HMI, Dari Komunitas Intelektual Ke Komunitas Politik - Yakusa Blog

Yakusa Blog

Mewujudkan Komunitas Intelektual Muslim

Tuesday, 14 May 2019

HMI, Dari Komunitas Intelektual Ke Komunitas Politik


YakusaBlog- Hari ini, 5 Februari 1996, HMI memasuki usia 49 tahun. Sepanjang masa itu, HMI telah mengalami pasang surut dan romantisme perjuangan dalam sejarah Indonesia pasca-kemerdekaan. Pada suatu maasa di tahun 1960-an, HMI pernah mengalami peran penting dan berpuncak pada peristiwa kudeta gagal G-30S/PKI. Pada masa-masa itulah orang biasa menyebutnya sebagai masa keemasan HMI.
Setelah melewati peristiwa penting dan amat bersejarah itu, masa-masa selanjutnya menjadi semacam turning point bagi HMI untuk kemudian secara perlahan-lahan menurun. Dalam dinamika dan pasang surut peran tersebut, keberadaan HMI telah memberikan corak dan warna tersendiri di kalangan organisasi kemahasiswaan di tanah air. Dalam batas-batas tertentu, HMI turut memberikan kontribusi dalam membentuk dan memperkokoh sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Secara umum diketahui, keberadaan HMI bertumpu pada basis utama, yakni komunitas terpelajar (baca: mahasiswa). Basis masyarakat ini sekaligus menjadi keunggulan HMI, sebab merekalah yang kemudian membentuk lapisan kelompok intelektual. Bila kita memperbincangkan gerakan intelektualisme Indonesia kontemporer, rasanya hampir mustahil kita melepaskannya dari HMI. Kalau kita melihat dalam perspektif sosiologi intelektual, dengan jelas terlihat berapa HMI memiliki kaitan organis dengan gerakan intelektualisme di Indonesia.


