YakusBlog- Akhir
bulan Januari 2019, mendekati usia tua HMI, organisasi yang telah banyak
melahirkan sumber daya manusia berkualitas, selebihnya berada dalam “tong
sampah”. Pani, seorang kader HMI cabang kecil yang berasal dari Sumatera, baru
selesai mengikuti Latihan Kader II, atau bahasa kerennya Intermediate Training yang dilaksankan oleh salah satu Cabang HMI
yang ada di Jawa.
Pani
begitu bangga, walau tidak menjadi peserta terbaik di antara teman-temannya,
tapi ia telah dinyatakan lulus mengikuti training
LK II. Di dalam bus, menuju Ibu Kota Indonesia tercinta ini, ia
tersenyum-senyum melihat sertifikatnya. Belum sampai tiga hari ia berpisah
dengan teman-temannya, juga dengan para panitia pelaksana, serta dengan
instruktur atau pengelolanya, Pani sudah begitu kangen dengan mereka semua. Apalagi,
dengan seseorang yang menurutnya sangat spesial di matanya. Makhluk Tuhan yang
tercipta di Surga, kemudian dijatuhkan ke bumi, dan bersua pula dengannya di
HMI. “Kapan lagi ya, aku bisa ketemu dengannya?” Pani bertanya pada dirinya
sendiri. Ia tersenyum membayangkan wajah itu. Percakapan mereka berdua masih
terdengar syahdu ditelinganya.
Walau
berasal dari Cabang kecil dan dengan wawasan yang pas-pasan, ia memberanikan
diri untuk melaga ilmu di jawa. Bertemu dengan kader-kader HMI yang berproses
dalam lingkungan yang literasinya sangat tinggi dibandingkan dengan di daearahnya
yang sangat rendah. Belum sampai ia membaca buku di atas lima puluh buku, ia
sudah berani mengikuti LK II. Suatu tradisi yang sangat menurun, menurut
perkataan senior-seniornya yang sudah alumni HMI.
Ada
penyesalan yang muncul pada dirinya sendiri. Penyesalan yang belum terlambat
untuk dipertanggungjawabkan. Berkat training
yang diikutinya, ia tersadarkan oleh lingkungan LK II dan oleh karena para
instrukturnya, bahwa wawasannya sangat minim. Referensi yang ia miliki sangat
minim, sehingga membuat ia banyak terdiam saat di dalam forum. Argumentasinya sangat
mudah dipatahkan oleh beberapa teman-temannya. “Andaikan saja dulu aku banyak
membaca setelah mengikuti LK I, pasti wawasanku luas.” Ia berandai-andai
seiring bus membawa menujut Ibu Kota. Tapi ia punya kelebihan, pandai merangkul
pertemanan. Afeksi dan psikomotoriknya bagus sekali.
Ia
pun memasukkan sertifikatnya ke dalam tas, kemudian mengeluarkan buku untuk
menemaninya di dalam bus. “Alhamdulillah, setidaknya dengan aku mengikuti LK
ini aku bisa sadar.” Gumamnya dengan suara pelan. Seseorang yang barada di
sampingnya sampai menoleh padanya. “Untuk kedepannya, aku harus banyak membaca.
Aku harus meninggalkan kegiatan-kegiatan yang tidak bermanfaat dan yang banyak
menyita waktu membaca.” Sekarng lanjutnya dalam hati. Ia tidak ingin seseorang
yang disampingnya menoleh lagi padanya. Ia takut dikatan orang gila atau sedang
stress.
Ia
memulai membuka buku dan membaca judul buku tersebut dalam hati. Ia perhatikan
dan pahami dengan baik judul buku itu. “44
Indikator Kemunduran HMI” demikian judul buku yang ia pegang. Buku yang
sudah lumayan tua semenjak ditulis oleh seorang sejarahwan HMI, Alm. Prof.
Agussalim Sitompul. Buku tersebut suatu kritik yang belum sepenuh terjawab oleh
kader-kader HMI saat ini.
“Sepertinya
bukan empat puluh empat lagi.” Katanya dalam hati.
“Terus
sudah menjadi berapa?” Suatu pertanya muncul entah dari mana datangnya memasuki
ruang pikirnya Pani.
“Sekarang
sudah empat puluh lima, bahkan juga bisa lebih.” Ia menjawab.
“Oke,
coba sebutkan yang satu lagi itu!” Sebuah suara memerintahkannya, dan hanya
telinga hatinya yang bisa mendengar.
“Terjadinya
daulisme kepengurusan PB HMI, saat ini.” Jawab Pani.
“Bukankah
dari dulu. Seperti adanya HMI Dipo dan HMI MPO?”
“Bukan
itu maksudku. Hal itu sudah dianggap selesai.” Ia membela diri.
“Dualisme
yang mana maksudmu?” Pertanyaan muncul lagi entah dari mana memasuki ruang
akalnya dan ruang hatinya.
“Ya,
HMI yang aku tempati sekarang. Sekretariat PB HMI yang beralamatkan di Jln.
Sultan Agung. No. 25 A, Jaksel.”
“Tempat
yang mau kau tuju setelah sampai di Ibu Kota?”
“Iya.”
Jawabnya padat.
Rasanya
ia ingin menyudahi percakapan itu. Menurutnya, sudah tidak pantas lagi para senior-seniornya
yang berada di PB HMI, dijadikan contoh. Jika di tingkat pusat rusak, bagaimana
lagi di tingkat daerah-daerah, dari cabang hingga komisariat. Demikian menurut
pendapatnya.
