YakusaBlog- Sejak
pagi hari hingga siang hari, Dikran tampak begitu murung. Wajahnya jauh dari
kecerahan padahal mentari telah meninggi. Tidak banyak yang ia lakukan. Ratusan
pesan di WA-nya dibiarkan tak tersentuh. Wajah itu tidak seperti wajah Dikran
lagi yang dikenal ceria dan cerah. Lebih cerah dari sang mentari.
Beberapa
kali Hp-nya berbunyi. Tak satu pun ia layani untuk berbicara saat itu. Entah
setan mana yang membuat it murung. Ia juga belum mempersiapkan materi diskusi
yang akan diisinya selepas Dzuhur nanti di salah Komisariat yang ada di
Cabangnya. Materi diskusi yang akan disampaikannya memang tidak terlalu sulit.
Materinya sudah biasa ia sampaikan, tinggal hanya sedikit menambahi beberapa
pembahasan yang berhubungan dengan kondisi independensi Kader HMI ke kinian.
Dikran
pun terus terpaku di tempat duduk yang biasa ia lakukan untuk membaca puluhan
buku dan menulis ratusan artikel, juga buku dan beberapa bait puisi. Di
sekilingnya berserakan berserakan buku-buku. Tapi, tak satu pun buku saat itu
yang bisa memancing gairahnya untuk membaca. Kertas-kertas putih itu pun tak
juga disentuh untuk menorehkan beberapa paragraph artikel atau bait-bait puisi.
Apa yang mengganjal di hati dan pikirannya rasanya sangat berat untuk ditorehkan
ke dalam kertas. Kopi yang ia seduh selepas shalat shubuh pun jarang tersentuh.
Hanya beberapa kali ia menyeruput kopi sebagai bentuk kecintaannya pada kopi.
Sesuatu yang mengganjal di hati dan pikirannya lebih menguasai dirinya sendiri.
“Udah,
sana mandi!” Tiba-tiba saja ibunya membuyarkan seluruh lamunannya yang menatap
kosong ke tumpukan buku di mejanya.
“Ooh.
Ibu rupanya.” Kata Dikran dengan nada terkejut.
Ibunya
masuk ke kamarnya tanpa ia sadari. Ibunya tidak mengetuk pintu, karena pintu
sedari tadi tidak tertutup.
“Kau
juga belum ada sarapan, kan?” Tanya ibunya sambil mengumpulkan pakain kotor
Dikran yang hendak dicuci.
“Kurang
selera, Bu.”
“Kalau
hati dan pikiranmu ada beban, perut jangan sampai disiksa dong.” Kata ibunya
dengan lembut.
Dikran
menoleh pada ibunya dengan wajah yang kusut. Ibunya balas menatap dengan
senyuman sejuk. Wajah yang sejuk itu terlihat mulai mengkeriput semenjak
kepergian ayahnya Dikean sekitar sepuluh tahun yang lalu.
Ibunya
pun berjuang sendiri untuk mengkuliahkannya. Setelah Dikran selesai kuliah,
belum juga ia dapat memberikan hal terbaik bagi ibunya. Sarah, adik perempuan
Dikran, belum juga dapat ia menanggung biaya kuliahnya Sarah. Memang! Sampai
kapan pun kita tidak akan mampu membalas kebaikan dan perjuangan seorang ibu.
Baca juga: Ketika Kohati Mandul
Segudang
emas pun kita berikan, tidak dapat membayar perjuangannya saat melahirkan kita,
perjuangan yang antara hidup dan mati. Segudang uang pun tidak akan mampu
menebus kesabarannya saat merawat kita sejak lahir hingga besar. Ratusan mobil
mewah pun tidak akan mampu menggantikan kesabaran dan keletihannya menggendong
kita sejak bayi hingga bisa berjalan. Setinggi apa pun jabatan kita, tidak akan
mampu menandingi kemuliaannya.
“Ibu
tidak kerja hari ini?” Tanya Dikran.
