BAB II:
DASAR-DASAR KEPERCAYAAN
Manusia adalah
mahluk percaya. Pada kadarnya masing-masing, setiap mahluk telah memiliki
kepercayaan/kesadaran berupa prinsip-prinsip dasar yang niscaya lagi rasional
yang diketahui secara intuitif (common sense) yang menjadi Kepercayaan utama
makhluk sebelum ia merespon segala sesuatu diluar dirinya. Dengan bekal ini,
manusia memiliki potensi untuk mengetahui dan mempercayai
pengetahuan-pengetahuan baru melalui aktivitas berpikir. Berpikir adalah
aktivitas khas manusia dalam upaya memecahkan masalah-masalah dengan modal
prinsip-prinsip pengetahuan sebelumnya. Memiliki sebuah kepercayaan yang benar,
yang selanjutnya melahirkan tata nilai, adalah sebuah kemestian bagi perjalanan
hidup manusia. pada hakikatnya, perilaku manusia yang tidak peduli untuk
berkepercayaan benar dan Manusia yang berkepercayaan salah atau dengan cara
yang salah tidak akan mengiringnya pada kesempurnaan. Maka mereka tidak ubahnya
seperti binatang. Manusia harus menelaah secara objektif sendi-sendi
kepercayaannya dengan segala potensi yang dimilikinya. Kajian yang mendalam
tentang kepercayaan sebagai sebuah konsep teoritis akan melahirkan sebuah
kesadaran bahwa manusia adalah maujud yang mempunyai hasrat dan cita-cita untuk
menggapai kebenaran dan kesempurnaan mutlak, bukan nisbi. Artinya, ia
mencari Zat Yang Mahatinggi dan Mahasempurna (Al-Haqq). Ada berbagai macam
pandangan yang menjelaskan tentang ketiadaan kebenaran dan kesempurnaan mutlak
(Zat yang maha sempurna) tersebut sehingga mereka menganggap bahwa alam ini
terjadi dengan sendirinya (kebetulan) tidak ada yang mengadakannya. Metafisika
Islam dengan Prima principianya sebagai prinsip dasar dalam berpikir mampu
menyelesaikan perdebatan itu dengan penjelasan Kemutlakan WUJUD (ADA)-nya,
dimana Wujud adalah sesuatu yang jelas keberadaannya dan Tunggal karena selain
keberadaan adalah ketiadaan sehingga apabila ada sesuatu selain ADA maka itu
adalah ketiadaan dan itu sesuatu yang mustahil karena ketiadaan tidak memiliki
keberadaan. Manusia - yang terbatas - tidak sempurna – tergantung - memerlukan
sebuah sistem nilai yang sempurna dan tidak terbatas sebagai sandaran dan
pedoman hidupnya. Sistem nilai tersebut harus berasal dari ke-ADA-an (Zat Yang
Mahasempurna) yang segala atributnya berbeda dengan mahluk. Konsekuensi akan
kebutuhan asasi manusia pada sosok Mahasempurna ini menegaskan bahwa sesuatu
itu harus dapat dijelaskan oleh argumentasi-argumentasi rasional, terbuka, dan
tidak doktriner. Sehingga, semua lapisan intelektual manusia tidak ada yang
sanggup menolak eksistensi-Nya. Sekalipun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa
Sang Mahasempurna itu diklaim oleh berbagai lembaga kepercayaan (agama) di
dunia ini dengan berbagai konsep, istilah dan bentuk. Simbol-simbol agama yang
berbeda satu sama lain tersebut menyiratkan secara tersurat beberapa kemungkinan:
semua agama itu benar; semua agama itu salah; atau, hanya ada satu agama yang
benar.
Agama-agama
yang berbeda mustahil memiliki sosok Mahasempurna yang sama, walau memiliki
kesamaan etimologis. Sebab, bila sosok tersebut sama, maka agama-agama itu
identik. Namun, kenyataan sosiologis menyebutkan adanya perbedaan pada masing-masing
agama. Demikian pula, menilai semua agama itu salah adalah mustahil, sebab
bertentangan dengan prinsip kebergantungan manusia pada sesuatu yang
mahasempurna (Al-Haqq/Tuhan). Maka dapatlah disimpulkan bahwa hanya satu agama
saja yang benar. Dengan argumentasi diatas, manusia diantarkan pada konsekwensi
memilih dan mengikuti agama yang telah terbukti secara argumentatif.
Diantara
berbagai dalil yang dapat diajukan, membicarakan keberadaan Tuhan adalah hal
yang paling prinsipil. Keberadaan dan perbedaan agama satu dengan yang lainnya
di tentukan oleh sosok “Tuhan“ tersebut. yang pasti, ciri-ciri keberadaan Tuhan
(pencipta / khaliq). Bertolak belakang dengan ciri-ciri khas manusia (Yang
diciptakan/ makhluq). Bila manusia adalah maujud tidak sempurna, bermateri,
tersusun, terbatas, terindera, dan bergantung, maka tuhan adalah zat yang
mahasempurna, immateri, tidak tersusun, sederhana, tidak terdiri dari bagian,
tidak terindera secara material, dan tunggal (Esa/Ahad). Dengan demikian
diketahuilah bahwa manusia dapat mengetahui ciri-ciri umum Tuhan, namun
mustahil dapat mengetahui materi Zat-Nya. Manusia mengklaim dapat menjangkau
zat Tuhan, sesungguhnya telah membatasi Tuhan dengan Rasionya (reason). Segala
sesuatu yang terbatas, pasti bukan Tuhan. Ketika manusia menyebut “Dia
Mahabesar“. Sesungguhnya Ia lebih besar dari seluruh konsepsi manusia tentang
kebesaran-Nya. Berdasarkan hal tersebut, potensialitas akal (Intelect) manusia
dalam mengungkap hakikat zat-Nya menyiratkan bahwa pada dasarnya seluruh
makhluk diciptakan oleh-Nya sebagai manifestasi diri-Nya (inna lillahi) yang
kemudian akan kembali kepada-Nya (wa inna ilaihi raji’un) sebagai realisasi
kerinduan manusia akan keabadian kesempurnaaan, kebahagiaan mutlak. Keinginan
untuk merefleksikan ungkapan terima kasih dan beribadah kepada Tuhan Yang
Mahaesa menimbulkan kesadaran bahwa Ia Yang Mahaadil mesti membimbing umat
manusia tentang cara yang benar dan pasti dalam berhubungan dengan-Nya.