“Lantas,
kau mengakui yang mana?” Suara itu bertanya pada Pani.
“Aku
sendiri pun bingung. Dua-duanya mengekui yang sah.”
“Aneh
ya, Pan…?”
“Yaps.
Itu mengapa aku mengatakan bahwa indicator kemunduran HMI sudah bertambah.”
“Dapatkah
kau menyebutkan satu indicator lagi padaku?” Tanya makhluk yang memasuki hati
dan pikirannya itu.
“Aku
pikir kau lebih tahu itu.” Jawab Pani. “Aku ini apalah, hanya kader HMI, yang
baru berproses di tingkat komisariat. Hendak ingin menjadikan mereka yang di PB
HMI sebagai contoh ber-HMI. Ah, mereka malah mengajari sesuatu yang tidak baik.”
Lanjutnya.
“Aku
mohon, Pan!” Paksa suara aneh itu.
Pani
diam sejenak. Ia takut salah menyebutkan. Menurutnya, ada kebiasaan buruk di
HMI ini. Yaitu, jika pendapat atau saran baik itu berasal dari bawah, maka
pendapat atau saran itu akan di kesampingkan. Di bunag ke tong sampah, dan
hanya sebentar disimpan di dalam ruang telinga, tidak sampai menembus pikiran
dan hati. Tapi, jika pendapat atau saran itu datang dari atas, tidak perlu
benar atau salah, maka banyak kader HMI yang mau dan nurut (manut).
“Terjadi
suatu sistem feodalistik di HMI ini. Islam hanya cover saja. Tapi perilakunya dalam
ber-HMI jauh dari Islam. Lebih baik saja, azas diganti. Supaya tidak menjadi
kader organisasi yang munafik.” Pani begitu emosi mengucapkannya dalam hati.
“Bolehkah
aku mengetahui indikator kemunduran HMI yang lainnya, Pan?” Tanya suara itu
lagi.
“Yang
mana, sesuai yang ditulis oleh Agussalim Sitompul atau menurutku?” Pani
bertanya balik.
“Menurutmu
saja. Kalau menurut Agussalim, aku sudah baca. Kau aja yang malas membacanya
semenjek LK I. Sekarang baru kau baca. Menurutku juga kau terlambat.” Suara itu
malah menghakimi Pani.
“Nah,
itu kau tahu dan keterlambatan ku ini bisa menjadi indicator kemunduran HMI.”
Kata Pani pada suara itu supaya suara itu puas.
“Begitu
maksudku, Pan. Memang benar lemah tradisi baca kader HMI membuat HMI meurun. Tapi,
itu sudah ada ditulis oleh Agussalim Sitompul. Sekarang aku mau dengar menurutmu.
Seorang kader yang sadar dan resah melihat keadaan HMI saat ini.” Suara itu
tidak mau Pani berhenti berdiskusi.
Bus
berhenti sebentar karena ada penumpang mau naik. Mereka sampai di suatu kota
kecil yang berada di Pulau Jawa, tidak beberapa jam lagi akan sampai di Ibu
Kota. Ia meraih air minumnya dan menyedotnya dengan pipet.
Pani
pun menjawab, memenuhi permintaan suara aneh itu, “Menurutku, indicator selanjutnya
adalah banyak kader HMI yang rakus jabatan, setelah mendapatkannya ia tidak
tahu berbuat apa.” Ia diam sejenak, dan suara itu pun memasak telinganya dengan
baik. “Selanjutnya, muncul suatu tradisi buruk di HMI dengan saling menjatuhkan
dan saling menjelek-jelekkan. Dan selanjutnya kuatnya intervensi alumni-alumni
HMI.” Pani tidak sidah ia telah menyebutkan lebih dari satu. Ia menekan
suaranya dalam hati saat menyebutkan kata saling menjatuhkan dan intervensi.
Suara
itu pun diam dan tidak bertanya lagi. “Sudah ah, aku mau baca buku” Pani
memberhentikan percakapan. Pani pun membaca halaman demi halaman. Meresapi dan
memahami apa yang dituliskan oleh Agussalim Sitompul. Tidak lami lagi, ia akan
sampai di sarang kader-kader yang saling menjatuhkan dan menjelek-jelekkan. Sampai
di sarangnya kader-kader HMI yang rakus dan tamak jabatan. Mungkin ia pun akan
menyalami mereka yang saling mengaku sebagai pengurus yang sah.
“Aku
kesekret PB HMI bukan untuk berjumpa dengan mereka. Aku kesekret PB HMI, karena
tidak ada lagi tempat untuk singgah di Ibu Kota. Setidaknya, aku sudah
menginjakkan kaki di sana selama beberapa hari, sebelum aku mendapatkan ongkos
pulang ke kampung. Tentunya biaya tiket pesawat dari alumniku yang tidak
mengikat. Aku kesekretarian sebagai bentuk cintaku yang paling sederhana pada
HMI. Toh, secretariat bukan milik mereka. Itu kan milik ummat.” Gumamnya dalam
hati sambil menenangkan pikirannya. Ia sudah tidak focus membaca saat
mengatakan itu dalam hati.
Bus
terus melaju membawanya menuju Ibu Kota. Menuju Ibu Kota bukan juga ingin
bertemu dengan Presiden Jokowi atau Prabowo, untuk memberikan dukungan HMI.
Independensi harus tetap dijaga. Sebagaimana supir bus menjaga para
penumpangnya, agar tetap selamat dan sampai tujuan.[]
Penulis:
Ibnu Arsib (Bukan siapa-siapa, hanya manusia biasa).
No comments:
Post a Comment