YakusaBlog- Formulasi tauhid
Islam yang diungkapkan dalam kalimat La
ilaha illa Allah mengidentifikasi bahwa problem ketuhanan manusia adalah
politeisme bukan ateisme. Sangat tepat program pokok Al-Qur’an adalah bagaimana
membebaskan manusia dari belenggu paham tuhan yang banyak. Kendati ada manusia
yang berpaham ateis, jumlahnya sangat kecil. Dengan kata lain tidak ada manusia
yang benar-benar ateis secara murni, karena banyak juga kaum ateis yang
memutlakkan pemikiran dan tokoh-tokoh mereka yang ada pada akhirnya membuat
mereka tergantung. Tidaklah mengherankan komunisme itu disebut sebagai padanan
agama (religion equivalent).
Pentingnya membebaskan
diri dari belenggu tuhan banyak, karena ia dapat menghalangi manusia dari
kebenaran. Belenggu dalam bahasa Arab disebut dengan hawa nafsu (al-hawa al-nafs) yang berarti keinginan
diri sendiri. Inilah sumber dari dalam diri manusia untuk menolak kebenaran,
bersikap sombong dan congkak ketika menghadapi hal-hal dari luar yang dirasakan
tidak sejalan dengan kamuan dan pandangan kita sendiri, betapapun sesuatu yang
berasal dari luar itu adalah benar. Hawa nafsu juga menjadi sumber
pandangan-pandangan subyektif dan biased,
yang juga menghalangi kita dari kemungkinan melihat kebenaran.
Allah Swt. berfirman,
Pernahkah engkau Muhammad menyaksikan
orang yang menjadikan keinginan (hawa-nya) sendiri sebagai tuhannya, kemudian
Allah membuat mereka sesat secara sadarm lalu Allah Swt menutup pendengaran dan
hatinya, yang menjadikan pandangannya menjadi tertutup, maka siapa yang sanggup
memberi petunjuk kepada Allah? Apakah kamu tidak merenungkan hal itu.
(Al-Jatiyah: 23)
Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa halangan manusia untuk menerima kebenaran pertama sekali
datang dari dalam dirinya sendiri yaitu hawa
al-nafs. Selanjutnya yang muncul dari luar adalah apa yang disebut dengan
kekuatan tiranik atau taghut. Allah
Swt. menyatakan, “Barangsiapa yang
menolak taghut berarti ia telah berperang kepada tali yang kukuh yang tidak
akan terputus. (Al-Baqarah: 256)
Seperti apa
yang dinyatakan oleh Cak Nur, efek pembebasan tauhid dapati dilihat dari dua
sisi. Pertama, pembebasan diri (self liberation). Dengan mengutip Huston
Smith, Cak Nur menyebut bahwa kengganan manusia menerima kebenaran ialah antara
lain karena sikap menutup diri yang timbul dari refleks agnostik atau kengganan
untuk tahu tentang kebenaran yang diperkirakan justru akan lebih tinggi
nilainya daripada apa yang sudah ada pada kita. Kalau saja kita akan memperoleh
energi yang diperlukan. Kendatipun Smith berbicara dalam konteks Barat, namun
menutup diri ini bisa saja terjadi pada umat Islam sendiri.
Dengan kalimat
tauhid, La ilaha illa Allah, yang
terdiri dari negasi dan afirmasi, sebenarnya manusia diajak untuk membebaskan
dirinya dari kecenderungan untuk memperturutkan hawa nafsunya. Sebagaimana yang
telah di sebut di muka, hawa nafsu inilah yang dapat menutup manusia untuk
melihat kebenaran dari luar dirinya.
Kedua, pembebasan sosial (social
liberation). Kualitas-kualitas pribadi selalu melandasi kualitas-kualitas
masyarakat, semata-mata karena masyarakat terdiri dari pribadi-pribadi. Oleh karena
itu dapat diharap bahwa kualitas-kualitas pribadi yang tertanam melalui tauhid
itu akan terwujud pula dalam kualitas-kualitas masyarakat itu sendiri. Efek pembebasan
semangat tauhid dalam masyarakat dapat dilihat sebagai kelanjutan dari efek
pembebasan tingkat pribadi. Akhirnya, sikap menolak kekuatan tiranik (taghut) yang muncul dalam kehidupan
sosial merupakan efek pembebasan sosial dari semangat yang dikandung tauhid.
Sejarah menunjukkan
banyak tokoh-tokoh yang tampil menjadi taghut
(kekuatan tiranik, otoriter) seperti Fir’aun. Fir’aun memerintah dengan absolut
bahkan telah mengklaim dirinya sebagai Tuhan. Inilah yang ditolak dari semangat
tauhid. Tirani ditolak dalam sistem tauhid karena ia bertentangan dengan
prinsip bahwa yang secara hakiki berada di atas manusia adalah Allah Swt, Tuhan
seru sekalian alam. Manusia adalah puncak tertinggi ciptaan Tuhan, yang Tuhan
sendiri memuliakannya. Oleh karena itu jika manusia mengangkat sesuatu selain
Tuhan menjadi tuhan maka ia telah melawan dan melangar fitrahnya. Ini juga
dapat dikatakan syirik karena efeknya membelenggu dan merampas kebebasan
manusia.
Selain tokoh,
alam juga dapat berperan menjadi tuhan karena mitologi yang menyelimutinya. Pembelengguan
terhadap alam berwujud tertutupnya kemampuan manusia untuk melihat hukum-hukum
alam yang tela ditetapkan Tuhan menurut apa adanya. Dengan kata lain, syirik
menghambat perkembangan ilmu pengetahuan, karena pendekatan kepada persoalan
yang menyangkut alam ini diselesaikan melalui cara-cara magis-mitologis yang
lebih banyak bersandar kepada khayal daripada kenyataan. Sikap memandang alam
secara mitologis menjadikan ilmu pengetahuan tidak berkembang yang pada
akhirnya mengakibatkan peradaban manusia menjadi stagnan.
Dengan demikian,
menempatkan Allah yang semestinya simbol, nama, menjadi tuhan, menjadikan lafaz
Allah tertutup untuk di kaji. Orang tidak akan berani untuk mendiskusikan
apakah lafaz Allah itu isim Jamid
(begitulah asalanya) atau musytaq
(hasil bentukan dari ilah). Orang tidak berani membahas bagaimana perjalanan
kata itu sepanjang sejarah manusia, sama juga orang menjadi tidak berani
menterjemahkan Allah menjadi Tuhan dan sebagainya.
Agaknya pengakuan
tuhan lokal yang kita pegang selama ini, itulah sebenarnya sumber malapetaka
bangsa ini. Beratus-ratus nyawa bahkan ribuan harus mati terbunuh sia-sia atas
nama tuhan lokal. Pada tempatnya kita menggugat tuhan lokal dan
mengembalikkanya pada porsi yang sebenarnya.
Kita kembali
kepada Tuhan Universal, Tuhan Yang Maha Kasih, yang memahami hambanya secara
baik, sehingga dengan penuh kegembiraan ia menerima persembahan hambanya tanpa
pernah memaksa menurut cara-cara tertentu. Yang penting baginya adalah sikap
pasrah dan ketundukan manusia seketika menghadap-Nya, bukan bagaimana tata cara
ibadah yang dilakukan.[]
Sumber tulisan: Azhari Akmal Tarigan, Islam Mazhab HMI: Tafsir Tema Besar Nilai Dasar Pejuangan, Kultura,
Ciputat, 2007, hal: 50-53.
Ket. gbr: Net/ilustrasi
Sumber gbr: https://www.deviantart.com/
No comments:
Post a Comment