HMI-Wan Yang Tampan dan Menawan - Yakusa Blog

Yakusa Blog

Mewujudkan Komunitas Intelektual Muslim

Thursday 28 February 2019

HMI-Wan Yang Tampan dan Menawan


YakusaBlog- Ini cerita tentang pengalamanku sendiri. Dua bulan lalu, aku mengikuti training LK II di salah satu Cabang yang ada di Pulau Jawa. Aku seorang Kader HMI yang sekarang berproses sebagai Ketua Kohati di salah satu Komisariat yang ada di HMI Cabang Medan. Jujur aku katakana padamu, pertama kali kaki ini menginjakkan Pulau Jawa itu karena aku ber-HMI. Dan pertama kali aku naik pesawat, ya… ketika aku mengikuti LK II.
Sempat aku ragu, apakah aku berangkat ke Pulau Jawa, setelah dinyatakan lulus makalah oleh Panitia Pelaksana. Dan orangtuaku juga awalnya tidak memberikan ijin keberangkatanku. Wajarlah, namanya mereka orangtua yang sangat sayang pada putri satu-satunya mereka, tentu saja mereka khawatir.
Tapi, pikiran-pikiran yang tak mendukung itu aku buang jauh-jauh. Aku yakin pada dasarnya manusia itu baik-baik semua. Jadi tidak ada yang perlu harus aku takutkan. Toh, di tempat pelaksanaan training aku akan menemukan HMI-Wati yang jauh dari sembrang pulau. Mengapa mereka berani, kenapa aku tidak? Aku pun memberanikan diri untuk berangkat. Kepada orangtuaku, berkali-kali aku meyakinkan mereka, Alhamdulillah… mereka memberi ijin.
“Asal kamu bisa menjaga diri di sana.” Kata ayahku.
“Siap, Kanda.” Kataku dengan semangat pada ayahku. “Hehehee…” sambil tersenyum manis walau tidak terlihat olehnya karena kami ngobrol lewat Hp.
Ayahku, kupanggil kanda, karena ia adalah seorang Alumni HMI. Kadang aku bingung juga apakah selalu memanggil kanda atau ayah. Ah, aku pun memakai kedua-duanya. Saat itu bicara HMI, atau berdiskusi dengannya terkait HMI, aku memanggilnya kanda. Kalau urusan keluarga sebagai anak dan ayahnya, tentunya aku memanggil ayah. Kalau aku meminta jajan sebagai anak, aku memanggilnya ayah juga. Enaknya, aku punya tambahan uang jajan yang sering aku belanjakan ke buku, karena sebagai junior di HMI tentunya tidak salah meminta pada kandanya sendiri sebagai Alumni HMI. Hahaha… jadi dapat dua kali uang jajan deh.
Sudah ah, aku nggak mau cerita tentang kandaku, opss… maksudnya ayahku. Nanti dia bisa marah. Biar kamu tahu aja, dia itu tidak suka diceritakan. Setelah selesai ber-HMI, ia banyak menyendiri dengan tinggal di desa kami. Padahal, banyak sekali orang-orang menanyakan tentang dia. Banyak Alumni dan kader HMI ingin ia mengisi materi di setiap training. Aku tidak tahu kenapa. Selidik punya selidik, ternyata ia pernah… Ah, sudahlah tidak perlu aku ceritakan di sini. Langsung saja pada ceritaku.
Setelah aku dinyatakan lulus makalah, sebagai bekala untuk screening test di Cabang yang melaksanakan LK II, aku mendapat bimbingan dan pembekalan di Cabangku sendiri. Seorang kakak instruktur itu banyak membantuku. Ia banyak memberiku wawasan dan rekomendasi bahan bacaan. Tentu saja aku semangat dan menjalankan apa-apa saja yang dikatakannya. Alhasil, aku pun dengan gampang menyelesaikan setiap meja screening test dan berhak masuk forum yang sudah aku tunggu-tuggu dari dulu.
“Yunda, kamu sudah selesai semua meja screening?” Tanya pemuda tampan itu tanpa memperkenalkan terlebih dahulu siapa dirinya.
Aku tidak langsung menjawab. Aku malah terpaku melihat sosoknya. Aduh, aku mohon kamu jangan mengatakan aku seorang cewek yang kecentilan atau apalah. Jujur, jika kamu seorang cewek pasti akan mengagumi sosoknya. Jika kamu cowok, aku yakin kamu iri dengan ketampanannya.
“Hei… yunda.” Ia menyadarkanku.
“Namaku bukan yunda.” Aku jawab saja agak sedikit jutek untuk menyembunyikan keterpanaanku padanya. “Namaku Sarah.” Aku pun memperkenalkan namaku.
Aneh banget ya, dia tidak tanya siapa namaku, aku malah menyodorkan namaku. Ah, sudahlah. Itu mungkin kesalahanku yang pertama di tempat training-ku itu.
