YakusaBlog- Seorang anak perempuan duduk di dekat ayahnya, melihat-lihat
sang ibu dan kakak laki-lakinya berlarian di tengah taman. Aku memperhatikan
mereka dari tempat dudukku. Jarak kami kurang lebih dua meter. Taman Teladan
biasanya ramai saat pagi hari. Udara lebih segar dan cuaca lebih sejuk. Jogging, rutinitas sebagian orang di
Medan saat pagi hari. Tidak hanya orang dewasa, anak-anakpun mulai membiasakan
hidup sehat.
Beberapa orang berjualan di depan pintu masuk Teladan,
mencari nafkah. Aku tersenyum. Kembali kujatuhkan pandanganku ke arah buku yang
sedang kupegang. Seseorang menepuk pundakku. "Hoi", sapanya. Aku
malas menoleh. Dia menarik bukuku. Memaksaku untuk melihatnya.
Dengan malas kuarahkan juga pandanganku padanya.
"Apa?", tanyaku sambil menjaga jarak dengan pura-pura membetulkan
jilbabku.
"Serius kali bacanya". Dia agak memicingkan matanya
sambil membuka sampul bukuku. "Nur...", belum selesai dia lanjutkan
membaca namaku, aku menariknya. "Namaku Riyan. Hai, Nur? Tidak ikut
lari?". Matanya melirik ke arahku, sambil tersenyum. "Aku kuliah di
UISU, aku ngekost di gang depan kampusku". Dia terlihat berusaha meyakinkanku
bahwa dia bukan penjahat.
"Jurusan apa?" tanyaku, akhirnya membuka suara.
Sepertinya dia memang laki-laki yang baik. Dia kembali
tersenyum dan menjawab, "Jurusan Hukum".
"Aku, Nur. Kuliah di STMIK Budidarma, Teknik Informatika"
kataku, memperkenalkan diri.
"Yang di dekat sini?" tanyanya.
Aku mengangguk. Aku membalik lembar kesembilan belas pada
buku yang sedang kubaca.
"Ikut lari yuk" ajaknya.
Kujawab dengan menggelengkan kepala. Sedingin itu aku
terhadap orang yang baru kukenal. Kulirik keluarga yang tadi. Aku melihat anak
perempuan itu yang berlari bersama ayahnya. Dan gantian si kakak laki-laki
duduk bersama ibunya.
"Ku pikir orang-orang sepertimu tidak akan memikirkan
orang lain. Ternyata kamu juga perduli terhadap orang lain". Riyan beranjak
dari sebelahku dan pergi.
Aku memperhatikan punggungnya mulai menjauh. Mungkin dia akan
lari pagi seperti yang lainnya. Apa hubungannya memperhatikan orang lain dan
perduli terhadap orang lain?
Sepuluh menit berlalu. Aku tetap membaca buku. Riyan datang
menghampiriku. Wajahnya penuh keringat. "Kamu bilang, kamu jurusan teknik,
kan?" tanyanya.
Baca juga: Panggil Saja Aku, Kirana!
Aku mengangguk. Sedikitpun tidak berniat menatap matanya.
Terserah kalau dianggap tidak sopan. Aku hanya berusaha menjaga jarak.
"Ajari aku membuat blog pribadi." Pintanya.
Aku menggeleng, tidak setuju. Dan tanpa memaksa dia pergi dan
melanjutkan lari paginya. Aku melirik keluarga itu lagi. Mereka tidak ada. Aku
berdiri dan mataku mulai menyapu sekeliling taman. Ternyata mereka pindah ke
tempat yang ada ayunannya. Aku kembali duduk.
Kubuka buku catatan yang selalu kubawa kemanapun. Pertanyaan
berbentuk tinta merah itu kembali kubaca. “Siapakah
sebenarnya orang yang berdaulat itu?” Pertanyaan itu kutulis saat aku
pertama kali menginjakkan kaki di kampus.
Kegelisahan tentang apa sebenarnya makna dari merdeka,
siapakah yang lebih merdeka, yang lebih bebas menjalani hidupnya dan yang lebih
sejahtera? Siapa sebenarnya orang-orang merdeka itu?
Aku melihat Riyan yang kembali menghampiriku. "Aku punya
pertanyaan untukmu dan aku akan mengajarimu membuat Blog pribadi." Kataku.
Dia mengangguk setuju dan tersenyum. Baru kuketahui, ternyata
ada lesung pipit di pipi kirinya. "Siapakah sebenarnya orang yang
berdaulat itu?" tanyaku.
Dahinya berkerut, seolah tidak paham. Ah. Katanya jurusan
hukum, menjawab begitu saja tidak bisa, batinku. Dia berlari lagi. Aku hanya
merengut. Sekitar dua putaran dia kembali lagi. "Boleh kujawab
sekarang?" Aku mengangguk, menanti.
"Ayo ikut aku. Kita pindah ke arah sana".
"Kenapa gak di sini aja?" protesku.
"Udahlah, kau ikut saja aku."
Aku menjinjing tas ranselku dan memegang buku yang sudah
tujuh puluh halaman kubaca. Kami duduk di bangku samping ayunan. Di sana kulihat
keluarga yang duduk di depan bangkuku tadi.
"Kumal sekali keluarga itu, kan?" katanya sambil
menunjuk keluarga itu.
Aku menatapnya kesal. "Kau jawab saja pertanyaanku, jangan
malah menghina orang lain".
Dia tertawa. "Diamlah gadis beku. Perhatikan saja mereka
baik-baik."
Kami berdua diam sambil memperhatikan keluarga itu diam-diam.
Dia memang benar, mereka sangat kumal. Si ibu sepertinya tidak punya baju lagi
untuk dipakai. Lebih dari tiga kain perca berlainan warna menempel pada baju
yang ia pakai. Menutupi bajunya yang sudah koyak, mungkin. Kulirik laki-laki di
sampingku. Dan memperhatikan lagi keluarga itu. "Ayah, adek lapar".
Anak perempuan itu menarik baju ayahnya sambil melompat. Si ayah merogoh
kantong celananya yang hitam kusam. Tali pinggangnya hanya tali plastik,
memakai sendal yang bersih. Si ayah tersenyum melihat selembar uang yang ia
keluarkan dari saku celananya, lalu beranjak pergi.
Aku menatap Riyan yang lebih dulu menatapku. Kami seperti dua
orang yang sedang menonton bioskop yang menceritakan tentang keluarga itu. Aku
memperhatikan lagi keluarga itu, mencari-cari jawabanku yang tak kunjung
terjawab.
Si ayah membawa kue kacang hijau yang digoreng dengan tepung.
Ukurannya sebesar telapak tangan anak kecil. "Sebentar ya, nak. Ayah
dinginkan dulu." Si anak perempuan mengangguk patuh.
Si ayah membagi kue itu menjadi empat bagian lalu memberikan
potongan kue pada anak-anak dan istrinya. Si anak mendekati kakaknya, meminta
disuapkan. Si kakak melakukannya. Dan dengan lahap Si ibu memakan makanan yang
hanya sepotong itu. Pemandangan apa ini? Cepat kuhapus air mataku. Si anak
perempuan muntah di samping ayahnya. Hampir saja mengenai celana ayahnya.
Sedang si anak laki-laki membuka celananya. Mungkin hendak pipis. Si ibu
menggeleng. "Jangan, nanti kenak celana bapakmu". Peringat si ibu.
Si anak mendekati ayahnya. "Di mana aku boleh pipis,
pak?", tanya si anak. "Di sana!", tunjuk si ayah dan mata anak
itu mengikuti arah tangan ayahnya. Aku dan Riyan di sampingku juga ikut ke arah
yang ternyata berada di samping tong sampah yang bertuliskan sampah kertas.
Si anak berlari dan buang hajat di sana. "Orang tidak
berpendidikan, bukan? Buang kotoran saja tidak tahu tempat. Tidak punya aturan.
Dasar orang miskin." Riyan nyinyir di sampingku.
