Panggil Saja Aku, Kirana! - Yakusa Blog

Yakusa Blog

Mewujudkan Komunitas Intelektual Muslim

Tuesday 2 April 2019

Panggil Saja Aku, Kirana!

YakusaBlog- Sebelum membaca cerita ini, terlebih dahulu kiranya para pembaca kami, membaca cerita sebelumnya dengan judul; Bogel Menerima Kehadiranmu. (Klik Di Sini)
*****
Para penghujat itu tidak lagi terlihat seperti semut-semut yang berkerumunan, menjilati tetesan minuman manis yang jatuh di atas meja, atau menjilati kepingan kecil makanan manis. Tidak terlihat lagi seperti serigala-serigala mengerumuni daging rusa yang lezat.
Di tengah-tengah kerumunan itu hanya tinggal gumpalan-gumpalan air ludah yang berbusa dan berbisa. Seperti tulang-tulang rusa yang berserakan setelah dagingnya habis ludes dimakan serigala-serigala. Satu per satu penghujat dan peludah itu bepergian seperti bubarnya semut-semut meninggalkan kepingan makanan kecil atau tetesan air yang tidak manis lagi. Dan juga seperti burung-burung pemakan bangkai pergi setelah kenyang memakan sisa-sisa daging rusa.
Mereka anggap kejadian itu tidak pernah terjadi. Ada yang pura-pura amnesia. Tapi, kata-kata Bogel masih terus terngiang keras ditelinga mereka yang memasuki ruang kepala melalui saraf-saraf sehingga amnesia itu pun tidak mampu bersarang lama.
Satu per satu pergi mencari bahan pembicaraan baru dengan orang yang ada di dekatnya. Ada yang pura-pura mengambil makanan ringan yang telah tersedia di meja. Ada yang pura-pura mengambil minuman. Ada yang pura-pura memuji keindahan dekorasi ruangan tersebut. Dan Ada yang yang pura-pura menjawab panggilan telephone.
Tiga keluarga yang bersahabat sejak dulu; Ayah Aryo, Ayah Bogel dan Ibunya Laras, saling mendekat membuat pembicaraan baru seolah-olah suatu kejadian yang menegangkan di rumah itu tidak pernah terjadi. Terlebih-lebih Ayahnya Bogel, ia merasa heran atas keranian Bogel berbicara dengan bijak yang kemudian membuat orang banyak tidak berkutik sepatah kata pun. Tapi, keheranan itu ia simpan dalam kepala saja, menggantikannya dengan pembicaraan baru.
Seorang perempuan yang menjadi pembantu rumah tangga, sedari tadi menyaksikan kejadian itu dari jarak jauh. Sekarang, ia tahu tugas apa yang hendak harus dikerjakan. Ia ambil kain pel lantai untuk membersihkan air ludah yang membanjiri lantai ruangan penghujatan itu. Saat membersihkan, ia teringat lagi kejadian yang baru saja ia saksikan. Betapa ia sangat iba dengan perempuan yang mendapat hinaan, hujatan dan siraman air ludah.
Pembantu itu ternyata ingin menolong perempuan tersebut. Tapi, keraguan dan ketakutannya masih lebih besar daripada keberaniannya membela sesama manusia. Sebagai seorang manusia, ia tidak dapat menerima apabila ada seseorang atau lebih menghina manusia lain, apalagi yang dihina itu perempuan. Ia merasa dirinya ikut dihina. Bukankah kita semua lahir dari rahimnya seorang perempuan?
Apalah daya dan upaya. Pembantu itu tahu sebagai apa dirinya di rumah itu. Bisa jadi, jika ia membantu perempuan itu, ia pun akan ikut dihina dan dilempari dengan air ludah. Mungkin ada konsekuensi yang lebih berat lagi dari itu; dipecat oleh majikannya, karena telah menolong seorang perempuan yang dianggap penyakit, racun, wanita laknat dan manusia yang penuh dosa.
Jika Pembantu itu dipecat, bagaimana lagi ia bisa menyekolahkan dua anaknya. Di negara yang ia cintai, hanya anak Pegawai Negeri yang ditanggung biaya pendidikannya sampai selesai. Anak yang kurang mampu atau miskin, hanya dijadikan alasan supaya anggaran biaya pendidikan dinaikkan, tapi nyatanya tidak tersalurkan ke dalam kantong rakyat, malah singgah kemudian menetap di kantong pejabat yang bejat.
Saat membersihkan gumpalan air ludah itu, Pembantu rumah tangga itu teringat dan salut dengan keberanian Bogel membela perempuan itu. “Andai aku dulu mendapatkan laki-laki seperti dia. Pasti aku tidak seperti ini, membanting tulang dengan penuh keringat dan kesabaran. Pasti dia tidak akan membiarkan istrinya bekerja sedangkan ia duduk santai di rumah.” Pembantu itu berkata dalam hatinya, membandingkannya dengan suaminya yang banyak duduk santai tanpa ada pekerjaan di rumah. “Setiap perempuan pasti sangat menyukainya. Sungguh bahagianya seorang perempuan apabila mendapatkannya. Laki-laki itu sangat peduli pada kaum perempuan.” Lanjutnya dalam hati sambil membersihkan lantai.
Hanya ludah yang membanjiri lantai itu yang dapat ia bersihkan. Hujatan atau makian yang menghasilkan getaran bunyi menyentuh lantai itu, sehingga menggemakan di dalam ruangan, kemudian masuk ke dalam telinga, dan langsung menuju saraf ingatan dan gendang hatinya. Itu tidak dapat ia lupakan. Suara hujatan atau makian yang menimpa perempuan tadi masih terus terngiang keras ditelinganya.
Malaikat pencatat pun masih dalam keadaan bingung. Siapakah yang sebenarnya bersalah? Siapakah yang harus dimasukkan ke dalam buku catatan perbuatan baik dan perbuatan buruk? Apakah perempuan yang dihujat dan diludahi itu atau para penghujat itu? Hanya Iblis yang senang dengan kejadian itu. Malaikat pencatat pun tentunya membutuhkan bantuan dari Tuhan.
Karena, hanya Tuhan lah satu-satunya Yang Maha mengetahui dan menjadi hakim yang paling adil. Penghakiman Tuhan lebih baik daripada penghakiman manusia, apalagi manusianya itu merasa paling baik dan paling tidak berdosa. Malaikat pencatat itu pun menjadikan itu dalam catatan yang harus dikaji ulang bersama Tuhan. Tuhan kan Maha mengetahui.
Aryo dan Laras kembali ke tempat yang telah dipersiapkan untuk mereka berdua. Acara pertunangan segera dimulai. Aryo dan Laras ingin sekali Bogel ada di dekat mereka berdua. Tapi, apalah hendak dikata dan diperbuat. Bogel telah keluar bersama perempuan itu. Untuk memanggil Bogel supaya ada didekat mereka, sudah sangat segan karena kejadian itu. Tidak mungkin juga Bogel ada di tengah-tengah mereka dengan memakai baju yang penuh air ludah. Niatan memanggil Bogel pun terpaksa dihentikan.
Di luar rumah acara pertunganan. “Tunggu sebentar di sini.” Kata Bogel pada perempuan itu.
Perempuan itu tidak menjawab apa-apa dan juga belum berani menatap wajah Bogel. Perempuan itu pun berhenti dan diam sebagaimana permintaan Bogel, pemuda tampan versi diri Bogel sendiri. Bogel pun melangkah masuk ke dalam rumah itu.
Saat Bogel berada di dalam. Jutaan bola mata memandanginya. Suara-suara para penghujat itu tiba-tiba saja berhenti. Bogel sambil berjalan menatap dengan wajah tegang para penghujat itu. Ia tidak mau memandang ke tempat di mana Aryo, Laras dan keluarga-keluarganya sedang berdiri.
Bogel terus berjalan menuju salah satu meja. Ia raih jaket yang biasa ia pakai ke mana-mana. Itu adalah jaket kebanggaan yang lebih berharga dari apa pun di dunia ini – baginya. Setelah mengambil jakat kebanggaannya yang sempat tertinggak di meja, ia pun keluar meninggalkan para penghujat itu. Termasuk orang-orang yang membiarka kejadian itu terjadi.