“Oh, iya. Kenalkan juga, namaku Rangga.” Ia mengulurkan tangannya untuk menghargai kesalahanku tadi.
Dengan sedikit malu, aku pun menyambut tangan itu. Kami bersalaman, aku tersenyum dan juga dia pun begitu. Aku tambah tersipu malau. Entah apa yang membuatku tersipu malu seperti itu. Padahal, kata teman-temanku, aku adalah sosok perempuan yang sangat percaya diri di hadapan setiap orang. Jujur, entah kenapa kali ini aku tidak mempertahankan apa yang dikatakan teman-temanku itu. Atau jangan-jangan mereka bohong padaku, atau apalah demi menghargai aku.
Baca juga Cerpen: Melati Yang Melawan
Aku pura-pura membenarkan kecamataku yang sedari tadi tidak berpindah posisi. “Aku ke sana dulu.” Kulemparkan senyuman padanya. Senyum yang mengandung sesuatu yang tidak aku mengerti.
“Oh, silahkan.” Ia menggesar agak kesamping dari hadapanku. Tentunya ia membalas senymanku.
Ya, Tuhan. Dia begitu tampan. Tampan menawan dan tidak tersimpan. Aku merasa berat melangkah ke depan dan ingin tetap bercakap-cakap dengannya. Entah apa yang kurasakan saat itu. Mungkin dia itu malaikat yang memberiku semangat. Mudah-mudahan dia bukan setan yang membuatkan ketakutan.
Kedua kakiku sudah beradu, kaki kanan mendahuli kaki kiri. Kaki kiri tidak mau juga kalah juga. Hanya hitungan detik, kaki kiri sudah di depan. Kaki kakanan dan kiri masing-masing melangkah tiga kali dengan saling mendahului. Tiba-tiba saja aku mendengar suara dari HMI-Wan yang tampan dan menawan itu, “Kamu dari Cabang mana?” kaki dengan ramah berhenti dan tanpa ada komando, aku telah menghadap beberapa meter darinya.
“Aku dari HMI Cabang Medan.” Kujawab dengan ramah tamah tanpa amarah.
“Cabang Medan. Ibnu Arsib…” Katanya antara bertanya atau apalah. “Ibnu Arsib, kenal dia?” Kali ini ia bertanya.
“Maksudnya…” Aku tidak mengerti. “Aku nggak kenal.” Jawabku.
“Ohh... Kalau Angga Syaputra?” Tanyanya lagi.
“Ya, itu aku kenal. Dia Ketua Umum kami di HMI Cabang Medan.”
“Ohh.. aku juga tahu ia Ketum Cabang Medan.” Katanya.
Oh, aku malu sekali dibuatnya. Aku tidak tahu lagi apa yang mau kukatakan. Sepertinya ada yang tidak beres. Apakah aku tidak mengenal orang yang pertama ia sebutkan? Ah, tapi untuk apa mengenal orang itu. Siapa kali dia rupanya. Kenapa aku merasa bersalah ya…? Ah, gak penting memikirkan itu.
“Sayang sekali kami tidak kenal dia.” Katanya lagi.
“Siapa, Ibnu Arsib?”
“Ya.” Jawab singkat dan diam sebentar. “Padahal ia banyak menulis cerita-cerita tentang HMI. Aku banyak menikmati tulisan-tulisannya.” Lanjutnya.
Aku merasa dijatuhkan lagi. Astaga, kenapa aku tidak bisa melawan ya. Salahkah aku kalau tidak kenal si Ibnu itu. Banyak sih, teman-teman yang baca tulisannya. Ah, sudahlah. Astaga, lagi-lagi aku tidak bisa berargumentasi dengan sosok pemuda tampan itu. Aku yakin ia lebih tampan dari si Ibnu, walau ia mendewakan si Ibnu Arsib. “Ah, tapi beruntung juga HMI Cabang Medan, karena kadernya yang berkarya dikenal dan disukai oleh kader-kader HMI Cabang lain.” Kataku dalam hati.
“Aku ke sana dulu yah…” Ia pamit duluan meninggalkan aku tanpa kupersilahkan terlebih dahulu.
Uhh, aku kesal kali waktu. Kalau dia tidak sosok yang kukagumi, aku sudah memaki-makinya. Opps, sorry, aku memang perempuan, tapi bukan berarti aku lemah. Perlu kamu tahu, terkadang aku sering memaki-maki kader-kader kalau mereka melakukan kesalahan yang sangat patal, apalagi mereka yang sering merendahkan perempuan. Tapi, aku memaki-makinya dengan bahasa yang tegas lengkap dengan referensi. Artinya, aku mengajak mereka berdebat dengan penuh argumentasi yang berkualitas, bukan argumentasi receh. Itu lah mengapa mereka mengatakan aku punya keberanian.
Tapi, kali ini. Ketika aku bertemu dengannya, aku tidak bisa berkutik. Mulutku terasa terkunci rapat. Kuncinya seolah-olah dicampakkan ke danau Tiberias, tempat Dajjal hari ini bersarang. Aku yakin, pemuda itu dapat mengambillnya dan mengalahkan Dajjal. “Heh, aku cerita apa sih. Kok ngelantur gini. Hahaaa….” Aku berkata pada diriku sendiri.
