YakusaBlog- Ini
cerita tentang pengalamanku sendiri. Dua bulan lalu, aku mengikuti training LK
II di salah satu Cabang yang ada di Pulau Jawa. Aku seorang Kader HMI yang
sekarang berproses sebagai Ketua Kohati di salah satu Komisariat yang ada di
HMI Cabang Medan. Jujur aku katakana padamu, pertama kali kaki ini menginjakkan
Pulau Jawa itu karena aku ber-HMI. Dan pertama kali aku naik pesawat, ya…
ketika aku mengikuti LK II.
Sempat
aku ragu, apakah aku berangkat ke Pulau Jawa, setelah dinyatakan lulus makalah
oleh Panitia Pelaksana. Dan orangtuaku juga awalnya tidak memberikan ijin
keberangkatanku. Wajarlah, namanya mereka orangtua yang sangat sayang pada
putri satu-satunya mereka, tentu saja mereka khawatir.
Tapi,
pikiran-pikiran yang tak mendukung itu aku buang jauh-jauh. Aku yakin pada
dasarnya manusia itu baik-baik semua. Jadi tidak ada yang perlu harus aku
takutkan. Toh, di tempat pelaksanaan training aku akan menemukan HMI-Wati yang
jauh dari sembrang pulau. Mengapa mereka berani, kenapa aku tidak? Aku pun
memberanikan diri untuk berangkat. Kepada orangtuaku, berkali-kali aku
meyakinkan mereka, Alhamdulillah…
mereka memberi ijin.
“Asal
kamu bisa menjaga diri di sana.” Kata ayahku.
“Siap,
Kanda.” Kataku dengan semangat pada ayahku. “Hehehee…” sambil tersenyum manis
walau tidak terlihat olehnya karena kami ngobrol lewat Hp.
Ayahku,
kupanggil kanda, karena ia adalah seorang Alumni HMI. Kadang aku bingung juga
apakah selalu memanggil kanda atau ayah. Ah, aku pun memakai kedua-duanya. Saat
itu bicara HMI, atau berdiskusi dengannya terkait HMI, aku memanggilnya kanda.
Kalau urusan keluarga sebagai anak dan ayahnya, tentunya aku memanggil ayah.
Kalau aku meminta jajan sebagai anak, aku memanggilnya ayah juga. Enaknya, aku
punya tambahan uang jajan yang sering aku belanjakan ke buku, karena sebagai
junior di HMI tentunya tidak salah meminta pada kandanya sendiri sebagai Alumni
HMI. Hahaha… jadi dapat dua kali uang jajan deh.
Baca juga Cerpen: Maaf Kanda, Aku Tak Bisa Jadi Timses!
Sudah
ah, aku nggak mau cerita tentang kandaku, opss… maksudnya ayahku. Nanti dia
bisa marah. Biar kamu tahu aja, dia itu tidak suka diceritakan. Setelah selesai
ber-HMI, ia banyak menyendiri dengan tinggal di desa kami. Padahal, banyak
sekali orang-orang menanyakan tentang dia. Banyak Alumni dan kader HMI ingin ia
mengisi materi di setiap training.
Aku tidak tahu kenapa. Selidik punya selidik, ternyata ia pernah… Ah, sudahlah
tidak perlu aku ceritakan di sini. Langsung saja pada ceritaku.
Setelah
aku dinyatakan lulus makalah, sebagai bekala untuk screening test di Cabang yang melaksanakan LK II, aku mendapat
bimbingan dan pembekalan di Cabangku sendiri. Seorang kakak instruktur itu
banyak membantuku. Ia banyak memberiku wawasan dan rekomendasi bahan bacaan.
Tentu saja aku semangat dan menjalankan apa-apa saja yang dikatakannya.
Alhasil, aku pun dengan gampang menyelesaikan setiap meja screening test dan berhak masuk forum yang sudah aku tunggu-tuggu
dari dulu.
“Yunda,
kamu sudah selesai semua meja screening?”
Tanya pemuda tampan itu tanpa memperkenalkan terlebih dahulu siapa dirinya.
Aku
tidak langsung menjawab. Aku malah terpaku melihat sosoknya. Aduh, aku mohon
kamu jangan mengatakan aku seorang cewek yang kecentilan atau apalah. Jujur,
jika kamu seorang cewek pasti akan mengagumi sosoknya. Jika kamu cowok, aku
yakin kamu iri dengan ketampanannya.
“Hei…
yunda.” Ia menyadarkanku.
“Namaku
bukan yunda.” Aku jawab saja agak sedikit jutek untuk menyembunyikan
keterpanaanku padanya. “Namaku Sarah.” Aku pun memperkenalkan namaku.
Aneh
banget ya, dia tidak tanya siapa namaku, aku malah menyodorkan namaku. Ah,
sudahlah. Itu mungkin kesalahanku yang pertama di tempat training-ku itu.
“Oh,
iya. Kenalkan juga, namaku Rangga.” Ia mengulurkan tangannya untuk menghargai
kesalahanku tadi.