Lapisan intelektual, baik yang bersifat independen seperti LSM maupun yang tergabung dalam organisasi formal, hampir sebagian besar memiliki latar belakang aktivis HMI. Para aktivis LSM yang dikenal sebagai lapisan intelektual independen (dari negara) yang sangat kritis itu, sebagian besar berlatar belakang HMI. Apalagi jika lapisan intelektual ini kita nisbatkan pada organisasi formal, terutama ICMI, kita akan menemukan betapa HMI sangan dominan di dalamnya. Tidak mengherankan jika ICMI seolah lebih tampak sebagai kelanjutan aktivisme yang pas di tengah arus perubahan itu.
Ketika kehidupan sosial politik memasuki era baru, terutama sejak lahir 1970-an, HMI pun mengalami masa-masa transisi dalam mencari format peran yang baru pula. Tradisi kritis sebagai watak yang melekat dalam komunitas terpelajar masih tetap terpelihara. Namun, HMI seolah kehilangan bentuk artikulasi peran yang relevan, sehingga sulit organisasi ini menemukan posisi yang pas di tengah arus perubahan itu.
Proses transformasi yang mencolok adalah kebijakan pemerintah, yang berusaha mengeliminasi peran lembaga-lembaga kemahasiswaan formal. Dalam hal ini, HMI bukan saja tidak mampu mengantisipasi dampak kebijakan tersebut, tapi bahkan mengalami disorientasi peran. Proses transformasi inilah yang kemudian mendorong munculnya gerakan mahasiswa non kelembagaan dan sekaligus non structural. Umumnya, gerakan mahasiswa ini berbentuk kemite-komite dan aksi solidaritas kekelompokan, yang tidak punya struktur kelembagaan secara permanen.
Meskipun komite dan aksi solidaritas ii sangar responsive terhadap isu-isu actual, keberadaan mereka bersifat sangat temporer. Isu-isu actual dan problem-problem temporer meniscayakan aktualisasi peran dan keberadaan mereka sebagaimana yang bisa kita amati dalam beberapa bulan terakhir ini. Ketika peran organisasi kemahasiswaan formal mengalami masa surut, bentuk aktivisme ini telah menggantikannya. Mereka kemudian melakukan kritik tajam kepada organisasi-organisasi kemahasiswaan formal, yang dianggap tidak mampu lagi menjadi pelopor gerakan (politik) mahasiswa. HMI yang dulu pernah menjadi motor penggerak dalam aktivisme mahasiswa juga mengalami hal yang sama.
Kendati perannya digugat karena dianggap mandul, terjebak dalam kejumudan, bahkan mengalami disorientasi, HMI tetap merupakan sebuah preasure group politik yang amat efektif. Setidaknya karena empat alasan: Pertama, HMI berhasil membangun lnkage secara terstruktur dan melembaga yang amat kokoh, serta bersifat lintas wilayah. Linkage HMI menjangkau hampir semua wilayah, terutama di kota besar yang menjadi basis gerakan mahasiswa. Kota-kota yang selama ini merupakan enclave gerakan mahasiswa seperti Bandung, Jakarta, Yogyakarta, dan lain-lain adalah basis utama HMI.
Dengan demikian sangat memudahkan bagi HMI untuk melakukan sosialisasi politik. Hal yang sama tidak dimiliki oleh komite-komite itu. Sesungguhnya mereka juga punya jaringan, namun karena polanya tidak terstruktur dan tidak melembaga, mereka jadi kurang fungsional dan bersifat sangat terbatas. Dalam hal ini perlu pula dicatat bahwa penggerak komite-komite tersebut, sebagain besar adalah aktivis HMI.
Kedua, sebagai organisasi formal dengan basis utama yang jelas, secara politik HMI punya kekuatan lebih dibandingkan dengan komite-komite itu. HMI punya kekuatan massa yang konkret. Dalam konteks politik penguasa basis massa itu menjadi sangat penting dan signifikan. Ketiga, sebagai organisasi formal yang melembaga dan punya hirarki struktural, HMI punya keberadaan yang sangat ligtimate untuk melakukan negosiasi politik dengan situasi sosial politik dengan institusi sosial politik (baca: negara) dalam menyelesaikan suatu persoalan. Dengan demikian, bobot politik institusi HMI jauh lebih besar dibandingkan dengan komite-komite itu.
Keempat, melihat kekuatannya, HMI tidak bisa dilepaskan dari jalinan keluarga besarnya secara keseluruhan. Dalam hal ini adalah para alumni yang tersebar hampir di semua lini kehidupan; birokrasi pemerintah, diplomat, aktivis, politik, aktivis LSM, intelektual independen, pengusaha, dan lain-lain. Semua potensi keluarga besar HMI itu telah membentuk kekuatan sinergis dan menjadi sumber daya politik yang sangat besar. Siapa saja yang membuat kalkulasi politik nasional, dia akan menempatkan HMI sebagai kelompok strategis yang berpengaruh.
Dengan demikian, posisi HMI dalam percaturan politik nasional memiliki makna yang sangat signifikan. Derajar signifikan komunitas HMI itu sama dengan komunitas NU dan Muhammadiyah. Bila HMI dalam koteks mahasiswa dan generasi muda, NU dan Muhammadiyah dalam konteks masyarakat umumnya.
Menyadari potensi politik yang itu, HMI kini menambah peran ke wilayah politik. Perluasan peran yang menjangkau wilayah politik ini sebenarnya lebih merupakan konsekuensi logis dari pertumbuhan lapisan intelektual HMI. Jadi, komunitas intelektual yang semula hanya merupakan gerakan sosiologis itu sekarang telah berubah menjadi gerakan politis. Gerak sosiologis komunitas intelektual HMI ini meniscayakan adanya implikasi politis.
Lapisan intelektual yang berlatar belakang HMI ini kemudian melakukan ekspansi peran di lingkungan birokrasi pemerintahan. Ekspansi ini merefleksikan bahwa lapisan intelektual yang sedang tumbuh secara eksplosif ini membutuhkan wadah penyaluran. Mungkin semacam kanalisasi politik. Dalam hal ini, birokrasi pemerintah juga berkepentingan terhadap kelompok intelektual HMI. Potensi mereka harus mendapat akomodasi secara memadai, agar tidak tumbuh menjadi kekuatan liar yang bisa mengganggu keberadaan pemerintah.
Proses sosiologis seperti itulah, yang telah membentuk struktur piramida politik HMI. Representasi komunitas politik HMI itu bisa dilihat pada figure-figur seperti Mar’ie Muhammad (yang menjadi symbol moral bangsa), Akbar Tanjung, Syarifuddin Baharsjah, Ibrahim Hasan, Saadilah Mursyid, Tarmizi Taher, Azwar Anas, Saleh Alif, Radinal Mochtar, Abdul Latief dan sejumlah lagi yang lain. Mereka adalah lapisan elit komunitas politik HMI, yang terus-menerus berusaha membentuk jaringan secara meluas dan kokoh. Tujuan utamanya adalah agar mampu survive dalam medan politik Indonesia.
Tapi, karena elemen politik yang membentuk bangun politik Indonesia itu bukan hanya HMI, maka dalam kompetisi politik HMI pasti bersinggungan dengan elemen lain. Dalam kompetisi itu meniscayakan bagi HMI untuk bersinggungan dengan GMNI beserta komunitas nasionalisnya, PMII beserta komunitas NU-nya, Kosgoro, AMPI, bahkan dengan kelompok sekuler sekalipun. Mereka mencoba melakukan sharing untuk membangun saling pengertian, dalam usaha mencari format yang tepat untuk memainkan perang masing-masing.
Kesan umum yang bisa ditangkap bahwa dalam memasuki masa pancaroba yang semakin mendekat ini, semua elemen politik bersiap-siap menyongsong perubahan yang sewaktu-waktu akan terjadi. Kita semua menyadari bahwa transgenerasi merupakan sesuatu yang niscaya, sehingga semua pihak berkepentingan untuk bisa mengambil perang di dalamnya. HMI adalah satu di antaranya.
Selamat ulang tahun HMI, semoga tetap bisa survive dalam pentas politik Indonesia yang kian kompetitif ini.[]

Penulis: Amich Alhumami

Catatan: Tulisan di atas pernah dimuat dalam Harian Republika, Jakarta, tanggal 5 Februari 1996. Kemudian disusun oleh Agussalim Sitompul, dalam buku HMI Mengayuh Di Antara Cita dan Kritik, halaman: 447-449.


Ket. gbr: Sekretariat PB HMI, Jln. Sultan Agung. No. 25. Jakarta Seletan.
Sbr.gbr: https://panrita.news/

5 comments: