Pendiri HMI Jadi Pahlawan Nasional - Yakusa Blog

Yakusa Blog

Mewujudkan Komunitas Intelektual Muslim

Saturday 11 November 2017

Pendiri HMI Jadi Pahlawan Nasional


YakusaBlog- Sosoknya bersahaja, rendah hati dan tak suka menonjolkan diri. Demikianlah Prof. Drs. Lafran Pane, tokoh penting di balik pembentukan organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) pada 5 Februari 1947. Kendati harus melalui fase sejarah yang mengancam eksistensinya, hingga dewasa ini HMI telah berkembang pesat sebagai organisasi kemahasiswaan terbesar di Indonesia. HMI telah menghasilkan alumni beragam profesi, termasuk mereka yang menduduki jabatan strategis di pemerintahan dan lembaga-lembaga kenegaraan.

Sebagaimana dicatat Sudjoko Prasoddjo di Majalah Media (1957), tahun-tahun awal perjalanan HMI hampir identik dengan sebagian kehidupan Lafran Pane. Di usia muda, mahasiswa Sekolah Tinggi Islam (STI) Yogyakarta, kelahiran Sipirok, Sumatera Utara, 12 April 1923 ini, memprakarsai berdirinya HMI. prakarsanya ini didukung oleh mahasiswa lainnya yakni Karnoto Zarksy, Dahlan Husein, Siti Zainah, Maisaroh Hilal, Soewali, Yusdi Gozali, M. Anwar, Hasan Basri, Marwan, Tayeb Razak, Toha Mashudi, Bidron Hadi, Zulkarnaen, dan Mansyur.

Lahir di kancah revolusi kemerdekaan, HMI bertujuan: “Mempertahankan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia; serta, menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam.” Melalui HMI, Lafran dan rekan-rekannya berkomintmen mempertahankan kemerdekaan, memajukan bangsa dan umat Islam. Komitmen tersebut membuahkan harapan, sebagaimana diungkapkan Jenderal Sudirman pada pidato peringatan setahun HMI, 5 Februari 1948, “HMI tidak saja Himpunan Mahasiswa Islam, tetapi Harapan Masyarakat Indonesia”.

Pada masa revolusi kemerdekaan, para aktivis HMI banyak yang mengangkat senjata bergabung dengan Corps Mahasiswa (CM) untuk mempertahankan kemerdekaan. Ikhtiar Lafran dalam membingkai aktivitas mahasiswa Muslim ke ranah ke-Islam-an dan ke-Indonesia-an dalam organisasi HMI, dengan demikian tak lepas pula dari perjuangan revolusi fisik untuk mempertahankan kemerdekaan. Pada masa kemerdekaan, organisasi HMI berkembang pesat.

Pejuang yang Independen

Selain mendirikan HMI, walaupun tidak semenonjol yang lain, Lafran bagian dari elit pemuda “perintis kemerdekaan”. Tak mengherankan manakala pada 13 Agustus 1970, Lafran di undang menghadiri pertemuan “pemrakarsa kemerdekaan” di Jalan Proklamasi 56, Jakarta. Turut mengundang Adam Malik, B.M. Diah, Kemal Idris, dan Sayuti Melik. Nama-nama tersebut sudah tidak asing lagi.

Lafran sosok yang independen selaras ikhtiarnya memposisikan HMI sebagai organisasi independen, bukan onderbouw partai politik (parpol) tertentu. Ia menolak tawaran duduk dalam kepengurusan parpol dan organisasi masyarakat (ormas) apapun dengan alasan tidak ingin ada anggapan HMI tak independen lagi. Independensinya juga ditunjukkan dengan menolak  menjadi anggota Golkar dalam proses pengajuannya sebagai calon anggota Dewan Perimbangan Agung (DPA), betatpapun ia tetap diangkat sebagai anggota DPA pada 1990, (Lafran diangkat menjadi anggota DPA atas nama alumni HMI, baca dalam buku Hariqo, Jejak dan Hiakyat Lafran Pane-red).

Selaras dengan konstitusi, tugas DPA memberikan pertimbangan kepada Presiden. Para anggota DPA diasumsikan sebagai sosok-sosok yang memiliki tingkat kearifan dan kewibawaan dalam berbangsa dan bernegara. Lafran pun telah mampu menjalankan fungsi keanggotaan DPA sesuai dengan konstitusi, dengan baik.


Pemahaman Keagamaan

Lafran berperan meletakkan dasar-dasar pemahaman keagamaan bagi para kader HMI. Dalam tulisannya, “Keadaan dan Kemungkinan Kebudayaan Islam di Indonesia” (1949) misalnya, Lafran berpendapat, dalam perspektif kebudayaan, Islam itu sempurna.

Terkait adanya bermacam-macam bangsa, “kebudayaan Islam dapat diselaraskan dengan masing-masing masyarakat itu”. Uraian itu mengisyaratkan, Islam yang rahmatan lil ‘alamin inklusif dalam merespon realitas kemajemukan. Hal sedemikian, kelak, secara eksploratif mengemuka dalam pandangan Nurcholish Madjid (Cak Nur) yang juga sebagai salah satu perumus Nilai-nilai Dasar Perjuangan HMI (NDP HMI).

Yang khusus menjadi perhatian Lafran ialah konteks, bagaimana agar kalangan terpelajar Muslim tidak malu menjalankan agamanya. Dia mencatat, “Banyak orang-orang, terutama kaum terpelajar, biarpun menganut agama Islam, malu mengakui terus terang bahwa ia beragama Islam dan ada pula yang mengatakan, bahwa agama ini tak sesuai lagi dengan zaman, pendeknya mereka menganggap rendah agama ini”. Singkat kata, Lafran mengajak mereka untuk percaya diri, eksis dan berperan dalam dinamika kehidupan masyarakat dan bangsa.

Akademisi yang Kritis

Lafran juga dikenal sebagai akademisi dan pemikir ketatanegaraan yang bersandar pada hakikat demokrasi dan konsistensi pelaksanaannya. Ia mengingatkan agar Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dilaksanakan secara konsekuen. Pancasila tak boleh ditafsirkan sepihak. Pancasila harus diposisikan sebagai ideologi terbuka. Dengan begitu, semua kelompok dapat memaknai Pancasila selaras dengan sudut pandang masing-masing.

Yang menarik, pada pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Tata Negara di IKIP Yogyakarta, 16 Juli 1970, Lafran mengemukakan, seandainya amandemen konstitusi terjadi, maka dasar (falsafah) negara Pancasila, tujuan negara, asas negara (asas hukum), asas kedaulatan rakyat, asas kesatuan, dan asas Republik, merupakan hal-hal yang tak boleh berubah. Jika salah satunya berubah, Negara Rapublik Indonesia tak sesuai lagi dengan negara yang dicita-citakan founding fathers.

Lafran juga berpendapat, jika bangsa Indonesia ingin menganut sistem presidensial secara tegas, cara pemilihan presiden harus diubah, tidak dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) melainkan dipilih langsung oleh rakyat. Hal ini dapat terjadi apabila dilakukan perubahan konstitusi. Gagasan-gagasan yang “mendahului zamannya” ini, baru terwujud setelah hadirnya era reformasi, suatu masa yang dia tak mengalaminya. Lafran wafat 25 Januari 1991, dimakamkan di Yogyakarta.

Rendah Hati dan Bersahaja

Lafran merupakan pribadi yang tidak suka menonjolkan diri, sehingga melunturkan keikhlasan perjuangannya. Ketika mendirikan HMI, ia rela tidak selalu menduduki jabatan ketua umum, kecuali lebih mementingkan kemajuan organisasi.

Ketika utusan Pengurus Besar HMI (PB HMI) menyampaikan Keputusan Kongres HMI pada tahun 1974 yang menetapkan dirinya sebagai pemrakarsa atau pendiri HMI, secara halus Lafran menolak. Namun, setelah memperoleh penjelasan, dia dapat memahami. Pada Dies Natalis Ke-51 HMI, 22 Februari 1998, PB HMI menganugerahkan Piagam Pengabdian kepada Lafran Pane. Menurut Ahmad Tirtosudiro, kebesaran Lafran mengemukaka melalui HMI, namun jasa besarnya bukan saja bagi HMI, tetapi juga bagi bangsa.

Uniknya, karena sosok tak suka menonjolkan diri, banyak yang tak mengenalinya. Pada Kongres VIII HMI di Solo tahun 1966, Lafran kesulitan masuk ke arena kongres, kalau saja tak segera dikenali Sulastomo, ketua pelaksana, dan lantas disambut secara meriah. Sebagian besar peserta Konferensi HMI Cabang Yogyakarta pada 1974, bahkan menduga sosok asing yang duduk di barisan belakang itu mata-mata aparat keamanan. Padahal ia Lafran Pane.

Lafran hidup sederhana, berkali-kali pindah sewa rumah. Melalui pernikahannya dengan Martha Dewi (wafat 12 Januari 1989) pada 6 Oktober 1951, Lafran dikaruniai tiga anak: Toga Fakhruddin Pane (wafat 24 Februari 1981), Muhammad Iqbal Pane, dan Tetti Sari Rakhmawati Boru Pane. Dia biasa naik sepeda ke kampus. Suatu waktu sepedanya raib. Lafran menggantinya dengan yang baru. Tak berapa lama seorang mahasiswa datang mengaku telah menyembunyikan sepedanya yang lama. Maksudnya, agar tokoh yang diseganinya itu tak lagi naik sepeda. Lafran tak marah ke “sang pencuri”, malahan memberikan sepedanya.

Ketika menjabat sebagai anggota DPA, Lafran berseloroh honorariumnya “terlalu tinggi”. Dia menginap di tempat sederhana, ketika hendak dilantik. Ia pun tak datang ke tukang jahit untuk setelan jas baru, kecuali membawa jas yang lama.
Atas jasa-jasanya, wajar manakala pada tahun 2016, Majelis Nasioanal Korps Alumni HMI (KAHMI) memperjuangkan agar Lafran Pane supaya di tetapkan oleh pemerintah sebagai Pahalawan Nasional Rapublik Indonesia. dan pada 10 November 2017, Presiden Jokowi menetapkan Lafran menjadi Pahlawan Nasional Republik Indonesia.

Sumber bacaan: M. Alfan Alfian, dkk (peny), Mereka Yang Mencipta Dan Mengabdi, PT. Penjuru Ilmu Sejati, Bekasi, 2016, hal: 17-24.

Ket. gbr: Lafran Pane (Pendiri HMI).
Sumber gbr: https://news.detik.com/

No comments:

Post a Comment