YakusaBlog- Setelah
seminggu bergulat dalam Forum LK II yang dilaksanakan oleh Pengurus HMI Cabang
Bandung, akhirnya seluruh peserta yang berjumlah 54 orang dari berbagai Cabang
HMI yang ada di Nusantara ini dinyatakan lulus oleh Tim Pengelola training.
Seminggu
bersama di dalam forum, mengadakan diskusi-diskusi di luar forum, terkadang
ngopi bareng setelah forum di skor pada pukul satu pagi, mengakrabkan seluruh
peserta. Yang awalnya segan untuk saling sapa, seminggu waktu training membuat keseganan itu pun
sirna. Andi dan teman-temannya, baik HMI-Wan dan HMI-Wati sekarang terbungkus
dalam persaudaraan antar sesama kader HMI. Sebagaimana slogan-slogan di HMI, “Di HMI, Kita Berteman Lebih Dari Saudara.”
Lidia,
seorang Kader HMI-Wati yang berasal dari salah satu HMI Cabang yang ada di
Badko HMI Sumatera Barat, merasakan sesuatu gejolak positif dalam kehidupannya.
Ia merasakan banyak perubahan setelah menjalani training. Bukan Lidia saja, teman-temannya juga begitu.
Baca juga: Maaf Kanda, Aku Tak Bisa Jadi Timses!
Ada
sesuatu hal lain lagi yang membuat ia merasakan sesuatu yang tak bisa
dijelaskan lewat mulut tapi bisa ia rasakan dalam hati. Sesuatu yang tak bisa
dimengerti oleh logika tapi dapat ia pahami dalam rasa. Yaitu kedekatannnya
kepada Anda selama seminggu training.
Andi, adalah sosok laki-laki yang sangat misterius baginya dengan penuh rasa
penasaran serta rasa kagum. Maksudnya, laki-laki yang tiba-tiba ia kenal dan
dapat masuk dalam kehidupannya dan dapat menarik maghnet rasa dalam hatinya.
Entah mengapa, ketika di duduk bersama Andi, ia merasakan kenyamanan yang amat
sangat.
Di
hari terakhir training, saat
pengumuman kelulusan, Lidia memberanikan diri membuat suatu kode bahwa ia
sangat suka dengan Andi. Sebenarnya Lidia tidak ingin berbuat demikian, karena
khawatir di katakana perempuan agresif, apalagi ia seorang perempuan yang
berproses menjadi perempuan muslimah. Tapi, apa hendak dikata. Sebagai manusia
normal yang menyukai lawan jenis, ia tidak dapat menahan untuk memberikan
signal atau kode perasaannya. Dan apalagi Lidia masih muda dan labil. Usianya
waktu itu masih menuju 19 tahun. Di kampus, ia baru masuk semester 3.
Andi
sebenarnya tahu maksud signal yang bersumber dari hatinya Lidia tersebut. Akan tetapi,
Andi juga masih penasaran apakah itu hanya sekedar pertemanan biasa, rasa suka
yang biasa-biasa saja karena kedekatan, atau hanya sekedar kagum. Andi pun
tidak terlalu serius menanggapi signal itu untuk sementara waktu. Ia biasa-biasa
saja dan seperti tidak ada yang terjadi.
Andi
sejenal berpikir saat ia menerima penghargaan dari Tim Pengelola Training LK II dan Panitia Pelaksana,
sebagai Peserta Terbaik. Penghargaan seperti itu baginya tidak penting, harus
dihapuskan dan membuat klas-klas di antara teman-temannya. Secara terpaksa,
karena suruhan dari teman-temannya ia pun maju ke depan. Ia diminta memberikan
sepatah dua kata, “Penghargaan ini untuk kita semua. Di sini tidak ada yang
terbaik dari yang terbaik. Kita semua adalah manusia dan kader-kader terbaik
yang dimiliki oleh HMI. Kalau pun kita merasa tidak baik, itu lebih baik
daripada merasa paling baik.” Katanya sehingga mengundang tepuk tangan yang
salut padanya.
“Hidup
Kanda Andi… Sukses Kanda Andi…” Salah satu temannya berseru dari barisan tempat
duduk para peserta.
“Sukses
untuk kita semua.” Ia menyahut, kemudian menutup dengan salam. Sukses baginya
bukan karena mendapatkan penghargaan, bahkan tidak perlu harus mendapatkan
jabatan. Sukses baginya ketika bisa bermanfaat bagi orang lain. Terbaik baginya
bukan karena pintar ini dan itu. Bukan karena memiliki ini dan itu. Manusia terbaik
baginya adalah ketika bisa bermanfaat bagi manusia yang lain. Itu falsafah yang
ia pegang selama hidupnya. Di Komisariatnya sendiri, Andi dikenal sebagai kader
yang ramah dan selalu membantu kader-kader HMI yang lain. Hal itu lah yang
membuat orang-orang menyukainya.
Baca juga: HMI-Wan Yang Tampan dan Menawan
Hari
itu, Lidia merasakan itu. Keramah-tamahan, sikapnya yang dingin, tapi terkadang
mau juga bercanda, membuat Lidia merasa Anda adalah sosok cowok misterius.
