Melati Yang Melawan - Yakusa Blog

Yakusa Blog

Mewujudkan Komunitas Intelektual Muslim

Saturday 23 February 2019

Melati Yang Melawan


YakusaBlog- Sudah tiga bulan lebih setelah wisuda, Nur berada di desanya. Kedua orangtuanya menginginkannya supaya tetap tinggal di kota untuk bekerja. Nur memperoleh Sarjana Pendidikan dari salah satu kampus negeri yang di Kota Medan. Akan tetapi, ada sesuatu hal membuat ia menetapkan pilihan untuk tinggal di desanya yang sangat tertinggal.
Belajar di kampus dan berorganisasi di HMI selama empat tahun membuat mentalnya kuat serta pengetahuan yang luas. Walau sebagai seorang perempuan, akan tetapi menurutnya tidak ada halangan untuk mengabdi pada masyarakat. Baginya seorang perempuan tidak harus ditempat di rumah saja yang hanya mengabdi pada suami. Walau ia belum bersuami, ia tahu bahwa mengabdi pada suami adalah suatu kewajiban. Pengetahuan itu ia dapatkan dalam training-training HMI-Wati yang pernah ia ikuti. Baginya juga, ada kewajiban-kewajiban lain yang bisa membantu kerja laki-laki untuk menegakkan kemaslahatan di tengah-tengah masyarakat. Bukankah laki-laki dan perempuan sama di hadapan Tuhan, yang membedakannya hanyalah takwa? Demikian falsafah hidup yang ia pegang terus hingga saat ini.
“Nur…” Sapa ibunya saat selesai shalat maghrib.
“Iya, Bu.” Jawabnya dengan suara ramah.
Kelembutan parasnya sama selembut suaranya. Wajahnya yang putih selalu memancarkan cahaya dikarenakan air wudhu selalu membahasahi. Wajahnya tidak pernah tersentuh oleh lipstik kecuali hanya memakai bedak baby. Bibir indahnya tetap merah walau tidak pernah tergores oleh gincu. Sewaktu wisuda pun, Nur tetap mempertahankan kealamian wajahnya. Menurutnya cantik dari dalam akan memancarkan kecantikan pada bagian luar fisiknya. Keramahan dan kelembutannya adalah kunci kekuatannya. Mungkin pun setiap perempuan demikian, tetapi banyak yang tertipu, sibuk memoles bagian luar, tapi lupa bagian dalam, yaitu hati dan pikiran.
“Nur kan sudah selesai kuliah?” Tanya ibunya.
“Sudah dong, Bu. Kan Ibu sama Ayah datang waktu itu.” Jawabnya lembut dengan penuh senyuman bibir yang alami.
“Maksud Ibu, begini Nak.” Suara ibunya ramah. “Kamu kan sudah tamat dan sudah mendapat gelar sarjana. Kenapa kamu tidak mencari pekerjaan atau menjadi guru di kota saja. Di Medan, tempatmu kuliah kan pasti banyak sekolah yang menerima guru.” Lanjut ibunya.
Baca juga Cerpen: Bidadari Nyasar Di HMI
Nur hanya menatap ibunya yang sudah mulai terlihat garis keriput di wajah ibunya. Nur hanya tersenyum manis tanpa menjawab.
“Kalau kamu guru di sini, gajinya kecil. Apa lagi kamu tidak PNS.” Kata ibunya lagi.
Nur pun mendekati ibunya sambil tersenyum manis. Mukenah yang ia pakai belum juga ia lepaskan. Wajahnya tambah bercahaya dengan mukenah berwarna putih itu.
“Begini, Bu. Di desa kita ini kan sangat kekurangan guru. Pak Umar, sebagai Kepala Sekolah SD di desa kita ini membutuhkan guru.” Kali ini Nur memberikan tanggapan lembut pada ibunya.
Pak Umar adalah adalah gurunya Nur sewaktu dia masih SD di desanya. Pak Umar, secara kekeluargaan masih dekat dengan mereka. Pak Umar bagi Nur bukan hanya sekedar guru, tapi juga orang yang sangat berjasa padanya. Banyak menanamkan motivasi agar ia kelak dapat menjadi guru. Sewaktu kuliah, Nur dan Pak Umar sering berdiskusi tentang pendidikan ketika Nur pulang kampung saat libur kuliah.
“Benar itu kata ibumu, Nur.” Tiba-tiba ayahnya ikut nimbrung yang sedari tadi mendengarkan dari raung tamu sambil menikmati secangkir kopi sambil memperbaiki kacamatanya yang hampir rusak.
Nur pun menatap ramah dan lembut pada ayahnya. Lagi-lagi senyuman indah yang penuh cahaya itu tidak pernah hilang.
“Di sini gajinya tidak seberapa, Nur. Guru honor itu gajinya kecil kali.” Kata ayahnya.
