Lobi-Lobi Mendapatkan HMI-Wati (Bagian II) - Yakusa Blog

Yakusa Blog

Mewujudkan Komunitas Intelektual Muslim

Friday, 15 March 2019

Lobi-Lobi Mendapatkan HMI-Wati (Bagian II)


YakusaBlog- Selesai mengisi materi diskusi, sorenya Dikran bertamu ke rumah Fatimah. Dikran dan Fatimah sudah sepakat akan menyampaikan niatan baik mereka: akan menikah.
Hampir setengah jam Dikran menyusuri jalan kota yang mulai macet menuju rumah Fatimah, ia pun sampai dan kemudian memarkirkan sepeda motornya di halaman parkir rumah Fatimah yang luas. Sebenarnya parkiran itu bukan untuk sepeda motor. Tapi, parkiran mobil mewah ayah, ibu dan saudara Fatimah. Di antara mereka semua, hanya Fatimah yang berpenampilan sederhana. Fatimah tidak menunjuk-nunjukkan bahwa dirinya bergelimpangan harta.
Awal sih dulu ia memarkannya. Tapi, saat ber-HMI, mengenal teman-temannya di HMI, bahwa harta yang banyak bukan untuk dipamer-pamerkan. Akan tetapi, bagaimana harta yang banyak dapat  bermanfaat bagi orang orang lain, terkhusus bagi orang-orang yang serba kekurangan.

