YakusaBlog- Selesai
mengisi materi diskusi, sorenya Dikran bertamu ke rumah Fatimah. Dikran dan
Fatimah sudah sepakat akan menyampaikan niatan baik mereka: akan menikah.
Hampir
setengah jam Dikran menyusuri jalan kota yang mulai macet menuju rumah Fatimah,
ia pun sampai dan kemudian memarkirkan sepeda motornya di halaman parkir rumah
Fatimah yang luas. Sebenarnya parkiran itu bukan untuk sepeda motor. Tapi,
parkiran mobil mewah ayah, ibu dan saudara Fatimah. Di antara mereka semua,
hanya Fatimah yang berpenampilan sederhana. Fatimah tidak menunjuk-nunjukkan
bahwa dirinya bergelimpangan harta.
Awal
sih dulu ia memarkannya. Tapi, saat ber-HMI, mengenal teman-temannya di HMI,
bahwa harta yang banyak bukan untuk dipamer-pamerkan. Akan tetapi, bagaimana
harta yang banyak dapat bermanfaat bagi
orang orang lain, terkhusus bagi orang-orang yang serba kekurangan.
Baca juga: Karena DI HMI Kita Berdua
Baca juga: Karena DI HMI Kita Berdua
Kepedulian
sosialnya, membantu orang-orang lebih secara ekonomi, semakin tumbuh tinggi
dalam dirinya. Sering, uang harian dari Orangtuanya yang banyak itu ia
donasikan ke lembaga-lembaga sosial yang membutuhkan. Membaginya kepada
anak-anak yatim yang ia temui.
Di
HMI ia belajar banyak hal tentang kesederhanaan dan saling berbagi. Suatu suasana
yang tidak didapatkannya sebelum ia ber-HMI. Konsistensinya untuk selalu
membantu orang lewat ber-HMI dan membagikan apa yang ia punya tidak pernah
luntur, walau di tengah-tengahnya terkadang banyak Kader HMI yang memanfaatkan
HMI untuk kepentingan pribadi dan golongan. Banyak Kader HMI mencari harta kekayaan
dengan menjual HMI ke mana-mana.
Di
HMI, ia juga banyak belajar terkait keilmuan sehingga menambah wawasannya. Mempertajam
keintelektualannya, baik bidang agama maupun ilmu-ilmu dunia lainnya. Selain
dari itu semua, salah satu hal yang terpenting itu adalah dekat dengan Dikran. Sosok
laki-laki yang menjadi pelengkap hidupnya dan juga pembawa perubahan yang
banyak ke arah yang baik serta bermanfaat.
“Assalamu’alaikum…” Dikran mengucapkan
salam pada Fatimah, yang sedari tadi telah menunggunya.
“Wa’alaikumsalam…” Jawab Fatimah dengan
penuh senyuman manis dan ramah. Rasa hati yang bahagia dan senang karena
bertemu dengan sosok yang ia kagumi.
Hari
itu Fatimah memakai kostum yang muslimah nan indah. Jilbab hijaunya memberikan
pesona sebagai melati putih. Wajahnya tanpa make-up,
tapi tetap cakep. Seluruh wajahnya
alami tanpa goresan lipstick di mana-mana, tanpa goresan gincu di bibirnya tapi
tetap merah jambu.
“Udah
lama nunggu?” Tanya Dikran berjalan mendekati Fatimah.
“Lumayan…”
Jawab Fatimah dengan nada lembut tapi dengan sedikit suara bergelombang. “Masuk,
yuk!” Ajaknya.
“Ibu
ada di dalam?” Tanya Dikran yang sudah tidak sabar ingin bertemu dengan camer –
calon mertua.
“Belum
datang.” Kata Fatimah sambil berjalan bersama menuju ruang tamu.
“Jadi,
sama siapa di sini?”
“Sama
adik, Bi Inah dan itu ada adik sepupu baru datang tadi siang.” Jawab Fatimah.
Bi
Inah adalah pembantu di rumah Fatimah sejak ia masih Putih Abu-Abu – SMA,
hingga ia selesai kuliah.
