Maaf Kanda, Aku Tak Bisa Jadi Timses! - Yakusa Blog

Yakusa Blog

Mewujudkan Komunitas Intelektual Muslim

Tuesday, 26 February 2019

Maaf Kanda, Aku Tak Bisa Jadi Timses!


YakusaBlog- Hp-nya berbunyi sudah seribu kali. Hanafi tetap saja tidak mengangkat ketika abangnya menelfon sampai ia selesai menyampaikan materi diskusi yang dilakukan oleh salah satu HMI Komisariat yang ada di Cabangnya. Ia tahu apa kepentingan abangnya menelfon. Lagi-lagi abangnya meminta supaya ia turun untuk mengkampanyekan ayah mereka yang menjadi Calon Legislatif untuk di kabupaten mereka.
“Iya, Bang.” Hanafi mengangkat telfon yang kesebelas setelah ia selesai menyampaikan materi.
“Assalamu’alaikum…” Salam dari abangnya.
“Wa’alaikumsalam. Iya, Bang. Ada apa?” Tanya Hanafi.
“Kapan kau pulang ke mari untuk bantu-bantu Ayah di Pemilu ini?”
“Haruskah aku ulangi bahwa aku tidak bisa jadi Timses.” Kata Hanafi. (Timses adalah akronim dari Tim Sukses)
“Ini Ayah loh yang main Caleg, masa kau nggak bantu ayahmu sendiri.” Kata abangnya lagi.
Hanafi tidak ingin terdengar oleh beberapa teman-temannya dan juga oleh pengurus-pengurus komisariat yang mengundangnya jadi pemateri diskusi, ia pun pergi sedikit menjauh dari kumpulan yang ada di dalam suatu ruangan tersebut. Katakanlah sekretaria pengurus komisariat yang mengundangnya jadi pemateri. Ia pun pamit sebentar untuk melayani abangnya lewat Hp.