Baca juga: Karena DI HMI Kita Berdua
Kepedulian sosialnya, membantu orang-orang lebih secara ekonomi, semakin tumbuh tinggi dalam dirinya. Sering, uang harian dari Orangtuanya yang banyak itu ia donasikan ke lembaga-lembaga sosial yang membutuhkan. Membaginya kepada anak-anak yatim yang ia temui.
Di HMI ia belajar banyak hal tentang kesederhanaan dan saling berbagi. Suatu suasana yang tidak didapatkannya sebelum ia ber-HMI. Konsistensinya untuk selalu membantu orang lewat ber-HMI dan membagikan apa yang ia punya tidak pernah luntur, walau di tengah-tengahnya terkadang banyak Kader HMI yang memanfaatkan HMI untuk kepentingan pribadi dan golongan. Banyak Kader HMI mencari harta kekayaan dengan menjual HMI ke mana-mana.
Di HMI, ia juga banyak belajar terkait keilmuan sehingga menambah wawasannya. Mempertajam keintelektualannya, baik bidang agama maupun ilmu-ilmu dunia lainnya. Selain dari itu semua, salah satu hal yang terpenting itu adalah dekat dengan Dikran. Sosok laki-laki yang menjadi pelengkap hidupnya dan juga pembawa perubahan yang banyak ke arah yang baik serta bermanfaat.
Assalamu’alaikum…” Dikran mengucapkan salam pada Fatimah, yang sedari tadi telah menunggunya.
Wa’alaikumsalam…” Jawab Fatimah dengan penuh senyuman manis dan ramah. Rasa hati yang bahagia dan senang karena bertemu dengan sosok yang ia kagumi.
Hari itu Fatimah memakai kostum yang muslimah nan indah. Jilbab hijaunya memberikan pesona sebagai melati putih. Wajahnya tanpa make-up, tapi tetap cakep. Seluruh wajahnya alami tanpa goresan lipstick di mana-mana, tanpa goresan gincu di bibirnya tapi tetap merah jambu.
“Udah lama nunggu?” Tanya Dikran berjalan mendekati Fatimah.
“Lumayan…” Jawab Fatimah dengan nada lembut tapi dengan sedikit suara bergelombang. “Masuk, yuk!” Ajaknya.
“Ibu ada di dalam?” Tanya Dikran yang sudah tidak sabar ingin bertemu dengan camer – calon mertua.
“Belum datang.” Kata Fatimah sambil berjalan bersama menuju ruang tamu.
“Jadi, sama siapa di sini?”
“Sama adik, Bi Inah dan itu ada adik sepupu baru datang tadi siang.” Jawab Fatimah.
Bi Inah adalah pembantu di rumah Fatimah sejak ia masih Putih Abu-Abu – SMA, hingga ia selesai kuliah.
Dikran duduk di ruang tamu. Sedangkan Fatimah menuju dapur, membuatkan secangkir kopi kesukaan Dikran. “Aku ke dapur bentar.” Kata Fatimah pamit. “Paling sebentar lagi Ayah sama Ibu datang.” Lanjutnya.
“Oke. Jangan lama-lama di dapurnya.”
Hitungan detik Fatimah sudah sampai di dapur. Di sana, Bi Inah sedang sibuk nyupir – nyuci piring. Sedangkan, di ruang tamu, Dikran sedang sibuk dengan Hp-nya. Ia fokus membaca informasi yang dibagikan di grup WA-nya.
“Fokus kali Chattingannya.” Kata Fatimah sambil meletakkan secangkir kopi di meja raung tamu.
“Ah, nggak. Cuma ada sedikit informasi ini.” Kata Dikran sambil meletakkan Hp-nya di dekat secangkir kopi yang sekarang ada di depannya.
“Informasi tentang apa?” Tanya Fatimah ingin tahu.
“Mau tau aja, atau mau tau banget?” Dikran bercanda.
“Hahahaa….” Fatimah tertawa melihat Dikran saat mengucapkan kata-kata tersebut.
“Kok, malah ketawa sih?” Dikran bertanya balik.
“Nggak pa-pa. Lucu aja. Hahahaa…” Lagi-lagi Fatimah tertawa.
“Hahaha…” Tanpa dikomandoi, Dikran pun ikut tertawa. “Aku minum kopinya ya?” Dikran sambil menunjuk kea rah secangkir kopi yang ada di depannya.
“Kan ini di buat untuk calon suami.” Kata Fatimah.
“Calon suami siapa?” Tanya Dikran dengan lembut.
“Calon suamiku lah…”
“Siapa orangnya?”
“Orang yang mau pertama kali menyeruput kopi ini.” Jawab Fatimah sambil menunjuk ke secangkir kopi tersebut.
Dengan sigap dan cepat, lebih cepat dari getaran detik jam yang menempel di raung tamu, Dikran langsung menyeruput secangkir kopi itu, “Ssrruuuppp…” Terdengar suara seruputannya dengan nada yang khas.
“Hahaha…” Fatimah tertawa lagi melihat tingkah laku lucu Dikran.
Untung saja lidah dan bibir Dikran sudah terbiasa dengan panasnya kopi. Seni meniup panas dan cara menyeruputnya pun membuat secangkir kopi panas terasa menjadi dingin.
Akhh… Nikmat.” Puji Dikran. Kembali ia menyeruput kopi ke dua kalinya, “SsrruuupppAkhh… Nikmat. Memang kopi ternikmati itu, kopi buatan Kohati – HMI-Wati.” Dikran memuji lagi secangkir kopi buatan Fatimah. Dikran meletakkan kembali secangkir kopi tersebut di meja.
Di ruang tamu, Dikran dan Fatimah membicarakan banyak. Terkait mengenai hasil pembicaraan Fatimah dengan Orangtuanya diceritakannya kepada Dikran. Biaya atau uang yang diminta Orangtuanya Fatimah sangat besar jika mau menikahi Fatimah.
“Kata Ayah, kamu harus bisa menyediakan lima puluh juta.” Fatimah menceritakan pada Dikran.
Buset…” Dikran terkejut. “Itu mau jual anak atau mau menikahkan.” Lanjutnya.
“Husshh…”
“Banyak kali.”
“Pandai-pandai kamu lah biar kita tetap jadi.” Kata Fatimah.
Dikran pun menjelaskan suatu rencana lobi-lobi pada Orangtuanya Fatimah. Fatimah setuju-setuju saja, asal tetap bisa menikah dengan Dikran. Fatimah juga sebenarnya tidak sepakat dengan tradisi-tradisi yang sangat memberatkan itu. Apa pun alasannya, dan untuk apa pun digunakan uang tersebut. Baginya, menikah itu tidak rumit. Jika terpenuhi syarat-syarat sebagaimana ajaran agama, itu sudah cukup. Mengenai adat, tidaklah menjadi syarat supaya jadinya pernikahan.

Baca juga: Maaf Kanda, Aku Tak Bisa Jadi Timses!
Pernikahan bukan lah ajang unjuk diri bisa berpesta dengan meriah. Pernikahan juga bukan memerkan betipa tingginya kelas sosial suatu keluarga. Tradisi-tradisi tersebut, menurutnya layak untuk dibuang ke tong sampah. Bisa pesta, ya syukur. Tidak bisa pesta meriah, ya seadanya aja – syukuran.
Setengah jam Dikran mendiskusikan rencanya kepada Fatimah. Dikran memohon maaf apabila nanti ada sedikit menyinggung hati. Fatimah pun manut – mau dan nurut saja. Dalam suatu perjuangan pasti ada sesuatu yang harus dikorbankan.
Di luar terdengar gerbang rumah di buka. Orangtuanya Fatimah sudah datang. Dikran dan Fatimah sudah siap-siap untuk menyambutnya.
Assalamu’alaikum…” Orangtua Fatimah pun masuk.
Wa’alaikumsalam...” Dikran dan Fatimah menjawab sama.
Tanpa harus ada komando dari pihak mana pun, Dikran langsung menyalami kedua Orangtua Fatimah.
Ayah dan Ibunya sudah kenal Dikran. Beberapa kali Dikran dan teman-teman yang lain pernah bersilaturahmi ke rumah Fatimah. Ayah dan Ibunya sudah paham apa maksud kedatangan Dikran sore itu.
Ayah Fatimah langsung duduk di bangku ruang tamu, di sebelah Dikran duduk. Sedangkan, Ibunya Fatimah pergi sebentar ke kamar, kemudian dalam hitungan menit kembali lagi.
“Sudah lama?” Tanya Ayahnya Fatimah.
“Sudah, Pak.” Jawab Dikran dengan sedikit nervous.
“Apa maksud Nak Dikran bertamu sore-sore begini?” Tanya Ibunya Fatimah langsung.
“Begini Bu, Pak, mungkin Bapak sama Ibu sudah tahu maksud kedatangan Dikran ke mari. Mohon maaf juga, seharusnya saya membawa perwakilan keluarga saya. Mohon maaf sekali lagi, Ibu saya belum bisa ikut.” Kata Dikran menjelaskan.
“Iya. Kami bisa pahami itu.” Ayahnya Fatimah menanggapi dengan santai.
“Begini Pak, Bu. Saya hendak menikahi putri Bapak dan Ibu, Fatimah.” Dikran dengan penuh keberanian mengatakannya. Hampir saja sedikit keringat di keningnya menetes menyentuh lantai.
“Ya. Fatimah juga sudah menceritakannya.” Kata Ibunya. “Mungkin Fatimah juga sudah menceritakan terkait mengenai…” Ibunya Fatimah tidak melanjutkan karena menurutnya Dikran pasti sudah tahu.
Dikran menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia berani berbicara, “Mohon maaf Pak, Bu. Bukan saya tidak mampu memenuhi hal tersebut. Akan tetapi, jumlah tidak sebanding dengan dengan putri Bapak dan Ibu.” Suaranya agak takutan.