Ayahnya Bogel sempat mengangkat tangan sambil memanggil Bogel. Tapi, entah kenapa tangan itu terhenti dan suara panggilan nama Bogel terdengar bisu walau mulut Ayahnya Bogel sudah terbuka bagai mulut goa. Serasa ada yang mengganjal pita suara Ayahnya Bogel sehingga tidak berfungsi dengan baik seperti biasanya ia memanggil nama anaknya itu.
Mungkin Iblis sengaja mengganjalnya. Oh, tidak mungkin. Bukankah Iblis merasa senang jika terjadi kegaduhan lagi? Pasti itu Malaikat pencatan amal yang melakukannya. Dengan maksud supaya tidak ada lagi kegaduhan atau semacamnya. Karena, jika terjadi lagi suatu kegaduhan atau hal-hal yang tidak diinginkan, Malaikat itu akan bertambah pusing saat mencatatkannya. Malaikat pencatat itu tidak mau menambah pekerjaan mereka sebelum catatan-catatan sebelumnya dirampungkan.
Satu meja mendekati pintu ke luar, atau meja pertama jika masuk ke dalam rumah, tersedia tisu. Bogel dengan jakat di tangan kanannya, tangan kirinya pun meraih satu kota tisu tersebut sambil berjalan ke luar. Jutaan bola mata dari dalam ikut tenggelam setelah Bogel sudah tidak terlihat lagi.
Suasana di dalam kembali seperti biasa. Suasana dalam kepura-puraan. Pura-pura tidak ada kejadian yang sangat menegangkan dan penuh gaduh penghakiman. Acara pertunangan pun dilaksanakan tanpa Bogel dan perempuan itu dan juga seorang Pembantu karena masih sibuk di dapur mempersiapkan apa saja yang dibutuhkan oleh para tamu undangan. Lebih tepatnya para penghujat.
Di luar rumah acara pertunangan Aryo dan Laras. “Ini tisu.” Kata Bogel setelah ia menarik beberapa helai dari dalam kotak. “Bersihkan dulu air ludah yang ada di bajumu.” Lanjut Bogel.
Dengan sedikit malu dan segan, perempuan itu mengambil tisu tersebut. Perempuan itu tidak ingin terlihat tidak sopan pada Bogel. Otomatis, demi menghargai kebaikan orang, ia pun dengan sedikit malu, terpaksa harus menatap wajah Bogel. “Terimakasih.” Kata perempuan itu dengan suara lembut.
Bogel pun membersihkan bajunya yang terkena air ludah para penghujat. Juga membersihkan beberapa gumpalan ludah di celana panjangnya. Demikian juga dengan perempuan itu.
“Maaf.” Kata Bogel. Ia langsung membersihkan rambut perempuan itu yang terkena air ludah.
Perempuan itu hanya diam dan tidak menolak. Ia tahu bahwa, ia tidak bisa membersihkannya sendiri. Karena ia tidak bisa melihat bagian mana rambutnya yang terkena air ludah. Walau baju dan rambutnya sudah bersih dan sudah kering dari air ludah, tapi makian atau hujatan padanya tidak akan kering secepat air ludah itu. Makian para penghujat itu meninggalkan luka yang tak berbekas.
“Pakai ini.” Kata Bogel sambil menyodorkan jaketnya.
Perempuan itu tidak langsung menerimanya. Ia tetap wajah pemuda tampan itu – versi Bogel sendiri, dengan rasa segan dan sedikit malu.
“Udah, pakai aja. Kasihan, nanti badanmu masuk angin.” Kata Bogel.
Alasan sebenarnya mengapa Bogel menyodorkan jakatnya bukan perkara nanti tubuh perempuan itu masuk angin. Ternyata Bogel pandai juga menggunakan bahasa halus. Sebenarnya supaya tubuh perempuan yang terlihat itu, karena bajunya ada yang koyak saat diseret seseorang di dalam rumah acara pertunangan itu, tidak terlihat lagi.
Tentunya perempuan itu pun paham maksud Bogel mengatakan demikian. Ia perempuan yang cukup cerdas dan gampang memahami banyak hal, termasuk bahasa-bahasa halus dalam berkomunikasi. Pengetahuannya dalam dunia sastra juga cukup luas. Darah ibunya yang pintar dan joga menulis, sedikit-banyak turun padanya.
“Ini. Ayo, pakai aja.” Bogel menyodorkan lagi jaketnya dengan bonus senyuman hangat.
