Indikator Kemunduran HMI Zaman Now - Yakusa Blog

Yakusa Blog

Mewujudkan Komunitas Intelektual Muslim

Wednesday, 13 February 2019

Indikator Kemunduran HMI Zaman Now


YakusBlog- Akhir bulan Januari 2019, mendekati usia tua HMI, organisasi yang telah banyak melahirkan sumber daya manusia berkualitas, selebihnya berada dalam “tong sampah”. Pani, seorang kader HMI cabang kecil yang berasal dari Sumatera, baru selesai mengikuti Latihan Kader II, atau bahasa kerennya Intermediate Training yang dilaksankan oleh salah satu Cabang HMI yang ada di Jawa.
Pani begitu bangga, walau tidak menjadi peserta terbaik di antara teman-temannya, tapi ia telah dinyatakan lulus mengikuti training LK II. Di dalam bus, menuju Ibu Kota Indonesia tercinta ini, ia tersenyum-senyum melihat sertifikatnya. Belum sampai tiga hari ia berpisah dengan teman-temannya, juga dengan para panitia pelaksana, serta dengan instruktur atau pengelolanya, Pani sudah begitu kangen dengan mereka semua. Apalagi, dengan seseorang yang menurutnya sangat spesial di matanya. Makhluk Tuhan yang tercipta di Surga, kemudian dijatuhkan ke bumi, dan bersua pula dengannya di HMI. “Kapan lagi ya, aku bisa ketemu dengannya?” Pani bertanya pada dirinya sendiri. Ia tersenyum membayangkan wajah itu. Percakapan mereka berdua masih terdengar syahdu ditelinganya.
Walau berasal dari Cabang kecil dan dengan wawasan yang pas-pasan, ia memberanikan diri untuk melaga ilmu di jawa. Bertemu dengan kader-kader HMI yang berproses dalam lingkungan yang literasinya sangat tinggi dibandingkan dengan di daearahnya yang sangat rendah. Belum sampai ia membaca buku di atas lima puluh buku, ia sudah berani mengikuti LK II. Suatu tradisi yang sangat menurun, menurut perkataan senior-seniornya yang sudah alumni HMI.
Ada penyesalan yang muncul pada dirinya sendiri. Penyesalan yang belum terlambat untuk dipertanggungjawabkan. Berkat training yang diikutinya, ia tersadarkan oleh lingkungan LK II dan oleh karena para instrukturnya, bahwa wawasannya sangat minim. Referensi yang ia miliki sangat minim, sehingga membuat ia banyak terdiam saat di dalam forum. Argumentasinya sangat mudah dipatahkan oleh beberapa teman-temannya. “Andaikan saja dulu aku banyak membaca setelah mengikuti LK I, pasti wawasanku luas.” Ia berandai-andai seiring bus membawa menujut Ibu Kota. Tapi ia punya kelebihan, pandai merangkul pertemanan. Afeksi dan psikomotoriknya bagus sekali.
Ia pun memasukkan sertifikatnya ke dalam tas, kemudian mengeluarkan buku untuk menemaninya di dalam bus. “Alhamdulillah, setidaknya dengan aku mengikuti LK ini aku bisa sadar.” Gumamnya dengan suara pelan. Seseorang yang barada di sampingnya sampai menoleh padanya. “Untuk kedepannya, aku harus banyak membaca. Aku harus meninggalkan kegiatan-kegiatan yang tidak bermanfaat dan yang banyak menyita waktu membaca.” Sekarng lanjutnya dalam hati. Ia tidak ingin seseorang yang disampingnya menoleh lagi padanya. Ia takut dikatan orang gila atau sedang stress.
Ia memulai membuka buku dan membaca judul buku tersebut dalam hati. Ia perhatikan dan pahami dengan baik judul buku itu. “44 Indikator Kemunduran HMI” demikian judul buku yang ia pegang. Buku yang sudah lumayan tua semenjak ditulis oleh seorang sejarahwan HMI, Alm. Prof. Agussalim Sitompul. Buku tersebut suatu kritik yang belum sepenuh terjawab oleh kader-kader HMI saat ini.
“Sepertinya bukan empat puluh empat lagi.” Katanya dalam hati.
“Terus sudah menjadi berapa?” Suatu pertanya muncul entah dari mana datangnya memasuki ruang pikirnya Pani.
“Sekarang sudah empat puluh lima, bahkan juga bisa lebih.” Ia menjawab.
“Oke, coba sebutkan yang satu lagi itu!” Sebuah suara memerintahkannya, dan hanya telinga hatinya yang bisa mendengar.
“Terjadinya daulisme kepengurusan PB HMI, saat ini.” Jawab Pani.
“Bukankah dari dulu. Seperti adanya HMI Dipo dan HMI MPO?”
“Bukan itu maksudku. Hal itu sudah dianggap selesai.” Ia membela diri.
“Dualisme yang mana maksudmu?” Pertanyaan muncul lagi entah dari mana memasuki ruang akalnya dan ruang hatinya.
“Ya, HMI yang aku tempati sekarang. Sekretariat PB HMI yang beralamatkan di Jln. Sultan Agung. No. 25 A, Jaksel.”
“Tempat yang mau kau tuju setelah sampai di Ibu Kota?”
“Iya.” Jawabnya padat.
Rasanya ia ingin menyudahi percakapan itu. Menurutnya, sudah tidak pantas lagi para senior-seniornya yang berada di PB HMI, dijadikan contoh. Jika di tingkat pusat rusak, bagaimana lagi di tingkat daerah-daerah, dari cabang hingga komisariat. Demikian menurut pendapatnya.
