YakusaBlog- Hp-nya
berbunyi sudah seribu kali. Hanafi tetap saja tidak mengangkat ketika abangnya
menelfon sampai ia selesai menyampaikan materi diskusi yang dilakukan oleh
salah satu HMI Komisariat yang ada di Cabangnya. Ia tahu apa kepentingan
abangnya menelfon. Lagi-lagi abangnya meminta supaya ia turun untuk
mengkampanyekan ayah mereka yang menjadi Calon Legislatif untuk di kabupaten
mereka.
“Iya,
Bang.” Hanafi mengangkat telfon yang kesebelas setelah ia selesai menyampaikan
materi.
“Assalamu’alaikum…”
Salam dari abangnya.
“Wa’alaikumsalam.
Iya, Bang. Ada apa?” Tanya Hanafi.
“Kapan
kau pulang ke mari untuk bantu-bantu Ayah di Pemilu ini?”
“Haruskah
aku ulangi bahwa aku tidak bisa jadi Timses.” Kata Hanafi. (Timses adalah
akronim dari Tim Sukses)
“Ini
Ayah loh yang main Caleg, masa kau nggak bantu ayahmu sendiri.” Kata abangnya
lagi.
Hanafi
tidak ingin terdengar oleh beberapa teman-temannya dan juga oleh
pengurus-pengurus komisariat yang mengundangnya jadi pemateri diskusi, ia pun
pergi sedikit menjauh dari kumpulan yang ada di dalam suatu ruangan tersebut.
Katakanlah sekretaria pengurus komisariat yang mengundangnya jadi pemateri. Ia
pun pamit sebentar untuk melayani abangnya lewat Hp.
Baca juga Cerpen: Merawat Kapal Tua
“Abang
kan tahu bahwa aku ini masih kader. Bukankah di HMI kita diajarkan untuk
independen. Baik etis mau pun organisatoris. Rasanya tidak etis sekarang jika
aku terlibat dalam politik praktis jika masih menjadi seorang kader HMI. Abang
pasti tahu itu. Abangkan duluan ber-HMI daripada aku. Toh Ayah juga tidak ada
memintaku menjadi tim suksesnya.” Hanafi menanggapi.
Abangnya
tidak bisa berkata-kata lagi. Hanya suara tarikan nafas yang terdengar dengan
penuh aroma kesal.
“Walau
Ayahmu sendiri, kau tetap tidak bisa?” Tanya abangnya lagi.
“Jawabanku
tidak berubah, Bang. Sampaikan maafku pada ayah. Aku tidak menjadi bagian dari
Timses bukan berarti aku tidak sayang padanya.”
“Ah,
kau ini.” Abangnya tambah kesal. “Di sini saja, banyak kader-kader HMI yang
terlibat politik praktis. Menjadi bagian timses dari salah satu calon. Bahkan
mereka mau menjadi buruhnya para calon.” Lanjut abangnya.
Sebenarnya
ia tidak ingin banyak berdebat dengan abangnya. Mereka sama-sama tahu, bahwa
yang dilakukan kader-kader HMI yang baru disebutkan tadi adalah tindakan yang
salah. Tindakan yang mencoreng independensi HMI. Terlibat dalam politik
praktis, apalagi mengharapakan uang berbau amis, tidaklah dibenarkan di HMI.
Siapa pun yang menjadi calonnya, tidak ada keterkecualiaan.
“Mereka
itu kan jadi tim sukses karena mengharapak uang. Mengharapakan sesuatu yang
bisa memenuhi keinginan mereka. Ada juga supaya terlihat jadi politisi, padahal
ia tidak tahu itu adalah jurang.” Hanafi menanggapi.
Sambil
bercakap-cakap dengan abangnya lewat Hp-nya, Hanafi beberapa kali menyulutkan
sebatang rokok. Ia hembuskan dengan rasa kekesalan karena perdebatan dengan
abangnya beberapa hari ini terkait masalah pencalonan ayah mereka.
“Kau
makan dari siapa, Fi?” Nampaknya abangnya menyerang kelebih personal. “Uang
dari siapa?” Lanjut abangnya dengan suara berat.
“Tidak
ada hubungannya dengan itu, Bang. Jika memang gara-gara aku tidak menjadi
timses, kemudian tidak dikasih biaya kehidupanku, tidak masalah bagiku.” Jawab
Hanafi dengan nekat. “Kasih saja uang itu pada penjilat-penjilat itu. Aku bisa
cari sendiri di sini tanpa harus meminta pada ayah. Apalagi tanpa harus
mengemis-ngemis ke politisi-politisi.”
“Saat
ini banyak juga kader-kader HMI yang dimanfaatkan oleh alumni-alumninya dan
membawa mereka ke politik praktis.” Kata abangnya.
“Aku
tidak ada waktu untuk berdiskusi dengan Abang tentang hal itu. Sekarang aku
sedang mengisi materi diskusi di sini. Assalamu’alaikum…” Hanafi langsung
menutup Hp-nya.
“Nafi…
Hanafi…” Abang berteriak memanggil di belahan bumi sana.
Hanafi
menghembuskan nafas lagi. Menenangkan tarikan nafasnya yang sempat naik-turun
dengan ketidak-nyamanan karena diajak berdebat oleh abangnya. Ia mengantongi
Hp-nya kemudian menghisap rokok dengan kenikmatan yang terpaksa. Rasanya
sebatang rokok itu tidak ada rasanya lagi. Ternyata, secara tidak sadar, apai
rokok sudah menyentuh filter.
