YakusaBlog- Sebelum membaca cerita ini, terlebih dahulu kiranya para pembaca kami, membaca cerita sebelumnya dengan judul; Bogel Menerima Kehadiranmu. (Klik Di Sini)
*****
Para penghujat itu tidak lagi terlihat seperti semut-semut yang berkerumunan,
menjilati tetesan minuman manis yang jatuh di atas meja, atau menjilati
kepingan kecil makanan manis. Tidak terlihat lagi seperti serigala-serigala mengerumuni
daging rusa yang lezat.
Di
tengah-tengah kerumunan itu hanya tinggal gumpalan-gumpalan air ludah yang
berbusa dan berbisa. Seperti tulang-tulang rusa yang berserakan setelah
dagingnya habis ludes dimakan serigala-serigala. Satu per satu penghujat dan
peludah itu bepergian seperti bubarnya semut-semut meninggalkan kepingan
makanan kecil atau tetesan air yang tidak manis lagi. Dan juga seperti
burung-burung pemakan bangkai pergi setelah kenyang memakan sisa-sisa daging
rusa.
Mereka
anggap kejadian itu tidak pernah terjadi. Ada yang pura-pura amnesia. Tapi,
kata-kata Bogel masih terus terngiang keras ditelinga mereka yang memasuki
ruang kepala melalui saraf-saraf sehingga amnesia itu pun tidak mampu bersarang
lama.
Satu
per satu pergi mencari bahan pembicaraan baru dengan orang yang ada di dekatnya.
Ada yang pura-pura mengambil makanan ringan yang telah tersedia di meja. Ada yang
pura-pura mengambil minuman. Ada yang pura-pura memuji keindahan dekorasi
ruangan tersebut. Dan Ada yang yang pura-pura menjawab panggilan telephone.
Tiga
keluarga yang bersahabat sejak dulu; Ayah Aryo, Ayah Bogel dan Ibunya Laras,
saling mendekat membuat pembicaraan baru seolah-olah suatu kejadian yang
menegangkan di rumah itu tidak pernah terjadi. Terlebih-lebih Ayahnya Bogel, ia
merasa heran atas keranian Bogel berbicara dengan bijak yang kemudian membuat
orang banyak tidak berkutik sepatah kata pun. Tapi, keheranan itu ia simpan
dalam kepala saja, menggantikannya dengan pembicaraan baru.
Seorang
perempuan yang menjadi pembantu rumah tangga, sedari tadi menyaksikan kejadian
itu dari jarak jauh. Sekarang, ia tahu tugas apa yang hendak harus dikerjakan. Ia
ambil kain pel lantai untuk membersihkan air ludah yang membanjiri lantai
ruangan penghujatan itu. Saat membersihkan, ia teringat lagi kejadian yang baru
saja ia saksikan. Betapa ia sangat iba dengan perempuan yang mendapat hinaan,
hujatan dan siraman air ludah.
Pembantu
itu ternyata ingin menolong perempuan tersebut. Tapi, keraguan dan ketakutannya
masih lebih besar daripada keberaniannya membela sesama manusia. Sebagai
seorang manusia, ia tidak dapat menerima apabila ada seseorang atau lebih
menghina manusia lain, apalagi yang dihina itu perempuan. Ia merasa dirinya
ikut dihina. Bukankah kita semua lahir
dari rahimnya seorang perempuan?
Apalah
daya dan upaya. Pembantu itu tahu sebagai apa dirinya di rumah itu. Bisa jadi,
jika ia membantu perempuan itu, ia pun akan ikut dihina dan dilempari dengan
air ludah. Mungkin ada konsekuensi yang lebih berat lagi dari itu; dipecat oleh
majikannya, karena telah menolong seorang perempuan yang dianggap penyakit,
racun, wanita laknat dan manusia yang penuh dosa.
Jika
Pembantu itu dipecat, bagaimana lagi ia bisa menyekolahkan dua anaknya. Di negara
yang ia cintai, hanya anak Pegawai Negeri yang ditanggung biaya pendidikannya
sampai selesai. Anak yang kurang mampu atau miskin, hanya dijadikan alasan
supaya anggaran biaya pendidikan dinaikkan, tapi nyatanya tidak tersalurkan ke
dalam kantong rakyat, malah singgah kemudian menetap di kantong pejabat yang
bejat.