“Kau
coba lihat jam, Nak!” Perintah ibunya lembut sambil membereskan tempat tidur
Dikran walau tidak terlihat berantakan.
Ibunya
bekerja sebagai petugas kebersihan semenjak ditinggal oleh ayahnya. Selepas
shubuh, ibunya sudah pergi bekerja setiap pagi hari. Mereka bekerja tanpa hari
libur sekali pun, dan pulang sebelum shalat dzuhur. Bersihnya kota yang mereka
tempati sehingga mendapatkan penghargaan Piala Adipura. Bersihnya kota mereka
karena kerja keras ibunya dan petugas kebersihan lainnya. Mereka setiap pagi
menyapu jalan dan taman-taman kota, sesuai tempat mereka di tugaskan. Walau
gaji tidak besar, yang terpenting kota menjadi bersih dan indah.
“Kalau
Ibu boleh tau, apa yang membuatmu seperti ini, Nak?” Kata ibunya. “Tidak biasa
saja kau seperti ini.” Ibu mendekat pada anaknya – Dikran.
“Nggak
ada, Bu.” Jawab Dikran untuk meyakinkannya.
“Dari
suaramu itu aja Ibu tahu.” Ibunya menatap serius. “kau tidak dapat membohongi
Ibumu, Nak. Darah yang mengalir di tubuhmu, itu darah Ibu juga. Ibu dapat
merasakan kalau kau sedang ada masalah. Ayo, ceritakan pada Ibu!” Lanjut ibunya
dengan wajah serius tapi lembut.
“Dikran
sebenarnya mau cerita, Bu.” Dikran berpaling dari tatapan serius itu. “Tapi
Dikran segan.” Matanya lagi-lagi menatap kosong ke depan.
“Tidak
perlu segan, Nak. Masa sama ibu sendiri segan.”
Segan
pada orang lain? Hah! Sebenarnya Dikran segan pada dirinya sendiri. Pada sang
waktu dan bukan pada ibunya. Ia merasa apa yang sedang ada dalam hati dan
pikirannya adalah beban yang seolah-olah menjadi bahan tertawaan oleh seisi
dunia ini.
“Ayo,
ceritakan pada Ibu, Nak!” Ibunya memegang dagu anaknya, mengarahkan pandangan
Dikran pada wajah yang mulai keriput itu.
Dikran
terdiam sejenak. Ia menarik nafas, kemudian dengan berana mengucapkan, “Bu,
Dikran mau menikah. Dikran mau melamar perempuan yang Dikran cintai.” Suara
pelan dan lembut. Takut seisi dunia mendengarnya kecuali ibunya.
“Hahaha…”
Ibunya tertawa.
“Kok,
Ibu ketawa? Dikran serius, Bu.”
Ibu
berhenti tertawa berganti dengan tersenyum manis. “Jadi, gara-gara itu,
beberapa hari ini mukamu masam?” Tanya ibunya. “Bagus lah kalau kau mau
menikah. Masa udah mau tua belum menikah. Atau kau mau menikah dengan
organisasi yang kau cintai itu. Hahaha…” Ibunya tertawa lagi seolah-olah tidak
ada beban. Sebagaimana yang dirasakan Dikran.
“Bu.
Yang Dikran pikirkan, kalau menikah kana da biayanya. Biaya ini dan itu.” Kata
Dikran. “Ada mahar, biaya pesta yang cukup mahal.” Lanjutnya.
“Mahar
itu memang suatu kewajiban, Nak. Itu udah syari’at dalam agama kita.” Kata
ibunya dengan lembut. “Tapi, mahar itu jangan sampai memberatkan. Pernikahan
jangan diberat-beratkan. Ingat apa kata Rasulullah dalam hadits, sebaik-baik
pernikahan ialah yang paling mudah. Pernikahan yang paling besar keberkahannya
ialah yang paling mudah maharnya. Berlebih-lebihan dalam mahar itu hukumnya
makruh.” Kata ibunya lagi dengan mengutip beberapa hadits yang berkaitan
terkait pernikahan.
“Dikran
tahu itu, Bu.” Kata Dikran tanpa protes terkait isi hadits-hadits tersebut.
“Calon
menantu ibu tau juga kan?” Tanya ibunya yang lebih percaya diri daripada
anaknya.
“Insya
Allah pasti tau, Bu.”
“Tapi,
Bu…”
Belum
Dikran selesai berbicara, ibunya langsung memotong, “Tapia pa, Nak?”
“Biaya
sinamot atau yang katanya untuk biaya
pesta dan perlengkapan ketika sudah menikah?” Tanya Dikran dengan wajah malas.
“Jangan
pikiri itu dulu. Itu urusan belakang.” Kata ibunya. “Sekarang calon menantu
Ibu, udah mau nggak samamu?”
“Alhamdulillah mau, Bu.” Dikran tersenyum
sambil membayangkan seseorang di sana. “Kami udah membicarakannya, Bu. Dan dia
juga mau menceritakan udah menceritakan ke Orangtuanya.” Lanjutnya.
“Ya,
sudah. Apa lagi kalau begitu.” Ibunya memberikan semangat.
“Tapi
mengenai biaya-biaya yang lain itu, bagaimana dong, Bu?” Tanya Dikran lagi.
“Terkait
hal-hal yang memberatkanmu tadi?” Ibunya bertanya balik. “Tanpa pesta yang
meriah juga, pernikahan itu sah. Pesta bukan syarah sah nikah, Nak. Jangan
dipersulit cara berpikir dan suatu pernikahan. Kita buat saja pesta sederhana,
seadanya saja. Kita undangi karib terdekat, tetangga dan anak-anak yatim dari
lingkungan kita.” Ibunya menjawab sendiri pertanyaannya.
“Dikran
paham itu, Bu.” Tapi, apa mungkin keluarga atau Orangtuanya menerima seperti
yang Ibu katakana?” Dikran berkeluh. Antara bertany atau tidak. Nadanya seperti
bertanya.
“Jangan
pernah memasuki ranah kehendak Tuhan, Nak.” Kata ibunya dengan bijak. “Tidak
ada yang tahu pasti, bagaimana kita ini ke depannya.” Ibunya lagi-lagi
memberikan motivasi.
Mata
Dikran sayu, hampir saja berkaca-kaca. Ia membendung derasnya air yang hendak
mengguyur permukaan wajahnya. Mata air itu pun tidak jadi mengalir. Lagi-lagi
ia membuat bendungan dengan suatu harapan dan cita-cita.
“Kau
kan anak organisasi. Di organisasi sering kalian melobi pejabat, masa melo
calon mertau nggak bisa.” Kata ibunya dengan bercanda.
“Tapi
yang sering Dikran lobi sewaktu aktif di organisasi itu alumni HMI sendiri,
Bu.”
“Tapi
kan pejabat juga.” Kata ibunya ketus.
Dikran
kalah telak. Ia tidak dapat menyangkal apa kata ibunya. Sewaktu aktif sebagai
pengurus HMI di tingkat HMI Cabang sampai ke tingkat HMI Badko, Dikran dan
teman-temannya sering melakukan lobi-lobi Sesutu hal yang tidak bertentangan
dengan independensi HMI pada Alumni HMI. Mereka tidak melakukan suatu lobi-lobi
untuk kepentingan pribadi, sekelompok dan hal-hal yang mencoreng nama baik HMI.
Baca juga: Di TIM Membangun TIM
Dikran
merasa mendapat suatu angina segar, semacam ilham, dari Tuhan lewan ibunya.
Seolah-olah ia menemukan suatu ide dan gagasan. Seolah-olah ia seperti
Archimedes, seperti Alber Einstein. Dikran pun tersenyum, sehingga wajah
kusutnya terusir. Wajahnya kembali lagi ceria dan cerah. Secerah sang mentari
yang telah meninggi di atap rumahnya.
“Kok,
kau senyum-senyum?” Sekarang ibunya bertanya heran karena tiba-tiba saja Dikran
mengukir garis senyuman diwajahnya.
