YakusaBlog- Lagi
dan lagi. Kita tak henti-hentinya mendengar kabar korupsi yang menyelimuti
negara ini, dan kali ini sangat menghebohkan publik, baik di dunia nyata maupun
di dunia maya (media sosial online). Pasalnya
adalah pasca Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan seorang Kepala
Daerah Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU)-Kalimantan Timur, Abdul Gafur Masud
sebagai tersangka kasus dugaan suap proyek dan perizinan Pemkab PPU, setelah
kasus itu ditelusuri lebih dalam, seorang politisi wanita muda cantik yang
selalu berhijab pun ikut terseret ke dalamnya.
Wanita
cantik itu bernama Nur Afifah Balqis, berusia 24 tahun, seorang politisi
perempuan muda menjabat sebagai Bendahara DPC Partai Demokrat Balikpapan.
Politisi perempuan muda itu menjadi tersangka dan sah memakai kostum orange
karena terlibat menampung suap Bupati Penajam Paser Utara (PPU). Balqis
diketahui berperan dalam kasus korupsi tersebut dengan menerima, mengelola, dan
menyimpan uang suap yang diterima sang Bupati. Dalam rekening banknya terdapat
jumlah uang sebesar Rp. 447 juta yang diperoleh dari penggelapan dana proyek di
Kabupaten Penajam Paser Utara-Kalimantan Timur.
Pihak
KPK memberi keterangan, ini lah kali pertama dan menjadi sebuah rekor baru
menangkap koruptor perempuan termuda di Indonesia. Balqis pun mendapat gelar
baru sebagi koruptor termuda dan koruptor perempuan di Indonesia, mengalahkan
usia koruptor-koruptor muda lainnya yang sudah diadili pendadilan pidana
korupsi. Tagline atau hastag “Umur 24 Tahun” menjadi trending topik di Twitter
pada Selasa, 18 Januari 2022 kemarin. Hal itu ditujukan oleh para penghuni
dunia maya (media sosial online)
kepada Balqis. Ia menjadi bullyan di media sosial online, dan kini menjadi bahan pembicaraan publik nyata terkait
sosoknya, baik secara profil maupun kebiasaan dia memamerkan barang-barang
mewahnya di Instagram dan foto
jalan-jalan ke sejumlah tempat termasuk ke luar negeri. Dan dia pun mencetak
rekor buruk.
Politisi Muda Sumber
Petaka
Melihat
fenomena keterlibatan politisi muda atau kaum muda secara umum terkait tindak
pidana korupsi seperti Balqis, tidak memungkin bahwa masih banyak lagi politisi
muda dan atau kaum muda yang terlibat dalam pidana korupsi tapi belum
diketahui, saya teringat dengan sebuah pernyataan Marzuki Ali, sebagaimana
dikutip dalam bukunya Faisal Riza yang berjudul Partai Islam No, Politik Islam Yes. Marzuki Ali mengungkapkan bahwa
politisi muda yang duduk sebagai anggota DPR menjadi sumber petaka bagi
Indonesia. Lebih dari 50% dari anggota parlemen berusi muda yang diharapkan
membawa perubahan dan perbaikan bagi negeri justru menjadi masalah baru. Ali
mencontohkan seperti Nazaruddin, Anah Urbaningrum, Angelina Sondakh yang terjerat
kasus korupsi.
Sederet
kasus korupsi ternyata tidak hanya politisi muda di parlemen (legislatif),
bahkan politisi muda di lembaga eksekutif juga terjadi. Di Provinsi Sumatera
Utara (Sumut), tepatnya di Kota Tanjungbalai, Wali Kota Tanjungbalai M Syharial
yang pernah meraih rekor MURI sebagai wali kota termuda se-Indonesia dan telah
menerima penghargaan itu di Jakarta tahun 2017. Kemudian pada tahun 2021, KPK
menetapkan wali kota termuda itu sebagai tersangka kasus korupsi lelang jabatan
di Pemerintahan Kota (Pemkot) Tanjungbalai pada 2019. Syahrial memberikan uang
suap kepada Robin sebesar Rp 1,6 M. Ia terbukti bersalah dan telah divonis dua
tahun penjara dan membayar denda sebesar Rp 100 Juta. Atas kasusnya itu, ia
resmi menjadi koruptor termuda di Indonesia pada usianya 33 tahun. Sebuah rekor
baru yang kedua kali ia (Syahraial) ciptakan waktu itu. Tapi rekor itu telah
dipatahkan oleh Nur Afifah Balqis, walaupun Balqis bukan kepala daerah akan
tetapi ikut membantu kepala daerah yang korup.