Saat pertemuan pertama itu, aku tidak sempat bertanya ia berasal dari HMI Cabang man. Ingin rasanya bertanya waktu itu, tapi ia keburu pergi. Siapa yang tidak kesal jika diperlakukan seperti itu.
Satu hari setelah pertemuan pertama itu, aku pun bertemu lagi dengannya setelah forum sudah di mulai. Sejak opening ceremony, aku coba-coba mencarinya di ruangan. Ah, belum nasib untuk menemukannya. Mungkin kalian berpikir, aku ini cewek yang sangat agresif atau apalah. Menurutku tidak demikian. Aku hanya penasaran dengannya setelah pertemuan yang pertama itu. Mungkin ia juga menjadi salah satu sepuluh cowok mesterius di dunia ini. atau apalah…
Tiba-tiba saja dia duduk di sampingku. Nafasnya naik turun terengah-engah. Ia seperti sedang mengelilingi lapangan sepak bola sebanyak seratus kali. Ia tersenyum padaku saat duduk. “Hai, kita ketemu lagi.” Katanya.
Aku tidak menjawab. Aku hanya melempar senyuman seadanya saja. Kali ini aku pelit. Terserah ia mengatakan kalau aku tidak ramah. Toh dia juga tidak bersikap ramah waktu pertemuan pertama itu. Mungkin ia menangkap signal kalau aku agak kesal padanya.
Aku dan para peserta lainnya fokus mendengarkan arahan dan apa yang dibicarakan oleh instruktur-instruktur yang mengelola training kami selama seminggu.
Baca juga Cerpen: Marx Masuk HMI
Tak terasa forum pun berjalan dengan seru. Banyak argumentasi dan pendapat dari para peserta yang sangat berkualitas. Kamu tahu apa yang membuatku begitu senang mengikuti setiap forum? Aku katakana padamu, karena adanya dia. Sekarang bukan karena ketampanannya. Tapi, karena wawasannya yang luas. Gaya bicaranya yang cool dan dengan suara yang jelas serta penuh kualitas, membuat aku terus-terus menyimak apa yang menjadi pendapat atau argumentasinya. Sepertinya ia sangat banyak membaca buku. Ah, itu sudah pasti. Sebagai Kader HMI, membaca buku harus menjadi tradisi setiap kader dan tak boleh dilupakan.
Aku coba mengikuti alur berpikirnya dan mengajaknya berdebat tentang materi yang baru saja dibicarakan oleh narasumber. Ia hanya tersenyum menanggapi setiap pendapatku.
Mataku tidak pernah berhenti melihatnya. Berbeda dengan rasa yang kualami. Oh, Tuhan. Semoga itu bagian dari berkahmu. Aku tersenyum sendiri melihatnya. Beberapa kali aku tertangkap olehnya karena sedang memperhatikannya. Ia hanya tersenyum saja. Aku pun membalasnya.
“Ini hari terakhir forum. Aku mau duduk di sampingmu. Boleh kah?” ia bertanya setelah duduk tanpa permisi.
Hari pertama forum ia duduk di samping, rasanya bahagia sekali. Beberapa hari lainnya ia menjauh dariku, duduk di tempat lain. Tapi terkadang mata kami bertemu. Astaga, mudah-mudahan itu bukan zina mata. Hahaha…
“Mengapa kamu ingin duduk di sampingku?” Aku bertanya balik.
“Supaya bisa berkenalan denganmu.” Katanya.
“Bukannya kita sudah berkenalan?” Tanyaku lagi.
“Hanya sedikit.”
“Aku sudah kenal denganmu. Nama siapa, aku sudah tahu. Kamu kader mana, aku sudah tahu.” Kataku.
“Tapi, kamu tidak tahu siapa yang ada di hatiku ini.” Ia berkata demikian pura-pura memandang ke depan.
Aku terkejut dan perlahan-lahan menatap wajahnya. Aku terpaku mati mendengar kata-kataku itu.
“Untuk apa aku mengetahui itu?” Tanyaku.
“Suatu saat kamu akan menanyakannya.”
“Aku tidak yakin.” Kataku.
“Saat ini belum. Tapi nanti.”
“Untuk apa aku mengetahuinya?” aku mengulangi pertanyaan sebelumnya.
“Suatu saat aka ada gunanya.” Jawabnya lagi tanpa melihat wajahku.
Aku hanya terdiam. Aku memalingkan wajahku dari wajahnya. Aku mengikuti arah pandangannya. Tiba-tiba saja ia menatapku. Aku juga membalasnya. Ia tersenyum padaku. Aku pun membalasnya. Mudah-mudahan ini awal yang manis.[]

Penulis: Ibnu Arsib (Bukan siapa-siapa, hanya manusia biasa).


Ket.gbr: Ilustration
Sbr.gbr: Google
NB: Apabila ada kesamaan nama, kami mohon maaf, bukan unsur kesengajaan.

No comments:

Post a Comment