Orang Yang Paling Berdaulat Di Medan - Yakusa Blog

Yakusa Blog

Mewujudkan Komunitas Intelektual Muslim

Tuesday, 4 June 2019

Orang Yang Paling Berdaulat Di Medan

YakusaBlog- Seorang anak perempuan duduk di dekat ayahnya, melihat-lihat sang ibu dan kakak laki-lakinya berlarian di tengah taman. Aku memperhatikan mereka dari tempat dudukku. Jarak kami kurang lebih dua meter. Taman Teladan biasanya ramai saat pagi hari. Udara lebih segar dan cuaca lebih sejuk. Jogging, rutinitas sebagian orang di Medan saat pagi hari. Tidak hanya orang dewasa, anak-anakpun mulai membiasakan hidup sehat.
Beberapa orang berjualan di depan pintu masuk Teladan, mencari nafkah. Aku tersenyum. Kembali kujatuhkan pandanganku ke arah buku yang sedang kupegang. Seseorang menepuk pundakku. "Hoi", sapanya. Aku malas menoleh. Dia menarik bukuku. Memaksaku untuk melihatnya.
Dengan malas kuarahkan juga pandanganku padanya. "Apa?", tanyaku sambil menjaga jarak dengan pura-pura membetulkan jilbabku.
"Serius kali bacanya". Dia agak memicingkan matanya sambil membuka sampul bukuku. "Nur...", belum selesai dia lanjutkan membaca namaku, aku menariknya. "Namaku Riyan. Hai, Nur? Tidak ikut lari?". Matanya melirik ke arahku, sambil tersenyum. "Aku kuliah di UISU, aku ngekost di gang depan kampusku". Dia terlihat berusaha meyakinkanku bahwa dia bukan penjahat.
"Jurusan apa?" tanyaku, akhirnya membuka suara.
Sepertinya dia memang laki-laki yang baik. Dia kembali tersenyum dan menjawab, "Jurusan Hukum".
"Aku, Nur. Kuliah di STMIK Budidarma, Teknik Informatika" kataku, memperkenalkan diri.
"Yang di dekat sini?" tanyanya.
Aku mengangguk. Aku membalik lembar kesembilan belas pada buku yang sedang kubaca.
"Ikut lari yuk" ajaknya.
Kujawab dengan menggelengkan kepala. Sedingin itu aku terhadap orang yang baru kukenal. Kulirik keluarga yang tadi. Aku melihat anak perempuan itu yang berlari bersama ayahnya. Dan gantian si kakak laki-laki duduk bersama ibunya.
"Ku pikir orang-orang sepertimu tidak akan memikirkan orang lain. Ternyata kamu juga perduli terhadap orang lain". Riyan beranjak dari sebelahku dan pergi.
Aku memperhatikan punggungnya mulai menjauh. Mungkin dia akan lari pagi seperti yang lainnya. Apa hubungannya memperhatikan orang lain dan perduli terhadap orang lain?
Sepuluh menit berlalu. Aku tetap membaca buku. Riyan datang menghampiriku. Wajahnya penuh keringat. "Kamu bilang, kamu jurusan teknik, kan?" tanyanya.
Aku mengangguk. Sedikitpun tidak berniat menatap matanya. Terserah kalau dianggap tidak sopan. Aku hanya berusaha menjaga jarak.
"Ajari aku membuat blog pribadi." Pintanya.
Aku menggeleng, tidak setuju. Dan tanpa memaksa dia pergi dan melanjutkan lari paginya. Aku melirik keluarga itu lagi. Mereka tidak ada. Aku berdiri dan mataku mulai menyapu sekeliling taman. Ternyata mereka pindah ke tempat yang ada ayunannya. Aku kembali duduk.
Kubuka buku catatan yang selalu kubawa kemanapun. Pertanyaan berbentuk tinta merah itu kembali kubaca. “Siapakah sebenarnya orang yang berdaulat itu?” Pertanyaan itu kutulis saat aku pertama kali menginjakkan kaki di kampus.
