Merawat Kultur HMI - Yakusa Blog

Yakusa Blog

Mewujudkan Komunitas Intelektual Muslim

Saturday, 27 April 2019

Merawat Kultur HMI


YakusaBlog- Sudah dua tahun Ilham berproses di Komisariatnya. Di tahun ketiga ini, selama menjadi mahasiswa dan sebagai seorang Kader HMI, ia aktif sebagai Pengurus HMI tingkat Cabang. Seluruh training formal, kecuali Latihan Kader III (LK III) atau Advanced Training telah ia lalui. Ilham juga sudah mengikuti Senior Course (SC). Selain aktif sebagai Pengurus Cabang, Ilham juga aktif sebagai Instruktur HMI.
Sebagai seorang Pengurus HMI tingkat Cabang, yang memfokuskan pada Perkaderan HMI, tidak afdhol rasanya jika tidak menjadi seorang Instruktur. “Bagaimana mungkin bisa mengelola HMI tingkat Cabang jika tidak terjun langsung ke medan training.” Demikian falsafah yang ia pegang. Walau tidak mendapatkan jabatan strategis di Cabangnya, ia tetap aktif dalam kegiatan-kegiatan dan mengelola training-training.
Selain aktif mengelola training secara formal, ia juga aktif mengadakan diskusi-diskusi non-formal. Ia membentuk komunitas di lingkungan Cabangnya yang bergerak untuk meningkatkan kualitas Kader-kader.
“Jadi kita diskusi malam ini, Bang?” Tiba-tiba saja seorang Kader HMI, bernama Ridho, masuk Sekretariat HMI Cabang mereka.
“Ah, kau Dho.” Jawab Ilham terkejut. “Insya Allah jadi, Dho. Kau dari mana?” Ilham bertanya balik.
“Dari Sekretariat Komisariat tadi, Bang.” Jawab Ridho sambil melangkah masuk dan duduk di kursi tepat di hadapan Ilham. “Kawan-kawan belum ada yang datang, Bang?” Ridho bertanya mengapa keadaan masih sepi.
“Belum. Kita tunggu aja.” Jawab Ilham dengan optimis. “Berapa pun yang datang kita tetap mainkan diskusinya. Jangan karena kuantitas yang sedikit, kita malah terhambat untuk meningkatkan kualitas diri.” Lanjutnya sambil menikmati hisapan rokoknya.
“Aku pake rokok ya, Abang?” Ridho meminta rokoknya Ilham yang ada di meja.
“Oh iya. Pake aja. Rokok kita bersama itu.”
“Kalau udah teletak di meja, itu udah punya bersama, Dho.” Kata Putra yang sedari tadi sedang asyik dengan Komputer. Putra adalah salah satu Pengurus HMI tingkat Cabang bersama Ilham.
“Hp Bang Ilham ini juga milik bersama, Bang?” Tanya Ridho bercanda.
“Hahahaa… itu namanya kau udah kelantaman.” Putra tertawa. (Kelantaman maksudnya kelancangan atau keterlaluan).
“Nanti diskusinya di mana, Bang?”
“Kita buat di Pendopo. Sesuai flyer yang aku bagikan.” Jawab Ilham.
Flyer-nya sampai kan dibagikan samamu lewat WA?” Tanya Putra pada Rdho. (WA maksudnya WhatsApp).
“Sampai lah, Bang. Kalau gak sampai, mana tau aku ada diskusi mala mini.” Jawab Ridho dengan semangat 45 ditambah semangat 47. (Maksud semangat 45 adalah semangat kemerdekaan dan semangat 47 adalah semangat berdirinya HMI).
“Sama kawan-kawan yang di Komisariat udah dibagikan?” Tanya Putra lagi.
“Sudah, Bang.” Jawab Ridho. “Kata mereka tadi, udah mau gerak ke mari, Bang.” Lanjutnya memberikan keterangan.
“Mantap.” Kata Putra sambil menghadiahkan dua jari jempolnya pada Ridho.
Ilham dengan santai duduk sambil menikmati secangkir kopi dan hisapan rokok yang sudah biasa menjadi temannya saat membaca, menulis, dan berdiskusi. Rasanya kurang lengkap apabila tidak ada kopi dan rokok. Ridho pun tidak kalah seru dengan hisapannya yang khas.
