YakusaBlog- Tepat
awal musim hujan tahun 2014, Roma dilantik sebagai Ketua Umum di salah satu
Komisariat yang ada di HMI Cabang Medan. Ia beserta Pengurus-pengurusnya telah
bersumpah akan menjalankan amanah. Bagi Roma, menjadi seorang Ketua Umum
bukanlah prioritas utamanya ber-HMI. Baginya ber-HMI, adalah suatu proses
penempahan jati diri agar menjadi insan berkualitas. Ia lebih siap untuk
menjadi tenaga pembantu daripada menjadi seorang Ketua Umum. Terbukti, periode
sebelum ia menjadi Ketua Umum, ia banyak membantu dan militansi serta
loyalitasnya tak diragukan lagi.
“Percuma
saja memiliki jabatan, jika tidak bisa dipertanggungjawabkan.” Ia ingat pesan
dari kakak kandungnya, Tika. Seorang kader HMI-Wati yang pernah berproses di
HMI sampai tingkatan Badko HMI.
Apa
hendak mau dikata, saat Rapat Anggota Komisariat (RAK), Roma diminta oleh
seluruh peserta RAK agar dia menerima dan mau menjadi Ketua Umum. Awalnya ia
menolak, tapi teman-temannya meyakinkan dan para senior-senior juga
mengharapkannya, Roma pun terpilih secara aklamasi. Kali pertama hal itu
terjadi di Komisariatnya. “Mengemis-ngemis jabatan hal yang terkotor di dunia
ini. Janganlah sekali-kali kalian meminta jabatan.” Ia ingat betul pesan
ustadznya sewaktu di pondok pesantren.
Dua
minggu setelah dilantik, tibalah saatnya mereka melakukan Up-Grading komisariat yang dikelola oleh Pengurus HMI Cabang Medan
dengan materi-materi yang sudah dijadwalkan. Up-Grading ini sangat penting bagi Roma dan teman-temannya. Demikian pula seluruh Kader HMI. Ia tidak pernah melewatkan sekalipun apabila ada Up-Grading di Komisariatnya,
baik itu secara formal maupun informal. “Apabila kader-kader malas atau tidak
mau mengapred diri terkait ke-HMI-an,
dipastikan komisariatnya atau di tingkatan manapun, dia hanya
sekedar ber-HMI saja.” Kata Pengelola Up-Grading
dari salah satu Pengurus HMI Cabang Medan yang telah dimandatkan oleh HMI
Cabang Medan.
“Bang,
sekarang yang banyak kader-kader itu mengampretkan
dirinya.” Tono, salah satu temannya Roma menimpali dengan senyuman.
“Ada
juga yang masuk ke paret-paret jadi Cebong, Bang.” Kata temannya Tono. Sontak seluruh
peserta Up-Grading tertawa. “Hahahahaa….”
Sebagai
seorang Ketua Umum, Roma harus banyak belajar bagaimana mengelola Komisariat
sebagai penanggungjawab penuh di Komisariatnya. Banyak orang memang menjadi
Ketua Umum di HMI, tapi menganggap dirinya lebih dari teman-temannya. Bagi Roma,
mendapat jabatan sebagai Ketua Umum, berarti kerja melayani para anggota,
senior-senior dan alumni-alumni semakin ditingkatkan. Melayani dalam artian
kata sesuai dengan tujuan HMI, yang tidak bertentangan dengan azas,
independensi HMI, dan tidak melanggar aturan organisasi.
Baca juga: Karena Di HMI Kita Berdua
“Kepada
teman-teman semua yang ada dalam Rapat Harian pertama ini.” Kata Roma dalam
Rapat Harian mereka setelah terlantik. “Saya tidak bisa berjalan, tanpa bantuan
teman-teman semuanya. Komisariat ini akan lumpuh jika hanya saya seorang yang
menjalankannya.” Lanjutnya. Sebenarnya kata-kata itu pernah diucapkannya pada
saat memberikan kata sambutan di hari pelantikannya.
Teman-temannya
dengan hikmat mendengarkannya. Mereka tahu, setiap kata yang keluar dari Roma
itu adalah serius. Mereka tahu, Roma adalah sosok laki-laki yang sangat
Perfeksionis. Jadi, sebelum melakukan sesuatu yang sempurna atau sesuatu yang
baik, pelakunya terlebih dahulu harus mengerti apa yang hendak akan
dikerjakannya, dalam artian kata pelakunya harus meluruskan niatnya menjadi
baik.
“Tidak
juga bisa berjalan komisariat ini jika kita tidak selalu menambah wawasan kita
tentang ke-HMI-an dan ilmu-ilmu yang lainnya.” Ia sambil menatap ke teman-temannya
dengan wajah penuh harap. “Siapa pun kita, di mana pun jabatan kita, kita harus
aktif menjalankan roda organisasi ini sampai akhir periode.” Ia pun
mengembalikan forum kepada Pimpinan Sidang, yang dipimpin langsung oleh
Sekretaris Umumnya, Sartika.
“Oh,
ada satu lagi Pimpinan Sidang yang ingin saya sampaikan dalam agenda
konsolidasi ini.” Kata Roma pada Sekumnya.
“Silahkan,
Katua Umum…” Sartika memberikan kesempatan.
“Teman-teman
semua yang saya banggakan. Jika perkara jabatan, menjadikan tidak aktif, siapa
yang meminta jabatan lebih tinggi akan saya kasih. Bahkan jika ada yang meminta
saya memberikan jabatan saya ini, saya serahkan dengan ikhlas, dengan catatan
berjanji akan benar-benar bekerja untuk kebaikan.” Ia menatap serius kepada
teman-temannya karena beberapa hari sebelum rapat, ada yang komplein masalah
jabatan hasil susunan Roma bersama dua Mide
Formature yang terpilih di RAK. “Jabatan bukan untuk eksistensialisme,
menunjukkan bahwa ia hebat. Jabatan itu untuk melancarkan substansi
berorganisasi, ber-HMI pada khususnya. Kita semua adalah pemimpin, walau
berbeda jabatan. Mungkin itu saja Pimpinan Sidang” Ia menyerahkan waktu kembali
kepada Sartika.
Rapat
pun berjalan dengan lancar selancar awal musim hujan di tahun 2014. Masing-masing
temannya memberikan tanggapan, pendapat dan persetujuan atas hal-hal yang
melancarkan kepengurusan mereka ke depannya.
Persaudaraan
dan keakraban mereka pun terbangun. Roma, walau terkesan sedikit otoriter, tapi
ia banyak juga menerapkan seni demokrasi. Terkadang, seni otoriternya keluar saat genting. Buah demokrasi
yang tanamkan juga menjadi perekat persaudaraan mereka. Perdebatan dan
perbedaan pendapat baginya dan teman-temannya sudah biasa. Hal itu tidak lagi
faktor kebencian atau tidak lagi menjadi unsur ketidaksukaan.
Baca juga: HMI-Wan Yang Tampan dan Menawan
Tono,
yang jago main gitar menjadi musisi mereka saat mereka sedang lelahnya
menjalankan proyek-proyek kerja yang telah disepakati di Rapat Kerja. Tono
selalu menghibur mereka di Sekretariat dengan berbagai macam lagu. Kelebihan Tono,
walau ia seorang Wakil Sekretaris Umum di Komisariatnya, tapi ia bisa memimpin bidang
musik di komisariatnya sehingga menjadi pengobat lelah.
Sembilan
bulan telah berjalan kepengurusan. Banyak peningkatan yang terlihat baik secara
internal komisariat maupun eksternal komisariat. Banyak terlihat peningkatan
baik secara kuantitas jumlah kader maupun kualitas kader-kader. Keaktifan mereka
membuat kegiatan yang bermanfaat bagi mahasiswa membuat mahasiswa Muslim di
kampus mereka tertarik bergabung dengan HMI. Keaktifan mereka berdiskusi, membaca
dan kegiatan intelektual lainnya meningkatkan kualitas mereka. Secara spiritual
juga terbangun dengan kegiatan-kegiatan yang Islami.
Roma
tidak pernah ada waktu kecuali kegiatan di HMI dan di kampus. Selesai jam kuliah,
jam kerjanya di HMI pun telah menunggu. Sebagai seorang Ketua Umum, melayani
adalah tugas utamanya. Memberikan motivasi dan semangat kepada teman-temannya
adalah keharusan baginya. Silaturahmi adalah suatu kegiatannya yang tidak
pernah tinggal sehingga merekatkan sesama pengurus, anggota atau kader yang
lain, senior-senior juga para alumni.
“Waktu
dua puluh empat jam bagi kita tidak cukup rasanya, Ibnu.” Ia mengungkapkannya
pada Ibnu di malam hari selepas berdiskusi di Sekretariat. Ibnu adalah salah satu Ketua Bidang di komisariat yang ia
pimpin.
“Benar
itu, Tum.” Kata Ibnu. “Tapi, Ketum harus jaga kesehatan. Aku lihat beberapa
hari ini wajah Ketum terlihat pucat.” Lanjut Ibnu memperhatikan kesehatan Roma.
“Boleh
aku pinjam kacamatamu bentar?” Roma meminta kacamata Ibnu.
“Untuk
apa, Tum?” Tanya Ibnu balik. “Ketumkan nggak rabun.” Sambil Ibnu mencopot
kacamatanya memberikannya ke Roma.
Roma
coba memakainya, kemudian ia copot lagi. Di hembus-hembusnya kacamata itu
seolah-olah sedang membersihkan abu dari kacanya. Ia pakai lagi, kemudian ia
copot lagi. Ia bersihkan dengan ujung bawah bajunya, kemudian ia pakai lagi.
“Pantas
kau bilang wajahku sering terlihat pucat.” Sambil ia mencopot kacamata itu. “Kacamatamu
ini rupaya sudah rusak lensanya.” Roma menyerahkan kacamata itu pada
pemiliknya.
“Nggak
usah ditutup-tupilah, Tum.” Kata Ibnu.
“Apa
yang ditutup-tutupi?”
“Berdemokrasi
itu tidak harus diorganisasi. Bermusyawarah atau bercerita terkait permasalahan
tidak harus di komisariat saja Ketum terapkan. Hal pribadi juga bisa kita bicarakan.” Kata Ibnu dengan bijak.
“Sumpah,
aku nggak paham maksudmu apa, Ibnu.” Roma memasang muka serius.
“Ketum
sakit kan?” Tanya Ibnu dengan wajah kepedulian.
“Sakit
apa?” Roma bersembunyi dalam pertanyaan.
“Tum…,
Tum…, jangan bohonglah samaku.” Kata Ibu.
“Iya,
Ketum jangan bohonglah. Aku juga tahu.” Tiba-tiba saja Yusuf ikut nimbrung
dalam pembicaraan Roma dan Ibnu yang sedari tadi mendengar percakapan mereka
dari balik jendela.
Tiba-tiba
saja Roma terkejut. Apa yang ia tutupi ternyata bukan Ibnu saja yang
mengetahuinya. Yusuf juga mengetahui arti dari kepucatan wajahnya.
“Aku
juga tahu. Bahwa Ketum kita sakit.” Tono tiba-tiba saja muncul.
“Kok,
kalian jadi sok tahu?” Tanya Roma.
“Tum…,
Tum…, aku ini Kabid P3A-mu.” Sambil duduk di dekat Roma. “Jadi setiap anggota,
aku harus tahu bagaimana perkembangannya. Baik perkembangannya di Komisariat
maupun pribadinya.” Kata Yusuf yang dipercayakan Roma sebagai Ketua Bidang Penelitian,
Pembinaan dan Pengembangan Anggota (P3A). Mereka tidak memisahkannya menjadi
dua bidang, Bidang Pembinaan Anggota (PA) dan Bidang Penelitian dan
Pengembangan (Litbang).
“Aku
juga tahu kalau Ketum sakit.” Tono mengulangi kata-katanya sambil mendekati
Roma, Ibnu Kabid PTKP) dan Yusuf.
“Tahu
dari mana kau, Ton?” Tanya Ibnu.
“Aku
pernah lihat Ketum ke Rumah Sakit secara diam-diam.” Kata Tono.
“Bisa
aja kan jenguk orang sakit.” Roma membela diri.
“Jenguk
orang atau Check-up, Tum?” Tono
bertanya dengan jebakan.
Roma
tidak menjawab. Matanya berkaca-kaca. Ia terus menyembunyikan bahwa dirinya
sakit. Ia tidak mau terlihat sakit di depan teman-temannya. Walau pun ia sakit,
tapi hal itu ia tutupi dengan keaktifan dan tidak pernah mengeluh. Baginya,
waktu akan sia-sia kalau tidak dimanfaatkan dengan baik. Dalam prinsipnya,
amanah yang diemban harus di jalankan.
Baca juga: Maaf Kanda, Aku Tak Bisa Jadi Timses!
“Dan,
aku pernah menemukan obat di dalam tas Ketum.” Kata Ibnu menambahi, membenarkan
bahwa Roma ke Rumah Sakit bukan menjenguk orang. Roma pun semakin terkejut. Karena,
kalau sudah tahu obat itu, teman-temannya pun akan tahu apa penyakitnya.
“Oke…,
oke. Aku akui aku sakit.” Kata Roma. “Tapi aku mohon. Jangan katakan pada
teman-teman yang lain.” Roma memohon.
“Aman,
Tum. Kita akan simpan.” Kata Yusuf. “Tapi Ketum harus memperhatikan
kesehatanmu.” Lanjutnya.