Dengan
sedikit malu, aku pun menyambut tangan itu. Kami bersalaman, aku tersenyum dan
juga dia pun begitu. Aku tambah tersipu malau. Entah apa yang membuatku tersipu
malu seperti itu. Padahal, kata teman-temanku, aku adalah sosok perempuan yang
sangat percaya diri di hadapan setiap orang. Jujur, entah kenapa kali ini aku
tidak mempertahankan apa yang dikatakan teman-temanku itu. Atau jangan-jangan
mereka bohong padaku, atau apalah demi menghargai aku.
Baca juga Cerpen: Melati Yang Melawan
Aku
pura-pura membenarkan kecamataku yang sedari tadi tidak berpindah posisi. “Aku
ke sana dulu.” Kulemparkan senyuman padanya. Senyum yang mengandung sesuatu
yang tidak aku mengerti.
“Oh,
silahkan.” Ia menggesar agak kesamping dari hadapanku. Tentunya ia membalas
senymanku.
Ya,
Tuhan. Dia begitu tampan. Tampan menawan dan tidak tersimpan. Aku merasa berat
melangkah ke depan dan ingin tetap bercakap-cakap dengannya. Entah apa yang
kurasakan saat itu. Mungkin dia itu malaikat yang memberiku semangat.
Mudah-mudahan dia bukan setan yang membuatkan ketakutan.
Kedua
kakiku sudah beradu, kaki kanan mendahuli kaki kiri. Kaki kiri tidak mau juga
kalah juga. Hanya hitungan detik, kaki kiri sudah di depan. Kaki kakanan dan
kiri masing-masing melangkah tiga kali dengan saling mendahului. Tiba-tiba saja
aku mendengar suara dari HMI-Wan yang tampan dan menawan itu, “Kamu dari Cabang
mana?” kaki dengan ramah berhenti dan tanpa ada komando, aku telah menghadap
beberapa meter darinya.
“Aku
dari HMI Cabang Medan.” Kujawab dengan ramah tamah tanpa amarah.
“Cabang
Medan. Ibnu Arsib…” Katanya antara bertanya atau apalah. “Ibnu Arsib, kenal
dia?” Kali ini ia bertanya.
“Maksudnya…”
Aku tidak mengerti. “Aku nggak kenal.” Jawabku.
“Ohh...
Kalau Angga Syaputra?” Tanyanya lagi.
“Ya,
itu aku kenal. Dia Ketua Umum kami di HMI Cabang Medan.”
“Ohh..
aku juga tahu ia Ketum Cabang Medan.” Katanya.
Oh,
aku malu sekali dibuatnya. Aku tidak tahu lagi apa yang mau kukatakan. Sepertinya
ada yang tidak beres. Apakah aku tidak mengenal orang yang pertama ia sebutkan?
Ah, tapi untuk apa mengenal orang itu. Siapa kali dia rupanya. Kenapa aku
merasa bersalah ya…? Ah, gak penting memikirkan itu.
“Sayang
sekali kami tidak kenal dia.” Katanya lagi.
“Siapa,
Ibnu Arsib?”
“Ya.”
Jawab singkat dan diam sebentar. “Padahal ia banyak menulis cerita-cerita
tentang HMI. Aku banyak menikmati tulisan-tulisannya.” Lanjutnya.
Aku
merasa dijatuhkan lagi. Astaga, kenapa aku tidak bisa melawan ya. Salahkah aku
kalau tidak kenal si Ibnu itu. Banyak sih, teman-teman yang baca tulisannya. Ah,
sudahlah. Astaga, lagi-lagi aku tidak bisa berargumentasi dengan sosok pemuda
tampan itu. Aku yakin ia lebih tampan dari si Ibnu, walau ia mendewakan si Ibnu
Arsib. “Ah, tapi beruntung juga HMI Cabang Medan, karena kadernya yang berkarya
dikenal dan disukai oleh kader-kader HMI Cabang lain.” Kataku dalam hati.
“Aku
ke sana dulu yah…” Ia pamit duluan meninggalkan aku tanpa kupersilahkan
terlebih dahulu.
Uhh,
aku kesal kali waktu. Kalau dia tidak sosok yang kukagumi, aku sudah
memaki-makinya. Opps, sorry, aku memang perempuan, tapi bukan berarti aku
lemah. Perlu kamu tahu, terkadang aku sering memaki-maki kader-kader kalau
mereka melakukan kesalahan yang sangat patal, apalagi mereka yang sering
merendahkan perempuan. Tapi, aku memaki-makinya dengan bahasa yang tegas
lengkap dengan referensi. Artinya, aku mengajak mereka berdebat dengan penuh
argumentasi yang berkualitas, bukan argumentasi receh. Itu lah mengapa mereka
mengatakan aku punya keberanian.
Tapi,
kali ini. Ketika aku bertemu dengannya, aku tidak bisa berkutik. Mulutku terasa
terkunci rapat. Kuncinya seolah-olah dicampakkan ke danau Tiberias, tempat
Dajjal hari ini bersarang. Aku yakin, pemuda itu dapat mengambillnya dan
mengalahkan Dajjal. “Heh, aku cerita apa sih. Kok ngelantur gini. Hahaaa….” Aku
berkata pada diriku sendiri.