“Ini kopi, Dho. Minum aja kalau mau.” Kata Ilham menyodorkan secangkir kopi tersebut. “Satu cangkir ini kita minum sama-sama. Udah mulai dingin sih…” Lanjutnya.
“Oke, Bang.”
“Nah, kalau kopi itu boleh, Dho.” Putra menyahut tanpa menatap Ilham dan Ridho.
“Hahaha…” Ridho tertawa. Entah apa yang lucu. Hanya Ridho dan Tuhannya lah yang mengetahui.
“Kok, ketawa kau?” Tanya Putra penasaran.
“Nggak pa-pa, Bang.” Ridho tersenyum lebar tidak memberikan alasan mengapa ia sempat tertawa.
“Di Komisariatmu sering ada diskusi, Dho?” Tanya Ilham.
“Tidak terlalu sering sih, Bang.”
“Tapi masih tetap ada, kan?”
“Ada, Bang. Ya…, paling diskusi kalau itu ada di dalam Proyek Kerja Komisariat.” Jawabnya sedikit jengkel.
“Kalau gak ada?”
“Ya…, gak diskusi, Bang. Ngumpul di Sekretariat paling hanya ngumpul-ngumpul doang. Lebih banyak main game online dibanding diskusi.” Jawab Ridho kesal.
“Memang itu lah tantangannya jaman sekarang, Dho.” Kata Putra sambil mendekat ke arah mereka berdua duduk.
“Minat diskusi Kader-kader HMI sekarang minim, Bang.”
“Nah, aku sepakat dengan apa yang kau katakana itu.” Sahut Putra sambil melangkah lebih dekat lagi ke arah Ilham dan Ridho. Putra pun mengambil sebatang rokoknya Ilham kemudian membakarnya. Hisapannya penuh makna, kemudian ia berkata lagi, “Tapi kita tidak boleh menyerah dengan keadaan itu. Lihat Bang Ilham, selalu komitmen mengadakan diskusi walau jumlahnya sedikit.”
“Para tokoh tidak lahir dari kelompok yang langsung besar, Dho.” Kata Ilham.
“Terus dari mana, Bang?”
“Tokoh-tokoh itu lahir berawal dari kelompok kecil, tapi konsisten dengan apa yang dibuatnya atau yang diperjuangkannya.” Ilham memberikan motivasi. Lihat tokoh-tokoh bangsa yang lahir dari rahimnya HMI. Awalnya HMI kecil tapi mereka lahir dari HMI. Mereka juga lahir dari grup-grup kecil yang mereka bentuk.” Lanjutnya.
Baca juga: Merawat Kapal Tua
“Seperti, Lafran Pane, Ahmad Wahib, Cak Nur, dan Munir?” Tanya Ridho.
“Ya.” Jawab Ilham padat.
“Juga tokoh-tokoh lain yang belum kau sebutkan, Dho.” Putra menambahi.
“Kau tau di mana letak bagian dari kekuatan HMI?” Tanya Ilham pada Ridho.
“Tidak, Bang.” Jawabnya polos.
“Ada dikulturnya. Seperti tradisi intelektual. Kalau kita merawat kultur ini, HMI akan tetap kuat dan jaya. Serta Kader-kadernya akan berkualitas.” Ilham menjelaskan dengan penuh semangat.
“Seperti diskusi, membaca dan menulis, Bang?” Tanya Ridho lagi.
“Ya.”
“Tapi bukan diskusi yang hanya serimonial, Dho.” Kata Putra. “Apalagi kegiatan yang serimonial untuk menarik pemodal.” Putra tertawa dengan kata-kata bijaknya sendiri. Mungkin ia baru sadar dapat mengucapkan kata-kata bijak itu.
“Maksudnya bagaimana itu, Bang?” Tanya Ridho pada Putra yang sudah kembali duduk dihadapan komputer.
“Buat kegiatan diskusi, seminar dan yang lainnya itu dengan tujuan untuk mendapatkan uang.” Putra tertawa lagi.
“Ooo… gitu.” Ridho ikut tertawa.
“Jadi, seharusnya kegiatan itu dilaksanakan untuk mencari substansi dan esensialnya. Untuk memperdalam atau menambah ilmu pengetahuan Kader-kader HMI.” Sahut Ilham.
Hp miliknya Ilham bergetar. Ia mengangkat telfon. Putra dan Ridho ikut mendengarkan percakapan Ilham dengan seseorang. Ridho mendengarkan percakapan Ilham sambil menikmati sebatang rokok dan sesekali menyeruput kopi. Putra tidak terlalu serius mendengarkan karena masih asyik dengan komputer. Mungkin sedang mempersiapkan bahan diskusi malam itu.
“Siapa, Bang?” Tanya Ridho setelah Ilham menutup pembicaraannya dengan seseorang lewat Hp-nya.
“Kawan-kawan yang mau ikut diskusi malam ini.”
“Oooo…”
“Banyak Kader menjadikan HMI ini hanya sekedar tempat berkumpul sambil menunggu waktu kuliah selesai. Padahal, ber-HMI bukan untuk itu. Tapi, bagaimana seorang Kader itu dapat menambah kualitas diri, sehingga setelah selesai kuliah, ia menjadi sarjana yang berkualitas.” Kata Ilham.
Baca juga: Marx Masuk HMI
Ridho mengangguk-angguk tanda paham. Ia naik-turunkan kepalanya sambil menikmati sebatang rokok yang terselip di bibirnya.
“Abang tidak capek terus mengadakan diskusi? Abang ngisi diskusi di Komisariat-komisariat dan mengelola training?” Tanya Ridho dengan salut.
“Kita nikmati saja, Dho. Jangan dibuat beban.” Jawab Ilham. “Apa pun pekerjaannya, tidak ada yang tidak capek. Di HMI ini, apa yang kita perbuat itu lah yang kita dapatkan. Baik yang kita lakukan, maka baik pula hasil yang kita peroleh. Dan sebaliknya, kalau kita berbuat jahat atau menjahati HMI, keburukan pula lah yang kita dapatkan. Dalam kehidupan sehari-hari juga demikian.” Lanjut Ilham.
“Jika tidak ada yang merawat, menjaga dan atau mempertahankan kultur HMI, maka organisasi kita ini bisa mati, Dho.” Sahut Putra seakan-akan satu pemikiran dengan Ilham. Mungkin bisa jadi, karena mereka berteman sejak mereka di Komisariat, walau mereka beda Komisariat.
“Hasil tidak pernah menghianati proses.” Cetus Ilham.
“Berarti, jika kita cinta HMI ini. Jika HMI tidak ingin mati, maka kita harus merawat kulturnya, Bang?”
“Ya.” Jawab Ilham dengan singkat lagi.
Saat sedang asyik dengan pembicaraan mereka, beberapa Kader HMI dari tingkat Komisariat yang ada di Cabangnya telah datang. Mereka pun memulai diskusi. Terhitung jumlah mereka hanya dua puluhan.
Walau sedikit yang hadir, dibanding ribuan Kader HMI yang tidak hadir, mereka tetap melaksanakan diskusi. Bukan diskusi secara serimonial yang menarik pemodal sehingga mendapatkan modal. Tapi diskusi yang substansial untuk mendapatkan esensial.
Tradisi intelektual itu terus mereka rawat dan laksanakan hingga saat ini. Mengenai tempat, terkadang kondisional. Mengenai peserta diskusi, tergantung kesadaran masing-masing dan juga waktu luang, tapi mereka tidak lelah untuk mengajak. Kadang yang datang sedikit, kadang lumayan banyak. Tapi lebih sering sedikit, dibanding jumlah kader yang sudah ribuan.
Jumlah peserta yang sedikit tidak menjadi masalah. Yang terpenting bisa mengetahui apa yang menjadi masalah dan dapat memberikan solusinya.
Manusia hanya dapat merencanakan, selebihnya Tuhan lah yang memutuskan. Manusia juga hanya dapat mengusahakan, selebihnya Tuhan pula lah yang menentukan. Hasil tidak akan pernah menghianati proses. Yakin Usaha Sampai![]

Penulis: Ibnu Arsib (Bukan siapa-siapa, hanya manusia biasa).


Ket.gbr: Ilustration
Sbr.gbr: http://clipart-library.com/

No comments:

Post a Comment