“Sebenarnya
kata dokter penyakitku ini susah disembuhkan. Bahkan, usiaku tidak akan lama
lagi. Penyakit ini sudah cukup lama menyerangku.” Mata Roma berkaca-kaca. “Aku sudah tidak peduli lagi dengan penyakitku
ini. Yang terpenting bagiku sekarang adalah menghantarkan perjalanan Komisariat
kita ini sampai pada akhri periode. Sampai RAK kepengurusan kita.” Sebutir air
menetes menyentuh wajahnya.
“Bagaimana
dengan orangtuamu, Tum?” Tanya Yusuf yang sebaya dengannya. “Kami khawatir
nanti mereka menyalahkan organisasi ini.” Lanjut Yusuf sambil memegang
Ketumnya.
“Ini
permintaanku sendiri. Sejak aku di fonis dokter berpenyakit Tumor Otak,
permintaanku pada mereka adalah diberikan waktu aktif hingga menghabiskan waktu
hidupku dengan ber-HMI.” Butiran air yang membahasi wajahnya semakin deras. “Dan
Alhamdulillah, ayah dan ibuku
memperbolehkannya.” Yusuf langsung memeluk ketumnya.
Ibnu
dan Tono merasa menyesal telah membawa pembicaraan malam itu pada penyakit
ketum mereka. Mata Tono ikut berkaca-kaca. Ibnu sendiri melepas kacamatanya dan
menghapus air matanya.
“Udah
ah, jangan pikirkan tentang penyakitku ini.” Roma sadar sudah beberapa detik
dalam kecengengan. “Kecengengan kali kita. Pake air mata lagi. Hahahah…” Roma
memberikan semangat pada teman-temannya yang sebenarnya untuk dirinya sendiri.
Ibnu,
Yusuf dan Tono hanya memandangi ketum mereka. Serentak mereka bertiga memeluk
ketum mereka. Kembali lagi aliran air mata itu membasahi wajah mereka
masing-masing.
“Udah…,
udah. Ah, kok jadi kayak cewek kita.” Kata Roma melepas pelukan
teman-temannya. “Yang terpenting kita harus aktif. Selama masih bisa bernafas,
aku akan tetap aktif.” Roma memegang bahu teman-temannya.
Tona
merasa sedikit tersindir. Ia yang begitu sehat tanpa penyakit, tapi tidak bisa
seaktif ketumnya. “Tum, aku berjanji akan aktif sepertimu. Aku sadar sekarang. Aku
tidak mau lagi menyia-nyiakan waktu. Akan kupenuhi setiap aktivitas di
Komisariat juga aktivitas HMI lainnya.” Tono merangkul ketumnya dengan paksa.
“Hahahaa…
udah ah.” Roma sambil tersenyum pada teman-temanya itu. “Ton, ambilkan gitar,
kita nyanyi malam ini.” Perintah Roma.
Malam
itu pun mereka bernyanyi bersama, mulai lagu-lagu HMI, Perjuangan Mahasiswa,
hingga lagu-lagu persahabatan.
Seminggu
setelah mereka nyanyi bersama, Roma sudah tidak bisa lagi aktif di Komisariat. Tinggal
pajangan fotonya yang bisa dilihat oleh teman-temannya. Setiap mereka yang
melihat fotonya, pasti berderai air mata. Roma, bagi mereka adalah sosok yang
dapat merubah mereka. Kebaikannya menjadi air yang sangat menyejukkan di
komisariat mereka. Roma menjadi penyubur bagi pertumbuhan dan perkembangan
setiap kader.
Baca juga: Merawat Kapal Tua
Mereka
tidak lagi bisa bertemu dengan Roma untuk selamanya. Sekali-kali mereka
mendatangi rumah Roma, walau Roma tidak ada lagi di sana. Bertemu keluarga
Roma, bagi mereka sudah seperti bertemu Roma. Pengurus Komisariat pun
mengadakan Rapat Harian memilih penerus Roma hingga sampai periode mereka
selesai. Yusuf pun akhirnya ditunjuk secara musyawarah oleh seluruh Pengurus
yang hadir di Rapat Harian.
Ibnu,
Yusuf, dan Tona tidak pernah absen dua kali dalam setahun menjenguk roma di
pemakaman Muslim di Jln. SM Raja. Muts (Peci HMI) dan Gordon HMI, mereka
letakkan di dekat batu nisannya Roma. “Selamat jalan Ketumku!.” Hanya itu kata-kata
yang bisa mereka ucapkan ketika mengunjungi Roma. Selebihnya butiran air yang
membasahi wajah mereka.[]
Penulis:
Ibnu Arsib (Bukan siapa-siapa, hanya manusia biasa).
Ket. gbr: Ilustration
Sbr.gbr: https://dlfrom.com/
Nb: Apabila ada kesamaan nama dalam cerita kami mohon maaf, hal ini merupakan bukan unsur kesengajaan.
No comments:
Post a Comment