Saat
membersihkan gumpalan air ludah itu, Pembantu rumah tangga itu teringat dan
salut dengan keberanian Bogel membela perempuan itu. “Andai aku dulu mendapatkan laki-laki seperti dia. Pasti aku tidak
seperti ini, membanting tulang dengan penuh keringat dan kesabaran. Pasti dia
tidak akan membiarkan istrinya bekerja sedangkan ia duduk santai di rumah.”
Pembantu itu berkata dalam hatinya, membandingkannya dengan suaminya yang
banyak duduk santai tanpa ada pekerjaan di rumah. “Setiap perempuan pasti sangat menyukainya. Sungguh bahagianya seorang
perempuan apabila mendapatkannya. Laki-laki itu sangat peduli pada kaum
perempuan.” Lanjutnya dalam hati sambil membersihkan lantai.
Hanya
ludah yang membanjiri lantai itu yang dapat ia bersihkan. Hujatan atau makian
yang menghasilkan getaran bunyi menyentuh lantai itu, sehingga menggemakan di
dalam ruangan, kemudian masuk ke dalam telinga, dan langsung menuju saraf
ingatan dan gendang hatinya. Itu tidak dapat ia lupakan. Suara hujatan atau
makian yang menimpa perempuan tadi masih terus terngiang keras ditelinganya.
Malaikat
pencatat pun masih dalam keadaan bingung. Siapakah yang sebenarnya bersalah? Siapakah
yang harus dimasukkan ke dalam buku catatan perbuatan baik dan perbuatan buruk?
Apakah perempuan yang dihujat dan diludahi itu atau para penghujat itu? Hanya Iblis
yang senang dengan kejadian itu. Malaikat pencatat pun tentunya membutuhkan
bantuan dari Tuhan.
Karena,
hanya Tuhan lah satu-satunya Yang Maha mengetahui dan menjadi hakim yang paling
adil. Penghakiman Tuhan lebih baik daripada penghakiman manusia, apalagi
manusianya itu merasa paling baik dan paling tidak berdosa. Malaikat pencatat
itu pun menjadikan itu dalam catatan yang harus dikaji ulang bersama Tuhan. Tuhan kan Maha mengetahui.
Aryo
dan Laras kembali ke tempat yang telah dipersiapkan untuk mereka berdua. Acara pertunangan
segera dimulai. Aryo dan Laras ingin sekali Bogel ada di dekat mereka berdua. Tapi,
apalah hendak dikata dan diperbuat. Bogel telah keluar bersama perempuan itu. Untuk
memanggil Bogel supaya ada didekat mereka, sudah sangat segan karena kejadian
itu. Tidak mungkin juga Bogel ada di tengah-tengah mereka dengan memakai baju
yang penuh air ludah. Niatan memanggil Bogel pun terpaksa dihentikan.
Di
luar rumah acara pertunganan. “Tunggu sebentar di sini.” Kata Bogel pada
perempuan itu.
Perempuan
itu tidak menjawab apa-apa dan juga belum berani menatap wajah Bogel. Perempuan
itu pun berhenti dan diam sebagaimana permintaan Bogel, pemuda tampan versi
diri Bogel sendiri. Bogel pun melangkah masuk ke dalam rumah itu.
Saat
Bogel berada di dalam. Jutaan bola mata memandanginya. Suara-suara para
penghujat itu tiba-tiba saja berhenti. Bogel sambil berjalan menatap dengan
wajah tegang para penghujat itu. Ia tidak mau memandang ke tempat di mana Aryo,
Laras dan keluarga-keluarganya sedang berdiri.
Bogel
terus berjalan menuju salah satu meja. Ia raih jaket yang biasa ia pakai ke
mana-mana. Itu adalah jaket kebanggaan yang lebih berharga dari apa pun di
dunia ini – baginya. Setelah mengambil jakat kebanggaannya yang sempat
tertinggak di meja, ia pun keluar meninggalkan para penghujat itu. Termasuk orang-orang
yang membiarka kejadian itu terjadi.
Ayahnya
Bogel sempat mengangkat tangan sambil memanggil Bogel. Tapi, entah kenapa
tangan itu terhenti dan suara panggilan nama Bogel terdengar bisu walau mulut
Ayahnya Bogel sudah terbuka bagai mulut goa. Serasa ada yang mengganjal pita
suara Ayahnya Bogel sehingga tidak berfungsi dengan baik seperti biasanya ia
memanggil nama anaknya itu.
