YakusaBlog- Sudah
tiga bulan lebih setelah wisuda, Nur berada di desanya. Kedua orangtuanya
menginginkannya supaya tetap tinggal di kota untuk bekerja. Nur memperoleh
Sarjana Pendidikan dari salah satu kampus negeri yang di Kota Medan. Akan tetapi,
ada sesuatu hal membuat ia menetapkan pilihan untuk tinggal di desanya yang
sangat tertinggal.
Belajar
di kampus dan berorganisasi di HMI selama empat tahun membuat mentalnya kuat serta
pengetahuan yang luas. Walau sebagai seorang perempuan, akan tetapi menurutnya
tidak ada halangan untuk mengabdi pada masyarakat. Baginya seorang perempuan
tidak harus ditempat di rumah saja yang hanya mengabdi pada suami. Walau ia
belum bersuami, ia tahu bahwa mengabdi pada suami adalah suatu kewajiban.
Pengetahuan itu ia dapatkan dalam training-training
HMI-Wati yang pernah ia ikuti. Baginya juga, ada kewajiban-kewajiban lain yang
bisa membantu kerja laki-laki untuk menegakkan kemaslahatan di tengah-tengah
masyarakat. Bukankah laki-laki dan perempuan sama di hadapan Tuhan, yang membedakannya
hanyalah takwa? Demikian falsafah hidup yang ia pegang terus hingga saat ini.
“Nur…”
Sapa ibunya saat selesai shalat maghrib.
“Iya,
Bu.” Jawabnya dengan suara ramah.
Kelembutan
parasnya sama selembut suaranya. Wajahnya yang putih selalu memancarkan cahaya
dikarenakan air wudhu selalu membahasahi. Wajahnya tidak pernah tersentuh oleh
lipstik kecuali hanya memakai bedak baby.
Bibir indahnya tetap merah walau tidak pernah tergores oleh gincu. Sewaktu
wisuda pun, Nur tetap mempertahankan kealamian wajahnya. Menurutnya cantik dari
dalam akan memancarkan kecantikan pada bagian luar fisiknya. Keramahan dan
kelembutannya adalah kunci kekuatannya. Mungkin pun setiap perempuan demikian,
tetapi banyak yang tertipu, sibuk memoles bagian luar, tapi lupa bagian dalam,
yaitu hati dan pikiran.
“Nur
kan sudah selesai kuliah?” Tanya ibunya.
“Sudah
dong, Bu. Kan Ibu sama Ayah datang waktu itu.” Jawabnya lembut dengan penuh
senyuman bibir yang alami.
“Maksud
Ibu, begini Nak.” Suara ibunya ramah. “Kamu kan sudah tamat dan sudah mendapat
gelar sarjana. Kenapa kamu tidak mencari pekerjaan atau menjadi guru di kota
saja. Di Medan, tempatmu kuliah kan pasti banyak sekolah yang menerima guru.”
Lanjut ibunya.
Baca juga Cerpen: Bidadari Nyasar Di HMI
Nur
hanya menatap ibunya yang sudah mulai terlihat garis keriput di wajah ibunya.
Nur hanya tersenyum manis tanpa menjawab.
“Kalau
kamu guru di sini, gajinya kecil. Apa lagi kamu tidak PNS.” Kata ibunya lagi.
Nur
pun mendekati ibunya sambil tersenyum manis. Mukenah yang ia pakai belum juga
ia lepaskan. Wajahnya tambah bercahaya dengan mukenah berwarna putih itu.
“Begini,
Bu. Di desa kita ini kan sangat kekurangan guru. Pak Umar, sebagai Kepala
Sekolah SD di desa kita ini membutuhkan guru.” Kali ini Nur memberikan
tanggapan lembut pada ibunya.
Pak
Umar adalah adalah gurunya Nur sewaktu dia masih SD di desanya. Pak Umar,
secara kekeluargaan masih dekat dengan mereka. Pak Umar bagi Nur bukan hanya
sekedar guru, tapi juga orang yang sangat berjasa padanya. Banyak menanamkan
motivasi agar ia kelak dapat menjadi guru. Sewaktu kuliah, Nur dan Pak Umar
sering berdiskusi tentang pendidikan ketika Nur pulang kampung saat libur
kuliah.
“Benar
itu kata ibumu, Nur.” Tiba-tiba ayahnya ikut nimbrung yang sedari tadi
mendengarkan dari raung tamu sambil menikmati secangkir kopi sambil memperbaiki
kacamatanya yang hampir rusak.
Nur
pun menatap ramah dan lembut pada ayahnya. Lagi-lagi senyuman indah yang penuh
cahaya itu tidak pernah hilang.
“Di
sini gajinya tidak seberapa, Nur. Guru honor itu gajinya kecil kali.” Kata
ayahnya.
“Nur
tidak cari gaji, Yah.” Kata Nur.