Belum pernah ia menemukan laki-laki seperti Andi sepanjang hidupnya.
“Bang,
setelah selesai training ini, Abang
langsung balik ke Medan?” Tanya Lidia sambil mencoret-coret kertas yang ada di
mejanya.
“Mungkin
ke Jakarta dulu.” Jawab Andi dengan ramah dan lembut.
“Ngapain
ke Jakarta?”
“Nggak
enak rasanya sudah sampai di Jawa ini tapi tidak singgah di Sekretariat PB HMI.”
“Jadi
Abang mau ke sana?”
“Iya.
Sekalian bertemu beberapa senior-senior dan Alumni dari Komisariatku.” Andi
menjawab. “Kamu langsung balik ke Sumbar?” Sekarang Andi bertanya sambil
menarik kertas putih yang sedang dicoret-coret Lidia tanpa makna.
“Belum
tahu sih. Kayaknya ke Jakarta juga. Tadi senior-senior dari Komisariatku
menyarankan supaya ke Jakarta juga. Dana pulang kata mereka udah disiapkan di
sana.” Jawab Lidia.
“Kan,
bisa ditransfer?”
“Bukan
soal dana pulang juga sih. Tapi sekalian mau silaturahmi ke mereka.” Jawab
Lidia sambil menjelaskan maksud utama dia mau ke Jakarta.
“Kenapa
nggak ke Sekretariat PB HMI?” Tanya Andi yang mengandung tafsiran mengajak. Entah
kenapa ia pun mulai merasakan sesuat yang benar-benar serius dibandingkan waktu
yang sebelum-sebelumnya. Semakin lama ngobrol dengan Lidia, ia merasakan
sesuatu ketenangan dan kenyamanan. Berbeda sekali saat ia ngobrol dengan
HMI-Wati lainnya yang menjadi peserta bersama mereka.
“Mungkin
ke sana juga.” Jawab Lidia pelan.
Tiba-tiba
saja Andi memberikan kertas yang dicoret-coret Lidia tadi, “Ini nomor Hp-ku. Nanti
mana tahu ke sana, kita ketemu di sana.”
Lidia
menatap kertas itu yang sudah dibubuhi barisan angka nomor Hp Andi. Lidia
tersenyum amat bahagianya.
“Bang,
aku mau bilang sesuatu sama Abang.” Lidia sedikit malu berkata.
“Katakan
saja. Negara ini negara demokrasi. Tidak ada yang boleh melarang seseorang
mengatakan sesuatu. Salah atau benar, hal itu belakangan. Jika salah, setiap
kita berhak meluruskannya. Meluruskannya tidak perlu tindak kekerasan. Jika benar,
harus diterima walau pahit melebihi pahitnya empedu.” Jawab Andi dengan bijak.
Kata-kata
itu membuat Lidia terpesona. Kebijakan Andi dalam berucap menambah gelombang
rasa dalam hatinya Lidia. Kata-kata itu begitu tulus dan selalu menerima
pendapat dari orang lain. Ia merasakan bahwa Andi adalah sosok manusia yang
terbuka.
“Aku
mau bilang, kalau aku…” Tiba-tiba saja kata-kata Lidia terpotong oleh
suara-suara peserta yang meneriaki salah satu teman mereka yang ingin
menampilkan suatu kelebihannya. Teman-teman mereka tepuk tangan yang meriah.
Lidia
pun gagal mengungkapkan sesuatu pada Andi. Andi sudah tidak lagi fokus
memperhatikan Lidia, begitu juga Lidia, walau sebenarnya Lidia pura-pura fokus.
Seluruh mata peserta tertuju pada salah satu peserta yang maju ke depan untuk
suatu pertunjukan.
Saat
teman mereka itu unjuk kelebihannya, seluruh peserta, tim pengelola dan para
panitia tertawa ceria. Ternyata, teman mereka yang memang sudah terkenal pandai
melucu itu, menyampaikan ungkapan-ungkapan yang lucu. Yongki nama teman mereka
itu. Seorang kader dari HMI Cabang Jember. Dengan logat jawanya yang masih
kental, membuat teman-temannya tertawa.
Andi
tertawa sambil menatap Lidia, dan Lidia pun membalas tatapan itu. Pandangan itu
sangat sayu dan penuh arti. Senyum Lidia sangat manis walau tidak memakai gincu
di bibirnya. Wajah Andi memancarkan sinar ketampanan dan penuh kesejukan.
Setelah
selesai dari forum, Andi mengajak Lidia jalan-jalan keliling Kota Bandung. “Kamu
tidak langsung ke Jakarta, kan?” Tanya Andi.
“Belum
tahu, kenapa Bang?” Tanya balik Lidia.
“Yuk,
jalan-jalan keliling Kota Bandung.” Ajak Andi. “Percuma kita ke sini kalau kita
tidak menjelajahi indah dan sejuknya Bandung.” Lanjutnya.