Pembimbing Tuhan kepada setiap mahluk berjalan sesuai dengan kadar
potensialitasnya dalam suatu cara perwujudan yang suprarasional (wahyu)
diberikan khusus kepada hamba-hamba-Nya yang memiliki ketinggian spritual.
Relasi konseptual tentang ke-Mahabijaksana-an Tuhan untuk membimbing makhluk
secara terus menerus dan kebutuhan abadi makhluk akan bimbingan memestikan
kehadiran sosok pembimbing yang membawa risalah-Nya (rasul), yang merupakan hak
prerogatif-Nya. Rasul adalah cerminan Tuhan di dunia. Kepatuhan dan kecintaan
makhluk kepada mereka adalah niscaya. Pengingkaran kepada mereka identik dengan
pengingkaran kepada Tuhan. Bukti kebenaran rasul untuk manusia ditunjukkan pula
oleh kejadian-kejadian kasat mata (empiris) luar biasa (mu’jizat bagi
orang-orang awwam) maupun bukti-bukti rasional(mu’jizat bagi para intelektual)
yang mustahil dapat dilakukan oleh manusia lain tanpa dipelajari. Pemberian
tanda istimewa kepada rasul akan semakin menambah keimanan seseorang. Mu’jizat
juga sebagai bukti tambahan bagi siapa saja yang tidak mau beriman kepada Tuhan
dan pesuruh-Nya, kecuali bila diperlihatkan kepadanya hal-hal yang luar biasa.
Kepatuhan dan keyakinan manusia kepada rasul melahirkan sikap percaya terhadap
apa pun yang dikatakan dan diperintahkannya. Keyakinan tentang kitab suci
(bacaan atau kumpulan firman Tuhan, disebut Al-quran) yang dibawanya adalah
konsekuensi lanjutan. Di dalam kitab suci terdapat keterangan-keterangan
tentang segala sesuatu sejak dari alam sekitar dan manusia, sampai kepada
hal-hal gaib yang tidak mungkin dapat diterima oleh pandangan saintifik dan
empiris manusia.
Baca juga: NDP HMI Versi Ust. Arianto; Bab I
Konsepsi
fitrah dan ‘rasio’ tentang Realitas Mutlak (Tuhan) diatas ternyata selaras
dengan konsep teoritis tentang Tuhan dalam ajaran-ajaran Muhammad yang mengaku
rasul Tuhan yang disembah selama ini. Muhammad mengajarkan kalimat
persaksian/keimanan (syahadatan) bahwa tidak ada (la) Tuhan (ilah) yang benar
kecuali (illa) Tuhan yang merupakan kebenaran Tunggal/Esa/Ahad (Allah, dari
al-ilah). Ia (Muhammad) juga menerangkan bahwa dialah rasul Allah (rasulullah).
Menurut agama yang mengajarkan ketundukan dan kepatuhan pada kebenaran (Islam)
pada ummatnya ini (muslim). Proses pencarian kebenaran dapat ditempuh dengan
berbagai jalan, baik filosofis, intuitif, ilmiah, historis, dan lain-lain
dengan memperhatikan ayat-ayat Tuhan yang terdapat di dalam Kitab suci maupun
di alam ini. Konsekuensi lanjut setelah manusia melakukan pencarian ketuhanan
dan kerasulan adalah kecendrungan fitrah dan kesadaran rasionalnya untuk meraih
kebahagiaan. Keabadian, dan kesempurnaan. ketidakmungkinan mewujudkan
keinginan-keinginan ideal tersebut didalam kehidupan dunia yang bersifat
temporal ini melahirkan konsep tentang keberadaan hari akhirat -yang sebelumnya
dimulai dengan terjadinya kehancuran alam secara besar-besaran (qiyamah/
kiamat/ hari agama/ yaum al-din)- sebagai konsekuensi logis keadilan Tuhan.
Kiamat merupakan permulaan bentuk kehidupan yang tidak lagi bersifat sejarah
atau duniawi. Disana tidak ada lagi kehidupan historis seperti kebebasan, usaha
dan tata masyarakat yang menimbulkan ganjaran dosa/pahala. Kehidupan akhirat
merupakan refleksi perbuatan berlandaskan iman, ilmu, dan amal selama di dunia.
Dengan kata lain, ganjaran di akhirat adalah kondisi objektif dari relasi
manusia terhadap Tuhan dan alam.[]
Sumber: Hasil-Hasil Kongres HMI ke-25, Makassar.
Sumber: Hasil-Hasil Kongres HMI ke-25, Makassar.
No comments:
Post a Comment