Baca juga: Merawat Kapal Tua
Ayahnya Fatimah terlihat marah. Tapi ia tahan karena tidak mau terlihat garang. Ibunya Fatimah sebenarnya ingin mengusir Dikran, karena terlalu lantang mengatakan demikian tadi. Ayahnya Fatimah pun bertanya, “Menurutmu terlalu mahal?”
“Iya, Pak. Mohon maaf sekali.” Jawab Dikran. “Jujur Pak, Bu. Saya sangat mencintai Fatimah walau banyak kekurangannya. Apalagi nanti ketika berkeluarga. Banyak hal yang harus ia pelajari.” Lanjut Dikran.
“Maksud bagaimana?” Tanya Ayahnya sedikit suara keras. “Kamu mengatakan bahwa Fatimah banyak kekurangan? Hah!” Wajah Ayah Fatimah mulai merah.
“Secara fisik tidak ada yang kurang Pak. Fatimah normal dan tidak ada kecacatannya. Selama yang boleh terlihat, semuanya lengkap, Pak.” Kata Dikran sopan. “Tapi, dalam kemampuannya, Fatimah banyak kekurangannya. Saya sudah mengenalnya lama, bukan setahuan atau dua tahun, Pak, Bu. Saya mengenalnya menuju lima tahun.” Lanjut Dikran.
Fatimah hanya diam saja. Ia tidak banyak mencampuri percakapan antara Dikran, Ayah dan Ibunya.
“Maksud kekurangan seperti apa?” Sekarang Ibunya Fatimah yang bertanya.
“Begini, Bu. Ini mohon maaf sekali. Fatimah itu tidak bisa memasak, padahal ketika jadi istri, ia harus bisa memasak. Karena tidak mungkin lebih enak makanan yang dimasak orang daripada seorang istri. Bahkan, menghidupkan kompor gas pun, Fatimah tidak bisa. Selain itu, Fatimah membaca Qur’annya sangat kurang. Dan banyak hal lainnya, Bu, Pak. Tidak mungkin saya membongkar apa yang menjadi kekurangan orang yang saya sayangi dan cintai.” Jawab Dikran dengan wajah meyakinkan dan memandang Fatimah.
Sebenarnya Fatimah sudah bisa baca Qur’an. Memang sebelum ia ber-HMI, ia tidak bisa. Setelah ber-HMI, makanya Fatimah bisa membaca Al-Qur’an, tapi ayah dan ibunya tidak tahu. Wajarlah, tidak sempat mengurus anak karena sibuk bekerja.

Baca juga: Marx Masuk HMI
Ibunya hendak marah, begitu juga dengan ayahnya Fatimah. Tapi, apa boleh dikata. Mereka sadar terlalu memajakan Fatimah. Sehingga, hal-hal yang berkaitan dengan yang dikatan Dikran tidak bisa ia lakukan. Ibunya sadar, sebagai seorang ibu, ia tidak sempat mendidik anak di rumah. Bahkan, ia tidak tahu perkembangan Fatimah setelah masuk HMI.
Fatimah masih tertunduk dan terdiam. Tidak berani mengatakan apa-apa. Ia biarkan saja Dikran berkata sesuka hatinya, asal bisa bersamanya.
“Uang itu kan juga untuk kalian. Membuat pesta yang mewah dan meriah.” Kata Ibunya Fatimah. “Tapi coba dulu kita tanyakan sama Fatimah, apakah dia ingin pesta yang mewah dan meriah.” Kata Ibunya sambil menatap ke wajah putrinya.
Tanpa menunggu pertanyaan muncul, langsung saja Fatimah berucap, “Tidak perlu pesta-pesta meriah dan mewah, Bu. Tidak perlu ada pesta juga tidak akan membatalkan pernikahan kami, Bu, Pak.” Fatimah menatap Ayah dan Ibunya, dengan raut wajah meminta restu dengan mengurangi jumlah yang besar tadi.
Sempat juga ayahnya Fatimah bertanya terkait, apa yang menjadi mahar dari Dikran. Fatimah menjawab, bahwa maharnya sangat sederhana dan mudah sekali. Hanya seperangkat alat shalat dan ditambah kesetiaan sampai akhir hayat mereka.
Entah darimana bisikan datang, tiba-tiba saja ibunya terharu dengan kata-kata anaknya. Tapi, tidak terlalu ia perlihatkan.
“Fatimah sangat mencintai Dikran, Pa, Ma.” Kata Fatimah kembali menatap kedua Orangtuanya. “Kami tidak butuh pesta meriah, mewah dan hal-hal yang memberatkan kami. Apalagi memberatkan Dikran.” Lanjut Fatimah.
Mendengar suara putri mereka, emosi ayah dan ibunya Fatimah pun turun menjadi sejuk. Kembali mereka menarik diri kebelakang, atas ketidak-perhatiannya kepada pertumbuhan anak mereka. Mereka berpikir dengan apa yang mereka berikan segalanya secara materi, akan membuat anak mereka berkualitas dan bahagia. Akan tetapi, membuat mereka tidak bisa menjadi sebenarnya manusia. Tidak bisa mandiri dan menjadi manja. Untung saja, Fatimah masuk di HMI. Ia bisa banyak hal, setelah di HMI.