“Nur tidak cari gaji, Yah.” Kata Nur.
“Mana ada guru yang tidak mengharapkan gaji saat ini.” Kata ayahnya.
“Nur mau mengabdi di desa ini. di sekolah pertama Nur bisa membaca dan berhitung, Ayah.” Kata Nur. “Bukan kah, Ayah dulu juga guru di SD yang ada di desa kita ini?” Lanjut Nur bertanya dengan ramah.
Ayahnya Nur dahulunya adalah guru honor di SD yang ada di desanya Nur. Karena gajinya yang sedikit, tidak bisa membelanjai kebutuhan keluarga, akhirnya ayahnya Nur beralih menjadi seorang petani biasa. Penghasilan dari petani biasa masih lebih lumayan dari gajinya honornya. Akan tetapi, ayahnya Nur sangat menyukai pendidikan. Sangat senang untuk mengajar anak-anak. Bagi ayahnya, anak-anak adalah aset terbesar bangsa. Apabila aset tersebut tidak dijaga dan diberikan pendidikan yang baik, maka negara dan bangsa akan hancur. Demikian falsafah hidup yang dipegang oleh ayahnya.
Falsafah yang mendarah daging itu, tumbuh dan berkembang menjadi gen dalam tubuhnya, sehingga mengalir ke dalam dalam tubuhnya Nur. Falsafah itu hanya turun ke Nur saja, tidak pada dua abangnya.
Sebenarnya ayahnya bangga dengan pilihan Nur tersebut. Mengabdikan diri dalam dunia pendidikan. Menjadi guru di desa kecil. Tidak mengejar gaji, sehingga mengutamakan subtansi pendidikan daripada materi, serta membangun aset negara – anak-bangsa. Akan tetapi, melihat ekonomi mereka yang sulit, melihat realita yang ada, falsafah itu pun perlahan redup dari ayahnya. Belum lagi, pandangan masyarakat di desanya, apabila sudah sarjana seharusnya harus tinggal di kota serta bekerja di kota.
Falsafah itu sebenarnya perlahan redup bukan karena realitas yang ada. Tapi, falsafah yang mendarah daging itu perlahan turun secara sadar kepada putri kesayangannya itu.
“Nur mau mengabdi di desa ini, Ayah.” Kata Nur. “Nur mau buat les gratis di setelah jam sekolah anak-anak.”
“Jaman sekarang pengabdian itu tidak lagi bernilai, Nur.” Ayahnya menanggapi dengan pesimis.
Bukan hanya falsafah hidup yang ternyata meredup dari ayahnya. Jiwa-jiwa optimism juga perlahan-lahan hilang dalam dunia pendidikan yang ia cintai.
Baca juga Cerpen: Semangka HMI
“Jaman sekarang pendabdian itu tidak dihargai oleh banyak orang. Materi dan jabatan adalah status disegani dan dihormati manusia jaman sekarang.” Ayahnya melanjutkan kata-katanya tanpa memberikan waktu bicara kepada Nur.
“Atau lebih baik Nur menikah saja…” Ibunya memberikan solusi yang sangat tidak berhubungan dengan pembicaraan mereka.
Wajah Nur mulai memerah. Matanya berkaca-kaca. Ia coba tutupi dengan senyuman dan wajah yang ramah.
“Sebagai orangtua, kami khawatir kamu tidak bahagia nantinya.” Ibu sekarang menatap Nur.
“Ayah…, Ibu…” Kata Nur dengan suara lembut. “Pengabdian itu keberhasilannya bukan perkataan atau puji-pujian dari orang. Pengabdian itu biarlah Tuhan sendiri yang membalasnya. Dengan penuh keikhlasan dan rasa syukur hidup seadanya, insya Allah, Nur akan bahagia.” Nur menatap sejuk ke ayah dan ibunya.
“Lihat itu Si Siti, anaknya Bu Ani. Dia sudah selesai kuliah, dan sekarang bekerja di kota. Gajinya besar dan kalau pulang sudah membawa mobil yang sangat bagus. Masyarakat di sini pun sangat menghormati mereka. Masyarakat di sini salut pada Si Siti.” Ibunya mulai membandingkan.
“Setiap orang berbeda pilihannya, Bu. Nur, tidak ingin bekerja di kota atau mengajar di kota, karena di desaku sendiri masih sangat tertinggal dalam dunia pendidikan. Apalagi seperti kata Pak Umar, sangat membutuhkan guru.”
“Di sini, kamu bisa buat apa, Nur? Paling-paling kamu bisanya ngajar seperti guru yang ada di sini.” Kata ayahnya.
“Seperti yang Nur sampaikan tadi, Yah. Setelah pulang sekolah, Nur mengajar lagi dengan membuat les gratis.”
