Romantika Kader HMI Di Komisariat - Yakusa Blog

Yakusa Blog

Mewujudkan Komunitas Intelektual Muslim

Thursday 7 March 2019

Romantika Kader HMI Di Komisariat


YakusaBlog- Tepat awal musim hujan tahun 2014, Roma dilantik sebagai Ketua Umum di salah satu Komisariat yang ada di HMI Cabang Medan. Ia beserta Pengurus-pengurusnya telah bersumpah akan menjalankan amanah. Bagi Roma, menjadi seorang Ketua Umum bukanlah prioritas utamanya ber-HMI. Baginya ber-HMI, adalah suatu proses penempahan jati diri agar menjadi insan berkualitas. Ia lebih siap untuk menjadi tenaga pembantu daripada menjadi seorang Ketua Umum. Terbukti, periode sebelum ia menjadi Ketua Umum, ia banyak membantu dan militansi serta loyalitasnya tak diragukan lagi.
“Percuma saja memiliki jabatan, jika tidak bisa dipertanggungjawabkan.” Ia ingat pesan dari kakak kandungnya, Tika. Seorang kader HMI-Wati yang pernah berproses di HMI sampai tingkatan Badko HMI.
Apa hendak mau dikata, saat Rapat Anggota Komisariat (RAK), Roma diminta oleh seluruh peserta RAK agar dia menerima dan mau menjadi Ketua Umum. Awalnya ia menolak, tapi teman-temannya meyakinkan dan para senior-senior juga mengharapkannya, Roma pun terpilih secara aklamasi. Kali pertama hal itu terjadi di Komisariatnya. “Mengemis-ngemis jabatan hal yang terkotor di dunia ini. Janganlah sekali-kali kalian meminta jabatan.” Ia ingat betul pesan ustadznya sewaktu di pondok pesantren.
Dua minggu setelah dilantik, tibalah saatnya mereka melakukan Up-Grading komisariat yang dikelola oleh Pengurus HMI Cabang Medan dengan materi-materi yang sudah dijadwalkan. Up-Grading ini sangat penting bagi Roma dan teman-temannya. Demikian pula seluruh Kader HMI. Ia tidak pernah melewatkan sekalipun apabila ada Up-Grading di Komisariatnya, baik itu secara formal maupun informal. “Apabila kader-kader malas atau tidak mau mengapred diri terkait ke-HMI-an, dipastikan komisariatnya atau di tingkatan manapun, dia hanya sekedar ber-HMI saja.” Kata Pengelola Up-Grading dari salah satu Pengurus HMI Cabang Medan yang telah dimandatkan oleh HMI Cabang Medan.
“Bang, sekarang yang banyak kader-kader itu mengampretkan dirinya.” Tono, salah satu temannya Roma menimpali dengan senyuman.
“Ada juga yang masuk ke paret-paret jadi Cebong, Bang.” Kata temannya Tono. Sontak seluruh peserta Up-Grading tertawa. “Hahahahaa….”
Sebagai seorang Ketua Umum, Roma harus banyak belajar bagaimana mengelola Komisariat sebagai penanggungjawab penuh di Komisariatnya. Banyak orang memang menjadi Ketua Umum di HMI, tapi menganggap dirinya lebih dari teman-temannya. Bagi Roma, mendapat jabatan sebagai Ketua Umum, berarti kerja melayani para anggota, senior-senior dan alumni-alumni semakin ditingkatkan. Melayani dalam artian kata sesuai dengan tujuan HMI, yang tidak bertentangan dengan azas, independensi HMI, dan tidak melanggar aturan organisasi.
“Kepada teman-teman semua yang ada dalam Rapat Harian pertama ini.” Kata Roma dalam Rapat Harian mereka setelah terlantik. “Saya tidak bisa berjalan, tanpa bantuan teman-teman semuanya. Komisariat ini akan lumpuh jika hanya saya seorang yang menjalankannya.” Lanjutnya. Sebenarnya kata-kata itu pernah diucapkannya pada saat memberikan kata sambutan di hari pelantikannya.
Teman-temannya dengan hikmat mendengarkannya. Mereka tahu, setiap kata yang keluar dari Roma itu adalah serius. Mereka tahu, Roma adalah sosok laki-laki yang sangat Perfeksionis. Jadi, sebelum melakukan sesuatu yang sempurna atau sesuatu yang baik, pelakunya terlebih dahulu harus mengerti apa yang hendak akan dikerjakannya, dalam artian kata pelakunya harus meluruskan niatnya menjadi baik.
“Tidak juga bisa berjalan komisariat ini jika kita tidak selalu menambah wawasan kita tentang ke-HMI-an dan ilmu-ilmu yang lainnya.” Ia sambil menatap ke teman-temannya dengan wajah penuh harap. “Siapa pun kita, di mana pun jabatan kita, kita harus aktif menjalankan roda organisasi ini sampai akhir periode.” Ia pun mengembalikan forum kepada Pimpinan Sidang, yang dipimpin langsung oleh Sekretaris Umumnya, Sartika.
“Oh, ada satu lagi Pimpinan Sidang yang ingin saya sampaikan dalam agenda konsolidasi ini.” Kata Roma pada Sekumnya.
