YakusaBlog- Hari
ini, 5 Februari 1996, HMI memasuki usia 49 tahun. Sepanjang masa itu, HMI telah
mengalami pasang surut dan romantisme perjuangan dalam sejarah Indonesia
pasca-kemerdekaan. Pada suatu maasa di tahun 1960-an, HMI pernah mengalami
peran penting dan berpuncak pada peristiwa kudeta gagal G-30S/PKI. Pada
masa-masa itulah orang biasa menyebutnya sebagai masa keemasan HMI.
Setelah
melewati peristiwa penting dan amat bersejarah itu, masa-masa selanjutnya
menjadi semacam turning point bagi
HMI untuk kemudian secara perlahan-lahan menurun. Dalam dinamika dan pasang
surut peran tersebut, keberadaan HMI telah memberikan corak dan warna
tersendiri di kalangan organisasi kemahasiswaan di tanah air. Dalam batas-batas
tertentu, HMI turut memberikan kontribusi dalam membentuk dan memperkokoh
sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Secara
umum diketahui, keberadaan HMI bertumpu pada basis utama, yakni komunitas
terpelajar (baca: mahasiswa). Basis masyarakat ini sekaligus menjadi keunggulan
HMI, sebab merekalah yang kemudian membentuk lapisan kelompok intelektual. Bila
kita memperbincangkan gerakan intelektualisme Indonesia kontemporer, rasanya
hampir mustahil kita melepaskannya dari HMI. Kalau kita melihat dalam
perspektif sosiologi intelektual, dengan jelas terlihat berapa HMI memiliki
kaitan organis dengan gerakan intelektualisme di Indonesia.
Lapisan
intelektual, baik yang bersifat independen seperti LSM maupun yang tergabung
dalam organisasi formal, hampir sebagian besar memiliki latar belakang aktivis
HMI. Para aktivis LSM yang dikenal sebagai lapisan intelektual independen (dari
negara) yang sangat kritis itu, sebagian besar berlatar belakang HMI. Apalagi
jika lapisan intelektual ini kita nisbatkan pada organisasi formal, terutama
ICMI, kita akan menemukan betapa HMI sangan dominan di dalamnya. Tidak
mengherankan jika ICMI seolah lebih tampak sebagai kelanjutan aktivisme yang
pas di tengah arus perubahan itu.
Ketika
kehidupan sosial politik memasuki era baru, terutama sejak lahir 1970-an, HMI
pun mengalami masa-masa transisi dalam mencari format peran yang baru pula.
Tradisi kritis sebagai watak yang melekat dalam komunitas terpelajar masih
tetap terpelihara. Namun, HMI seolah kehilangan bentuk artikulasi peran yang
relevan, sehingga sulit organisasi ini menemukan posisi yang pas di tengah arus
perubahan itu.
Proses
transformasi yang mencolok adalah kebijakan pemerintah, yang berusaha
mengeliminasi peran lembaga-lembaga kemahasiswaan formal. Dalam hal ini, HMI
bukan saja tidak mampu mengantisipasi dampak kebijakan tersebut, tapi bahkan
mengalami disorientasi peran. Proses transformasi inilah yang kemudian
mendorong munculnya gerakan mahasiswa non kelembagaan dan sekaligus non
structural. Umumnya, gerakan mahasiswa ini berbentuk kemite-komite dan aksi
solidaritas kekelompokan, yang tidak punya struktur kelembagaan secara
permanen.
Meskipun
komite dan aksi solidaritas ii sangar responsive terhadap isu-isu actual,
keberadaan mereka bersifat sangat temporer. Isu-isu actual dan problem-problem
temporer meniscayakan aktualisasi peran dan keberadaan mereka sebagaimana yang
bisa kita amati dalam beberapa bulan terakhir ini. Ketika peran organisasi
kemahasiswaan formal mengalami masa surut, bentuk aktivisme ini telah menggantikannya.
Mereka kemudian melakukan kritik tajam kepada organisasi-organisasi
kemahasiswaan formal, yang dianggap tidak mampu lagi menjadi pelopor gerakan
(politik) mahasiswa. HMI yang dulu pernah menjadi motor penggerak dalam
aktivisme mahasiswa juga mengalami hal yang sama.
Kendati
perannya digugat karena dianggap mandul, terjebak dalam kejumudan, bahkan
mengalami disorientasi, HMI tetap merupakan sebuah preasure group politik yang amat efektif. Setidaknya karena empat
alasan: Pertama, HMI berhasil membangun
lnkage secara terstruktur dan
melembaga yang amat kokoh, serta bersifat lintas wilayah. Linkage HMI menjangkau hampir semua wilayah, terutama di kota besar
yang menjadi basis gerakan mahasiswa. Kota-kota yang selama ini merupakan enclave gerakan mahasiswa seperti
Bandung, Jakarta, Yogyakarta, dan lain-lain adalah basis utama HMI.
Dengan
demikian sangat memudahkan bagi HMI untuk melakukan sosialisasi politik. Hal
yang sama tidak dimiliki oleh komite-komite itu. Sesungguhnya mereka juga punya
jaringan, namun karena polanya tidak terstruktur dan tidak melembaga, mereka
jadi kurang fungsional dan bersifat sangat terbatas. Dalam hal ini perlu pula
dicatat bahwa penggerak komite-komite tersebut, sebagain besar adalah aktivis
HMI.
Kedua,
sebagai organisasi formal dengan basis utama yang jelas, secara politik HMI
punya kekuatan lebih dibandingkan dengan komite-komite itu. HMI punya kekuatan
massa yang konkret. Dalam konteks politik penguasa basis massa itu menjadi
sangat penting dan signifikan. Ketiga,
sebagai organisasi formal yang melembaga dan punya hirarki struktural, HMI
punya keberadaan yang sangat ligtimate
untuk melakukan negosiasi politik dengan situasi sosial politik dengan
institusi sosial politik (baca: negara) dalam menyelesaikan suatu persoalan. Dengan
demikian, bobot politik institusi HMI jauh lebih besar dibandingkan dengan
komite-komite itu.
Keempat,
melihat kekuatannya, HMI tidak bisa dilepaskan dari jalinan keluarga besarnya
secara keseluruhan. Dalam hal ini adalah para alumni yang tersebar hampir di
semua lini kehidupan; birokrasi pemerintah, diplomat, aktivis, politik, aktivis
LSM, intelektual independen, pengusaha, dan lain-lain. Semua potensi keluarga
besar HMI itu telah membentuk kekuatan sinergis dan menjadi sumber daya politik
yang sangat besar. Siapa saja yang membuat kalkulasi politik nasional, dia akan
menempatkan HMI sebagai kelompok strategis yang berpengaruh.
Dengan
demikian, posisi HMI dalam percaturan politik nasional memiliki makna yang
sangat signifikan. Derajar signifikan komunitas HMI itu sama dengan komunitas
NU dan Muhammadiyah. Bila HMI dalam koteks mahasiswa dan generasi muda, NU dan
Muhammadiyah dalam konteks masyarakat umumnya.
Menyadari
potensi politik yang itu, HMI kini menambah peran ke wilayah politik. Perluasan
peran yang menjangkau wilayah politik ini sebenarnya lebih merupakan
konsekuensi logis dari pertumbuhan lapisan intelektual HMI. Jadi, komunitas
intelektual yang semula hanya merupakan gerakan sosiologis itu sekarang telah
berubah menjadi gerakan politis. Gerak sosiologis komunitas intelektual HMI ini
meniscayakan adanya implikasi politis.
Lapisan
intelektual yang berlatar belakang HMI ini kemudian melakukan ekspansi peran di
lingkungan birokrasi pemerintahan. Ekspansi ini merefleksikan bahwa lapisan
intelektual yang sedang tumbuh secara eksplosif ini membutuhkan wadah
penyaluran. Mungkin semacam kanalisasi politik. Dalam hal ini, birokrasi
pemerintah juga berkepentingan terhadap kelompok intelektual HMI. Potensi mereka
harus mendapat akomodasi secara memadai, agar tidak tumbuh menjadi kekuatan liar yang bisa mengganggu keberadaan
pemerintah.
Proses
sosiologis seperti itulah, yang telah membentuk struktur piramida politik HMI. Representasi
komunitas politik HMI itu bisa dilihat pada figure-figur seperti Mar’ie
Muhammad (yang menjadi symbol moral bangsa), Akbar Tanjung, Syarifuddin
Baharsjah, Ibrahim Hasan, Saadilah Mursyid, Tarmizi Taher, Azwar Anas, Saleh
Alif, Radinal Mochtar, Abdul Latief dan sejumlah lagi yang lain. Mereka adalah
lapisan elit komunitas politik HMI, yang terus-menerus berusaha membentuk
jaringan secara meluas dan kokoh. Tujuan utamanya adalah agar mampu survive dalam medan politik Indonesia.
Tapi,
karena elemen politik yang membentuk bangun politik Indonesia itu bukan hanya
HMI, maka dalam kompetisi politik HMI pasti bersinggungan dengan elemen lain. Dalam
kompetisi itu meniscayakan bagi HMI untuk bersinggungan dengan GMNI beserta
komunitas nasionalisnya, PMII beserta komunitas NU-nya, Kosgoro, AMPI, bahkan
dengan kelompok sekuler sekalipun. Mereka
mencoba melakukan sharing untuk
membangun saling pengertian, dalam usaha mencari format yang tepat untuk
memainkan perang masing-masing.
Kesan
umum yang bisa ditangkap bahwa dalam memasuki masa pancaroba yang semakin
mendekat ini, semua elemen politik bersiap-siap menyongsong perubahan yang
sewaktu-waktu akan terjadi. Kita semua menyadari bahwa transgenerasi merupakan
sesuatu yang niscaya, sehingga semua pihak berkepentingan untuk bisa mengambil
perang di dalamnya. HMI adalah satu di antaranya.
Selamat
ulang tahun HMI, semoga tetap bisa survive
dalam pentas politik Indonesia yang kian kompetitif ini.[]
Penulis:
Amich Alhumami
Catatan:
Tulisan di atas pernah dimuat dalam Harian
Republika, Jakarta, tanggal 5 Februari 1996. Kemudian disusun oleh
Agussalim Sitompul, dalam buku HMI
Mengayuh Di Antara Cita dan Kritik, halaman: 447-449.
Ket. gbr: Sekretariat PB HMI, Jln. Sultan Agung. No. 25. Jakarta Seletan.
Sbr.gbr: https://panrita.news/
tipobet
ReplyDeletebetmatik
poker siteleri
kralbet
betpark
slot siteleri
kibris bahis siteleri
bonus veren siteler
mobil ödeme bahis
QVYJPK
alanya
ReplyDeleteamasya
ankara
antakya
antalya
ZKMOCV
alanya
ReplyDeleteamasya
ankara
antakya
antalya
XHİ4
مكافحة حشرات R188rMn1PO
ReplyDeleteشركة مكافحة الحمام بالاحساء J7bNsAA4M7
ReplyDelete