Mungkin
Iblis sengaja mengganjalnya. Oh, tidak mungkin. Bukankah Iblis merasa senang
jika terjadi kegaduhan lagi? Pasti itu Malaikat pencatan amal yang
melakukannya. Dengan maksud supaya tidak ada lagi kegaduhan atau semacamnya. Karena,
jika terjadi lagi suatu kegaduhan atau hal-hal yang tidak diinginkan, Malaikat
itu akan bertambah pusing saat mencatatkannya. Malaikat pencatat itu tidak mau
menambah pekerjaan mereka sebelum catatan-catatan sebelumnya dirampungkan.
Satu
meja mendekati pintu ke luar, atau meja pertama jika masuk ke dalam rumah,
tersedia tisu. Bogel dengan jakat di tangan kanannya, tangan kirinya pun meraih
satu kota tisu tersebut sambil berjalan ke luar. Jutaan bola mata dari dalam
ikut tenggelam setelah Bogel sudah tidak terlihat lagi.
Suasana
di dalam kembali seperti biasa. Suasana dalam kepura-puraan. Pura-pura tidak
ada kejadian yang sangat menegangkan dan penuh gaduh penghakiman. Acara pertunangan
pun dilaksanakan tanpa Bogel dan perempuan itu dan juga seorang Pembantu karena
masih sibuk di dapur mempersiapkan apa saja yang dibutuhkan oleh para tamu
undangan. Lebih tepatnya para penghujat.
Di
luar rumah acara pertunangan Aryo dan Laras. “Ini tisu.” Kata Bogel setelah ia
menarik beberapa helai dari dalam kotak. “Bersihkan dulu air ludah yang ada di
bajumu.” Lanjut Bogel.
Dengan
sedikit malu dan segan, perempuan itu mengambil tisu tersebut. Perempuan itu
tidak ingin terlihat tidak sopan pada Bogel. Otomatis, demi menghargai kebaikan
orang, ia pun dengan sedikit malu, terpaksa harus menatap wajah Bogel. “Terimakasih.”
Kata perempuan itu dengan suara lembut.
Bogel
pun membersihkan bajunya yang terkena air ludah para penghujat. Juga membersihkan
beberapa gumpalan ludah di celana panjangnya. Demikian juga dengan perempuan
itu.
“Maaf.”
Kata Bogel. Ia langsung membersihkan rambut perempuan itu yang terkena air
ludah.
Perempuan
itu hanya diam dan tidak menolak. Ia tahu bahwa, ia tidak bisa membersihkannya
sendiri. Karena ia tidak bisa melihat bagian mana rambutnya yang terkena air
ludah. Walau baju dan rambutnya sudah bersih dan sudah kering dari air ludah,
tapi makian atau hujatan padanya tidak akan kering secepat air ludah itu. Makian
para penghujat itu meninggalkan luka yang tak berbekas.
“Pakai
ini.” Kata Bogel sambil menyodorkan jaketnya.
Perempuan
itu tidak langsung menerimanya. Ia tetap wajah pemuda tampan itu – versi Bogel
sendiri, dengan rasa segan dan sedikit malu.
“Udah,
pakai aja. Kasihan, nanti badanmu masuk angin.” Kata Bogel.
Alasan
sebenarnya mengapa Bogel menyodorkan jakatnya bukan perkara nanti tubuh
perempuan itu masuk angin. Ternyata Bogel pandai juga menggunakan bahasa halus.
Sebenarnya supaya tubuh perempuan yang terlihat itu, karena bajunya ada yang
koyak saat diseret seseorang di dalam rumah acara pertunangan itu, tidak
terlihat lagi.
Tentunya
perempuan itu pun paham maksud Bogel mengatakan demikian. Ia perempuan yang
cukup cerdas dan gampang memahami banyak hal, termasuk bahasa-bahasa halus
dalam berkomunikasi. Pengetahuannya dalam dunia sastra juga cukup luas. Darah ibunya
yang pintar dan joga menulis, sedikit-banyak turun padanya.
“Ini.
Ayo, pakai aja.” Bogel menyodorkan lagi jaketnya dengan bonus senyuman hangat.
Perlahan-lahan
makhluk humorisnya yang lari terbirit-birit sewaktu di dalam rumah itu kembali
datang secara perlahan-lahan. Goresan senyuman di wajah Bogel itu dapat
mengundang kembali makhluk humorisnya yang selama ini setia menemani Bogel.