Perlahan-lahan makhluk humorisnya yang lari terbirit-birit sewaktu di dalam rumah itu kembali datang secara perlahan-lahan. Goresan senyuman di wajah Bogel itu dapat mengundang kembali makhluk humorisnya yang selama ini setia menemani Bogel.
Perempuan itu pun menerimanya. Ia pakai jaket tersebut sehingga tubuhnya yang tidak sewajarnya nampak, tidak terlihat lagi. Angin pun tidak lagi berani masuk menyentuh. Angin itu takut dengan jaket Bogel. Mungkin juga jaket itu terbuat dibuat oleh Avatar, sehingga bisa mengendalikan angin.
Pantas saja jaket itu menjadi salah satu benda paling berharga dalam hidupnya Bogel. Itu, tooh rahasianya. Ah, jadi punya niat untuk mencurinya. Mudah-mudahan jaket itu tidak anti maling. Dan tidak pakai GPS.
Bogel begitu terkejut saat melihat perempuan itu memakai jaket kebanggaannya. Itu kali pertama jaketnya dipakai oleh seorang perempuan. Ia tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Perempuan itu begitu terlihat cantik saat memakai jaketnya. Bogel bertanya sendiri dalam hati dan pikirannya, “Ini dia yang cantik, atau jaketku? Kenapa kemaren waktu Nenekku mencobanya, Nenekku tidak cantik?
Ya, iya lah Bogel. Nenek-nenek mana lagi yang cantik? Bidadari pun kalau nenek-nenek tidak cantik lagi. Hanya nenek-nenek perawan yang masih tetap cantik. Tapi sayang, mana ada nenek-nenek yang masih perawan. Kalau dia masih perawan, berarti dia tidak pernah punya cucu. Sebutan ‘nenek’ kan karena udah punya cucu.
Kalau pun sudah tua, tidak punya cucu, paling dipanggil ‘Nyai’ atau ‘Mak’. Seperti Mak Lampir. Ia tidak punya anak dan tidak punya cucu. Kalau pun ada yang memanggil Mak Lampir dengan sebutan ‘nenek’, itu cucu hasil perkawinan jin dan manusia yang dibuat supaya menambah pasukannya Mak Lampir.
Kalau ada yang ingin tahu apakah Mak Lampir pernah menikah atau tidak, masih perawan atau tidak, tanya saja pada Kalagondang. Karena, Kalagondang sering merayu dan menggombal Mak Lampir. Bunyi ketawaannya aja juga sama, “Heheheeee...”
Bogel pun dengan cepat menyingkirkan pertanyaan yang muncul di dalam kepala dan hatinya. Jika ia mengetahui pun jawabannya, tidak akan dapat hadiah juga. Jadi ia biarkan saja tidak mengetahuinya supaya ia terus dapat melihat pemandangan indah itu. Ia tersenyum saja dalam hati.
“Terimakasih.” Kata perempuan itu lagi sambil memberikan tisu yang ada dalam kota itu.
Pertanyaan, matanya yang menikmati pemandangan indah dan senyuman dalam hatinya, pun buyar. “Sama...sama.” Katanya dalam suara lembut yang sedikit terbata-bata sambil meraih kota tisu tadi.
Perempuan itu kembali diam. Ia tidak lagi menatap wajah Bogel. Ia mencari objek pemandangan baru. Ia tidak tahu apa bahan pembicaraan malam itu. Ingin rasanya ia pamit pulang pada Bogel. Lama-lama di sana tidak ada gunanya lagi. Seorang yang ia cintai, yang sedang melaksankan pertunangan, tidak peduli lagi padanya. Dan ia pun belum tahu, apakah ia tetap mencintainya atau membenci dan melupakannya.
“Kau mau pulang kemana?” Tanya Bogel. “Aku antar, ya?” Bogel menawarkan diri.
Akhirnya, Bogel juga tahu keinginan perempuan itu. Bogel pun paham, tidak baik jikalau banyak-banyak bicara dengan seseorang yang lagi kacau hatinya atau orang yang sedang banyak masalah menimpanya. Biarkanlah ia menenangkan diri dahulu, sampai mentalnya pulih, walau tidak secara total.
“Nggak usah. Aku bisa pulang sendiri.” Perempuan itu tidak percaya dengan jawabannya sendiri.
“Tidak...tidak...” Kata Bogel. “Sekarang tidak baik kalau kau pulang sendiri dengan keadaanmu sekarang.” Bogel mulai melobi dengan maksud meyakinkan bahwa tawarannya serius.
Bogel khawatir terjadi sesuatu pada perempuan itu jika dibiarkan pulang sendiri. Jika sudah sampai di rumahnya perempuan itu, Bogel sudah tidak merasa khatir lagi. Setidaknya ada orang yang melihatnya atau bersama perempuan itu.
Perempuan itu tidak menjawab seperti tadi. Sekarang ia menatap wajah Bogel. Melihat wajah Bogel memasang wajah serius, ia tidak tahu apakah masih menolak atau tidak.
“Udah, lah. Aku antar aja, ya.” Kata Bogel memaksa tapi masih ada senyuman. “Tenang, pasti aman seratus persen. Aku punya SKCK. Hehehe...” Bogel tertawa kecil mencoba menghibur wajah yang dingin itu.
Perempuan itu juga tidak mengatakan ‘iya’ atau ‘tidak’. Ia hanya diam saja menatap wajah tampan Bogel. Berdasarkan hukum kebiasaan, jika perempuan diam jika ditanya, berarti ia menerima dan tidak menolak.
“Bentar, ya. Tunggu di sini, aku ambil motor dulu di parkiran.” Kata Bogel.
Bogel pun berlari kecil ke arah parkiran yang sudah di atur. Baru sekitar lima langkah, Bogel kembali ke hadapan perempuan itu. Perempuan itu pun sedikit heran dan terkejut kenapa Bogel balik lagi ke hadapannya.
“Maaf.” Kata Bogel dengan bonus senyuman. “Kunci motornya ada di situ.” Lanjut Bogel sambil menunjuk ke arah jaket buatan Avatar itu. Atau jaket yang dirancang dengan menggunakan kecanggihan tekhnologi sehingga terpasang GPS.
Perempuan itu langsung merogoh kantong jaket yang ia pakai. Ia temukan kunci motor di dalamnya kemudian memberikannya pada Bogel. Dengan senyuman ramah, Bogel pun menerimanya. “Terimakasih.” Ucap Bogel. Kemudian meninggalkan sementara perempuan tersebut.
Tidak berapa lama, Bogel pun datang dengan menaiki motornya. Ia berhenti tepat di depan perempuan itu. Ia beri kode dengan menggoyangkan kepalanya untuk mempersilahkan atau menyuruh supaya menaiki motornya. Tidak lupa ia kembali tersenyum.
“Sebelum kita meluncur. Kebiasaan motor ini harus tahu dulu, siapa yang ia bawa.” Kata Bogel bercanda dengan maksud menghibur.
Perempuan itu hanya diam saja. Rasanya tidak ada waktu untuk bercanda lagi. Hatinya kacau dan pikirannya tidak tenang. Jadi, dia diam saja.
“Pliiissss...” Kata Bogel memohon. “Motor ini nanti bisa mogok, merajuk, kalau dia gak tau siapa nama yang dibawanya.” Bogel meminta lagi.
“Panggil saja aku, Kirana.” Kata perempuan itu datar.
“Oke, Kirana. Sekarang kita go...” Kata Bogel. “Selamat menaiki motorku, Kirana. Sekarang arahkan aja motor ini kemana pun yang kau mau. Ia akan nurut aja.” Bogel pun kembali bersikap lucu. Sebenarnya tujuannya adalah terus menghibur Kirana.
“Aku hanya ingin pulang ke tempat tinggalku.” Kata Kirana datar.
“Baik, Kirana.” Kata Bogel sambil menarik gas motognya yang sedari tadi telah hidup.
Sepanjang jalan, Kirana hanya diam saja. Sedangkan Bogel tetap dengan guyonan-guyonannya. Kirana hanya paling menjawab pertanyaan arah kemana supaya mereka sampai ke tempat tinggalnya. Selebihnya, hati dan pikirannya melayang entah ke mana. Sebenarnya, Bogel juga tidak ingin banyak bicara. Hal itu, ia lakukan supaya suasana tidak sepi saja.
Bersama motong kebanggaanya Bogel, mereka pun menyusuri jalur jalan di kota Medan hingga sampailah ke tempat tinggalnya Kirana.
Bersambung...

Penulis: Ibnu Arsib (Bukan siapa-siapa, hanya manusia biasa).



Ket.gbr: Ilustration
Sbr.gbr: https://pixabay.com/id/

Nb: Cerita ini hanya fiksi. Apabila ada kesamaan nama dan kejadian, kami mohon maaf. Tidak ada maksud sengaja untuk menuliskannya.

No comments:

Post a Comment