YakusaBlog- Sosoknya bersahaja, rendah hati dan tak suka menonjolkan diri. Demikianlah
Prof. Drs. Lafran Pane, tokoh penting di balik pembentukan organisasi Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI) pada 5 Februari 1947. Kendati harus melalui fase sejarah
yang mengancam eksistensinya, hingga dewasa ini HMI telah berkembang pesat
sebagai organisasi kemahasiswaan terbesar di Indonesia. HMI telah menghasilkan
alumni beragam profesi, termasuk mereka yang menduduki jabatan strategis di pemerintahan
dan lembaga-lembaga kenegaraan.
Sebagaimana dicatat Sudjoko Prasoddjo di Majalah Media (1957), tahun-tahun awal perjalanan HMI hampir identik dengan
sebagian kehidupan Lafran Pane. Di usia muda, mahasiswa Sekolah Tinggi Islam
(STI) Yogyakarta, kelahiran Sipirok, Sumatera Utara, 12 April 1923 ini,
memprakarsai berdirinya HMI. prakarsanya ini didukung oleh mahasiswa lainnya
yakni Karnoto Zarksy, Dahlan Husein, Siti Zainah, Maisaroh Hilal, Soewali,
Yusdi Gozali, M. Anwar, Hasan Basri, Marwan, Tayeb Razak, Toha Mashudi, Bidron
Hadi, Zulkarnaen, dan Mansyur.
Lahir di kancah revolusi kemerdekaan, HMI bertujuan: “Mempertahankan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat
rakyat Indonesia; serta, menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam.”
Melalui HMI, Lafran dan rekan-rekannya berkomintmen mempertahankan kemerdekaan,
memajukan bangsa dan umat Islam. Komitmen tersebut membuahkan harapan,
sebagaimana diungkapkan Jenderal Sudirman pada pidato peringatan setahun HMI, 5
Februari 1948, “HMI tidak saja Himpunan Mahasiswa Islam, tetapi Harapan
Masyarakat Indonesia”.
Pada masa revolusi kemerdekaan, para aktivis HMI banyak yang mengangkat
senjata bergabung dengan Corps Mahasiswa
(CM) untuk mempertahankan kemerdekaan. Ikhtiar Lafran dalam membingkai aktivitas
mahasiswa Muslim ke ranah ke-Islam-an dan ke-Indonesia-an dalam organisasi HMI,
dengan demikian tak lepas pula dari perjuangan revolusi fisik untuk
mempertahankan kemerdekaan. Pada masa kemerdekaan, organisasi HMI berkembang
pesat.
Pejuang yang Independen
Selain mendirikan HMI, walaupun tidak semenonjol yang lain, Lafran bagian
dari elit pemuda “perintis kemerdekaan”. Tak mengherankan manakala pada 13
Agustus 1970, Lafran di undang menghadiri pertemuan “pemrakarsa kemerdekaan” di
Jalan Proklamasi 56, Jakarta. Turut mengundang Adam Malik, B.M. Diah, Kemal
Idris, dan Sayuti Melik. Nama-nama tersebut sudah tidak asing lagi.
Lafran sosok yang independen selaras ikhtiarnya memposisikan HMI sebagai
organisasi independen, bukan onderbouw
partai politik (parpol) tertentu. Ia menolak tawaran duduk dalam kepengurusan
parpol dan organisasi masyarakat (ormas) apapun dengan alasan tidak ingin ada
anggapan HMI tak independen lagi. Independensinya juga ditunjukkan dengan
menolak menjadi anggota Golkar dalam
proses pengajuannya sebagai calon anggota Dewan Perimbangan Agung (DPA),
betatpapun ia tetap diangkat sebagai anggota DPA pada 1990, (Lafran diangkat
menjadi anggota DPA atas nama alumni HMI, baca dalam buku Hariqo, Jejak dan Hiakyat Lafran Pane-red).
Selaras dengan konstitusi, tugas DPA memberikan pertimbangan kepada
Presiden. Para anggota DPA diasumsikan sebagai sosok-sosok yang memiliki
tingkat kearifan dan kewibawaan dalam berbangsa dan bernegara. Lafran pun telah
mampu menjalankan fungsi keanggotaan DPA sesuai dengan konstitusi, dengan baik.
Pemahaman Keagamaan
Lafran berperan meletakkan dasar-dasar pemahaman keagamaan bagi para kader
HMI. Dalam tulisannya, “Keadaan dan Kemungkinan Kebudayaan Islam di Indonesia”
(1949) misalnya, Lafran berpendapat, dalam perspektif kebudayaan, Islam itu
sempurna.
Terkait adanya bermacam-macam bangsa, “kebudayaan Islam dapat diselaraskan
dengan masing-masing masyarakat itu”. Uraian itu mengisyaratkan, Islam yang rahmatan lil ‘alamin inklusif dalam
merespon realitas kemajemukan. Hal sedemikian, kelak, secara eksploratif
mengemuka dalam pandangan Nurcholish Madjid (Cak Nur) yang juga sebagai salah
satu perumus Nilai-nilai Dasar Perjuangan HMI (NDP HMI).