Dikran
duduk di ruang tamu. Sedangkan Fatimah menuju dapur, membuatkan secangkir kopi
kesukaan Dikran. “Aku ke dapur bentar.” Kata Fatimah pamit. “Paling sebentar
lagi Ayah sama Ibu datang.” Lanjutnya.
“Oke.
Jangan lama-lama di dapurnya.”
Hitungan
detik Fatimah sudah sampai di dapur. Di sana, Bi Inah sedang sibuk nyupir –
nyuci piring. Sedangkan, di ruang tamu, Dikran sedang sibuk dengan Hp-nya. Ia fokus
membaca informasi yang dibagikan di grup WA-nya.
“Fokus
kali Chattingannya.” Kata Fatimah sambil meletakkan secangkir kopi di meja
raung tamu.
“Ah,
nggak. Cuma ada sedikit informasi ini.” Kata Dikran sambil meletakkan Hp-nya di
dekat secangkir kopi yang sekarang ada di depannya.
“Informasi
tentang apa?” Tanya Fatimah ingin tahu.
“Mau
tau aja, atau mau tau banget?” Dikran bercanda.
“Hahahaa….”
Fatimah tertawa melihat Dikran saat mengucapkan kata-kata tersebut.
“Kok,
malah ketawa sih?” Dikran bertanya balik.
“Nggak
pa-pa. Lucu aja. Hahahaa…” Lagi-lagi Fatimah tertawa.
“Hahaha…”
Tanpa dikomandoi, Dikran pun ikut tertawa. “Aku minum kopinya ya?” Dikran
sambil menunjuk kea rah secangkir kopi yang ada di depannya.
“Kan
ini di buat untuk calon suami.” Kata Fatimah.
“Calon
suami siapa?” Tanya Dikran dengan lembut.
“Calon
suamiku lah…”
“Siapa
orangnya?”
“Orang
yang mau pertama kali menyeruput kopi ini.” Jawab Fatimah sambil menunjuk ke
secangkir kopi tersebut.
Dengan
sigap dan cepat, lebih cepat dari getaran detik jam yang menempel di raung
tamu, Dikran langsung menyeruput secangkir kopi itu, “Ssrruuuppp…” Terdengar suara seruputannya dengan nada yang khas.
“Hahaha…”
Fatimah tertawa lagi melihat tingkah laku lucu Dikran.
Untung
saja lidah dan bibir Dikran sudah terbiasa dengan panasnya kopi. Seni meniup
panas dan cara menyeruputnya pun membuat secangkir kopi panas terasa menjadi
dingin.
“Akhh… Nikmat.” Puji Dikran. Kembali ia
menyeruput kopi ke dua kalinya, “Ssrruuuppp…
Akhh… Nikmat. Memang kopi ternikmati
itu, kopi buatan Kohati – HMI-Wati.” Dikran memuji lagi secangkir kopi buatan
Fatimah. Dikran meletakkan kembali secangkir kopi tersebut di meja.
Di
ruang tamu, Dikran dan Fatimah membicarakan banyak. Terkait mengenai hasil
pembicaraan Fatimah dengan Orangtuanya diceritakannya kepada Dikran. Biaya atau
uang yang diminta Orangtuanya Fatimah sangat besar jika mau menikahi Fatimah.
“Kata
Ayah, kamu harus bisa menyediakan lima puluh juta.” Fatimah menceritakan pada
Dikran.
“Buset…” Dikran terkejut. “Itu mau jual
anak atau mau menikahkan.” Lanjutnya.
“Husshh…”
“Banyak
kali.”
“Pandai-pandai
kamu lah biar kita tetap jadi.” Kata Fatimah.
Dikran
pun menjelaskan suatu rencana lobi-lobi pada Orangtuanya Fatimah. Fatimah setuju-setuju
saja, asal tetap bisa menikah dengan Dikran. Fatimah juga sebenarnya tidak
sepakat dengan tradisi-tradisi yang sangat memberatkan itu. Apa pun alasannya,
dan untuk apa pun digunakan uang tersebut. Baginya, menikah itu tidak rumit. Jika
terpenuhi syarat-syarat sebagaimana ajaran agama, itu sudah cukup. Mengenai adat,
tidaklah menjadi syarat supaya jadinya pernikahan.