Saat
pertemuan pertama itu, aku tidak sempat bertanya ia berasal dari HMI Cabang
man. Ingin rasanya bertanya waktu itu, tapi ia keburu pergi. Siapa yang tidak
kesal jika diperlakukan seperti itu.
Satu
hari setelah pertemuan pertama itu, aku pun bertemu lagi dengannya setelah
forum sudah di mulai. Sejak opening
ceremony, aku coba-coba mencarinya di ruangan. Ah, belum nasib untuk
menemukannya. Mungkin kalian berpikir, aku ini cewek yang sangat agresif atau
apalah. Menurutku tidak demikian. Aku hanya penasaran dengannya setelah
pertemuan yang pertama itu. Mungkin ia juga menjadi salah satu sepuluh cowok
mesterius di dunia ini. atau apalah…
Tiba-tiba
saja dia duduk di sampingku. Nafasnya naik turun terengah-engah. Ia seperti
sedang mengelilingi lapangan sepak bola sebanyak seratus kali. Ia tersenyum
padaku saat duduk. “Hai, kita ketemu lagi.” Katanya.
Aku
tidak menjawab. Aku hanya melempar senyuman seadanya saja. Kali ini aku pelit. Terserah
ia mengatakan kalau aku tidak ramah. Toh dia juga tidak bersikap ramah waktu
pertemuan pertama itu. Mungkin ia menangkap signal kalau aku agak kesal
padanya.
Aku
dan para peserta lainnya fokus mendengarkan arahan dan apa yang dibicarakan
oleh instruktur-instruktur yang mengelola training
kami selama seminggu.
Baca juga Cerpen: Marx Masuk HMI
Tak
terasa forum pun berjalan dengan seru. Banyak argumentasi dan pendapat dari
para peserta yang sangat berkualitas. Kamu tahu apa yang membuatku begitu
senang mengikuti setiap forum? Aku katakana padamu, karena adanya dia. Sekarang
bukan karena ketampanannya. Tapi, karena wawasannya yang luas. Gaya bicaranya
yang cool dan dengan suara yang jelas
serta penuh kualitas, membuat aku terus-terus menyimak apa yang menjadi
pendapat atau argumentasinya. Sepertinya ia sangat banyak membaca buku. Ah, itu
sudah pasti. Sebagai Kader HMI, membaca buku harus menjadi tradisi setiap kader dan tak boleh dilupakan.
Aku
coba mengikuti alur berpikirnya dan mengajaknya berdebat tentang materi yang
baru saja dibicarakan oleh narasumber. Ia hanya tersenyum menanggapi setiap
pendapatku.
Mataku
tidak pernah berhenti melihatnya. Berbeda dengan rasa yang kualami. Oh, Tuhan. Semoga
itu bagian dari berkahmu. Aku tersenyum sendiri melihatnya. Beberapa kali aku
tertangkap olehnya karena sedang memperhatikannya. Ia hanya tersenyum saja. Aku
pun membalasnya.
“Ini
hari terakhir forum. Aku mau duduk di sampingmu. Boleh kah?” ia bertanya
setelah duduk tanpa permisi.
Hari
pertama forum ia duduk di samping, rasanya bahagia sekali. Beberapa hari
lainnya ia menjauh dariku, duduk di tempat lain. Tapi terkadang mata kami
bertemu. Astaga, mudah-mudahan itu bukan zina mata. Hahaha…
“Mengapa
kamu ingin duduk di sampingku?” Aku bertanya balik.
“Supaya
bisa berkenalan denganmu.” Katanya.
“Bukannya
kita sudah berkenalan?” Tanyaku lagi.
“Hanya
sedikit.”
“Aku
sudah kenal denganmu. Nama siapa, aku sudah tahu. Kamu kader mana, aku sudah
tahu.” Kataku.
“Tapi,
kamu tidak tahu siapa yang ada di hatiku ini.” Ia berkata demikian pura-pura
memandang ke depan.
Aku
terkejut dan perlahan-lahan menatap wajahnya. Aku terpaku mati mendengar
kata-kataku itu.
“Untuk
apa aku mengetahui itu?” Tanyaku.
“Suatu
saat kamu akan menanyakannya.”
“Aku
tidak yakin.” Kataku.
“Saat
ini belum. Tapi nanti.”
“Untuk
apa aku mengetahuinya?” aku mengulangi pertanyaan sebelumnya.
“Suatu
saat aka ada gunanya.” Jawabnya lagi tanpa melihat wajahku.
Aku
hanya terdiam. Aku memalingkan wajahku dari wajahnya. Aku mengikuti arah
pandangannya. Tiba-tiba saja ia menatapku. Aku juga membalasnya. Ia tersenyum
padaku. Aku pun membalasnya. Mudah-mudahan ini awal yang manis.[]
Penulis:
Ibnu Arsib (Bukan siapa-siapa, hanya manusia biasa).
Ket.gbr: Ilustration
Sbr.gbr: Google
NB: Apabila ada kesamaan nama, kami mohon maaf, bukan unsur kesengajaan.
No comments:
Post a Comment