“Lantas, kau mengakui yang mana?” Suara itu bertanya pada Pani.
“Aku sendiri pun bingung. Dua-duanya mengekui yang sah.”
“Aneh ya, Pan…?”
“Yaps. Itu mengapa aku mengatakan bahwa indicator kemunduran HMI sudah bertambah.”
“Dapatkah kau menyebutkan satu indicator lagi padaku?” Tanya makhluk yang memasuki hati dan pikirannya itu.
“Aku pikir kau lebih tahu itu.” Jawab Pani. “Aku ini apalah, hanya kader HMI, yang baru berproses di tingkat komisariat. Hendak ingin menjadikan mereka yang di PB HMI sebagai contoh ber-HMI. Ah, mereka malah mengajari sesuatu yang tidak baik.” Lanjutnya.
“Aku mohon, Pan!” Paksa suara aneh itu.
Pani diam sejenak. Ia takut salah menyebutkan. Menurutnya, ada kebiasaan buruk di HMI ini. Yaitu, jika pendapat atau saran baik itu berasal dari bawah, maka pendapat atau saran itu akan di kesampingkan. Di bunag ke tong sampah, dan hanya sebentar disimpan di dalam ruang telinga, tidak sampai menembus pikiran dan hati. Tapi, jika pendapat atau saran itu datang dari atas, tidak perlu benar atau salah, maka banyak kader HMI yang mau dan nurut (manut).
“Terjadi suatu sistem feodalistik di HMI ini. Islam hanya cover saja. Tapi perilakunya dalam ber-HMI jauh dari Islam. Lebih baik saja, azas diganti. Supaya tidak menjadi kader organisasi yang munafik.” Pani begitu emosi mengucapkannya dalam hati.
“Bolehkah aku mengetahui indikator kemunduran HMI yang lainnya, Pan?” Tanya suara itu lagi.
“Yang mana, sesuai yang ditulis oleh Agussalim Sitompul atau menurutku?” Pani bertanya balik.
“Menurutmu saja. Kalau menurut Agussalim, aku sudah baca. Kau aja yang malas membacanya semenjek LK I. Sekarang baru kau baca. Menurutku juga kau terlambat.” Suara itu malah menghakimi Pani.
“Nah, itu kau tahu dan keterlambatan ku ini bisa menjadi indicator kemunduran HMI.” Kata Pani pada suara itu supaya suara itu puas.
“Begitu maksudku, Pan. Memang benar lemah tradisi baca kader HMI membuat HMI meurun. Tapi, itu sudah ada ditulis oleh Agussalim Sitompul. Sekarang aku mau dengar menurutmu. Seorang kader yang sadar dan resah melihat keadaan HMI saat ini.” Suara itu tidak mau Pani berhenti berdiskusi.
Bus berhenti sebentar karena ada penumpang mau naik. Mereka sampai di suatu kota kecil yang berada di Pulau Jawa, tidak beberapa jam lagi akan sampai di Ibu Kota. Ia meraih air minumnya dan menyedotnya dengan pipet.
Pani pun menjawab, memenuhi permintaan suara aneh itu, “Menurutku, indicator selanjutnya adalah banyak kader HMI yang rakus jabatan, setelah mendapatkannya ia tidak tahu berbuat apa.” Ia diam sejenak, dan suara itu pun memasak telinganya dengan baik. “Selanjutnya, muncul suatu tradisi buruk di HMI dengan saling menjatuhkan dan saling menjelek-jelekkan. Dan selanjutnya kuatnya intervensi alumni-alumni HMI.” Pani tidak sidah ia telah menyebutkan lebih dari satu. Ia menekan suaranya dalam hati saat menyebutkan kata saling menjatuhkan dan intervensi.
Suara itu pun diam dan tidak bertanya lagi. “Sudah ah, aku mau baca buku” Pani memberhentikan percakapan. Pani pun membaca halaman demi halaman. Meresapi dan memahami apa yang dituliskan oleh Agussalim Sitompul. Tidak lami lagi, ia akan sampai di sarang kader-kader yang saling menjatuhkan dan menjelek-jelekkan. Sampai di sarangnya kader-kader HMI yang rakus dan tamak jabatan. Mungkin ia pun akan menyalami mereka yang saling mengaku sebagai pengurus yang sah.
“Aku kesekret PB HMI bukan untuk berjumpa dengan mereka. Aku kesekret PB HMI, karena tidak ada lagi tempat untuk singgah di Ibu Kota. Setidaknya, aku sudah menginjakkan kaki di sana selama beberapa hari, sebelum aku mendapatkan ongkos pulang ke kampung. Tentunya biaya tiket pesawat dari alumniku yang tidak mengikat. Aku kesekretarian sebagai bentuk cintaku yang paling sederhana pada HMI. Toh, secretariat bukan milik mereka. Itu kan milik ummat.” Gumamnya dalam hati sambil menenangkan pikirannya. Ia sudah tidak focus membaca saat mengatakan itu dalam hati.
Bus terus melaju membawanya menuju Ibu Kota. Menuju Ibu Kota bukan juga ingin bertemu dengan Presiden Jokowi atau Prabowo, untuk memberikan dukungan HMI. Independensi harus tetap dijaga. Sebagaimana supir bus menjaga para penumpangnya, agar tetap selamat dan sampai tujuan.[]

Penulis: Ibnu Arsib (Bukan siapa-siapa, hanya manusia biasa).

No comments:

Post a Comment