Kegelisahan tentang apa sebenarnya makna dari merdeka, siapakah yang lebih merdeka, yang lebih bebas menjalani hidupnya dan yang lebih sejahtera? Siapa sebenarnya orang-orang merdeka itu?
Aku melihat Riyan yang kembali menghampiriku. "Aku punya pertanyaan untukmu dan aku akan mengajarimu membuat Blog pribadi." Kataku.
Dia mengangguk setuju dan tersenyum. Baru kuketahui, ternyata ada lesung pipit di pipi kirinya. "Siapakah sebenarnya orang yang berdaulat itu?" tanyaku.
Dahinya berkerut, seolah tidak paham. Ah. Katanya jurusan hukum, menjawab begitu saja tidak bisa, batinku. Dia berlari lagi. Aku hanya merengut. Sekitar dua putaran dia kembali lagi. "Boleh kujawab sekarang?" Aku mengangguk, menanti.
"Ayo ikut aku. Kita pindah ke arah sana".
"Kenapa gak di sini aja?" protesku.
"Udahlah, kau ikut saja aku."
Aku menjinjing tas ranselku dan memegang buku yang sudah tujuh puluh halaman kubaca. Kami duduk di bangku samping ayunan. Di sana kulihat keluarga yang duduk di depan bangkuku tadi.
"Kumal sekali keluarga itu, kan?" katanya sambil menunjuk keluarga itu.
Aku menatapnya kesal. "Kau jawab saja pertanyaanku, jangan malah menghina orang lain".
Dia tertawa. "Diamlah gadis beku. Perhatikan saja mereka baik-baik."
Kami berdua diam sambil memperhatikan keluarga itu diam-diam. Dia memang benar, mereka sangat kumal. Si ibu sepertinya tidak punya baju lagi untuk dipakai. Lebih dari tiga kain perca berlainan warna menempel pada baju yang ia pakai. Menutupi bajunya yang sudah koyak, mungkin. Kulirik laki-laki di sampingku. Dan memperhatikan lagi keluarga itu. "Ayah, adek lapar". Anak perempuan itu menarik baju ayahnya sambil melompat. Si ayah merogoh kantong celananya yang hitam kusam. Tali pinggangnya hanya tali plastik, memakai sendal yang bersih. Si ayah tersenyum melihat selembar uang yang ia keluarkan dari saku celananya, lalu beranjak pergi.
Aku menatap Riyan yang lebih dulu menatapku. Kami seperti dua orang yang sedang menonton bioskop yang menceritakan tentang keluarga itu. Aku memperhatikan lagi keluarga itu, mencari-cari jawabanku yang tak kunjung terjawab.
Si ayah membawa kue kacang hijau yang digoreng dengan tepung. Ukurannya sebesar telapak tangan anak kecil. "Sebentar ya, nak. Ayah dinginkan dulu." Si anak perempuan mengangguk patuh.
Si ayah membagi kue itu menjadi empat bagian lalu memberikan potongan kue pada anak-anak dan istrinya. Si anak mendekati kakaknya, meminta disuapkan. Si kakak melakukannya. Dan dengan lahap Si ibu memakan makanan yang hanya sepotong itu. Pemandangan apa ini? Cepat kuhapus air mataku. Si anak perempuan muntah di samping ayahnya. Hampir saja mengenai celana ayahnya. Sedang si anak laki-laki membuka celananya. Mungkin hendak pipis. Si ibu menggeleng. "Jangan, nanti kenak celana bapakmu". Peringat si ibu.
Si anak mendekati ayahnya. "Di mana aku boleh pipis, pak?", tanya si anak. "Di sana!", tunjuk si ayah dan mata anak itu mengikuti arah tangan ayahnya. Aku dan Riyan di sampingku juga ikut ke arah yang ternyata berada di samping tong sampah yang bertuliskan sampah kertas.