“Maaf
Kanda, aku tidak bisa membantumu di politik praktis ini. Maaf kanda, aku tidak
bisa memenuhi permintaanmu.” Hanafi berkata dengan pelan.
Kata
maaf yang pertama itu adalah untuk ayahnya sendiri yang menjadi Calon
Legislatif (Caleg). Ayahnya seorang alumni HMI dari salah satu Cabang HMI yang
ada Pulau Jawa. Yang kedua, maaf kepada abangya yang juga alumni HMI dari
Cabangnya sendiri. Bahkan, satu komisariat dengan abangnya.
Baca juga Cerpen: Melati Yang Melawan
Ia
pun melangkahkan kami bergabung kembali bersama teman-temannya, dengan peserta
diskusi yang di isinya kali itu.
Saat
ia duduk, tiba-tiba saja salah satu dari sekumpulan itu bertanya, “Siapa yang
ngajak dari Timses, Bang?”
“Tadi,
Abangku nelfon. Dia nyuruh balik ke kampung untuk bantu Ayahku pencalonannya.
Menjadi Timsesnya Ayah.” Jawab Hanafi.
“Kenapa
tidak mau, Bang?” Tanyanya. “Padahal itu kan ayahnya abang yang mau main.”
Lanjutnya dengan alasan.
“Dengar
biar aku kasih tahu sama teman-teman semua. Juga siapa pun yang ada di Indonesia
ini. Jika kita masih berproses di HMI, aktif di HMI, mari hindari politik
praktis.” Ia terdiam sejenak. “Tidak peduli itu ayah kita, abang kita, alumni
kita, bahkan hantu-blau sekali pun.” Ia berbicara sambil menatap ke
teman-temannya.
“Apakah
karena kita harus independen? Menjaga independensi HMI?” Tanya seseorang lagi.
“Ya.
Tepat sekali.” Jawabnya, kemudian terdiam lagi. Ia mengambil sebatang rokok
kemudian membakar dan menghisapnya. Kali ini dengan penuh nikmat sambil
melanjutkan kata-katanya, “Jangan gara-gara uang receh, independensi
tergadaikan. Jika mau berpolitik ada saatnya. Kita harus sabar. Tapi ingat,
ketika berpolitik, kita harus berpolitik secara benar.”
Teman-temannya
terdiam mendengarkan Hanafi. Terlihat ada rasa salut dan kagum dari pandangan
mata mereka. Sebagain ada yang merasa tersindir karena telah terjebak dalam
politik praktis.
“Sadar
atau tidak sadar. Kondisi saat ini sangat memprihatinkan.” Kata Hanafi.
“Maksud,
Abang?” Tanya seseorang.
“Ya,
ada yang sadar terlibat di dalamnya karena mengharapkan sesuatu, katakanlah itu
mengharapkan segudang uang dan segunung emas.”
“Hahaha…”
mereka tertawa.
“Eh,
dapatnya bukan segudang uang dan segunung emas….” Seseorang menimpali.
“Trus…
dapat seberapa?” Kali ini Hanafi yang bertanya dengan senyuman.
“Paling
hanya sekali makan. Hahaha… independensi sudah tergadaikan.” Seorang temannya
tadi menjawab.
Sudah
entah berapa kali mereka tertawa bersama. Sudah entah berapa batang rokok bersarang
di dalam asbak. Kopi menjadi teman penikmat diskusi mereka waktu itu. Dan independensi
yang harus dipertahankan menjadi sesuatu harta yang termahal bagi mereka. Karena
mereka yakin, independensi adalah salah satu kunci terkuat HMI.
“Berarti…”
Seseorang temannya tiba-tiba berkata dengan nada penasaran yang terpotong.
“Berarti
apa…?” Tanya Hanafi.
“Berarti,
Abang nanti tidak ikut memilih ayanya Abang?” Tanya temannya lagi.
“Boy…
boy…” Teman Hanafi yang lain yang sedari tadi tidak ikut angkat bicara
tiba-tiba saja ikut nimbrung. “Menjadi timses dan memilih itu, sesuatu hal yang
berbeda.”
“Ya.
Tidak menjadi timses, bukan berarti tidak memilih. Dan siapa yang menjadi
pilihan kita, simpan saja dalam hati. Saat tiba waktunya, biarlah ia
terbuktikan saat di tempat memilih. Tidak perlu jadi timses toh.” Kata Hanafi sambil
menikmati secangkir kopi. “Independensi tetap harus dipertahankan. Ia salah
satu harta termewah kita. Jika harta termewah ini hilang, maka miskinlah HMI
ini.” Hanafi menyeruput kopinya lagi yang belum sempat ia letakkan.
Malam
itu pun mereka isi dengan berbagi wawasan. Masing-masing mengeluarkan pendapat
mereka lengkap dengan referensi yang mereka baca. Teman-teman yang HMI-Wati
satu per satu pulang ke tempatnya masing-masing karena malam sudah mulai larut.
Banyak hal yang mereka bahas, mulai dari hal-hal yang praktis, tekhnis,
ideologis hingga filosofis. Terkadang ada cerita-cerita lucu mereka dengarkan
dari Hanafi dan setiap mereka mempunya cerita lucu atau apalah, sehingga
membuat suasana yang kental, mencair lagi.[]
Penulis:
Ibnu Arsib (Bukan siapa-siapa, hanya manusia biasa).
ket.gbr: Ilustration
Sbr.gbr: https://www.saluransebelas.com/
NB: Apabila ada kesamaan nama, kami mohon maaf, itu bukan merupakan kesengajaan.
Mantap sekali ini bacaan 😘😘
ReplyDelete