Perempuan
itu pun menerimanya. Ia pakai jaket tersebut sehingga tubuhnya yang tidak
sewajarnya nampak, tidak terlihat lagi. Angin pun tidak lagi berani masuk
menyentuh. Angin itu takut dengan jaket Bogel. Mungkin juga jaket itu terbuat
dibuat oleh Avatar, sehingga bisa mengendalikan angin.
Pantas saja jaket itu
menjadi salah satu benda paling berharga dalam hidupnya Bogel. Itu, tooh
rahasianya. Ah, jadi punya niat untuk mencurinya. Mudah-mudahan jaket itu tidak
anti maling. Dan tidak pakai GPS.
Bogel
begitu terkejut saat melihat perempuan itu memakai jaket kebanggaannya. Itu kali
pertama jaketnya dipakai oleh seorang perempuan. Ia tidak percaya dengan apa
yang ia lihat. Perempuan itu begitu terlihat cantik saat memakai jaketnya. Bogel
bertanya sendiri dalam hati dan pikirannya, “Ini dia yang cantik, atau jaketku? Kenapa kemaren waktu Nenekku
mencobanya, Nenekku tidak cantik?”
Ya, iya lah Bogel. Nenek-nenek
mana lagi yang cantik? Bidadari pun kalau nenek-nenek tidak cantik lagi. Hanya nenek-nenek
perawan yang masih tetap cantik. Tapi sayang, mana ada nenek-nenek yang masih
perawan. Kalau dia masih perawan, berarti dia tidak pernah punya cucu. Sebutan ‘nenek’
kan karena udah punya cucu.
Kalau pun sudah tua,
tidak punya cucu, paling dipanggil ‘Nyai’ atau ‘Mak’. Seperti Mak Lampir. Ia tidak
punya anak dan tidak punya cucu. Kalau pun ada yang memanggil Mak Lampir dengan
sebutan ‘nenek’, itu cucu hasil perkawinan jin dan manusia yang dibuat supaya
menambah pasukannya Mak Lampir.
Kalau ada yang ingin
tahu apakah Mak Lampir pernah menikah atau tidak, masih perawan atau tidak,
tanya saja pada Kalagondang. Karena, Kalagondang sering merayu dan menggombal
Mak Lampir. Bunyi ketawaannya aja juga sama, “Heheheeee...”
Bogel
pun dengan cepat menyingkirkan pertanyaan yang muncul di dalam kepala dan
hatinya. Jika ia mengetahui pun jawabannya, tidak akan dapat hadiah juga. Jadi ia
biarkan saja tidak mengetahuinya supaya ia terus dapat melihat pemandangan
indah itu. Ia tersenyum saja dalam hati.
“Terimakasih.”
Kata perempuan itu lagi sambil memberikan tisu yang ada dalam kota itu.
Pertanyaan,
matanya yang menikmati pemandangan indah dan senyuman dalam hatinya, pun buyar.
“Sama...sama.” Katanya dalam suara lembut yang sedikit terbata-bata sambil
meraih kota tisu tadi.
Perempuan
itu kembali diam. Ia tidak lagi menatap wajah Bogel. Ia mencari objek
pemandangan baru. Ia tidak tahu apa bahan pembicaraan malam itu. Ingin rasanya
ia pamit pulang pada Bogel. Lama-lama di sana tidak ada gunanya lagi. Seorang yang
ia cintai, yang sedang melaksankan pertunangan, tidak peduli lagi padanya. Dan ia
pun belum tahu, apakah ia tetap mencintainya atau membenci dan melupakannya.
“Kau
mau pulang kemana?” Tanya Bogel. “Aku antar, ya?” Bogel menawarkan diri.
Akhirnya,
Bogel juga tahu keinginan perempuan itu. Bogel pun paham, tidak baik jikalau
banyak-banyak bicara dengan seseorang yang lagi kacau hatinya atau orang yang
sedang banyak masalah menimpanya. Biarkanlah ia menenangkan diri dahulu, sampai
mentalnya pulih, walau tidak secara total.
“Nggak
usah. Aku bisa pulang sendiri.” Perempuan itu tidak percaya dengan jawabannya
sendiri.
“Tidak...tidak...”
Kata Bogel. “Sekarang tidak baik kalau kau pulang sendiri dengan keadaanmu
sekarang.” Bogel mulai melobi dengan maksud meyakinkan bahwa tawarannya serius.
Bogel
khawatir terjadi sesuatu pada perempuan itu jika dibiarkan pulang sendiri. Jika
sudah sampai di rumahnya perempuan itu, Bogel sudah tidak merasa khatir lagi. Setidaknya
ada orang yang melihatnya atau bersama perempuan itu.