Yang khusus menjadi perhatian Lafran ialah konteks, bagaimana agar kalangan
terpelajar Muslim tidak malu menjalankan agamanya. Dia mencatat, “Banyak
orang-orang, terutama kaum terpelajar, biarpun menganut agama Islam, malu
mengakui terus terang bahwa ia beragama Islam dan ada pula yang mengatakan,
bahwa agama ini tak sesuai lagi dengan zaman, pendeknya mereka menganggap
rendah agama ini”. Singkat kata, Lafran mengajak mereka untuk percaya diri,
eksis dan berperan dalam dinamika kehidupan masyarakat dan bangsa.
Akademisi yang Kritis
Lafran juga dikenal sebagai akademisi dan pemikir ketatanegaraan yang
bersandar pada hakikat demokrasi dan konsistensi pelaksanaannya. Ia
mengingatkan agar Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dilaksanakan secara konsekuen.
Pancasila tak boleh ditafsirkan sepihak. Pancasila harus diposisikan sebagai
ideologi terbuka. Dengan begitu, semua kelompok dapat memaknai Pancasila
selaras dengan sudut pandang masing-masing.
Yang menarik, pada pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Tata Negara di IKIP
Yogyakarta, 16 Juli 1970, Lafran mengemukakan, seandainya amandemen konstitusi
terjadi, maka dasar (falsafah) negara Pancasila, tujuan negara, asas negara
(asas hukum), asas kedaulatan rakyat, asas kesatuan, dan asas Republik,
merupakan hal-hal yang tak boleh berubah. Jika salah satunya berubah, Negara
Rapublik Indonesia tak sesuai lagi dengan negara yang dicita-citakan founding fathers.
Lafran juga berpendapat, jika bangsa Indonesia ingin menganut sistem
presidensial secara tegas, cara pemilihan presiden harus diubah, tidak dipilih
oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) melainkan dipilih langsung oleh
rakyat. Hal ini dapat terjadi apabila dilakukan perubahan konstitusi.
Gagasan-gagasan yang “mendahului zamannya” ini, baru terwujud setelah hadirnya
era reformasi, suatu masa yang dia tak mengalaminya. Lafran wafat 25 Januari
1991, dimakamkan di Yogyakarta.
Rendah Hati dan
Bersahaja
Lafran merupakan pribadi yang tidak suka menonjolkan diri, sehingga
melunturkan keikhlasan perjuangannya. Ketika mendirikan HMI, ia rela tidak
selalu menduduki jabatan ketua umum, kecuali lebih mementingkan kemajuan
organisasi.
Ketika utusan Pengurus Besar HMI (PB HMI) menyampaikan Keputusan Kongres
HMI pada tahun 1974 yang menetapkan dirinya sebagai pemrakarsa atau pendiri
HMI, secara halus Lafran menolak. Namun, setelah memperoleh penjelasan, dia
dapat memahami. Pada Dies Natalis Ke-51 HMI, 22 Februari 1998, PB HMI
menganugerahkan Piagam Pengabdian kepada Lafran Pane. Menurut Ahmad
Tirtosudiro, kebesaran Lafran mengemukaka melalui HMI, namun jasa besarnya
bukan saja bagi HMI, tetapi juga bagi bangsa.
Uniknya, karena sosok tak suka menonjolkan diri, banyak yang tak
mengenalinya. Pada Kongres VIII HMI di Solo tahun 1966, Lafran kesulitan masuk
ke arena kongres, kalau saja tak segera dikenali Sulastomo, ketua pelaksana,
dan lantas disambut secara meriah. Sebagian besar peserta Konferensi HMI Cabang
Yogyakarta pada 1974, bahkan menduga sosok asing yang duduk di barisan belakang
itu mata-mata aparat keamanan. Padahal ia Lafran Pane.
Lafran hidup sederhana, berkali-kali pindah sewa rumah. Melalui
pernikahannya dengan Martha Dewi (wafat 12 Januari 1989) pada 6 Oktober 1951,
Lafran dikaruniai tiga anak: Toga Fakhruddin Pane (wafat 24 Februari 1981),
Muhammad Iqbal Pane, dan Tetti Sari Rakhmawati Boru Pane. Dia biasa naik sepeda
ke kampus. Suatu waktu sepedanya raib. Lafran menggantinya dengan yang baru.
Tak berapa lama seorang mahasiswa datang mengaku telah menyembunyikan sepedanya
yang lama. Maksudnya, agar tokoh yang diseganinya itu tak lagi naik sepeda.
Lafran tak marah ke “sang pencuri”, malahan memberikan sepedanya.
Ketika menjabat sebagai anggota DPA, Lafran berseloroh honorariumnya
“terlalu tinggi”. Dia menginap di tempat sederhana, ketika hendak dilantik. Ia
pun tak datang ke tukang jahit untuk setelan jas baru, kecuali membawa jas yang
lama.
Atas jasa-jasanya, wajar manakala pada tahun 2016, Majelis Nasioanal Korps
Alumni HMI (KAHMI) memperjuangkan agar Lafran Pane supaya di tetapkan oleh
pemerintah sebagai Pahalawan Nasional Rapublik Indonesia. dan pada 10 November 2017, Presiden Jokowi menetapkan Lafran menjadi Pahlawan Nasional Republik Indonesia.
Sumber bacaan: M. Alfan Alfian, dkk (peny), Mereka Yang Mencipta Dan Mengabdi, PT. Penjuru Ilmu Sejati, Bekasi,
2016, hal: 17-24.
Ket. gbr: Lafran Pane (Pendiri HMI).
Sumber gbr: https://news.detik.com/
No comments:
Post a Comment