YakusaBlog- Sebelum membaca cerita
ini, terlebih dahulu membaca cerita yang ditulis oleh Kak Yael Stefani Sinaga
yang berjudul; Ketika Semua Menolak Kehadiran Diriku Di Dekatnya.
(Klik di sini).
***
Waktu
itu, Bogel, si pemuda tampan versi dirinya sendiri, menghadiri pertunangan dua
sahabatanya yang pernah menjadi teman kelasnya sewaktu sekolah, Aryo dan Laras
Kesuma Wijaya. Kehadirannya menjadi pelengkap acara pertunangan itu. Mengapa demikian?
Ya, karena Bogel adalah sahabat terbaik dan sahabat tertampan versi dirinya,
bagi Aryo dan Laras. Mereka sudah lama menjalin persahabatan. Mulai dari zaman
purba mereka sudah bersahabat. Maksudnya, Ibu Aryo adalah sahabatnya Ayah Bogel
dan Ayah Laras.
Persahabatan
orangtua mereka membuat mereka bersahabat pula. Katakanlah itu warisan orangtua
mereka. Sejak kecil mereka sudah sering bertemu, karena orangtua mereka sering
mengajak ketika ada acara temu kangen. Dari pertemuan-pertemuan itulah seluruh keluarga
makin erat. Bogel, Aryo dan Laras satu sekolah karena hasil kesepakatan
orangtua mereka. Orangtua mereka mulai jarang bertemu karena sudah sibuk
mengurusi rumahtangga dan pekerjaan masing-masing. Tapi, syukurlah, mereka
masih menyempatkan waktu untuk bertemu.
Awalnya
Bogel tidak percaya dengan acara undangan itu. Ia awalnya tidak percaya bahwa
dua sahabatnya itu akan bertunangan. Mengingat karena orangtua mereka yang
bersahabat sejak lama tidak pernah menyetujui tradisi itu. Bukan karena menolak
hokum agama, tapi ini demi menjaga persahabatan mereka – menurut mereka. Jika perempuan
dua, bisa jadi kesepakatannya berbeda. Tidak mungkin kan, jika mereka menikah
dengan dua laki-laki dan satu perempuan. Tapi jika, satu laki-laki dan dua perempuan,
masih ada hukum yang membolehkannya asal tidak melanggar kaedah yang ajaran
agama mereka.
Tapi
apalah hendak mau dikata, itu kan zaman orangtua mereka. Lain orang lain pula
masanya. Lain masa lain pula orangnya. Setiap masa ada orangnya, dan setiap
orang ada masanya. Setiap cerita ada tokohnya, dan setiap tokoh ada ceritanya.
Tiba-tiba
saja, Bogel mendengar bentakan suara keras dari seseorang kepada seorang
perempuan yang waktu itu hadir juga di acara pertunangan dua sahabatanya itu.
Terlihat
seseorang menyeret seorang perempuan. Terlihat pula goresan koyak di sebagian
bajunya perempuan itu. Posisi perempuan itu pun sekarang ada di tengah-tengah
tamu yang datang. Sejuta bola mata yang berpasangan memancarkan sinar amarah. Makian
dan air mulut pun membanjiri perempuan itu.
Sebelum
Bogel mengetahui kajadian itu, tidak satu pun orang yang iba kemudian membela
dan menolongnya. Tidak ada yang menolongnya dari badai makian dan ombak ludah
yang menghantamnya. Laras sendiri, yang menjadi temannya di kampus tidak tahu
hendak berbuat apa.
Bogel
pun menghampiri kerumunan itu. Melihat seorang perempuan diperlakukan dengan
tidak baik, langsung saja darah keberaniannya mamancar dan membludak bagaikan
lahar panas yang muncrat dari perut gunung. Bogel tidak tega melihat perlakuan
itu. Dengan menderong beberapa orang, Bogel pun sekarang mendekati perempuan
itu. Melindungi tubuh perempuan itu dengan tubuhnya yang siap dilempari dengan
ludah dan hujatan.
Baju
kemeja yang ia kenakan, yang baru saja ia rapikan di kamar mandi, sekarang
menjadi tisu atau kain lap pembersih ludah. Atau semacam alat pembersih nanah
dan darah. Caci makian terhadap perempuan itu ikut bersarang ditelinganya. Perempuan
itu hanya tertunduk, tak menatap karena berada dalam dekapan perlindungan
Bogel.
