Tuhan Universal: Tuhan yang Tidak Membelenggu Manusia - Yakusa Blog

Yakusa Blog

Mewujudkan Komunitas Intelektual Muslim

Monday, 22 January 2018

Tuhan Universal: Tuhan yang Tidak Membelenggu Manusia

YakusaBlog- Formulasi tauhid Islam yang diungkapkan dalam kalimat La ilaha illa Allah mengidentifikasi bahwa problem ketuhanan manusia adalah politeisme bukan ateisme. Sangat tepat program pokok Al-Qur’an adalah bagaimana membebaskan manusia dari belenggu paham tuhan yang banyak. Kendati ada manusia yang berpaham ateis, jumlahnya sangat kecil. Dengan kata lain tidak ada manusia yang benar-benar ateis secara murni, karena banyak juga kaum ateis yang memutlakkan pemikiran dan tokoh-tokoh mereka yang ada pada akhirnya membuat mereka tergantung. Tidaklah mengherankan komunisme itu disebut sebagai padanan agama (religion equivalent).
Pentingnya membebaskan diri dari belenggu tuhan banyak, karena ia dapat menghalangi manusia dari kebenaran. Belenggu dalam bahasa Arab disebut dengan hawa nafsu (al-hawa al-nafs) yang berarti keinginan diri sendiri. Inilah sumber dari dalam diri manusia untuk menolak kebenaran, bersikap sombong dan congkak ketika menghadapi hal-hal dari luar yang dirasakan tidak sejalan dengan kamuan dan pandangan kita sendiri, betapapun sesuatu yang berasal dari luar itu adalah benar. Hawa nafsu juga menjadi sumber pandangan-pandangan subyektif dan biased, yang juga menghalangi kita dari kemungkinan melihat kebenaran.
Allah Swt. berfirman, Pernahkah engkau Muhammad menyaksikan orang yang menjadikan keinginan (hawa-nya) sendiri sebagai tuhannya, kemudian Allah membuat mereka sesat secara sadarm lalu Allah Swt menutup pendengaran dan hatinya, yang menjadikan pandangannya menjadi tertutup, maka siapa yang sanggup memberi petunjuk kepada Allah? Apakah kamu tidak merenungkan hal itu. (Al-Jatiyah: 23)
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa halangan manusia untuk menerima kebenaran pertama sekali datang dari dalam dirinya sendiri yaitu hawa al-nafs. Selanjutnya yang muncul dari luar adalah apa yang disebut dengan kekuatan tiranik atau taghut. Allah Swt. menyatakan, “Barangsiapa yang menolak taghut berarti ia telah berperang kepada tali yang kukuh yang tidak akan terputus. (Al-Baqarah: 256)
Seperti apa yang dinyatakan oleh Cak Nur, efek pembebasan tauhid dapati dilihat dari dua sisi. Pertama, pembebasan diri (self liberation). Dengan mengutip Huston Smith, Cak Nur menyebut bahwa kengganan manusia menerima kebenaran ialah antara lain karena sikap menutup diri yang timbul dari refleks agnostik atau kengganan untuk tahu tentang kebenaran yang diperkirakan justru akan lebih tinggi nilainya daripada apa yang sudah ada pada kita. Kalau saja kita akan memperoleh energi yang diperlukan. Kendatipun Smith berbicara dalam konteks Barat, namun menutup diri ini bisa saja terjadi pada umat Islam sendiri.
Dengan kalimat tauhid, La ilaha illa Allah, yang terdiri dari negasi dan afirmasi, sebenarnya manusia diajak untuk membebaskan dirinya dari kecenderungan untuk memperturutkan hawa nafsunya. Sebagaimana yang telah di sebut di muka, hawa nafsu inilah yang dapat menutup manusia untuk melihat kebenaran dari luar dirinya.