“Mana
ada guru yang tidak mengharapkan gaji saat ini.” Kata ayahnya.
“Nur
mau mengabdi di desa ini. di sekolah pertama Nur bisa membaca dan berhitung,
Ayah.” Kata Nur. “Bukan kah, Ayah dulu juga guru di SD yang ada di desa kita
ini?” Lanjut Nur bertanya dengan ramah.
Ayahnya
Nur dahulunya adalah guru honor di SD yang ada di desanya Nur. Karena gajinya
yang sedikit, tidak bisa membelanjai kebutuhan keluarga, akhirnya ayahnya Nur
beralih menjadi seorang petani biasa. Penghasilan dari petani biasa masih lebih
lumayan dari gajinya honornya. Akan tetapi, ayahnya Nur sangat menyukai
pendidikan. Sangat senang untuk mengajar anak-anak. Bagi ayahnya, anak-anak
adalah aset terbesar bangsa. Apabila aset tersebut tidak dijaga dan diberikan
pendidikan yang baik, maka negara dan bangsa akan hancur. Demikian falsafah
hidup yang dipegang oleh ayahnya.
Falsafah
yang mendarah daging itu, tumbuh dan berkembang menjadi gen dalam tubuhnya,
sehingga mengalir ke dalam dalam tubuhnya Nur. Falsafah itu hanya turun ke Nur
saja, tidak pada dua abangnya.
Sebenarnya
ayahnya bangga dengan pilihan Nur tersebut. Mengabdikan diri dalam dunia
pendidikan. Menjadi guru di desa kecil. Tidak mengejar gaji, sehingga
mengutamakan subtansi pendidikan daripada materi, serta membangun aset negara –
anak-bangsa. Akan tetapi, melihat ekonomi mereka yang sulit, melihat realita
yang ada, falsafah itu pun perlahan redup dari ayahnya. Belum lagi, pandangan
masyarakat di desanya, apabila sudah sarjana seharusnya harus tinggal di kota
serta bekerja di kota.
Falsafah
itu sebenarnya perlahan redup bukan karena realitas yang ada. Tapi, falsafah
yang mendarah daging itu perlahan turun secara sadar kepada putri kesayangannya
itu.
“Nur
mau mengabdi di desa ini, Ayah.” Kata Nur. “Nur mau buat les gratis di setelah
jam sekolah anak-anak.”
“Jaman
sekarang pengabdian itu tidak lagi bernilai, Nur.” Ayahnya menanggapi dengan
pesimis.
Bukan
hanya falsafah hidup yang ternyata meredup dari ayahnya. Jiwa-jiwa optimism juga
perlahan-lahan hilang dalam dunia pendidikan yang ia cintai.
Baca juga Cerpen: Semangka HMI
“Jaman
sekarang pendabdian itu tidak dihargai oleh banyak orang. Materi dan jabatan
adalah status disegani dan dihormati manusia jaman sekarang.” Ayahnya
melanjutkan kata-katanya tanpa memberikan waktu bicara kepada Nur.
“Atau
lebih baik Nur menikah saja…” Ibunya memberikan solusi yang sangat tidak
berhubungan dengan pembicaraan mereka.
Wajah
Nur mulai memerah. Matanya berkaca-kaca. Ia coba tutupi dengan senyuman dan
wajah yang ramah.
“Sebagai
orangtua, kami khawatir kamu tidak bahagia nantinya.” Ibu sekarang menatap Nur.
“Ayah…,
Ibu…” Kata Nur dengan suara lembut. “Pengabdian itu keberhasilannya bukan
perkataan atau puji-pujian dari orang. Pengabdian itu biarlah Tuhan sendiri
yang membalasnya. Dengan penuh keikhlasan dan rasa syukur hidup seadanya, insya Allah, Nur akan bahagia.” Nur
menatap sejuk ke ayah dan ibunya.
“Lihat
itu Si Siti, anaknya Bu Ani. Dia sudah selesai kuliah, dan sekarang bekerja di
kota. Gajinya besar dan kalau pulang sudah membawa mobil yang sangat bagus. Masyarakat
di sini pun sangat menghormati mereka. Masyarakat di sini salut pada Si Siti.”
Ibunya mulai membandingkan.
“Setiap
orang berbeda pilihannya, Bu. Nur, tidak ingin bekerja di kota atau mengajar di
kota, karena di desaku sendiri masih sangat tertinggal dalam dunia pendidikan. Apalagi
seperti kata Pak Umar, sangat membutuhkan guru.”
“Di
sini, kamu bisa buat apa, Nur? Paling-paling kamu bisanya ngajar seperti guru
yang ada di sini.” Kata ayahnya.
“Seperti
yang Nur sampaikan tadi, Yah. Setelah pulang sekolah, Nur mengajar lagi dengan
membuat les gratis.”