Lidia
tidak menjawab dengan suara. Senyumannya memberikan makna setuju dengan ajakan
Andi. Andi pun membalas dengan senyuman.
“Mau
apa nggak nih? Kok malah senyum-senyum.” Andi menenggelamkan senyuman itu.
“Mau…mau.”
Lidia menjawab dengan spontan penuh semangat.
“Semangat
kali nampaknya.” Andi tersenyum sambil berkata menggunakan logat Medannya.
“Kapan
kita jalan-jalannya?” tanya Lidia tidak sabaran.
“Tahun
depan…” Kata Andi sambil menarik tas yang dipegang Lidia.
“Eh,
tasku…” Kata Lidia.
“Tas
kita titip aja dulu di Sekretariat ini.” Setelah forum selesai mereka
seluruhnya telah kembali ke Sekretariat HMI Cabang Bandung. Di Jln. Sabang No.
17. Sehingga anak-anak HMI Bandung sering menyebutnya Sabang 17.
Baca juga: Melati Yang Melawan
Andi
dan Lidia sampai di Mall Pasar Baru Bandung. Mereka keliling Mall itu mulai
dari lanti dasar sampai atas. Andi bersama Lidia, sedangkan teman-teman mereka
yang ternyata ikut juga berjalan keliling Mall bersama-sama.
Andi
dan Lidia sempat belanja Jilbab untuk Lidia dan juga beberapa baju kaos yang
bertuliskan kota Bandung. Baju-baju itu untuk adik-adinya Lidia di rumah. Andi
membayarnya karena ia masih punya uang yang cukup di kantong. Lidia juga
memilih jaket yang pas untuk Andi. “Kamu mantap paki jakat itu Bang.” Berkata
dengan meniru logatnya Andi.
“Hahahaha…”
Andi tertawa bahagia.
Setelah
mereka selesai dari lantai atas, mereka turun ke lantai dasar. “Bang…” Kata
Lidia.
“Iya.
Ada apa?”
“Abang
nggak ada mau bilang sesuatu ke Lidia?”
“Kamu,
aku mau bilang apa?” Tanya Andi balik dengan nada bercanda.
“Aku
serius Bang…”
“Aku
malah duarius.” Andi menatap dengan senyuman.
“Bilang
apa gitu kek, ke aku.” Paksa Lidia.
“Perlu
aku bilang, kalau aku suka sama kamu?” Tanya Andi.
Lidia
tersipu malu dan tidak menjawab pertanyaan Andi. Andi berhenti di keramain
orang banyak. Lidia pun ikut berhenti.
“Sebelum
kamu katakan seperti itu, oke sekarang aku katakana duluan. Mungkin karena kamu
perempuan gengsi untuk memulai.” Kata Andi. “Lidia, aku suka sama kamu. Kamu
suka juga sama aku?”
Lidia
tersenyum pada Andi. Ia tidak menjawab dengan suara tapi menjawab dengan penuh senyuman
hangat dan manis. Tidak perlu ia berkata bahwa ia juga suka Andi, seisi Mall
pasti sudah tahu apa jawaban dari Lidia. Bukankah kata-kata itu yang diinginkan
Lidia mendarat di telinga dan hatinya yang masih kosong.
“Abang
tidak malu kalau ada orang yang mendengar kata-kata tadi?” Lidia mengalihkan
pembicaraan. Sebenarnya ia ingin Andi mengucapkan beribu-ribu kali kata-kata
yang diinginkannya itu.
“Tidak.”
Jawab Andi tegas.
“Kalau
ada kader-kader yang dengar?”
“Aku
tidak peduli. Karena di HMI ini hanya ada kita berdua.” Andi pun menarik
tangannya mencari tempat makan untuk mengisi perut mereka yang belum terisi
sedari pagi tadi.
Baca juga: Bidadari Nyasar Di HMI
Setelah
pulang ke daerah masing-masing, Andi dan Lidia menjalani hubungan jarak jauh. Hubungan
mereka tidak pernah bertentangan dengan keyakinan mereka. Di HMI memang tidak
mengajarkan pacaran, tapi tidak ada juga pelarangan untuk saling suka. Namanya anak
muda, tidak ada yang dapat menahannya. Selama mereka berhubungan, tidak pernah
sesuatu pun mereka lakukan yang belum seharusnya dilakukan.
Selama
berhubungan jarak jauh hingga akhir kuliah dan selesai ber-HMI, mereka
menyibukkan diri dengan aktif di HMI, aktif di kampus dan aktif di kegiatan-kegiatan
positif. Hubungan mereka terkesan bukan seperti pacaran seperti jaman sekarang,
atau pacaran pada umumnya. Hubungan mereka seperti konsultan dengan kliennya. Terkadang
Andi menjadi Konsultannya, dan terkadang Lidia. Mereka juga saling memotivasi. Hubungan
tidak mengurangi keaktifan mereka ber-HMI.[]
Penulis:
Ibnu Arsib (Bukan siapa-siapa, hanya manusia biasa).
Ket.gbr: Ilustration
No comments:
Post a Comment