“Udah gaji sedikit dari mengajar, malah buat les gratis pula.” Kata ibunya dengan sinis. “Dari mana kamu mendapatkan uang untuk membiayayi les gratismu itu? Itukan membutuhkan uang juga?” tanya ibunya menambahi.
“Membutuhkan biaya, tapi tidak banyak, Bu.” Jawab Nur dengan ramah.
Sebanarnya ayah dan ibunya malu kepada masyarakat karena Nur sudah sarjana, pilihannya malah tinggal di kampung. Di desa Nur, masyarakatnya masih berpikiran terbelakang. Mereka menganggap kalau sudah sarjana jangan tinggal lagi di kampung, tapi menetaplah di kota.
Baca juga Cerpen: Marx Masuk HMI
Ayah dan ibunya juga khawatir jika Nur tinggal di desa, siapa yang menjadi suaminya. Sebagai perempuan yang sudah mendapat gelar sarjana, seharusnya ia juga mendapatkan seorang laki-laki yang menjadi suaminya seorang sarjana juga. Suatu tidak terbayangkan jika ia mendapatkan suami tidak bergelar sarjana. Demikianlah cara pandang masyarakat di desanya, sehingga membuat orangtuanya khawatir.
Berbeda dengan Nur, tradisi dan cara pandang yang buruk tersebut harus dibongkar. Harus didobrak. Dan harus dibuang ke dalam tong sampah.
“Nur mau membangun kampung kita ini, Ayah… Ibu.” Nur mendekati ayahnya.
“Dari segi mana kamu mau membangun kampung mu ini?” Ayahnya bertanya.
“Dari segi pendidikan. Mempersiapkan generasi yang berkualitas, Ayah.” Saat mengatakan hal demikian pada ayahnya, ia pun teringat ketika mengucapkan demikian di forum-forum HMI. Ia teringat pada janjinya lagi ketika ia terjun ke suatu daerah kecil, yang mana pendidikannya sangat tertinggal. Tidak jauh berbeda dengan pendidikan di desanya.
“Huh… Kepala Desa di sini saja tidak peduli pada itu.” Kata ibunya kemudian meninggalkan dia dan ayahnya.
“Ibu…” Nur memanggil, tapi ibunya sudah berlalu meninggalkan mereka berdua.
Ayahnya memandangi putrinya yang cantik itu tanpa senyuman lagi. Bidadari yang dititipkan padanya. Dan Melati yang terus memberikan keindahan dalam kehidupan.
“Kalau bukan anak desa sini yang membangun desa kita, siapa lagi, Yah. Tidak mungkin dan sangat susah terjadi jika ada orang luar yang tiba-tiba mengabdi membangun desa kita ini.” Nur meneguhkan prinsipnya di depan ayahnya.
Perlahan-lahan Sang ayah meninggalkan Nur diam berdiri sendiri. “Ayah…” suara Nur mencoba menghentikan langkah ayahnya, tapi tetap saja tidak berhasil.
Nur merasakan adanya penolakan dari kedua orantuanya atas pilihan yang ia tetapkan. Nur pun masuk ke kamarnya. Di dalam kamarnya ia memandangi foto-fototnya ketika ber-HMI, ia pernah membentuk kelompok bersama teman-temanya untuk membuka les privat gratis kepada anak-anak yang tidak mampu untuk mengikuti les privat yang biayanya mahal.
Ia pandangi lagi anak-anak yang mereka ajari di rumah yang mereka sewa bersama teman-temannya. Ia tersenyum melihat seorang anak tertawa begitu bahagian ketika belajar bersamanya. Terlihat lagi foto seorang anak perempuan tertawa bahagian saat bermain dengannya setelah belajar.
Baca  juga Cerpen: Merawat Kapal Tua
Foto-foto itu pun menguatkan prinsipnya walau kedua orangtuanya tidak sependapat dengannya. Foto-foto itulah yang menjadi pendukung saat itu.
Sesuai apa yang dikatakannya pada kedua orangtuanya, ia pun menjadi guru SD di desanya dan membuat les gratis. Ia mendapatkan kebahagiaan saat mengajar dan bermain bersama anak-anak. Melati itu pun tetap melawan cara pandang masyarakat di desa bahwa sarja itu harus tinggal di kota. Melati itu tetap teguh pada pendiriannya. Walau hidup sederhana, Melati itu tetap optimis mengajari anak-anak sebagai aset bangsa di masa depan.[]

Penulis: Ibnu Arsib (Bukan siapa-siapa, hanya manusia biasa).


Ket.gbr: Ilustration
Sbr.gbr: https://www.rumahdesainminimalis.com/
Nb: Apabila ada unsur kesamaan nama, kami mohon maaf bukan karena unsur kesengajaan.

No comments:

Post a Comment