Entah
berapa ribu kata hujatan yang tak henti menimpa Bogel dan perempuan itu. Ditambah
lagi sebelum Bogel berada di dekat perempuan itu. Sepertinya Malaikat pencatat
pun membutuhkan waktu jeda karena terlalu banyak. Terlalu banyak kata makian,
sehingga tak satu pun yang bisa dihafal oleh Bogel. Lagi pula ia tidak terbiasa
menghujat. Bagi Bogel, kesalahan seseorang bukan untuk dihujat. Tapi, bagaimana
seseorang yang salah itu, selalu terus diingatkan agar tidak berbuat salah. Dengan
menghujat atau mencaci bukan menyelesaikan masalah, akan tetapi malah
menimbulkan masalah baru.
“Kau penyakit bagi kami. Kau tak layak hidup.
Bahkan di neraka saja orang-orang akan enggan dekat denganmu. Terkutuk lah kau
wanita laknat.” Kata seseorang sambil melempari perempuan itu dengan ludah
dari mulutnya.
Perempuan
itu membalas makian itu. Perempuan itu hanya terdiam sambil menatap kosong ke
bawah. Membiarkan dirinya menjadi objek maki-makian. Bogel tetap melindungi
tubuh perempuan itu dari ludah yang mulai membasahi baju kemejanya.
Lagi-lagi
ribuan kata makian ditambah ludah yang membasahi mereka berdua, lebih tepat
sebenarnya tertuju pada perempuan itu. Seluruh perhatian pun tertuju pada
mereka berdua. Bogel, si pemuda tampan versi dirinya sendiri dan mungkin juga
versi orangtuanya, tidak lagi dapat menahan kesabarannya akan perlakuan
orang-orang yang memaki dan meludahi perempuan itu. Kepribadiannya yang penyabar,
suka menghibur dengan leluconnya, sikapnya yang menyenangkan setiap orang yang
bertemu dengannya, sirna begitu saja, pergi entah ke alam mana.
“Apa
kau bilang?” Kata Bogel dengan suara keras ditambah dengan logatnya yang khas
Medan. “Kau bilang perempuan ini tidak layak hidup. Kau siapa rupanya? Kau
Tuhan rupanya?” Bogel menunjuk seorang laki-laki yang mencaci maki tadi.
Karena
suara Bogel yang keras, ditambah dengan wajahnya yang tidak lagi terlohat
goresan tawa, suara hujatan pun hening. Diam ditelan oleh suaranya Bogel yang
keras dan pedas tadi.
“Kau
nggak tau masalahnya, Gel.” Kata seseorang pada Bogel.
“Jadi,
kalau aku tidak tahu permasalahannya, begini cara kalian memperlakukan orang?”
Tanya Bogel. Tidak ada satu pun yang menjawab. “Layakkah manusia diperlakukan
seperti binatang. Binatang saja tidak boleh diperlakukan kasar, apa lagi
manusia.”Suara Bogel dengan keras.
“Dia
ini penyakit. Dia ini wanita laknat. Wanita berdosa.” Kata sesorang lagi yang
tidak mengenal Bogel. Dan Bogel pun tidak mengenali tamu tersebut.
“Apa
kau bilang?” Mengulangi kata-kata pertamanya tadi. Ia berdiri menunjukkan
seseorang tadi. “Sekarang aku Tanya pada kalian semua yang ada di sini.” Sambil
menunjuki semua orang yang mengelilingi mereka berdua. “Siapa di antara kalian
semua yang tidak pernah melakukan kesalahan. Atau siapa di sini yang bisa
memastikan bahwa dirinya tidak berdosa. Ayo, angkat tangan! Kalau ada di antara
kalian yang yakin dirinya tidak berdosa, kubiarkan perempuan ini kalian
maki-maki, kalian ludahi. Bahkan, kubiarkan melemparinya dengan gelas, piring
dan dengan apa pun benda lebih keras yang bisa kalian dapatkan di ruangan ini.”
Wajah Bogel terlihat merah penuh amarah. Seluruh makhluk humoris dalam dirinya
pun lari terbirit-birit.
Tidak
ada satu pun tamu undangan itu yang mengangkat tangannya. Orangtua Bogel yang
hadir di situ terdiam bungkam. Mulut serasa terjahit oleh keberanian Bogel.