Baca juga Cerpen: Merawat Kapal Tua
“Abang kan tahu bahwa aku ini masih kader. Bukankah di HMI kita diajarkan untuk independen. Baik etis mau pun organisatoris. Rasanya tidak etis sekarang jika aku terlibat dalam politik praktis jika masih menjadi seorang kader HMI. Abang pasti tahu itu. Abangkan duluan ber-HMI daripada aku. Toh Ayah juga tidak ada memintaku menjadi tim suksesnya.” Hanafi menanggapi.
Abangnya tidak bisa berkata-kata lagi. Hanya suara tarikan nafas yang terdengar dengan penuh aroma kesal.
“Walau Ayahmu sendiri, kau tetap tidak bisa?” Tanya abangnya lagi.
“Jawabanku tidak berubah, Bang. Sampaikan maafku pada ayah. Aku tidak menjadi bagian dari Timses bukan berarti aku tidak sayang padanya.”
“Ah, kau ini.” Abangnya tambah kesal. “Di sini saja, banyak kader-kader HMI yang terlibat politik praktis. Menjadi bagian timses dari salah satu calon. Bahkan mereka mau menjadi buruhnya para calon.” Lanjut abangnya.
Sebenarnya ia tidak ingin banyak berdebat dengan abangnya. Mereka sama-sama tahu, bahwa yang dilakukan kader-kader HMI yang baru disebutkan tadi adalah tindakan yang salah. Tindakan yang mencoreng independensi HMI. Terlibat dalam politik praktis, apalagi mengharapakan uang berbau amis, tidaklah dibenarkan di HMI. Siapa pun yang menjadi calonnya, tidak ada keterkecualiaan.
“Mereka itu kan jadi tim sukses karena mengharapak uang. Mengharapakan sesuatu yang bisa memenuhi keinginan mereka. Ada juga supaya terlihat jadi politisi, padahal ia tidak tahu itu adalah jurang.” Hanafi menanggapi.
Sambil bercakap-cakap dengan abangnya lewat Hp-nya, Hanafi beberapa kali menyulutkan sebatang rokok. Ia hembuskan dengan rasa kekesalan karena perdebatan dengan abangnya beberapa hari ini terkait masalah pencalonan ayah mereka.
“Kau makan dari siapa, Fi?” Nampaknya abangnya menyerang kelebih personal. “Uang dari siapa?” Lanjut abangnya dengan suara berat.
“Tidak ada hubungannya dengan itu, Bang. Jika memang gara-gara aku tidak menjadi timses, kemudian tidak dikasih biaya kehidupanku, tidak masalah bagiku.” Jawab Hanafi dengan nekat. “Kasih saja uang itu pada penjilat-penjilat itu. Aku bisa cari sendiri di sini tanpa harus meminta pada ayah. Apalagi tanpa harus mengemis-ngemis ke politisi-politisi.”
“Saat ini banyak juga kader-kader HMI yang dimanfaatkan oleh alumni-alumninya dan membawa mereka ke politik praktis.” Kata abangnya.
“Aku tidak ada waktu untuk berdiskusi dengan Abang tentang hal itu. Sekarang aku sedang mengisi materi diskusi di sini. Assalamu’alaikum…” Hanafi langsung menutup Hp-nya.
“Nafi… Hanafi…” Abang berteriak memanggil di belahan bumi sana.
Hanafi menghembuskan nafas lagi. Menenangkan tarikan nafasnya yang sempat naik-turun dengan ketidak-nyamanan karena diajak berdebat oleh abangnya. Ia mengantongi Hp-nya kemudian menghisap rokok dengan kenikmatan yang terpaksa. Rasanya sebatang rokok itu tidak ada rasanya lagi. Ternyata, secara tidak sadar, apai rokok sudah menyentuh filter.
“Maaf Kanda, aku tidak bisa membantumu di politik praktis ini. Maaf kanda, aku tidak bisa memenuhi permintaanmu.” Hanafi berkata dengan pelan.
Kata maaf yang pertama itu adalah untuk ayahnya sendiri yang menjadi Calon Legislatif (Caleg). Ayahnya seorang alumni HMI dari salah satu Cabang HMI yang ada Pulau Jawa. Yang kedua, maaf kepada abangya yang juga alumni HMI dari Cabangnya sendiri. Bahkan, satu komisariat dengan abangnya.
Baca juga Cerpen: Melati Yang Melawan
Ia pun melangkahkan kami bergabung kembali bersama teman-temannya, dengan peserta diskusi yang di isinya kali itu.
Saat ia duduk, tiba-tiba saja salah satu dari sekumpulan itu bertanya, “Siapa yang ngajak dari Timses, Bang?”
“Tadi, Abangku nelfon. Dia nyuruh balik ke kampung untuk bantu Ayahku pencalonannya. Menjadi Timsesnya Ayah.” Jawab Hanafi.
“Kenapa tidak mau, Bang?” Tanyanya. “Padahal itu kan ayahnya abang yang mau main.” Lanjutnya dengan alasan.
“Dengar biar aku kasih tahu sama teman-teman semua. Juga siapa pun yang ada di Indonesia ini. Jika kita masih berproses di HMI, aktif di HMI, mari hindari politik praktis.” Ia terdiam sejenak. “Tidak peduli itu ayah kita, abang kita, alumni kita, bahkan hantu-blau sekali pun.” Ia berbicara sambil menatap ke teman-temannya.
“Apakah karena kita harus independen? Menjaga independensi HMI?” Tanya seseorang lagi.
“Ya. Tepat sekali.” Jawabnya, kemudian terdiam lagi. Ia mengambil sebatang rokok kemudian membakar dan menghisapnya. Kali ini dengan penuh nikmat sambil melanjutkan kata-katanya, “Jangan gara-gara uang receh, independensi tergadaikan. Jika mau berpolitik ada saatnya. Kita harus sabar. Tapi ingat, ketika berpolitik, kita harus berpolitik secara benar.”
Teman-temannya terdiam mendengarkan Hanafi. Terlihat ada rasa salut dan kagum dari pandangan mata mereka. Sebagain ada yang merasa tersindir karena telah terjebak dalam politik praktis.
“Sadar atau tidak sadar. Kondisi saat ini sangat memprihatinkan.” Kata Hanafi.
“Maksud, Abang?” Tanya seseorang.
“Ya, ada yang sadar terlibat di dalamnya karena mengharapkan sesuatu, katakanlah itu mengharapkan segudang uang dan segunung emas.”
“Hahaha…” mereka tertawa.
“Eh, dapatnya bukan segudang uang dan segunung emas….” Seseorang menimpali.
“Trus… dapat seberapa?” Kali ini Hanafi yang bertanya dengan senyuman.
“Paling hanya sekali makan. Hahaha… independensi sudah tergadaikan.” Seorang temannya tadi menjawab.
Sudah entah berapa kali mereka tertawa bersama. Sudah entah berapa batang rokok bersarang di dalam asbak. Kopi menjadi teman penikmat diskusi mereka waktu itu. Dan independensi yang harus dipertahankan menjadi sesuatu harta yang termahal bagi mereka. Karena mereka yakin, independensi adalah salah satu kunci terkuat HMI.
“Berarti…” Seseorang temannya tiba-tiba berkata dengan nada penasaran yang terpotong.
“Berarti apa…?” Tanya Hanafi.
“Berarti, Abang nanti tidak ikut memilih ayanya Abang?” Tanya temannya lagi.
“Boy… boy…” Teman Hanafi yang lain yang sedari tadi tidak ikut angkat bicara tiba-tiba saja ikut nimbrung. “Menjadi timses dan memilih itu, sesuatu hal yang berbeda.”
“Ya. Tidak menjadi timses, bukan berarti tidak memilih. Dan siapa yang menjadi pilihan kita, simpan saja dalam hati. Saat tiba waktunya, biarlah ia terbuktikan saat di tempat memilih. Tidak perlu jadi timses toh.” Kata Hanafi sambil menikmati secangkir kopi. “Independensi tetap harus dipertahankan. Ia salah satu harta termewah kita. Jika harta termewah ini hilang, maka miskinlah HMI ini.” Hanafi menyeruput kopinya lagi yang belum sempat ia letakkan.
Malam itu pun mereka isi dengan berbagi wawasan. Masing-masing mengeluarkan pendapat mereka lengkap dengan referensi yang mereka baca. Teman-teman yang HMI-Wati satu per satu pulang ke tempatnya masing-masing karena malam sudah mulai larut. Banyak hal yang mereka bahas, mulai dari hal-hal yang praktis, tekhnis, ideologis hingga filosofis. Terkadang ada cerita-cerita lucu mereka dengarkan dari Hanafi dan setiap mereka mempunya cerita lucu atau apalah, sehingga membuat suasana yang kental, mencair lagi.[]

Penulis: Ibnu Arsib (Bukan siapa-siapa, hanya manusia biasa).


ket.gbr: Ilustration
Sbr.gbr: bhttps://www.saluransebelas.com/
NB: Apabila ada kesamaan nama, kami mohon maaf, itu bukan merupakan kesengajaan.

1 comment: