Karena Di HMI Kita Berdua - Yakusa Blog

Yakusa Blog

Mewujudkan Komunitas Intelektual Muslim

Tuesday, 5 March 2019

Karena Di HMI Kita Berdua



YakusaBlog- Setelah seminggu bergulat dalam Forum LK II yang dilaksanakan oleh Pengurus HMI Cabang Bandung, akhirnya seluruh peserta yang berjumlah 54 orang dari berbagai Cabang HMI yang ada di Nusantara ini dinyatakan lulus oleh Tim Pengelola training.
Seminggu bersama di dalam forum, mengadakan diskusi-diskusi di luar forum, terkadang ngopi bareng setelah forum di skor pada pukul satu pagi, mengakrabkan seluruh peserta. Yang awalnya segan untuk saling sapa, seminggu waktu training membuat keseganan itu pun sirna. Andi dan teman-temannya, baik HMI-Wan dan HMI-Wati sekarang terbungkus dalam persaudaraan antar sesama kader HMI. Sebagaimana slogan-slogan di HMI, “Di HMI, Kita Berteman Lebih Dari Saudara.”
Lidia, seorang Kader HMI-Wati yang berasal dari salah satu HMI Cabang yang ada di Badko HMI Sumatera Barat, merasakan sesuatu gejolak positif dalam kehidupannya. Ia merasakan banyak perubahan setelah menjalani training. Bukan Lidia saja, teman-temannya juga begitu.
Ada sesuatu hal lain lagi yang membuat ia merasakan sesuatu yang tak bisa dijelaskan lewat mulut tapi bisa ia rasakan dalam hati. Sesuatu yang tak bisa dimengerti oleh logika tapi dapat ia pahami dalam rasa. Yaitu kedekatannnya kepada Anda selama seminggu training. Andi, adalah sosok laki-laki yang sangat misterius baginya dengan penuh rasa penasaran serta rasa kagum. Maksudnya, laki-laki yang tiba-tiba ia kenal dan dapat masuk dalam kehidupannya dan dapat menarik maghnet rasa dalam hatinya. Entah mengapa, ketika di duduk bersama Andi, ia merasakan kenyamanan yang amat sangat.
Di hari terakhir training, saat pengumuman kelulusan, Lidia memberanikan diri membuat suatu kode bahwa ia sangat suka dengan Andi. Sebenarnya Lidia tidak ingin berbuat demikian, karena khawatir di katakana perempuan agresif, apalagi ia seorang perempuan yang berproses menjadi perempuan muslimah. Tapi, apa hendak dikata. Sebagai manusia normal yang menyukai lawan jenis, ia tidak dapat menahan untuk memberikan signal atau kode perasaannya. Dan apalagi Lidia masih muda dan labil. Usianya waktu itu masih menuju 19 tahun. Di kampus, ia baru masuk semester 3.
Andi sebenarnya tahu maksud signal yang bersumber dari hatinya Lidia tersebut. Akan tetapi, Andi juga masih penasaran apakah itu hanya sekedar pertemanan biasa, rasa suka yang biasa-biasa saja karena kedekatan, atau hanya sekedar kagum. Andi pun tidak terlalu serius menanggapi signal itu untuk sementara waktu. Ia biasa-biasa saja dan seperti tidak ada yang terjadi.
Andi sejenal berpikir saat ia menerima penghargaan dari Tim Pengelola Training LK II dan Panitia Pelaksana, sebagai Peserta Terbaik. Penghargaan seperti itu baginya tidak penting, harus dihapuskan dan membuat klas-klas di antara teman-temannya. Secara terpaksa, karena suruhan dari teman-temannya ia pun maju ke depan. Ia diminta memberikan sepatah dua kata, “Penghargaan ini untuk kita semua. Di sini tidak ada yang terbaik dari yang terbaik. Kita semua adalah manusia dan kader-kader terbaik yang dimiliki oleh HMI. Kalau pun kita merasa tidak baik, itu lebih baik daripada merasa paling baik.” Katanya sehingga mengundang tepuk tangan yang salut padanya.
“Hidup Kanda Andi… Sukses Kanda Andi…” Salah satu temannya berseru dari barisan tempat duduk para peserta.
“Sukses untuk kita semua.” Ia menyahut, kemudian menutup dengan salam. Sukses baginya bukan karena mendapatkan penghargaan, bahkan tidak perlu harus mendapatkan jabatan. Sukses baginya ketika bisa bermanfaat bagi orang lain. Terbaik baginya bukan karena pintar ini dan itu. Bukan karena memiliki ini dan itu. Manusia terbaik baginya adalah ketika bisa bermanfaat bagi manusia yang lain. Itu falsafah yang ia pegang selama hidupnya. Di Komisariatnya sendiri, Andi dikenal sebagai kader yang ramah dan selalu membantu kader-kader HMI yang lain. Hal itu lah yang membuat orang-orang menyukainya.
Hari itu, Lidia merasakan itu. Keramah-tamahan, sikapnya yang dingin, tapi terkadang mau juga bercanda, membuat Lidia merasa Anda adalah sosok cowok misterius. Belum pernah ia menemukan laki-laki seperti Andi sepanjang hidupnya.
“Bang, setelah selesai training ini, Abang langsung balik ke Medan?” Tanya Lidia sambil mencoret-coret kertas yang ada di mejanya.
“Mungkin ke Jakarta dulu.” Jawab Andi dengan ramah dan lembut.
“Ngapain ke Jakarta?”
“Nggak enak rasanya sudah sampai di Jawa ini tapi tidak singgah di Sekretariat PB HMI.”
“Jadi Abang mau ke sana?”
“Iya. Sekalian bertemu beberapa senior-senior dan Alumni dari Komisariatku.” Andi menjawab. “Kamu langsung balik ke Sumbar?” Sekarang Andi bertanya sambil menarik kertas putih yang sedang dicoret-coret Lidia tanpa makna.
“Belum tahu sih. Kayaknya ke Jakarta juga. Tadi senior-senior dari Komisariatku menyarankan supaya ke Jakarta juga. Dana pulang kata mereka udah disiapkan di sana.” Jawab Lidia.
“Kan, bisa ditransfer?”
“Bukan soal dana pulang juga sih. Tapi sekalian mau silaturahmi ke mereka.” Jawab Lidia sambil menjelaskan maksud utama dia mau ke Jakarta.
“Kenapa nggak ke Sekretariat PB HMI?” Tanya Andi yang mengandung tafsiran mengajak. Entah kenapa ia pun mulai merasakan sesuat yang benar-benar serius dibandingkan waktu yang sebelum-sebelumnya. Semakin lama ngobrol dengan Lidia, ia merasakan sesuatu ketenangan dan kenyamanan. Berbeda sekali saat ia ngobrol dengan HMI-Wati lainnya yang menjadi peserta bersama mereka.
“Mungkin ke sana juga.” Jawab Lidia pelan.
Tiba-tiba saja Andi memberikan kertas yang dicoret-coret Lidia tadi, “Ini nomor Hp-ku. Nanti mana tahu ke sana, kita ketemu di sana.”
Lidia menatap kertas itu yang sudah dibubuhi barisan angka nomor Hp Andi. Lidia tersenyum amat bahagianya.
“Bang, aku mau bilang sesuatu sama Abang.” Lidia sedikit malu berkata.
“Katakan saja. Negara ini negara demokrasi. Tidak ada yang boleh melarang seseorang mengatakan sesuatu. Salah atau benar, hal itu belakangan. Jika salah, setiap kita berhak meluruskannya. Meluruskannya tidak perlu tindak kekerasan. Jika benar, harus diterima walau pahit melebihi pahitnya empedu.” Jawab Andi dengan bijak.
Kata-kata itu membuat Lidia terpesona. Kebijakan Andi dalam berucap menambah gelombang rasa dalam hatinya Lidia. Kata-kata itu begitu tulus dan selalu menerima pendapat dari orang lain. Ia merasakan bahwa Andi adalah sosok manusia yang terbuka.
“Aku mau bilang, kalau aku…” Tiba-tiba saja kata-kata Lidia terpotong oleh suara-suara peserta yang meneriaki salah satu teman mereka yang ingin menampilkan suatu kelebihannya. Teman-teman mereka tepuk tangan yang meriah.
Lidia pun gagal mengungkapkan sesuatu pada Andi. Andi sudah tidak lagi fokus memperhatikan Lidia, begitu juga Lidia, walau sebenarnya Lidia pura-pura fokus. Seluruh mata peserta tertuju pada salah satu peserta yang maju ke depan untuk suatu pertunjukan.
Saat teman mereka itu unjuk kelebihannya, seluruh peserta, tim pengelola dan para panitia tertawa ceria. Ternyata, teman mereka yang memang sudah terkenal pandai melucu itu, menyampaikan ungkapan-ungkapan yang lucu. Yongki nama teman mereka itu. Seorang kader dari HMI Cabang Jember. Dengan logat jawanya yang masih kental, membuat teman-temannya tertawa.
Andi tertawa sambil menatap Lidia, dan Lidia pun membalas tatapan itu. Pandangan itu sangat sayu dan penuh arti. Senyum Lidia sangat manis walau tidak memakai gincu di bibirnya. Wajah Andi memancarkan sinar ketampanan dan penuh kesejukan.
Setelah selesai dari forum, Andi mengajak Lidia jalan-jalan keliling Kota Bandung. “Kamu tidak langsung ke Jakarta, kan?” Tanya Andi.
“Belum tahu, kenapa Bang?” Tanya balik Lidia.
“Yuk, jalan-jalan keliling Kota Bandung.” Ajak Andi. “Percuma kita ke sini kalau kita tidak menjelajahi indah dan sejuknya Bandung.” Lanjutnya.
Lidia tidak menjawab dengan suara. Senyumannya memberikan makna setuju dengan ajakan Andi. Andi pun membalas dengan senyuman.
“Mau apa nggak nih? Kok malah senyum-senyum.” Andi menenggelamkan senyuman itu.
“Mau…mau.” Lidia menjawab dengan spontan penuh semangat.
“Semangat kali nampaknya.” Andi tersenyum sambil berkata menggunakan logat Medannya.
“Kapan kita jalan-jalannya?” tanya Lidia tidak sabaran.
“Tahun depan…” Kata Andi sambil menarik tas yang dipegang Lidia.
“Eh, tasku…” Kata Lidia.
“Tas kita titip aja dulu di Sekretariat ini.” Setelah forum selesai mereka seluruhnya telah kembali ke Sekretariat HMI Cabang Bandung. Di Jln. Sabang No. 17. Sehingga anak-anak HMI Bandung sering menyebutnya Sabang 17.
Andi dan Lidia sampai di Mall Pasar Baru Bandung. Mereka keliling Mall itu mulai dari lanti dasar sampai atas. Andi bersama Lidia, sedangkan teman-teman mereka yang ternyata ikut juga berjalan keliling Mall bersama-sama.
Andi dan Lidia sempat belanja Jilbab untuk Lidia dan juga beberapa baju kaos yang bertuliskan kota Bandung. Baju-baju itu untuk adik-adinya Lidia di rumah. Andi membayarnya karena ia masih punya uang yang cukup di kantong. Lidia juga memilih jaket yang pas untuk Andi. “Kamu mantap paki jakat itu Bang.” Berkata dengan meniru logatnya Andi.
“Hahahaha…” Andi tertawa bahagia.
Setelah mereka selesai dari lantai atas, mereka turun ke lantai dasar. “Bang…” Kata Lidia.
“Iya. Ada apa?”
“Abang nggak ada mau bilang sesuatu ke Lidia?”
“Kamu, aku mau bilang apa?” Tanya Andi balik dengan nada bercanda.
“Aku serius Bang…”
“Aku malah duarius.” Andi menatap dengan senyuman.
“Bilang apa gitu kek, ke aku.” Paksa Lidia.
“Perlu aku bilang, kalau aku suka sama kamu?” Tanya Andi.
Lidia tersipu malu dan tidak menjawab pertanyaan Andi. Andi berhenti di keramain orang banyak. Lidia pun ikut berhenti.
“Sebelum kamu katakan seperti itu, oke sekarang aku katakana duluan. Mungkin karena kamu perempuan gengsi untuk memulai.” Kata Andi. “Lidia, aku suka sama kamu. Kamu suka juga sama aku?”
Lidia tersenyum pada Andi. Ia tidak menjawab dengan suara tapi menjawab dengan penuh senyuman hangat dan manis. Tidak perlu ia berkata bahwa ia juga suka Andi, seisi Mall pasti sudah tahu apa jawaban dari Lidia. Bukankah kata-kata itu yang diinginkan Lidia mendarat di telinga dan hatinya yang masih kosong.
“Abang tidak malu kalau ada orang yang mendengar kata-kata tadi?” Lidia mengalihkan pembicaraan. Sebenarnya ia ingin Andi mengucapkan beribu-ribu kali kata-kata yang diinginkannya itu.
“Tidak.” Jawab Andi tegas.
“Kalau ada kader-kader yang dengar?”
“Aku tidak peduli. Karena di HMI ini hanya ada kita berdua.” Andi pun menarik tangannya mencari tempat makan untuk mengisi perut mereka yang belum terisi sedari pagi tadi.
Setelah pulang ke daerah masing-masing, Andi dan Lidia menjalani hubungan jarak jauh. Hubungan mereka tidak pernah bertentangan dengan keyakinan mereka. Di HMI memang tidak mengajarkan pacaran, tapi tidak ada juga pelarangan untuk saling suka. Namanya anak muda, tidak ada yang dapat menahannya. Selama mereka berhubungan, tidak pernah sesuatu pun mereka lakukan yang belum seharusnya dilakukan.
Selama berhubungan jarak jauh hingga akhir kuliah dan selesai ber-HMI, mereka menyibukkan diri dengan aktif di HMI, aktif di kampus dan aktif di kegiatan-kegiatan positif. Hubungan mereka terkesan bukan seperti pacaran seperti jaman sekarang, atau pacaran pada umumnya. Hubungan mereka seperti konsultan dengan kliennya. Terkadang Andi menjadi Konsultannya, dan terkadang Lidia. Mereka juga saling memotivasi. Hubungan tidak mengurangi keaktifan mereka ber-HMI.[]

Penulis: Ibnu Arsib (Bukan siapa-siapa, hanya manusia biasa).


Ket.gbr: Ilustration

No comments:

Post a Comment