YakusaBlog-Sebelum membaca tulisan ini, ada baiknya terlebih dahulu anda membaca cerita yang ditulis oleh Kak Yael Stefani Sinaga yang berjudul; Ketika Semua Menolak Kehadiran Diriku Di Dekatnya agar tidak gagal paham. (Klik di sini).
Aku baru saja membaca sebuah tulisan yang belakangan viral di bulan-bulan ini, terkhusus di Medan, yaitu sebuah cerpen fiksi yang ditulis seorang mahasiswi salah satu perguruan tinggi di Medan yang publikasikan sebuah situs Pers Mahasiswa.
Aku baru saja membaca sebuah tulisan yang belakangan viral di bulan-bulan ini, terkhusus di Medan, yaitu sebuah cerpen fiksi yang ditulis seorang mahasiswi salah satu perguruan tinggi di Medan yang publikasikan sebuah situs Pers Mahasiswa.
Tak ada yang mengagetkan, memukau, ataupun berisi konten
seksual, yang ada hanyalah kritikan belaka. Bagiku tulisan itu tak jau berbeda
dari cerpen-cerpen yang kubaca di Basa-Basi.
Akan tetapi tak tau mengapa, sikap Reaksioner
seorang Rektor yang kurang tepat dalam menyikapi tulisan tersebut yang Katanya
tulisan tersebut adalah pro kepada LGBT.
Saya mencoba mencermati dan memahami makna dari tulisan
tersebut, tulisan tersebut mencoba memberi tau kepada pembaca soal permasalahan
seorang yang berprofesi jurnalis, akan tetapi dalam sudut pandang yang berbeda.
Jaman sekarang banyak intimidasi yang diderita oleh seorang jurnalis. Salah satu
contoh saya mengutip dari tulisan cerpen tersebut “ibu menjadi buronan pemerintah. Ketika itu ibu menuliskan sebuah
tulisan panjang yang berisikan kebohongan pemerintah dalam kurun waktu lima
tahun belakangan. Ibu membuat kritikan tajam yang saat itu sangat membahayakan
oknum siapapun. Dua minggu setelah tulisan ibu beredar, dikabarkan ibu hilang
tanpa jejak” kutipan ini hampir sama dengan kisah hidup seorang pejuang HAM
yang mati 7 Desember 2004 lalu, yaitu Abangda kami Munir yang kini penyebab
kematian yang tak dapat dipastikan atau cerita seorang perempuan pujuang buruh,
Marsinah yang mati 8 Mei 1993 lalu dan kini penyebab kematiannyapun masih belum
jelas, kedua tokoh perjuang HAM tersebut sama-sama tak ada kabar yang rill sampai
sekarang.
Sah-sah saja Kirana menyukai seorang perempuan bernama
Larasati yang mana sifat dan kelakuan Larasati yang kritis sama seperti Ibu
Kirana sebagai pejuang HAM yang hilang tanpa jejak setelah berani menulis
sebuah kritikan kepada pemerintah.
Rasa cinta Kirana bukanlah rasa cinta seksual birahi
seorang perempuan kepada seorang lelaki, walaupun penulis menggambarkan rasa
cinta tersebut seperti rasa cinta birahi yang dilakukan seorang perempuan
kepada seorang perempuan. Gaya tulisan tersebut biasa ditulis oleh seorang
penulis untuk membuat tulisan menjadi menarik dan mengajak pembaca untuk
berpikir.
Awalnya kehidupan Kirana sangat bahagia akan adanya Ayah
dan Ibu disisinya, sama seperti kehidupan pada normalnya, tetapi kehidupan
tersebut seketika berubah saat penguasa mengambil harta ayahnya dan menyebabkan
sang ayah sakit lali meninggal.
Tak ada seorangpun yang mampu mencerminkan sifat sang Ibu
yang sangat Kirana cintai kecuali Larasati yang membuat Kirana jatuh cinta.
Akan tetapi kebahagiaan yang indah tersebut juga lenyap
ketika penguasa mayoritas datang untuk menindas, yaitu Aryo, lelaki yang akan
menikahi Larasati karena dijodohkan. Kirana datang diacara pernikahan mereka dan
mengambil mikrofon lalu berdiri diatas panggung dan mengutarakan rasa cintanya
kepada Larasati, bahkan mengajaknya menikah. Hal hasil Kirana tertindas dengan
diseret dan tak seorangpun iba menolongnya.
Penulis: Muhammad Muqaffa (Setiap tempat adalah sekolah, apapun bisa jadi guru)
NB. Tidak ada maksud menyinggung siapapun, kami mohon maaf.
Ket.gbr: Ilustration
Sbr.gbr: https://www.popbela.com
Sbr.gbr: https://www.popbela.com
No comments:
Post a Comment