“Atau
jika kalian merasa badan perempuan ini terlalu lemah atau apalah itu. Kutambahi
dengan tubuhku supaya kalian lebih puas. Ayo lempari kami berdua dengan sepuas
hati kalian.” Kata Bogel sambil mendekatkan dirinya pada perempuan itu. Perempuan
itu pun heran sera kagum dengan sosok pemuda yang didekatnya itu. “Tapi ingat,
yang boleh melempari kami dengan apa pun itu dan memaki kami, dia terlebih
dahulu bersumpah bahwa dia tidak pernah melakukan kesalahan atau bersih tanpa
dosa.” Kata Bogel dengan menatap garang ke semua wajah-wajah yang ada di
ruangan itu.
Hujatan
dan ludah pun tidak lagi berjatuhan. Leher mereka pun menjadi gersang bagai
musim kemarau. Seseorang yang mengenal dekat Bogel mencoba bertanya, “Kenapa
kau membelanya? Padahal dia wanita yang…” Kata-katanya tidak berlanjut sampai
selesai. Tanpa ia lanjutkan, orang pun sudah paham maksudnya.
“Aku
membelanya karena perempuan ini manusia juga. Makhluk Tuhan seperti kita ini
semua. Aku membelanya karena aku tahu ibuku adalah seorang perempuan.” Jawab
Bogel. “Terkait mengenai kekurangan atau kesalahan pada dirinya, kita tidak
berhak menghakiminya, apalagi melakukan perbuatan seperti yang kalian lakukan. Kalian
pikir dia binatang? Tidak ada yang tahu pasti kapan seseorang berubah. Bisa jadi
ini berbuat baik, besok berbuat jahat. Bisa jadi hari ini berbuat salah atau
jahat, besok sesorang itu berbuat baik. Itu Tuhan yang mengatur dan yang tahu
pasti.” Lanjut Bogel.
Suasan
kembali lenyap. Perlahan-lahan jutaan mata itu mencari-cari objek pemandangan
yang lain. Pengalihan pandangan itu hanya pura-pura karena telah malu pada
Bogel. Lebih tepatnya malu pada perbuatan mereka sendiri.
Bogel
pun bangkit berdiri. Ia tuntun perempuan itu untuk berdiri juga. Bogel memandangi
Aryo dan Laras. Sebenarnya meminta mereka berdua supaya mendekat. Tapi, tidak
juga mendekat. Mereka terpaku mati di posisi mereka menyaksikan kejadian itu. Dengan
berat, perempuan itu pun mengangkat tubuhnya sendiri agar dapat beridiri. Mungkin
menghargai Bogel yang membantunya berdiri. Perempuan itu agak segan menatap
wajah Bogel, matanya pun tetap tertunduk ke bawah. Perempuan itu berniat ingin
menatap wajah Bogel, pemuda tampan yang sudah membela dan menerima
kehadirannya, tetap saja ia tidak berani, mungkin masih malu.
Tanpa
melihat wajah Bogel, tanpa melihat wajah Aryo, Laras dan wajah-wajah yang
menghuhat dan meludahinya, perempuan itu pun berjalan sambil tertunduk bersama
Bogel. Lengannya dipegang oleh Bogel. Mungkin Bogel takut perempuan itu tidak
kuat untuk berjalan. Bukan hanya sakit secara fisik yang dapat membuat
seseorang tidak mampu berjalan. Tapi, sakit secara mental atau psikologis pun
dapat membuat seseorang tidak sanggup berjalan.
Bogel
membawa perempuan itu keluar dari ruangan penghakiman. Hampir saja kejadian itu
seperti Hypatia dalam film Agora. Perempuan
itu keluar bersama Bogel dalam keadaan hidup. Sedangkan, Hypatia keluar dari
ruangan penghakiman, lebih tepatnya ruangan pembantain dengan tubuh yang sudah
terpotong-potong.[]
Bersambung… (Klik Di Sini) untuk membaca lanjutannya.
Penulis: Ibnu Arsib (Bukan siapa-siapa, hanya manusia biasa).
Ket.gbr: Ilustration
Sbr.gbr: https://pixabay.com/id/
Nb: Cerita ini hanya fiksi. Apabila ada kesamaan nama dan kejadian, kami mohon maaf. Tidak ada maksud sengaja untuk menuliskannya.
No comments:
Post a Comment