Perempuan
itu tidak menjawab seperti tadi. Sekarang ia menatap wajah Bogel. Melihat wajah
Bogel memasang wajah serius, ia tidak tahu apakah masih menolak atau tidak.
“Udah,
lah. Aku antar aja, ya.” Kata Bogel memaksa tapi masih ada senyuman. “Tenang,
pasti aman seratus persen. Aku punya SKCK. Hehehe...” Bogel tertawa kecil
mencoba menghibur wajah yang dingin itu.
Perempuan
itu juga tidak mengatakan ‘iya’ atau ‘tidak’. Ia hanya diam saja menatap wajah tampan
Bogel. Berdasarkan hukum kebiasaan, jika perempuan diam jika ditanya, berarti
ia menerima dan tidak menolak.
“Bentar,
ya. Tunggu di sini, aku ambil motor dulu di parkiran.” Kata Bogel.
Bogel
pun berlari kecil ke arah parkiran yang sudah di atur. Baru sekitar lima
langkah, Bogel kembali ke hadapan perempuan itu. Perempuan itu pun sedikit
heran dan terkejut kenapa Bogel balik lagi ke hadapannya.
“Maaf.”
Kata Bogel dengan bonus senyuman. “Kunci motornya ada di situ.” Lanjut Bogel
sambil menunjuk ke arah jaket buatan Avatar itu. Atau jaket yang dirancang
dengan menggunakan kecanggihan tekhnologi sehingga terpasang GPS.
Perempuan
itu langsung merogoh kantong jaket yang ia pakai. Ia temukan kunci motor di
dalamnya kemudian memberikannya pada Bogel. Dengan senyuman ramah, Bogel pun
menerimanya. “Terimakasih.” Ucap Bogel. Kemudian meninggalkan sementara perempuan
tersebut.
Tidak
berapa lama, Bogel pun datang dengan menaiki motornya. Ia berhenti tepat di
depan perempuan itu. Ia beri kode dengan menggoyangkan kepalanya untuk
mempersilahkan atau menyuruh supaya menaiki motornya. Tidak lupa ia kembali
tersenyum.
“Sebelum
kita meluncur. Kebiasaan motor ini harus tahu dulu, siapa yang ia bawa.” Kata
Bogel bercanda dengan maksud menghibur.
Perempuan
itu hanya diam saja. Rasanya tidak ada waktu untuk bercanda lagi. Hatinya kacau
dan pikirannya tidak tenang. Jadi, dia diam saja.
“Pliiissss...”
Kata Bogel memohon. “Motor ini nanti bisa mogok, merajuk, kalau dia gak tau
siapa nama yang dibawanya.” Bogel meminta lagi.
“Panggil
saja aku, Kirana.” Kata perempuan itu datar.
“Oke,
Kirana. Sekarang kita go...” Kata
Bogel. “Selamat menaiki motorku, Kirana. Sekarang arahkan aja motor ini kemana
pun yang kau mau. Ia akan nurut aja.” Bogel pun kembali bersikap lucu. Sebenarnya
tujuannya adalah terus menghibur Kirana.
“Aku
hanya ingin pulang ke tempat tinggalku.” Kata Kirana datar.
“Baik,
Kirana.” Kata Bogel sambil menarik gas motognya yang sedari tadi telah hidup.
Sepanjang
jalan, Kirana hanya diam saja. Sedangkan Bogel tetap dengan guyonan-guyonannya.
Kirana hanya paling menjawab pertanyaan arah kemana supaya mereka sampai ke
tempat tinggalnya. Selebihnya, hati dan pikirannya melayang entah ke mana. Sebenarnya,
Bogel juga tidak ingin banyak bicara. Hal itu, ia lakukan supaya suasana tidak
sepi saja.
Bersama
motong kebanggaanya Bogel, mereka pun menyusuri jalur jalan di kota Medan
hingga sampailah ke tempat tinggalnya Kirana.
Bersambung...
Penulis:
Ibnu Arsib (Bukan siapa-siapa, hanya manusia biasa).
Ket.gbr: Ilustration
Sbr.gbr: https://pixabay.com/id/
Nb: Cerita ini hanya fiksi. Apabila ada kesamaan nama dan kejadian, kami mohon maaf. Tidak ada maksud sengaja untuk menuliskannya.
No comments:
Post a Comment