Dari
seorang kepala daerah lain, Zumi Zola yang menjabat sebagai Bupati Kabupaten
Tanjung Jabung Timur periode 2011-2016, setelah mundur dari jabatannya karena
ingin maju dalam Pilkada Provinsi Jambi 2015, ia pun menjadi Gubernur Jambi
ke-8. Tapi, saat Zola menjabat sebagai Gubernur Jambi, pada tahun 2018 ia ditetapkan
oleh KPK sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap Rancangan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) Jambi tahun anggaran 2018. Selain
terlibat suap RAPBD, ia juga diduga menerima gratifikasi. Pada akhirnya ia
mendapat hukuman 6 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 3 bulan
kurungan. Karena kasus tersebut, Zumi Zola menjadi koruptor termuda di
Indonesia pada usinya ke 38 tahun, sebelum rekor buruk itu dipatahkan oleh M
Syahrial Wali Kota Tanjungbalai.
Dari
sederet nama-nama koruptor muda yang kita sebutkan di atas, tidaklah pula kita
membenarkan perilaku korupsi yang dilakukan oleh politisi kaum tua yang ada
selama ini. akan tetapi, hal ini menjadi sorotan utama mengingat selama ini
kita memberi harapan indah terhadap kaum muda yang terlibat di politik. Harapan
pada kaum muda politisi itu adalah untuk dapat merubah pola-pola dan perilaku
buruk dari kaum politisi tua. Akan tetapi, nampaknya itu semua masih dalam
imajinasi. Bahkan, konon katanya kaum muda akan membawa perubahan bangsa dan negara
ke arah lebih baik sebagai agen perubahan dan agen kontrol masyarakat rasanya
seperti mitos belaka.
Politisi
muda benar-benar dapat menjadi sebuah petaka bagi bangsa dan negara pabila ia
belum mampu menghindari godaan korupsi dan hawa nafsu. Perlu harus kita camkan
bahwa menjadi politisi bukan untuk memperbaiki nasib secara pribadi atau
kroni-kroni, akan tetapi bagaimana mempebaiki nasib masyarakat luas dan
mengelola negara sesuai tujuan bernegara.
Kembali
kepada fenomena terbaru di atas, Nur Afifah Balqis adalah menjadi contoh buruk
bagi kaum muda hari ini. Peran pemuda yang seharusnya terlibat dalam memerangi
korupsi dan “membunuh” koruptor, kini menjadi bibit koruptor. Andai saja Balqis
tidak terdeteksi sebagai ikut terlibat dalam kasus tersebut, ia akan menjadi
bibit unggul koruptor. Saya yakin ia hanyalah salah satu bibit unggul koruptor
di Indonesia, masih banyak bibit unggul koruptor lainnya yang belum diketahui.
Membasmi Bibit Unggul
Koruptor
Apa
yang seharusnya dilakukan dalam rangka membasmi bibit-bibit unggul
koruptor? Tidak ada jalan lain kecuali
KPK dan pihak yang berwenang menangani korupsi harus bertindak lebih cepat
lagi. Bibit-bibit unggul koruptor ini jangan sampai menjadi besar (menjadi
politisi di Legislatif dan Eksekutif) bahkan di lembaga lainnya.
Kemudian
secara sadar, sedari dini kita semua mesti mendidik anak-nanak bangsa agar
tidak terpengaruh oleh perbuatan korupsi. Tidak salah mejadi politisi, asal
bukan menjadi politisi yang korup. Tak salah memegang jabatan tinggi (pejabat),
akan tetapi kita mensti membentengi diri dari perilaku korupsi. Tentu godaan
korupsi akan selalu datang, untuk itu kita perlu sedari dini dan dalam diri
melawan racun korupsi itu. Terkhusus untuk kaum muda, baik yang politisi atau
berminat dari politisi atau pun ingin menjadi pejabat publik, jangan sampai
kita menjadi bibit unggul koruptor.
Politisi
muda harus benar-benar berjuang dan memperjuangkan nasib rakyat yang susah.
Kepentingan rakyat harus berada di atas kepentingan partai politik pengusung
atau pun kepentingan pribadi dan kelompok. Sebab karena rakyatlah yang memilih
kita dan parpol. Politisi muda harus memiliki kualitas moral bukan kualitas
bibit unggul koruptor. Dengan kualitas moral tersebut maka kita tidak dapat
terjebak dalam jurang-jurang korupsi, godaan hawa nafsu, dan godaan materil
yang merugikan orang banyak.
Sebagai
politisi muda, diharuskan memiliki visi dan misi strategis untuk kebaikan masa
depan rakyat dan negara. Politisi muda bekerja demi rakyat tanpa pamrih, karena
menjadi politisi bukanlah semacam bentuk pekerjaan yang mendapatkan keuntungan
materi untuk pribadi dan golongan, akan tetapi lembaga pemerintahan yang dihuni
para politisi muda adalah lembaga untuk pengabdian pada rakyat. Untuk itu maka
politisi muda jangan sampai menjadi bibit unggul koruptor.***
Penulis: Brimob Ritonga (Mahasiswa Fakultas Hukum UISU dan Anggota PUSDIPSI)
Ket. Tulisan: Artikel ini telah dimuat di Koran Harian Analisa, Kolom Opini. Edisi: Kamis, 27 Januari 2022.
Ket. Gbr: Nur Afifah Balqis
No comments:
Post a Comment