Lobi-Lobi Mendapatkan HMI-Wati (Bagian I) - Yakusa Blog

Yakusa Blog

Mewujudkan Komunitas Intelektual Muslim

Friday, 15 March 2019

Lobi-Lobi Mendapatkan HMI-Wati (Bagian I)

YakusaBlog- Sejak pagi hari hingga siang hari, Dikran tampak begitu murung. Wajahnya jauh dari kecerahan padahal mentari telah meninggi. Tidak banyak yang ia lakukan. Ratusan pesan di WA-nya dibiarkan tak tersentuh. Wajah itu tidak seperti wajah Dikran lagi yang dikenal ceria dan cerah. Lebih cerah dari sang mentari.
Beberapa kali Hp-nya berbunyi. Tak satu pun ia layani untuk berbicara saat itu. Entah setan mana yang membuat it murung. Ia juga belum mempersiapkan materi diskusi yang akan diisinya selepas Dzuhur nanti di salah Komisariat yang ada di Cabangnya. Materi diskusi yang akan disampaikannya memang tidak terlalu sulit. Materinya sudah biasa ia sampaikan, tinggal hanya sedikit menambahi beberapa pembahasan yang berhubungan dengan kondisi independensi Kader HMI ke kinian.
Dikran pun terus terpaku di tempat duduk yang biasa ia lakukan untuk membaca puluhan buku dan menulis ratusan artikel, juga buku dan beberapa bait puisi. Di sekilingnya berserakan berserakan buku-buku. Tapi, tak satu pun buku saat itu yang bisa memancing gairahnya untuk membaca. Kertas-kertas putih itu pun tak juga disentuh untuk menorehkan beberapa paragraph artikel atau bait-bait puisi. Apa yang mengganjal di hati dan pikirannya rasanya sangat berat untuk ditorehkan ke dalam kertas. Kopi yang ia seduh selepas shalat shubuh pun jarang tersentuh. Hanya beberapa kali ia menyeruput kopi sebagai bentuk kecintaannya pada kopi. Sesuatu yang mengganjal di hati dan pikirannya lebih menguasai dirinya sendiri.
“Udah, sana mandi!” Tiba-tiba saja ibunya membuyarkan seluruh lamunannya yang menatap kosong ke tumpukan buku di mejanya.
“Ooh. Ibu rupanya.” Kata Dikran dengan nada terkejut.
Ibunya masuk ke kamarnya tanpa ia sadari. Ibunya tidak mengetuk pintu, karena pintu sedari tadi tidak tertutup.
“Kau juga belum ada sarapan, kan?” Tanya ibunya sambil mengumpulkan pakain kotor Dikran yang hendak dicuci.
“Kurang selera, Bu.”
“Kalau hati dan pikiranmu ada beban, perut jangan sampai disiksa dong.” Kata ibunya dengan lembut.
Dikran menoleh pada ibunya dengan wajah yang kusut. Ibunya balas menatap dengan senyuman sejuk. Wajah yang sejuk itu terlihat mulai mengkeriput semenjak kepergian ayahnya Dikean sekitar sepuluh tahun yang lalu.
Ibunya pun berjuang sendiri untuk mengkuliahkannya. Setelah Dikran selesai kuliah, belum juga ia dapat memberikan hal terbaik bagi ibunya. Sarah, adik perempuan Dikran, belum juga dapat ia menanggung biaya kuliahnya Sarah. Memang! Sampai kapan pun kita tidak akan mampu membalas kebaikan dan perjuangan seorang ibu.
Segudang emas pun kita berikan, tidak dapat membayar perjuangannya saat melahirkan kita, perjuangan yang antara hidup dan mati. Segudang uang pun tidak akan mampu menebus kesabarannya saat merawat kita sejak lahir hingga besar. Ratusan mobil mewah pun tidak akan mampu menggantikan kesabaran dan keletihannya menggendong kita sejak bayi hingga bisa berjalan. Setinggi apa pun jabatan kita, tidak akan mampu menandingi kemuliaannya.
“Ibu tidak kerja hari ini?” Tanya Dikran.
“Kau coba lihat jam, Nak!” Perintah ibunya lembut sambil membereskan tempat tidur Dikran walau tidak terlihat berantakan.
Ibunya bekerja sebagai petugas kebersihan semenjak ditinggal oleh ayahnya. Selepas shubuh, ibunya sudah pergi bekerja setiap pagi hari. Mereka bekerja tanpa hari libur sekali pun, dan pulang sebelum shalat dzuhur. Bersihnya kota yang mereka tempati sehingga mendapatkan penghargaan Piala Adipura. Bersihnya kota mereka karena kerja keras ibunya dan petugas kebersihan lainnya. Mereka setiap pagi menyapu jalan dan taman-taman kota, sesuai tempat mereka di tugaskan. Walau gaji tidak besar, yang terpenting kota menjadi bersih dan indah.
“Kalau Ibu boleh tau, apa yang membuatmu seperti ini, Nak?” Kata ibunya. “Tidak biasa saja kau seperti ini.” Ibu mendekat pada anaknya – Dikran.
“Nggak ada, Bu.” Jawab Dikran untuk meyakinkannya.
“Dari suaramu itu aja Ibu tahu.” Ibunya menatap serius. “kau tidak dapat membohongi Ibumu, Nak. Darah yang mengalir di tubuhmu, itu darah Ibu juga. Ibu dapat merasakan kalau kau sedang ada masalah. Ayo, ceritakan pada Ibu!” Lanjut ibunya dengan wajah serius tapi lembut.
“Dikran sebenarnya mau cerita, Bu.” Dikran berpaling dari tatapan serius itu. “Tapi Dikran segan.” Matanya lagi-lagi menatap kosong ke depan.
“Tidak perlu segan, Nak. Masa sama ibu sendiri segan.”
Segan pada orang lain? Hah! Sebenarnya Dikran segan pada dirinya sendiri. Pada sang waktu dan bukan pada ibunya. Ia merasa apa yang sedang ada dalam hati dan pikirannya adalah beban yang seolah-olah menjadi bahan tertawaan oleh seisi dunia ini.
“Ayo, ceritakan pada Ibu, Nak!” Ibunya memegang dagu anaknya, mengarahkan pandangan Dikran pada wajah yang mulai keriput itu.
Dikran terdiam sejenak. Ia menarik nafas, kemudian dengan berana mengucapkan, “Bu, Dikran mau menikah. Dikran mau melamar perempuan yang Dikran cintai.” Suara pelan dan lembut. Takut seisi dunia mendengarnya kecuali ibunya.
“Hahaha…” Ibunya tertawa.
“Kok, Ibu ketawa? Dikran serius, Bu.”
Ibu berhenti tertawa berganti dengan tersenyum manis. “Jadi, gara-gara itu, beberapa hari ini mukamu masam?” Tanya ibunya. “Bagus lah kalau kau mau menikah. Masa udah mau tua belum menikah. Atau kau mau menikah dengan organisasi yang kau cintai itu. Hahaha…” Ibunya tertawa lagi seolah-olah tidak ada beban. Sebagaimana yang dirasakan Dikran.
“Bu. Yang Dikran pikirkan, kalau menikah kana da biayanya. Biaya ini dan itu.” Kata Dikran. “Ada mahar, biaya pesta yang cukup mahal.” Lanjutnya.
“Mahar itu memang suatu kewajiban, Nak. Itu udah syari’at dalam agama kita.” Kata ibunya dengan lembut. “Tapi, mahar itu jangan sampai memberatkan. Pernikahan jangan diberat-beratkan. Ingat apa kata Rasulullah dalam hadits, sebaik-baik pernikahan ialah yang paling mudah. Pernikahan yang paling besar keberkahannya ialah yang paling mudah maharnya. Berlebih-lebihan dalam mahar itu hukumnya makruh.” Kata ibunya lagi dengan mengutip beberapa hadits yang berkaitan terkait pernikahan.
“Dikran tahu itu, Bu.” Kata Dikran tanpa protes terkait isi hadits-hadits tersebut.
“Calon menantu ibu tau juga kan?” Tanya ibunya yang lebih percaya diri daripada anaknya.
“Insya Allah pasti tau, Bu.”
“Tapi, Bu…”
Belum Dikran selesai berbicara, ibunya langsung memotong, “Tapia pa, Nak?”
“Biaya sinamot atau yang katanya untuk biaya pesta dan perlengkapan ketika sudah menikah?” Tanya Dikran dengan wajah malas.
“Jangan pikiri itu dulu. Itu urusan belakang.” Kata ibunya. “Sekarang calon menantu Ibu, udah mau nggak samamu?”
Alhamdulillah mau, Bu.” Dikran tersenyum sambil membayangkan seseorang di sana. “Kami udah membicarakannya, Bu. Dan dia juga mau menceritakan udah menceritakan ke Orangtuanya.” Lanjutnya.
“Ya, sudah. Apa lagi kalau begitu.” Ibunya memberikan semangat.
“Tapi mengenai biaya-biaya yang lain itu, bagaimana dong, Bu?” Tanya Dikran lagi.
“Terkait hal-hal yang memberatkanmu tadi?” Ibunya bertanya balik. “Tanpa pesta yang meriah juga, pernikahan itu sah. Pesta bukan syarah sah nikah, Nak. Jangan dipersulit cara berpikir dan suatu pernikahan. Kita buat saja pesta sederhana, seadanya saja. Kita undangi karib terdekat, tetangga dan anak-anak yatim dari lingkungan kita.” Ibunya menjawab sendiri pertanyaannya.
“Dikran paham itu, Bu.” Tapi, apa mungkin keluarga atau Orangtuanya menerima seperti yang Ibu katakana?” Dikran berkeluh. Antara bertany atau tidak. Nadanya seperti bertanya.
“Jangan pernah memasuki ranah kehendak Tuhan, Nak.” Kata ibunya dengan bijak. “Tidak ada yang tahu pasti, bagaimana kita ini ke depannya.” Ibunya lagi-lagi memberikan motivasi.
Mata Dikran sayu, hampir saja berkaca-kaca. Ia membendung derasnya air yang hendak mengguyur permukaan wajahnya. Mata air itu pun tidak jadi mengalir. Lagi-lagi ia membuat bendungan dengan suatu harapan dan cita-cita.
“Kau kan anak organisasi. Di organisasi sering kalian melobi pejabat, masa melo calon mertau nggak bisa.” Kata ibunya dengan bercanda.
“Tapi yang sering Dikran lobi sewaktu aktif di organisasi itu alumni HMI sendiri, Bu.”
“Tapi kan pejabat juga.” Kata ibunya ketus.
Dikran kalah telak. Ia tidak dapat menyangkal apa kata ibunya. Sewaktu aktif sebagai pengurus HMI di tingkat HMI Cabang sampai ke tingkat HMI Badko, Dikran dan teman-temannya sering melakukan lobi-lobi Sesutu hal yang tidak bertentangan dengan independensi HMI pada Alumni HMI. Mereka tidak melakukan suatu lobi-lobi untuk kepentingan pribadi, sekelompok dan hal-hal yang mencoreng nama baik HMI.
Dikran merasa mendapat suatu angina segar, semacam ilham, dari Tuhan lewan ibunya. Seolah-olah ia menemukan suatu ide dan gagasan. Seolah-olah ia seperti Archimedes, seperti Alber Einstein. Dikran pun tersenyum, sehingga wajah kusutnya terusir. Wajahnya kembali lagi ceria dan cerah. Secerah sang mentari yang telah meninggi di atap rumahnya.
“Kok, kau senyum-senyum?” Sekarang ibunya bertanya heran karena tiba-tiba saja Dikran mengukir garis senyuman diwajahnya.
“Nggak ada, Bu.” Dikran menutupi sekarang apa yang ada di dalam kepalanya.
“Kalau boleh tau, calon menantu ibu siapa orangnya?” Ibunya bertanya penasaran. “Ibu kenal nggak sama dia? Ibu pernah nggak bertemu dengannya?” Ribuan pertanyaan pun muncul.
Ribuan pertanyaan dari ibunya itu, Dikran hanya menjawabnya dengan satu jawaban dan satu kappa pula.
“Pernah.” Jawab Dikran dengan senyum manis yang terukir di wajah tampannya.
“Wah… namanya siapa?” Ibunya bertambah penasaran.
“Fatimah, Bu.” Jawaban Dikran sedikit malu dan banyak rindu. Rindu pada pemilik nama Fatimah itu. Calon istrinya dan juga calon menantu ibunya.
“Yang kemarin wisuda?” Tanya ibunya lagi. “Yang pernah datang ke rumah ini?” Pertanyaan keseribu sekian dari ibunya dengan penuh senyuman. Dasar ibu-ibu. Banyak nanya!
Dikran menjawab iya tanpa dengan kata-kata, tapi dengan menaik turunkan kepalanya dan lagi-lagi tidak pernah lepas senyuman yang penuh harapan.
“Wah, Ibu suka sama dia. Dia kan anak HMI juga.” Ibunya sudah akrab walau hanya bertemu sekali. “Ibu doakan supaya kalian jodoh.” Lanjut ibunya yang perlahan melangkah mendekati jendela.
“Amiin…” Dikran dan ibunya sama-sama memohon pada Sang Pemberi jodoh.
“Udah, sana mandi!” Perintah ibunya. “Jangan lupa, setelah mandi kau makan. Makanan itu udah dari tadi di meja makan.” Ibunya hendak keluar dari kamar Dikran.
“Oh, iya…” Dikran tersentak. Dikran seketika mengingati sesuatu hal yang sangat penting. Seketika itu juga ia meraih Hp-nya yang ada di meja.
“Kenapa, Nak?” Tanya ibunya yang membuat tertunda keluar dari kamar.
“Bentar lagi, Dikran ngisi diskusi, Bu.”
Dikran mengecek Hnya. Panggilan tak terjawab terlihat lebih dari lima kali dari Pengurus HMI Komisariat yang memintanya menjadi pemateri. Di pesan WA, juga ia telah diingatkan beberapa kali.
“Ya, sudah. Cepat sana mandi kalau begitu.” Perintah ibunya lagi. Ibunya sudah paham kebiasaan dan kegiatan-kegiatannya anaknya. Tidak pernah lebih anaknya itu memberikan sesuatu yang terbaik bagi organisasi yang ia cintai, HMI.
“Baik, Bu.”
Setelah jawab Dikran itu, hitungan detik, ibunya telah meninggalkann Dikran sendiri di kamarnya. Dikran pun, tanpa membuang-buang banyak waktu, langsung menuju kamar mandi dengan handuk yang menyakut di bahunya.
Selesai mandi, ia memakai baju kebanggaannya setiap mengisi materi diskusi. Wajahnya segar, ceria dan cerah. Garis senyuman di wajah tampannya mematikan roh-roh jahat yang ada di dunia ini. Malaikat-malaikat pun tersenyum menyambutnya. Dan Bidadari sudah tak sabar menunggu kehadirannya.
Waktu telah mendesak, tak sempat lagi ia makan di rumahnya. Ia pun pamit pada ibunya yang sedang mencuci baju. Ia mencium tangan ibunya, dan dengan gemes mencubit wajah cantik adiknya, yang sedang Nyupir. (Nyuci Piring). (Bersambung, lanjut ke bagian II).
***
Baca lanjut ke Bagian II

No comments:

Post a Comment