YakusaBlog- Seorang
pemuda dalam perjalanan menuju suatu tempat. Belum sampai ke tujuan, waktu
magrib telah masuk. Maka dia menghentikan sepeda motornya dekat sebuah surau di
tepi jalan. Kebetulan di sana siap ditegakkan jamaah magrib oleh beberapa orang
lelaki, anak-anak dan perempuan. Seorang lelaki tua bertindak sebagai imam.
Si
pemuda cepat mengambil air sembahyang dan segera bergabung dengan para jamaah
dan mengikuti shalat magrib sejak rakaat pertama. Namun kelihatan benar pemuda
tersebut tidak khusuk dalam salatnya. Ia kelihatan gelisah sepanjang shalatnya.
Dan
shalat jamaah pun usai. Namun sei pemuda berdiri kembali dan bertakbir-ikhram. Orang-orang
di surau itu mengira pemuda tadi hendak menegakkan shalat ba’da magrib. Namun para jamaah jadi ragu karena si pemuda shalat
dengan riga rakaat. Setahu mereka shalat sunnah ba’da magrib hanya dua rakaat.
“Shalat
sunnah Anda kelebihan satu rakaat.” Kata seorang jamaah sambil tersenyum.
“Oh,
aku tidak shalat sunnah. Yang baru saja aku lakukan adalah shalat magrib.”
Jawab si pemuda dengan yakin.
“Tetapi
bukankah Anda sudah shalat magrib berjamaah bersama kami?”
“Benar.
Namun aku menganggap shalat magrib kalian tidak benar. Maka aku merasa harus
mengulang shalat magribku.”
“Tidak
benar?”
“Ya.”
Maka
si pemuda menyebutkan beberapa hal dalam shalat magrib mereka yang dianggapnya
tidak benar, tidak sesuai dengan keyakinan yang diamalkannya selama ini.
selesai menyebut hal-hal yang dianggapnya tidak benar itu si pemuda balik
bertanya, mengapa para jamaah di situ tetap beribadah dengan cara-cara yang ‘keliru’
itu.
Mendengar
pertanyaan demikian para jamaah terpana. Mereka tersinggung. Pembicaraan yang
semula santai lambat laun berubah panas dan nyaris meletup menjadi perdebatan. Ketika
itulah lelaki tua yang menjadi imam menghentikan zikirnya, lalu membalikkan
badan menghadap para jamaah dan si pemuda. Ia tersenyum. Kata-kata yang
kemudian diucapkannya terdengar datar.
“Soal
shalah kok diperdebatkan? Apa sih, untungnya?”
“Karena
shalat harus dilakukan seperti Nabi shalat. Bila tidak, shalat yang saja akan
tertolak.” Kata si pemuda.
“Ya,
semua orang ingin shalat seperti Nabi shalat. Yang sulit adalah memperoleh
jaminan bahwa seseorang telah melakukan shalat seperti yang dilakukan Nabi. Paling-paling,
masing-masing orang atau jamaah boleh merasa yakin, bahwa amalnya sesuai dengan
tuntunan Nabi, namun tak boleh menghakimi amal saudaranya yang lain. Ini menyangkut
masalah keyakinan dimana sesama pencari kebenaran tak boleh saling menghakimi
karena hal itu semata-mata hak Allah.”
“Tetapi
kana da dalil-dalil sebagai patokan amal.”
“Ya
tentu. Dalil yang berupa ayat Qur’an adalah mutlak. Dan sunnah Nabi diriwayatkan
oleh orang-orang yang mulia. Namun ketika kita memahami kedua macam dalil
tersebut hasilnya adalah sesuatu yang nisbi. Dengan demikian kita tidak boleh
punya keyakinan bahwa amal kita mutlak benar akibat amal orang lain pasti
salah.”
Suasana
di surau jadi lengang. Lelaki tua itu tersenyum. Lalu bangkit dan meletakkan
tangannya di atas pundak pemuda itu.
“Anda
adalah pemuda yang cerdas dan tentu saja kami harus menghargai keyakinan Anda. Dan
kita tak perlu mempermasalahkan perbedaan kecil dalam cara peribadatan kita.”
Pemuda
itu mengangguk-angguk.
“Ya.
Dan memutlakkan pendapat sendiri dalam beribadah baru saja terbukti menjadi
penyebab bubrahnya jamaah kita. Memang
kita tak perlu sama persis karena hal itu mustahil tercapai. Toj Tuhan sendiri
diam belaka, baik ketika disembah dengan cara Anda maupun cara kami. Itu pertanda
amal kita masing-masing diterima-Nya, Insya Allah.”[]
Penulis:
Ahmad Tohari
Catatan:
Tulisan di atas disadur dari bukunya Ahmad Tohari yang berjudul Berhala Kontemporer, pada halaman 20-22,
dengan sub judul Tuhan Diam Belaka.
Ket.gbr: IlustrationSbr.gbr: https://www.sijunjung.go.id/
ayo bergabung dengan saya di (D(E(W-A)P)K)
ReplyDeletemenangkan uang jutaan rupiah dengan menguji keberuntungan kalian
hanya dengan minimal deposit 10.000
untuk info lebih jelas segera di add saja Whatshapp : +8558778142
ditunggu lohhh add nya... terima kasih waktu nya ^-^