Si anak berlari dan buang hajat di sana. "Orang tidak berpendidikan, bukan? Buang kotoran saja tidak tahu tempat. Tidak punya aturan. Dasar orang miskin." Riyan nyinyir di sampingku.
Aku menatap tajam ke arahnya. Dia tersenyum dan diam. Si anak kembali.
"Dengar, kalian tidak boleh pipis atau muntah di dekat mamak, bapak dan juga adikmu, juga abangmu, mengerti?” nasehat sang ayah.
"Jadi di mana yang boleh, yah?" Si ayah tersenyum dan menjawab,
"Dimanapun kalian boleh pipis. Boleh muntah, juga meludah di seluruh kota Medan. Di Stadion Teladan, juga boleh di selokan, di PRSU, di Merdeka Walk, di Stasiun Kereta."
Si anak mengangguk seolah mengerti. Mereka pergi sambil membawa karung putih tempat botol-botol plastik yang mereka kumpulkan pagi ini. Mereka ternyata adalah pemulung.
Riyan memandangku. "Sudah lihat?" katanya. Aku mengangguk.
"Nur." Panggilnya. Dia menunduk dan tersenyum.
Aku kembali melihat ke arah bukuku yang sudah tertutup. Walaupun memperhatikan, aku tetap tidak menemukan jawabanku. "Jadi jawabannya?" tanyaku pelan.
"Merekalah orang-orang paling berdaulat itu." jawabnya.
Aku mengernyitkan dahi. Menoleh ke arah keluarga tadi yang sudah menghilang.
"Kau lihat, mereka saling berbagi makanan. Bebas dan merdeka. Mereka sangat tahu, apa yang mereka mampu beli. Mereka sangat tahu, apa yang sanggup mereka nikmati. Kau dengar, anaknya boleh memuntahi Stasiun Kereta Api. Siapakah yang lebih bebas dari mereka? Bebas menghayal, bebas berkata, dan bebas melakukan apa yang mereka mau. Tak akan ada yang perduli." dia menghela napas panjang.
Aku mendegarkannya seperti anak yang sedang dinasehati oleh orangtuanya. "Pasti selama ini, kau pikir orang yang merdeka itu adalah orang yang punya kekuasaan. Pengusaha, pejabat, para dosen, kepala yayasan dan orang yang berharta?" Dia menebak lagi pemikiranku.
"Mereka tidak benar-benar merdeka, Nur. Mereka bebas membeli apa yang mereka mau, tapi seberapa banyak mereka membaginya pada orang lain? Setiap hari, mereka harus memikirkan apa yang mereka akan ucapkan di depan citra. Setiap hari mereka khawatir dan penuh dengan rasa ketakutan. Takut masuk penjara, takut berkata-kata yang bisa saja membuat buruk namanya di pandangan publik. Sibuk mentaati berbagai aturan dari atasan. Takut dipecat, takut turun jabatan." Aku mengangguk pelan dan dalam. Aku tak berani memandang laki-laki cerdas di sampingku ini.
Dia melihat kearahku dan tersenyum, "Sudah kau dapatkan jawaban atas pertanyaanmu, Nur?" dan akupun mengangguk.
"Kenapa kau tak jawab saja begitu, ndak perlu melihat keluarga tadi. Kamu kan jurusan hukum, pasti bisa meyakinkan dan menjelaskan sesuatu dengan mudah." Kataku.
"Karena kamu jurusan teknik. Orang Teknik itu, tidak bisa hanya teori, akan lebih mudah dengan praktek langsung. Apalagi orangnya kaku kayak kamu." Katanya.
Aku diam dan kemudian berkata, "Besok aku ajari cara buat blog. Terima kasih sudah menjawab pertanyaanku. Aku pergi dulu. Assalaamu'alaikum." aku berlalu karena ada kelas pemrograman pagi ini.
"Wa'alaikumsalam warahmatullah wabarakatuh." Jawabnya tanpa protes.[]

Penulis : Nur Kumala Sari
Ket.gbr: Ilustration
Sbr.gbr: https://kartunmedan.wordpress.com/

No comments:

Post a Comment