“Udah
gaji sedikit dari mengajar, malah buat les gratis pula.” Kata ibunya dengan
sinis. “Dari mana kamu mendapatkan uang untuk membiayayi les gratismu itu? Itukan
membutuhkan uang juga?” tanya ibunya menambahi.
“Membutuhkan
biaya, tapi tidak banyak, Bu.” Jawab Nur dengan ramah.
Sebanarnya
ayah dan ibunya malu kepada masyarakat karena Nur sudah sarjana, pilihannya malah
tinggal di kampung. Di desa Nur, masyarakatnya masih berpikiran terbelakang. Mereka
menganggap kalau sudah sarjana jangan tinggal lagi di kampung, tapi menetaplah
di kota.
Baca juga Cerpen: Marx Masuk HMI
Ayah
dan ibunya juga khawatir jika Nur tinggal di desa, siapa yang menjadi suaminya.
Sebagai perempuan yang sudah mendapat gelar sarjana, seharusnya ia juga
mendapatkan seorang laki-laki yang menjadi suaminya seorang sarjana juga. Suatu
tidak terbayangkan jika ia mendapatkan suami tidak bergelar sarjana. Demikianlah
cara pandang masyarakat di desanya, sehingga membuat orangtuanya khawatir.
Berbeda
dengan Nur, tradisi dan cara pandang yang buruk tersebut harus dibongkar. Harus
didobrak. Dan harus dibuang ke dalam tong sampah.
“Nur
mau membangun kampung kita ini, Ayah… Ibu.” Nur mendekati ayahnya.
“Dari
segi mana kamu mau membangun kampung mu ini?” Ayahnya bertanya.
“Dari
segi pendidikan. Mempersiapkan generasi yang berkualitas, Ayah.” Saat mengatakan
hal demikian pada ayahnya, ia pun teringat ketika mengucapkan demikian di
forum-forum HMI. Ia teringat pada janjinya lagi ketika ia terjun ke suatu
daerah kecil, yang mana pendidikannya sangat tertinggal. Tidak jauh berbeda
dengan pendidikan di desanya.
“Huh…
Kepala Desa di sini saja tidak peduli pada itu.” Kata ibunya kemudian
meninggalkan dia dan ayahnya.
“Ibu…”
Nur memanggil, tapi ibunya sudah berlalu meninggalkan mereka berdua.
Ayahnya
memandangi putrinya yang cantik itu tanpa senyuman lagi. Bidadari yang
dititipkan padanya. Dan Melati yang terus memberikan keindahan dalam kehidupan.
“Kalau
bukan anak desa sini yang membangun desa kita, siapa lagi, Yah. Tidak mungkin
dan sangat susah terjadi jika ada orang luar yang tiba-tiba mengabdi membangun
desa kita ini.” Nur meneguhkan prinsipnya di depan ayahnya.
Perlahan-lahan
Sang ayah meninggalkan Nur diam berdiri sendiri. “Ayah…” suara Nur mencoba
menghentikan langkah ayahnya, tapi tetap saja tidak berhasil.
Nur
merasakan adanya penolakan dari kedua orantuanya atas pilihan yang ia tetapkan.
Nur pun masuk ke kamarnya. Di dalam kamarnya ia memandangi foto-fototnya ketika
ber-HMI, ia pernah membentuk kelompok bersama teman-temanya untuk membuka les
privat gratis kepada anak-anak yang tidak mampu untuk mengikuti les privat yang
biayanya mahal.
Ia
pandangi lagi anak-anak yang mereka ajari di rumah yang mereka sewa bersama
teman-temannya. Ia tersenyum melihat seorang anak tertawa begitu bahagian
ketika belajar bersamanya. Terlihat lagi foto seorang anak perempuan tertawa
bahagian saat bermain dengannya setelah belajar.
Baca juga Cerpen: Merawat Kapal Tua
Foto-foto
itu pun menguatkan prinsipnya walau kedua orangtuanya tidak sependapat
dengannya. Foto-foto itulah yang menjadi pendukung saat itu.
Sesuai
apa yang dikatakannya pada kedua orangtuanya, ia pun menjadi guru SD di desanya
dan membuat les gratis. Ia mendapatkan kebahagiaan saat mengajar dan bermain
bersama anak-anak. Melati itu pun tetap melawan cara pandang masyarakat di desa
bahwa sarja itu harus tinggal di kota. Melati itu tetap teguh pada
pendiriannya. Walau hidup sederhana, Melati itu tetap optimis mengajari
anak-anak sebagai aset bangsa di masa depan.[]
Penulis:
Ibnu Arsib (Bukan siapa-siapa, hanya manusia biasa).
Ket.gbr: Ilustration
Sbr.gbr: https://www.rumahdesainminimalis.com/
Nb: Apabila ada unsur kesamaan nama, kami mohon maaf bukan karena unsur kesengajaan.
No comments:
Post a Comment