Aku menatap tajam ke arahnya. Dia tersenyum dan diam. Si anak
kembali.
"Dengar, kalian tidak boleh pipis atau muntah di dekat
mamak, bapak dan juga adikmu, juga abangmu, mengerti?” nasehat sang ayah.
"Jadi di mana yang boleh, yah?" Si ayah tersenyum
dan menjawab,
"Dimanapun kalian boleh pipis. Boleh muntah, juga
meludah di seluruh kota Medan. Di Stadion Teladan, juga boleh di selokan, di
PRSU, di Merdeka Walk, di Stasiun Kereta."
Si anak mengangguk seolah mengerti. Mereka pergi sambil
membawa karung putih tempat botol-botol plastik yang mereka kumpulkan pagi ini.
Mereka ternyata adalah pemulung.
Riyan memandangku. "Sudah lihat?" katanya. Aku
mengangguk.
"Nur." Panggilnya. Dia menunduk dan tersenyum.
Aku kembali melihat ke arah bukuku yang sudah tertutup.
Walaupun memperhatikan, aku tetap tidak menemukan jawabanku. "Jadi
jawabannya?" tanyaku pelan.
"Merekalah orang-orang paling berdaulat itu."
jawabnya.
Aku mengernyitkan dahi. Menoleh ke arah keluarga tadi yang
sudah menghilang.
"Kau lihat, mereka saling berbagi makanan. Bebas dan
merdeka. Mereka sangat tahu, apa yang mereka mampu beli. Mereka sangat tahu,
apa yang sanggup mereka nikmati. Kau dengar, anaknya boleh memuntahi Stasiun
Kereta Api. Siapakah yang lebih bebas dari mereka? Bebas menghayal, bebas
berkata, dan bebas melakukan apa yang mereka mau. Tak akan ada yang
perduli." dia menghela napas panjang.
Aku mendegarkannya seperti anak yang sedang dinasehati oleh
orangtuanya. "Pasti selama ini, kau pikir orang yang merdeka itu adalah
orang yang punya kekuasaan. Pengusaha, pejabat, para dosen, kepala yayasan dan
orang yang berharta?" Dia menebak lagi pemikiranku.
Baca juga: The People Power [Sebuah Cerpen]
"Mereka tidak benar-benar merdeka, Nur. Mereka bebas
membeli apa yang mereka mau, tapi seberapa banyak mereka membaginya pada orang
lain? Setiap hari, mereka harus memikirkan apa yang mereka akan ucapkan di
depan citra. Setiap hari mereka khawatir dan penuh dengan rasa ketakutan. Takut
masuk penjara, takut berkata-kata yang bisa saja membuat buruk namanya di
pandangan publik. Sibuk mentaati berbagai aturan dari atasan. Takut dipecat,
takut turun jabatan." Aku mengangguk pelan dan dalam. Aku tak berani
memandang laki-laki cerdas di sampingku ini.
Dia melihat kearahku dan tersenyum, "Sudah kau dapatkan
jawaban atas pertanyaanmu, Nur?" dan akupun mengangguk.
"Kenapa kau tak jawab saja begitu, ndak perlu melihat
keluarga tadi. Kamu kan jurusan hukum, pasti bisa meyakinkan dan menjelaskan
sesuatu dengan mudah." Kataku.
"Karena kamu jurusan teknik. Orang Teknik itu, tidak
bisa hanya teori, akan lebih mudah dengan praktek langsung. Apalagi orangnya kaku
kayak kamu." Katanya.
Aku diam dan kemudian berkata, "Besok aku ajari cara
buat blog. Terima kasih sudah menjawab pertanyaanku. Aku pergi dulu. Assalaamu'alaikum." aku berlalu
karena ada kelas pemrograman pagi ini.
"Wa'alaikumsalam
warahmatullah wabarakatuh." Jawabnya tanpa protes.[]
Penulis : Nur Kumala Sari
Ket.gbr: IlustrationSbr.gbr: https://kartunmedan.wordpress.com/
No comments:
Post a Comment