada di depan membacakan puisi dengan diiringi musik. Dan telinganya terbuka lebar, selebar daun Victoria Regia. Tubuhnya berdiri kokoh dan tak goyang, seperti kokohnya Jam Gadang.[]

Penulis: Ibnu Arsib (Bukan siapa-siapa, hanya manusia biasa).


ket.gbr: Ilustration
Nb: Apabila ada kesamaan nama dan cerita, penulis minta maaf, karena itu bukan unsur kesengajaan. Tarimo kasi (Terimakasih).

No comments:

Post a Comment