Nahkoda HMI; Antara idealis atau egois? - Yakusa Blog

Yakusa Blog

Mewujudkan Komunitas Intelektual Muslim

Friday 1 March 2019

Nahkoda HMI; Antara idealis atau egois?



YakusaBlog- Februari adalah bulan suka cita bagi seluruh kader HMI di Nusantara. Betapa tidak, bulan ini dirayakan dengan momen refleksi atas perjuangan Ayahanda Lafran Pane dan kawan-kawannya mendirikan organisasi Hijau-Hitam pada 5 Februari 1947. Kini, 5 Februari pun diperingati penuh gegap gempita setiap tahunnya.
Perayaan Milad yang ke-72 tahun ini (5 Februari 2019) dan 9 Windu HMI berkiprah di perhelatan peradaban Indonesia, sedikit menuai kontroversi ditubuh Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI). Setelah perdebatan (retorika) panjang antar pengurus dan berujung pada permasalahan amoral dan reshuffle tanpa mekanisme organisasi (menurut pihak yang berada dibalik alasan ini).
HMI telah melewati beragam fase untuk tumbuh dan berkembang menjadi avant garde perubahan, pertarungan ideologis, kekuasaan dengan independensi telah begitu kental demi merebut asa perjuangan mencapai masyarakat adil makmur yang diridhai Allah Subhanahu wata'ala (sesuai AD Pasal 4).
Semangat perkaderan begitu kental (AD HMI Pasal 8) membuat organisasi lain cemburu pada kemolekan sistem perkaderan di organisasi ini, sehingga tidak sedikit orang yang ingin mencuri dan mendalami resep dapur eksistensi HMI hingga saat ini. Tak pelak, banyak anak bangsa yang lahir dan besar dari rahim perkaderan dan itu merupakan magnum opus peradaban yang diciptakan HMI.
Karena perkaderan inilah HMI mampu bertahan melintas zaman. HMI bukan organisasi bersistem monarki, kapital dan HMI ditinggal sesepuhnya tanpa secarik kertas wasiat, tanpa menentukan ahli waris biologis melainkan ahli waris ideologis yang pantas untuk membawa kemana arah HMI di masa yang akan datang, tanpa ada yang berani memvonis sebagai pemilik sah (ahli waris).
In Memorian Kongres XVI di Kota Padang
Pada tahun 1986 digelar Kongres HMI ke XVI di Kota Padang. Merupakan kongres yang mengiris hati dan menyisakan luka yang mendalam bagi perjuangan HMI. Perjuangan panjang yang melelahkan itu berakhir dengan lahirnya istilah HMI Dipo dan HMI MPO. Seiring berjalannnya waktu, kesempatan ishlah sudah di depan mata, toh sudah sama-sama berazaskan Islam, namun apa hendak dikata semua kader di kedua belah pihak sama-sama mempertahankan antara idealism atau egoisme masing-masing.
Fragmentasi pemikiran kader HMI antara keseimbangan aspek keindonesian, keislaman dan kemahasiswaan memang tidak dapat disamakan dalam menafsirkannya sebagai cara pandang menyelesaikan persoalan.
Perjalanan ini menghantarkan pada kedewasaan berorganisasi, dari Kongres ke Kongres hingga percaturan politik ikut nimbrung dalam mekanisme pemilihan Ketua Umum PB HMI, beragam cara kandidat untuk memperoleh kursi empuk tersebut (empuk; relasi dengan alumni yang aktif di birokrasi).
Bagaimana Sekarang?
Telah disinggung di atas, mengenai siapa Ketua Umum PB HMI sekarang? Apakah masih R. Saddam Al Jihad atau sudah sesuainya PJ Ketum PB HMI Arya Kharisma Hardy? Pertanyaan ini mungkin terkesan seperti lelucon bagi Kakanda dan Yunda yang sedang berjuang di kota metropolitan Jakarta. Maklum, semua kubu memiliki beragam argumentasi untuk meyakinkan junior yang bertanya seperti ini, patutkah Kakanda dan Yunda meyakinkan dengan argumentasi? Perhatikanlah konstitusi!
Kami tidak mengetahui adanya Conflict of interrest antar sesama pengurus di sana. Yang kami ketahui di pengunjung negeri ini adalah adanya kisruh pada kasus asusila yang menimpa salah satu Ketua Umum dan adanya reshuffle kepengurusan yang tidak sesuai dengan mekanisme organisasi, sehingga ia didepak dari jabatan tersebut berdasarkan hasil rapat Majelis Pengawas dan Konsultasi (MPK) PB HMI pada 10 Januari 2019, kemudian untuk mengisi kepemimpinan berdasarkan musyawarah mufakat yang diselenggarakan di sekretariat PB HMI, Jalan Sultan Agung Nomor 25 A, Jakarta Selatan diangkatlah salah satu kader untuk mengemban amanah sebagai Penjabat (PJ) Ketua Umum PB HMI.
Kami, khususnya penulis, selaku kader yang masih berjibaku di komisariat selalu terngiang dalam benak pemikiran, memang kami selalu ditawarkan dengan jawaban oleh senior yang tidak punya kubu (kepentingan), "Berproseslah tanpa terlibat dalam pusaran konflik senior." Kata mereka. Namun jawaban itu tidak puas sebagai jawaban kritis dari sesama kader.
Mungkinkah kita tidak punya Imam (dalam artian kata seorang pemimpin) yang jelas? Sedang pemimpin (imam) adalah hal yang mutlak diperlukan dalam beragama, bernegara, dan berorganisasi. Semoga ini bukan berita buruk bagi perkaderan HMI setelah Kongres XVI di Kota Padang dan tidak terulang lagi menjadi fragmentasi baru yang berseteru, mungkin inilah cikal bakal karakter kader HMI untuk bersatu dalam dinamika yang berkembang.
Baca juga: Merawat Kapal Tua
Malulah pada Ayahanda Lafran Pane yang sudah mendapatkan kehormatan sebagai Pahlawan Nasional, dan jika memang kalian tak mampu membawa Kapal ini untuk berlayar, segeralah berbalik arah menjemput daratan, masih banyak yang pantas untuk menahkodai dan mencintai HMI dengan cara yang lebih baik.[]


Penulis: Mahzal Abdullah
Kader HMI Cabang Sigli-Badko HMI Aceh


Ket.gbr: Ilustration

No comments:

Post a Comment