“Nggak
ada, Bu.” Dikran menutupi sekarang apa yang ada di dalam kepalanya.
“Kalau
boleh tau, calon menantu ibu siapa orangnya?” Ibunya bertanya penasaran. “Ibu
kenal nggak sama dia? Ibu pernah nggak bertemu dengannya?” Ribuan pertanyaan
pun muncul.
Ribuan
pertanyaan dari ibunya itu, Dikran hanya menjawabnya dengan satu jawaban dan
satu kappa pula.
“Pernah.”
Jawab Dikran dengan senyum manis yang terukir di wajah tampannya.
“Wah…
namanya siapa?” Ibunya bertambah penasaran.
“Fatimah,
Bu.” Jawaban Dikran sedikit malu dan banyak rindu. Rindu pada pemilik nama
Fatimah itu. Calon istrinya dan juga calon menantu ibunya.
“Yang
kemarin wisuda?” Tanya ibunya lagi. “Yang pernah datang ke rumah ini?”
Pertanyaan keseribu sekian dari ibunya dengan penuh senyuman. Dasar ibu-ibu. Banyak nanya!
Dikran
menjawab iya tanpa dengan kata-kata, tapi dengan menaik turunkan kepalanya dan
lagi-lagi tidak pernah lepas senyuman yang penuh harapan.
“Wah,
Ibu suka sama dia. Dia kan anak HMI juga.” Ibunya sudah akrab walau hanya
bertemu sekali. “Ibu doakan supaya kalian jodoh.” Lanjut ibunya yang perlahan
melangkah mendekati jendela.
“Amiin…”
Dikran dan ibunya sama-sama memohon pada Sang Pemberi jodoh.
“Udah,
sana mandi!” Perintah ibunya. “Jangan lupa, setelah mandi kau makan. Makanan
itu udah dari tadi di meja makan.” Ibunya hendak keluar dari kamar Dikran.
“Oh,
iya…” Dikran tersentak. Dikran seketika mengingati sesuatu hal yang sangat
penting. Seketika itu juga ia meraih Hp-nya yang ada di meja.
“Kenapa,
Nak?” Tanya ibunya yang membuat tertunda keluar dari kamar.
“Bentar
lagi, Dikran ngisi diskusi, Bu.”
Dikran
mengecek Hnya. Panggilan tak terjawab terlihat lebih dari lima kali dari
Pengurus HMI Komisariat yang memintanya menjadi pemateri. Di pesan WA, juga ia
telah diingatkan beberapa kali.
“Ya,
sudah. Cepat sana mandi kalau begitu.” Perintah ibunya lagi. Ibunya sudah paham
kebiasaan dan kegiatan-kegiatannya anaknya. Tidak pernah lebih anaknya itu
memberikan sesuatu yang terbaik bagi organisasi yang ia cintai, HMI.
“Baik,
Bu.”
Setelah
jawab Dikran itu, hitungan detik, ibunya telah meninggalkann Dikran sendiri di
kamarnya. Dikran pun, tanpa membuang-buang banyak waktu, langsung menuju kamar
mandi dengan handuk yang menyakut di bahunya.
Baca juga: Romantika Kader HMI Di Komisariat
Selesai
mandi, ia memakai baju kebanggaannya setiap mengisi materi diskusi. Wajahnya
segar, ceria dan cerah. Garis senyuman di wajah tampannya mematikan roh-roh
jahat yang ada di dunia ini. Malaikat-malaikat pun tersenyum menyambutnya. Dan
Bidadari sudah tak sabar menunggu kehadirannya.
Waktu
telah mendesak, tak sempat lagi ia makan di rumahnya. Ia pun pamit pada ibunya
yang sedang mencuci baju. Ia mencium tangan ibunya, dan dengan gemes mencubit wajah cantik adiknya,
yang sedang Nyupir. (Nyuci Piring). (Bersambung, lanjut ke bagian II).
***
Baca lanjut ke Bagian II
No comments:
Post a Comment