Kedua, pembebasan sosial (social liberation). Kualitas-kualitas pribadi selalu melandasi kualitas-kualitas masyarakat, semata-mata karena masyarakat terdiri dari pribadi-pribadi. Oleh karena itu dapat diharap bahwa kualitas-kualitas pribadi yang tertanam melalui tauhid itu akan terwujud pula dalam kualitas-kualitas masyarakat itu sendiri. Efek pembebasan semangat tauhid dalam masyarakat dapat dilihat sebagai kelanjutan dari efek pembebasan tingkat pribadi. Akhirnya, sikap menolak kekuatan tiranik (taghut) yang muncul dalam kehidupan sosial merupakan efek pembebasan sosial dari semangat yang dikandung tauhid.
Sejarah menunjukkan banyak tokoh-tokoh yang tampil menjadi taghut (kekuatan tiranik, otoriter) seperti Fir’aun. Fir’aun memerintah dengan absolut bahkan telah mengklaim dirinya sebagai Tuhan. Inilah yang ditolak dari semangat tauhid. Tirani ditolak dalam sistem tauhid karena ia bertentangan dengan prinsip bahwa yang secara hakiki berada di atas manusia adalah Allah Swt, Tuhan seru sekalian alam. Manusia adalah puncak tertinggi ciptaan Tuhan, yang Tuhan sendiri memuliakannya. Oleh karena itu jika manusia mengangkat sesuatu selain Tuhan menjadi tuhan maka ia telah melawan dan melangar fitrahnya. Ini juga dapat dikatakan syirik karena efeknya membelenggu dan merampas kebebasan manusia.
Selain tokoh, alam juga dapat berperan menjadi tuhan karena mitologi yang menyelimutinya. Pembelengguan terhadap alam berwujud tertutupnya kemampuan manusia untuk melihat hukum-hukum alam yang tela ditetapkan Tuhan menurut apa adanya. Dengan kata lain, syirik menghambat perkembangan ilmu pengetahuan, karena pendekatan kepada persoalan yang menyangkut alam ini diselesaikan melalui cara-cara magis-mitologis yang lebih banyak bersandar kepada khayal daripada kenyataan. Sikap memandang alam secara mitologis menjadikan ilmu pengetahuan tidak berkembang yang pada akhirnya mengakibatkan peradaban manusia menjadi stagnan.
Dengan demikian, menempatkan Allah yang semestinya simbol, nama, menjadi tuhan, menjadikan lafaz Allah tertutup untuk di kaji. Orang tidak akan berani untuk mendiskusikan apakah lafaz Allah itu isim Jamid (begitulah asalanya) atau musytaq (hasil bentukan dari ilah). Orang tidak berani membahas bagaimana perjalanan kata itu sepanjang sejarah manusia, sama juga orang menjadi tidak berani menterjemahkan Allah menjadi Tuhan dan sebagainya.
Agaknya pengakuan tuhan lokal yang kita pegang selama ini, itulah sebenarnya sumber malapetaka bangsa ini. Beratus-ratus nyawa bahkan ribuan harus mati terbunuh sia-sia atas nama tuhan lokal. Pada tempatnya kita menggugat tuhan lokal dan mengembalikkanya pada porsi yang sebenarnya.
Kita kembali kepada Tuhan Universal, Tuhan Yang Maha Kasih, yang memahami hambanya secara baik, sehingga dengan penuh kegembiraan ia menerima persembahan hambanya tanpa pernah memaksa menurut cara-cara tertentu. Yang penting baginya adalah sikap pasrah dan ketundukan manusia seketika menghadap-Nya, bukan bagaimana tata cara ibadah yang dilakukan.[]


Sumber tulisan: Azhari Akmal Tarigan, Islam Mazhab HMI: Tafsir Tema Besar Nilai Dasar Pejuangan, Kultura, Ciputat, 2007, hal: 50-53.
Ket. gbr: Net/ilustrasi
Sumber gbr: https://www.deviantart.com/

No comments:

Post a Comment