Baca juga: Maaf Kanda, Aku Tak Bisa Jadi Timses!
Baca juga: Maaf Kanda, Aku Tak Bisa Jadi Timses!
Pernikahan
bukan lah ajang unjuk diri bisa berpesta dengan meriah. Pernikahan juga bukan
memerkan betipa tingginya kelas sosial suatu keluarga. Tradisi-tradisi
tersebut, menurutnya layak untuk dibuang ke tong sampah. Bisa pesta, ya syukur.
Tidak bisa pesta meriah, ya seadanya aja – syukuran.
Setengah
jam Dikran mendiskusikan rencanya kepada Fatimah. Dikran memohon maaf apabila
nanti ada sedikit menyinggung hati. Fatimah pun manut – mau dan nurut saja. Dalam suatu perjuangan pasti ada
sesuatu yang harus dikorbankan.
Di
luar terdengar gerbang rumah di buka. Orangtuanya Fatimah sudah datang. Dikran
dan Fatimah sudah siap-siap untuk menyambutnya.
“Assalamu’alaikum…” Orangtua Fatimah pun
masuk.
“Wa’alaikumsalam...” Dikran dan Fatimah
menjawab sama.
Tanpa
harus ada komando dari pihak mana pun, Dikran langsung menyalami kedua Orangtua
Fatimah.
Ayah
dan Ibunya sudah kenal Dikran. Beberapa kali Dikran dan teman-teman yang lain
pernah bersilaturahmi ke rumah Fatimah. Ayah dan Ibunya sudah paham apa maksud
kedatangan Dikran sore itu.
Ayah
Fatimah langsung duduk di bangku ruang tamu, di sebelah Dikran duduk. Sedangkan,
Ibunya Fatimah pergi sebentar ke kamar, kemudian dalam hitungan menit kembali
lagi.
“Sudah
lama?” Tanya Ayahnya Fatimah.
“Sudah,
Pak.” Jawab Dikran dengan sedikit nervous.
“Apa
maksud Nak Dikran bertamu sore-sore begini?” Tanya Ibunya Fatimah langsung.
“Begini
Bu, Pak, mungkin Bapak sama Ibu sudah tahu maksud kedatangan Dikran ke mari.
Mohon maaf juga, seharusnya saya membawa perwakilan keluarga saya. Mohon maaf
sekali lagi, Ibu saya belum bisa ikut.” Kata Dikran menjelaskan.
“Iya.
Kami bisa pahami itu.” Ayahnya Fatimah menanggapi dengan santai.
“Begini
Pak, Bu. Saya hendak menikahi putri Bapak dan Ibu, Fatimah.” Dikran dengan
penuh keberanian mengatakannya. Hampir saja sedikit keringat di keningnya
menetes menyentuh lantai.
“Ya.
Fatimah juga sudah menceritakannya.” Kata Ibunya. “Mungkin Fatimah juga sudah
menceritakan terkait mengenai…” Ibunya Fatimah tidak melanjutkan karena
menurutnya Dikran pasti sudah tahu.
Dikran
menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia berani berbicara, “Mohon maaf Pak, Bu.
Bukan saya tidak mampu memenuhi hal tersebut. Akan tetapi, jumlah tidak
sebanding dengan dengan putri Bapak dan Ibu.” Suaranya agak takutan.
Baca juga: Merawat Kapal Tua
Baca juga: Merawat Kapal Tua
Ayahnya
Fatimah terlihat marah. Tapi ia tahan karena tidak mau terlihat garang. Ibunya
Fatimah sebenarnya ingin mengusir Dikran, karena terlalu lantang mengatakan
demikian tadi. Ayahnya Fatimah pun bertanya, “Menurutmu terlalu mahal?”