Baca juga: Semangka HMI
Merasa mereka kalah dan tidak punya kata-kata lagi, ayahnya Fatimah pura-purang mengangkat telepon kemudian masuk ke dalam kamarnya. Ibunya pura-pura mencari Bi Inah. Tinggallah Dikran dan Fatimah di ruang tamu. Wajah Dikran yang awalnya optimis, berubah menjadi lesu dan bingung hendak apa yang mau dilakukan lagi. Fatimah juga tidak tahu hendak berbuat apa. Ia juga khawatir tidak bisa bersama Dikran, karena Orangtuanya belum memberikan persetujuan.
***
Beberapa hari kemudian setelah lobi-lobi itu, mereka mendapat persetujuan juga. Bahkan Dikran hanya disuruh ayahnya Fatimah, hanya memenuhi mahar yang diminta oleh Fatimah. Orangtuanya sadar, jika Fatimah bersama Dikran, putri mereka tersebut akan bahagia dan dapat dibimbing oleh Dikran ke jalan yang baik.
Orangtuanya Fatimah pun menikah putrinya pada Dikran. Bahkan, ayah dan ibunya Fatimah membiayai pesta pernikahan Dikran dan Fatimah. Tidak ada uang dari Dikran, kecuali biaya-biaya kecil lainnya.
Do’a ibunya Dikran ternyata terkabul juga. Saat pernihakan, Ibunya Dikran terlihat tersenyum bahagia. Adiknya Dikran pun tidak pernah bosan-bosan memeluk Fatimah. Ayah dan Ibu Fatimah mengundangi tamu-tamu terhormat.

Baca juga: Bidadari Nyasar Di HMI
Pesta pernikahan mereka sebagaimana permintaan Dikran dan Fatimah. Tidak terlalu mewah, hanya sekedarnya saja. Teman-teman mereka dari HMI berdatangan mengucapkan selamat dan memberikan kado pada mereka. Muts (Peci) terpasang gagah dikepala Dikran. Gordon HMI, melingkar indah di leher Dikran dan Fatimah. Hasil memang tidak pernah menghianati proses.
Mereka pun sah menjadi suami istri. Hidup bahagia dalam naungan cinta. Dan tidak tergantung kepada materi yang memberatkan mereka. Kesederhanaan sudah cukup bagi mereka. Tidak perlu melimpah harta kekayaan. Yang terpenting, cinta dan kasih sayang menjadi pondasi Dikran dan Fatimah, bukan yang lain-lain.[]

Penulis: Ibnu Arsib (Bukan siapa-siapa, hanya manusia biasa).


Ket.gbr: Ilustration
Sbr.gbr: http://picdeer.com/
Nb: Cerita di atas merupakan fiksi. Apabila ada kesamaan nama dan cerita kami mohon maaf, karena bukan kesengajaan.

No comments:

Post a Comment