YakusaBlog- Apalagi
yang bisa diharapkan dari Penguasa, pabila Penguasa yang sebelumnya dipilih
oleh rakyat, tapi Penguasa itu tidak menjungjung tinggi keadilan dan kejujuran?
Apalagi yang bisa diharapkan rakyat, jika Penguasa negaranya tidak pro rakyat?
Apalagi yang diharapkan oleh rakyat, pabila Penguasa negaranya lebih berpihak
pada sekelompok orang?
Apa
yang harus diperbuat oleh rakyat? Tiada yang lain, kecuali menggantikannya.
Konstitusi negara pun memberikan kesempatan pada rakyat untuk menggantikan Sang
Penguasa yang tidak jujur dan adil, lewat Pemilihan Umum, lewat perwakilan atau
referendum. Di luar dari itu, menurunkan secara paksa juga dapat dihalalkan,
ketika rakyat menghendakinya.
Lantas,
apa yang bisa diperbuat rakyat jika pilihan mereka yang seharusnya menang
menggantikan Penguasa sebelumnya, tapi kemenangan itu dikebiri oleh Penguasa
yang tak mau digantikan? Apa gunanya demokrasi dari rakyat jika pilihan
mayoritas rakyat dikalahkan oleh permainan curang dalam sebuah sistem, instrumen penyelenggara pemilihan umum dan seluruh perangkat demokrasi? Sekali lagi, apa
yang harus dilakukan oleh rakyat?
***
“Assalamu’alaikum…” Abdullah mengetuk
pintu rumah Makmur, sahabatnya sewaktu di Pondok Pesantren dua puluh tahun
lalu.
“Wa’alaikumsalam…” Seorang gadis
berjilbab berusia sekitar tujuh belas tahun, menjawab sambil berjalan mendekati
kea rah sumber suara salam.
“Ada
apa, Pak? Mau cari siapa?” Tanya gadis manis itu dengan ramah.
“Bapak
ada?” Tanya Abdullah.
“Ada.
Bapak ada di kamar.” Jawab gadis manis itu dengan sopan. “Bapak dari mana?” Ia
bertanya lagi.
“Tolong
dipanggil.” Abdullah tidak menjawab pertanyaan gadis manis itu. Ia malah
meminta tolong supaya memanggil sahabata lamanya itu, Makmur.
“Baik,
Pak.” Gadis itu tidak mau bertanya panjang kali lebar sehingga melebar. Ia berhenti
menjadi wartawan yang banyak tanya demi harta.
Secara
penampilan, Abdullah tidak pantas dicurigai. Penampilan seperti Abdullah itu
sudah sering ia lihat, ketika teman-teman Ayahnya atau jema’ah Ayahnya yang
datang ke rumah untuk bersilaturahmi.
“Bentar
ya, Pak. Bagaimana kalau Bapak masuk dulu. Menunggu di ruang tamu saja.” Gadis
manis itu mempersilahkan Abdullah masuk. Sungguh gadis itu amat manis, ramah,
sopan dan pandai menghormati tamu.
“Baik.”
Kata Abdullah padat sambil melangkahkan kakinya menuju ruang tamu mengikuti
gadis tersebut.
“Silahkan
duduk, Pak. Saya akan panggil Bapak.”
“Baik.
Terimakasih ya.”
“Sama-sama,
Pak.” Kata gadis itu kemudian meninggalkan Abdullah sendirian di raung tamu.
Tidak
lama Abdulah menunggu, akhirnya Makmur, sahabatnya sewaktu di Pondok Pesantren,
dua puluh tahun yang lalu, pun datang menghampirinya.
“Subhanallah…” Kata Makmur ketika berada
dihadapan sahabat lamanya, Abdullah.
Terbuka
senyum lebar mereka berdua. Mereka tertawa kecil, berpelukan begitu akrab,
seolah-olah tidak bertemu ribuan tahun. Gadis manis itu pun ikut juga tersenyum
bangga melihat persahabatan Ayahnya.
“Apa
kabar kau, Abdullah?” Tanya Makmur yang masih memegang tangan sahabatnya
selepas berpelukan akrab.
“Alhamdulillah… sehat dan baik-baik saja,
seperti apa yang kau lihat sekarang.” Jawab Abdullah sambil tertawa pelan. “Kau
bagaimana kabarnya?” Abdullah balik bertanya.
“Alhamdulillah, seperti yang kau lihat
juga.” Kata Makmur. “Apa cerita, mengapa kau jauh-jauh dari kampung datang ke
mari?” Tanya Makmur balik.
“Ada
hal serius yang harus kita bicarakan, mungkin akan terjadi sesuatu.” Jawab
Abdullah.
“Baik.
Aku siap mendengarkanmu.” Kata Makmur. “Mari kita duduk dulu.” Mengajak sahabat
lamanya itu.
Makmur
dan Abdullah pun duduk di sofa tua yang sederhana. Makmur letakkan peci
hitamnya di atas meja. “Oh…iya. Kau mau minum apa?” Tanya Makmur.
“Apa
aja lah. Yang penting bisa diminum. Kalau boleh, secangkir kopi panas.” Pinta
Abdullah.
Makmur
pun menyuruh anak gadis yang amat manis itu, yang sedari tadi menyaksikan
hangatnya persahabatan Ayahnya dengan Abdullah. Gadis itu pergi menyeduh
secangkir kopi di dapur.
“Apa
yang hendak kita bicarakan mala mini, Dul?” Tanya Makmur dengan menyebutkan
sapaan akrab Abdullah.
“Begini,
Mur…” Abdullah juga menyebut nama sapaan akrab sahabatanya itu. Rasanya perbincangan
itu seperti mereka dahulu di Pondok. “Tentu kau sudah menyaksikan keadaan
negara kita sekarang.” Lanjut Abdullah.
“Terkait
mengenai pemilihan Presiden?” Tanya Makmur.
“”Iya.”
Jawab Abdullah padat.
“Emang
kenapa, Dul?”
“Pasti
kau sudah tahu dengan gaduhnya rakyat negara kita saat ini terkait hasil
hitungan cepat pemilihan Calon Presiden-Wakil Presiden.” Kata Abdullah.
“Iya,
Dul. Aku sungguh kecewa dan resah…” Kemudian ia terdiam sejenak. “dan sungguh
aneh mengapa keadaan ini terjadi.” Lanjutnya.
“Bagaimana
tanggapanmu terkait hasil hitungan cepat yang menurutku berpihak ke salah satu
Pasangan Calon Presiden-Wakil Presiden?” Tanya Abdullah.
“Kalau
aku bukan hanya memandang itu saja. Aku juga menyoroti dari berbagai media
sosial online, banyak terjadi
kecurangan di mana-mana. Misalnya ada Surat Suara yang sudah tercoblos dan
banyak hal lainnya yang menurutku ganjil.” Makmur menanggapi pertanyaan tadi.
“Aku
menganalisa, seluruh perangkat dan instrument telah diamankan untuk memenangkan
salah satu, padahal suaranya kalah.” Abdullah bicara begitu serius.
“Kau
milih siapa waktu kemarin memilih?” Tanya Makmur.
“Jujur,
aku tidak ikut memilih. Aku golput. Karena aku kurang suka pada kedua-duanya.”
Gadis manis itu pun mengentikan sementara kata-kata Abdullah. Hanya suara
secangkir kopi yang terbuat dari keramik itu terdengar karena menyentuh meja
kaca yang ada di depannya. “Tapi, saat aku melihat kecurangan, pengkebirian
terhadapat mayoritas pilihan rakyat, aku tergerak. Aku lebih tidak suka dengan
kecurangan-kecurangan itu, ketidak-obyektifan penghitungan cepat dan terdapatnya
unsur ketidak-obyektifan pada penyelenggara pemilihan.” Lanjut Abdullah. Gadis manis
itu sudah pergi meninggalkan mereka setelah meletakkan secangkir kopi.
“Aku
juga memandang hal yang sama.” Kata Makmur menanggapi pendapat sahabatanya. “Tapi
aku tidak golput.” Makmur tertawa pelan.
“Aku
dan teman-temanku di sini, merasa kecewa juga. Kami memang memilih
Prakoso-Fandi. Kami terima kalau kami kalah, asal harus dengan penghitungan
yang adil.” Kata Makmur. “Nah, berdasarkan informasi, mayoritas rakyat memilih
Kosong Dua. Tapi, entah kenapa informasi di tivi dan lembaga survei yang
ditayangkan di tivi itu menimbulkan kecurigaan.” Lanjut Makmur.
“Belum
lagi yang secara tiba-tiba ada perubahan hasil hitungan cepat di tivi, yang awalnya
Kosong Dua yang unggul, eh…tiba-tiba berubah.” Kata Abdullah setelah menyeruput
secangkir kopinya. “Dan aku menonton vidionya. Sekarang aku masih menyimpannya
di Hp-ku.” Lanjutnya kemudian meletakkan secangkir kopi itu. Ia pun terdiam
sejenak. “Jadi bagaimana langkah selanjutnya?” Abdullah bertanya.
“Sesuai
arahan, seluruh pendukung dan relawan harus mengawasi secara manual hasil
perolehan suara di setiap tingkatan. Mulai dari Kecamatan, Kabupaten/Kota,
Provinsi hingga sampai Pusat.” Makmur menjelaskan.
“Jika
pengawasan itu kandas?” Tanya Abdullah lagi. “Maksudku begini…” Abdullah
merubah posisi duduknya menjadi lebih serius, “kita ketahui, semuanya telah
dikuasai dan diamankan oleh Kosong Satu -
Jokowibowo-Ma’rif Mahmud. Bagaimana pengawasan pendukung Prakoso-Fandi
bisa mengetahui hasil yang adil? Dapatkah melawan kecurangan yang telah
diorganisir sebelum pemilihan?” Lanjut Abdullah sambil bertanya lagi.
Makmur
tidak langsung menjawab. Ia memikirkan kira-kira apa gerakan selanjutnya yang
harus dilakukan. Ia masih terus diam, seolah-olah memikirkan sesuatu yang
sangat berat sekali.
Melihat
sahabatnya – Makmur, terus diam, Abdullah hendak bicara. Tiba-tiba saja
suaranya terpotong oleh kata-kata Makmur, “Solusi terakhir adalah pengawasan
seluruh rakyat yang di Indonesia ini, terkhususnya ratus jutaan pendukung.”
“Maksudmu
mengarahkan seluruh rakyat yang mendukung?”
“Iya.
Juga rakyat yang peduli.” Jawab Makmur dengan suara yang berat.
“People Power…?” Tanya Abdullah lagi.
“Ya.
Suara rakyat adalah suara terkuat dalam demokrasi.” Jawab Makmur dengan penuh
serius.
“Maksudmu,
kekuatan rakyat?” Abdullah mengulangi pertanyaannya dengan bahasa yang
dibanggakannya.
“Ya.
Juga denganyang peduli.” Makmur mengulangi jawabannya tadi.
“Apakah
itu tidak membuat bangsa kita pecah?”
“Sekarang
aku bertanya padamu. Bertanya pada setiap orang yang mendengarkan pertanyaanku
ini. siapakah yang mencoba memecah-belah rakyat Indonesia ini? siapakah yang
mencoba membuat gaduh rakyat kita saat ini?” Makmur bertanya serius.
Pertanyaan
itu membuat wajahnya memerah saat mengucapkannya. Ia menenangkan diri setelah
merogoh rokok dikantongnya kemudian menikmati hisapan demi hisapan. Ia hisap,
kemudian ia hembuskan asapnya dengan suara yang khas, seolah-olah asap itu
dapat menarik rasa keresahannya.
Abdullah
tidak bisa menjawab apa-apa. Ia mencoba mengumupulkan jawaban dalam pikirannya,
tetapi tetap gagal. Akhirnya ia hanya diam menunggu kata-kata selanjutnya yang keluar
dari mulurnya Makmur dengan diiringi asap rokok.
“Seluruh
rakyat yang mendukung Prakoso-Fandi akan turun, meramaikan seluruh kantor
penyelenggara pemilihan umum. Ramai-ramai turun ke jalan memprotes
ketidak-adilan dan ketidak-jujuran dalam hasil perolehan suara. Dengan demikian
rakyat akan menang.” Kata Makmur.
Sekarang
Abdullah memberanikan diri untuk bertanya, “Jika penyelenggara pemilihan umum
masih menetapkan bahwa yang menang adalah pihak yang curang, itu bagaimana?”
“Aku
yakin, jika mereka berani jujur, tidak mau dintervensi siapa pun, mereka akan
selamat. Tapi jika tidak, mereka akan dilaknat oleh jutaan rakyat Indonesia.
Akhirat menunggu mereka, ya jika mereka percaya dengan hari pembalasan di
akhirat.” Jawab Makmur.
“Jika
pihak yang curang masih menang?”
“Prakoso-Fandi
dan pendukungnya akan mengawalnya di Mahkamah Konstitusi. Jutaan, bahkan ratus
jutaan akan turun mengawasi persidangan. Akan memadati dan menghuni Ibu Kota,
Jakarta. Yang di daerah-daerah akan ikut turun ke jalan. Massanya akan melebihi
yang massa sewaktu di Monas dalam gerakan 212. Inysa Allah, itu akan terjadi.”
Jawab Makmur dengan lebih semangat.
Makmur
makin ganas menghisap rokoknya. Ia melampiaskannnya pada sebatang rokok. Akibat
kencangnya hisapan, api rokoknya beradu membakar tembakau.
“Jika
Prakoso-Fandi dan para pendukung tetap kalah. Kosong Satu dinyatakan menang.
Jadi bagaimana?” Abdullah tidak pernah capek bertanya pada sahabatnya itu.
“Ratusan
juta akan menolak dan tidak mengakui kemenangan itu.” Jawab Makmur dengan agak
keras mematikan rokoknya ke dalam asbak yang ada di meja, sehingga terdengar
suara secangkir kopi itu bergoyang. “Sekarang pertanyaannya, kau dari pihak
golput akankah mau membantu?” Makmur bertanya balik.
“Insya Allah. Siap. Aku dan teman-temanku
dari pihak golput akan ikut turun. Walau kami tidak memilih, tapi kami tidak
akan membiarkan kecurangan, ketidak-adilan dan ketidak-jujuran tumbuh subur di
negara pertiwi ini.” Jawab Abdullah dengan serius.
***
Setelah
pertemuan itu, jutaan pendukung Prakoso-Fandi turun aksi menuntut supaya
penyelenggara pemilihan umum jujur. Massa terus bertambah menjadi ratusan juta
karena seluruh keluarga mereka ikut turun dan di tambah lagi dari pihak golput
yang peduli pada keadilan demokrasi dan kejujuran demokrasi. Makmur dan
Abdullah pun bagian dari The People Power.
Dan aksi rakyat ini menjadi massa aksi terbanyak sepanjang sejarah dunia.
Setiap
di kota-kota, dari daerah hingga pusat, tidak pernah berhenti dan sunyi gerakan
kekuatan rakyat (People Power) yang
menuntut kejujuran seluruh pihak yang terkait dalam pemilihan Presiden 2019 di
Indonesia. Perhatian media yang pro keadilan dan kejujuran demokrasi tidak
pernah berhenti memberitakannya. Bahkan media internasional pun turun jauh-jauh
ke Indonesia. Bahkan menjadikan topik utama berita di negaranya. Miliaran manusia
di seluruh benua membuka mata melihat kekuatan rakyat Indonesia yang peduli
keadilan dan kujuran demokrasi.
Seluruh
administrasi, perekonomian dan aspek lainnya menjadi lumpuh karena ratusan juta
turun aksi. Massa aksi yang bergabung dalam People
Power ini tidak pernah pulang ke rumah. Mereka terus di lapangan, jalan
raya, di kantor-kator pemerintahan, hingga kantor penyelenggara pemilihan umum
setiap tingkatan dan diberbagai tempat lainnya siap mengawal kejujuran dan
keadilan dalam berdemokrasi. Bahkan di depan gedung Mahkamah Konstitusi (MK)
jutaan massa berkemah.
Kekuatan
rakyat (People Power) Indonesia yang
pro keadilan dan kejujuran demokrasi mendapat dukungan dari jutaan rakyat dari
berbagai benua, dari Eropa, Amerika, Asia, Timur Tengah atau Afrika dan
Australia. Kekuatan Rakyat (People Power)
pun akhirnya menang.[]
Penulis:
Ibnu Arsib (Bukan siapa-siapa, hanya manusia biasa).
Nb: Cerpen ini kutuliskan akibat kegaduhan demokrasi yang dikebiri. Demokrasi yang diperkosa oleh yang berbuat curang. Siapakah mereka yang curang itu, hanya mereka, Iblis, Malaikat dan Tuhan lah yang tahu. Cerpen ini kupersembahkan untuk seluruh pendukung Prakoso-Fandi, dan Kawan-kawan yang Golput.
No comments:
Post a Comment