“Iya,
Pak. Mohon maaf sekali.” Jawab Dikran. “Jujur Pak, Bu. Saya sangat mencintai
Fatimah walau banyak kekurangannya. Apalagi nanti ketika berkeluarga. Banyak hal
yang harus ia pelajari.” Lanjut Dikran.
“Maksud
bagaimana?” Tanya Ayahnya sedikit suara keras. “Kamu mengatakan bahwa Fatimah
banyak kekurangan? Hah!” Wajah Ayah Fatimah mulai merah.
“Secara
fisik tidak ada yang kurang Pak. Fatimah normal dan tidak ada kecacatannya. Selama
yang boleh terlihat, semuanya lengkap, Pak.” Kata Dikran sopan. “Tapi, dalam
kemampuannya, Fatimah banyak kekurangannya. Saya sudah mengenalnya lama, bukan
setahuan atau dua tahun, Pak, Bu. Saya mengenalnya menuju lima tahun.” Lanjut
Dikran.
Fatimah
hanya diam saja. Ia tidak banyak mencampuri percakapan antara Dikran, Ayah dan
Ibunya.
“Maksud
kekurangan seperti apa?” Sekarang Ibunya Fatimah yang bertanya.
“Begini,
Bu. Ini mohon maaf sekali. Fatimah itu tidak bisa memasak, padahal ketika jadi
istri, ia harus bisa memasak. Karena tidak mungkin lebih enak makanan yang
dimasak orang daripada seorang istri. Bahkan, menghidupkan kompor gas pun,
Fatimah tidak bisa. Selain itu, Fatimah membaca Qur’annya sangat kurang. Dan banyak
hal lainnya, Bu, Pak. Tidak mungkin saya membongkar apa yang menjadi kekurangan
orang yang saya sayangi dan cintai.” Jawab Dikran dengan wajah meyakinkan dan
memandang Fatimah.
Sebenarnya
Fatimah sudah bisa baca Qur’an. Memang sebelum ia ber-HMI, ia tidak bisa. Setelah
ber-HMI, makanya Fatimah bisa membaca Al-Qur’an, tapi ayah dan ibunya tidak
tahu. Wajarlah, tidak sempat mengurus anak karena sibuk bekerja.
Baca juga: Marx Masuk HMI
Baca juga: Marx Masuk HMI
Ibunya
hendak marah, begitu juga dengan ayahnya Fatimah. Tapi, apa boleh dikata. Mereka
sadar terlalu memajakan Fatimah. Sehingga, hal-hal yang berkaitan dengan yang
dikatan Dikran tidak bisa ia lakukan. Ibunya sadar, sebagai seorang ibu, ia
tidak sempat mendidik anak di rumah. Bahkan, ia tidak tahu perkembangan Fatimah
setelah masuk HMI.
Fatimah
masih tertunduk dan terdiam. Tidak berani mengatakan apa-apa. Ia biarkan saja
Dikran berkata sesuka hatinya, asal bisa bersamanya.
“Uang
itu kan juga untuk kalian. Membuat pesta yang mewah dan meriah.” Kata Ibunya
Fatimah. “Tapi coba dulu kita tanyakan sama Fatimah, apakah dia ingin pesta
yang mewah dan meriah.” Kata Ibunya sambil menatap ke wajah putrinya.
Tanpa
menunggu pertanyaan muncul, langsung saja Fatimah berucap, “Tidak perlu
pesta-pesta meriah dan mewah, Bu. Tidak perlu ada pesta juga tidak akan
membatalkan pernikahan kami, Bu, Pak.” Fatimah menatap Ayah dan Ibunya, dengan
raut wajah meminta restu dengan mengurangi jumlah yang besar tadi.
Sempat
juga ayahnya Fatimah bertanya terkait, apa yang menjadi mahar dari Dikran.
Fatimah menjawab, bahwa maharnya sangat sederhana dan mudah sekali. Hanya seperangkat
alat shalat dan ditambah kesetiaan sampai akhir hayat mereka.
Entah
darimana bisikan datang, tiba-tiba saja ibunya terharu dengan kata-kata anaknya.
Tapi, tidak terlalu ia perlihatkan.
“Fatimah
sangat mencintai Dikran, Pa, Ma.” Kata Fatimah kembali menatap kedua
Orangtuanya. “Kami tidak butuh pesta meriah, mewah dan hal-hal yang memberatkan
kami. Apalagi memberatkan Dikran.” Lanjut Fatimah.
Mendengar
suara putri mereka, emosi ayah dan ibunya Fatimah pun turun menjadi sejuk. Kembali
mereka menarik diri kebelakang, atas ketidak-perhatiannya kepada pertumbuhan
anak mereka. Mereka berpikir dengan apa yang mereka berikan segalanya secara
materi, akan membuat anak mereka berkualitas dan bahagia. Akan tetapi, membuat
mereka tidak bisa menjadi sebenarnya manusia. Tidak bisa mandiri dan menjadi
manja. Untung saja, Fatimah masuk di HMI. Ia bisa banyak hal, setelah di HMI.
Baca juga: Semangka HMI
Baca juga: Semangka HMI
Merasa
mereka kalah dan tidak punya kata-kata lagi, ayahnya Fatimah pura-purang
mengangkat telepon kemudian masuk ke dalam kamarnya. Ibunya pura-pura mencari
Bi Inah. Tinggallah Dikran dan Fatimah di ruang tamu. Wajah Dikran yang awalnya
optimis, berubah menjadi lesu dan bingung hendak apa yang mau dilakukan lagi.
Fatimah juga tidak tahu hendak berbuat apa. Ia juga khawatir tidak bisa bersama
Dikran, karena Orangtuanya belum memberikan persetujuan.
***
Beberapa
hari kemudian setelah lobi-lobi itu, mereka mendapat persetujuan juga. Bahkan Dikran
hanya disuruh ayahnya Fatimah, hanya memenuhi mahar yang diminta oleh Fatimah. Orangtuanya
sadar, jika Fatimah bersama Dikran, putri mereka tersebut akan bahagia dan
dapat dibimbing oleh Dikran ke jalan yang baik.
Orangtuanya
Fatimah pun menikah putrinya pada Dikran. Bahkan, ayah dan ibunya Fatimah
membiayai pesta pernikahan Dikran dan Fatimah. Tidak ada uang dari Dikran,
kecuali biaya-biaya kecil lainnya.
Do’a
ibunya Dikran ternyata terkabul juga. Saat pernihakan, Ibunya Dikran terlihat
tersenyum bahagia. Adiknya Dikran pun tidak pernah bosan-bosan memeluk Fatimah.
Ayah dan Ibu Fatimah mengundangi tamu-tamu terhormat.
Baca juga: Bidadari Nyasar Di HMI
Baca juga: Bidadari Nyasar Di HMI
Pesta
pernikahan mereka sebagaimana permintaan Dikran dan Fatimah. Tidak terlalu
mewah, hanya sekedarnya saja. Teman-teman mereka dari HMI berdatangan
mengucapkan selamat dan memberikan kado pada mereka. Muts (Peci) terpasang gagah dikepala Dikran. Gordon HMI, melingkar indah di leher Dikran dan Fatimah. Hasil memang tidak pernah menghianati proses.
Mereka
pun sah menjadi suami istri. Hidup bahagia dalam naungan cinta. Dan tidak
tergantung kepada materi yang memberatkan mereka. Kesederhanaan sudah cukup
bagi mereka. Tidak perlu melimpah harta kekayaan. Yang terpenting, cinta dan
kasih sayang menjadi pondasi Dikran dan Fatimah, bukan yang lain-lain.[]
Penulis:
Ibnu Arsib (Bukan siapa-siapa, hanya manusia biasa).
Ket.gbr: Ilustration
Sbr.gbr: http://picdeer.com/
Nb: Cerita di atas merupakan fiksi. Apabila ada kesamaan nama dan cerita kami mohon maaf, karena bukan kesengajaan.
No comments:
Post a Comment