“Silahkan, Katua Umum…” Sartika memberikan kesempatan.
“Teman-teman semua yang saya banggakan. Jika perkara jabatan, menjadikan tidak aktif, siapa yang meminta jabatan lebih tinggi akan saya kasih. Bahkan jika ada yang meminta saya memberikan jabatan saya ini, saya serahkan dengan ikhlas, dengan catatan berjanji akan benar-benar bekerja untuk kebaikan.” Ia menatap serius kepada teman-temannya karena beberapa hari sebelum rapat, ada yang komplein masalah jabatan hasil susunan Roma bersama dua Mide Formature yang terpilih di RAK. “Jabatan bukan untuk eksistensialisme, menunjukkan bahwa ia hebat. Jabatan itu untuk melancarkan substansi berorganisasi, ber-HMI pada khususnya. Kita semua adalah pemimpin, walau berbeda jabatan. Mungkin itu saja Pimpinan Sidang” Ia menyerahkan waktu kembali kepada Sartika.
Rapat pun berjalan dengan lancar selancar awal musim hujan di tahun 2014. Masing-masing temannya memberikan tanggapan, pendapat dan persetujuan atas hal-hal yang melancarkan kepengurusan mereka ke depannya.
Persaudaraan dan keakraban mereka pun terbangun. Roma, walau terkesan sedikit otoriter, tapi ia banyak juga menerapkan seni demokrasi. Terkadang, seni otoriternya keluar saat genting. Buah demokrasi yang tanamkan juga menjadi perekat persaudaraan mereka. Perdebatan dan perbedaan pendapat baginya dan teman-temannya sudah biasa. Hal itu tidak lagi faktor kebencian atau tidak lagi menjadi unsur ketidaksukaan.
Tono, yang jago main gitar menjadi musisi mereka saat mereka sedang lelahnya menjalankan proyek-proyek kerja yang telah disepakati di Rapat Kerja. Tono selalu menghibur mereka di Sekretariat dengan berbagai macam lagu. Kelebihan Tono, walau ia seorang Wakil Sekretaris Umum di Komisariatnya, tapi ia bisa memimpin bidang musik di komisariatnya sehingga menjadi pengobat lelah.
Sembilan bulan telah berjalan kepengurusan. Banyak peningkatan yang terlihat baik secara internal komisariat maupun eksternal komisariat. Banyak terlihat peningkatan baik secara kuantitas jumlah kader maupun kualitas kader-kader. Keaktifan mereka membuat kegiatan yang bermanfaat bagi mahasiswa membuat mahasiswa Muslim di kampus mereka tertarik bergabung dengan HMI. Keaktifan mereka berdiskusi, membaca dan kegiatan intelektual lainnya meningkatkan kualitas mereka. Secara spiritual juga terbangun dengan kegiatan-kegiatan yang Islami.
Roma tidak pernah ada waktu kecuali kegiatan di HMI dan di kampus. Selesai jam kuliah, jam kerjanya di HMI pun telah menunggu. Sebagai seorang Ketua Umum, melayani adalah tugas utamanya. Memberikan motivasi dan semangat kepada teman-temannya adalah keharusan baginya. Silaturahmi adalah suatu kegiatannya yang tidak pernah tinggal sehingga merekatkan sesama pengurus, anggota atau kader yang lain, senior-senior juga para alumni.
“Waktu dua puluh empat jam bagi kita tidak cukup rasanya, Ibnu.” Ia mengungkapkannya pada Ibnu di malam hari selepas berdiskusi di Sekretariat. Ibnu adalah  salah satu Ketua Bidang di komisariat yang ia pimpin.
“Benar itu, Tum.” Kata Ibnu. “Tapi, Ketum harus jaga kesehatan. Aku lihat beberapa hari ini wajah Ketum terlihat pucat.” Lanjut Ibnu memperhatikan kesehatan Roma.
“Boleh aku pinjam kacamatamu bentar?” Roma meminta kacamata Ibnu.
“Untuk apa, Tum?” Tanya Ibnu balik. “Ketumkan nggak rabun.” Sambil Ibnu mencopot kacamatanya memberikannya ke Roma.
Roma coba memakainya, kemudian ia copot lagi. Di hembus-hembusnya kacamata itu seolah-olah sedang membersihkan abu dari kacanya. Ia pakai lagi, kemudian ia copot lagi. Ia bersihkan dengan ujung bawah bajunya, kemudian ia pakai lagi.
“Pantas kau bilang wajahku sering terlihat pucat.” Sambil ia mencopot kacamata itu. “Kacamatamu ini rupaya sudah rusak lensanya.” Roma menyerahkan kacamata itu pada pemiliknya.
“Nggak usah ditutup-tupilah, Tum.” Kata Ibnu.
“Apa yang ditutup-tutupi?”
“Berdemokrasi itu tidak harus diorganisasi. Bermusyawarah atau bercerita terkait permasalahan tidak harus di komisariat saja Ketum terapkan. Hal pribadi juga bisa kita bicarakan.” Kata Ibnu dengan bijak.
“Sumpah, aku nggak paham maksudmu apa, Ibnu.” Roma memasang muka serius.
“Ketum sakit kan?” Tanya Ibnu dengan wajah kepedulian.
“Sakit apa?” Roma bersembunyi dalam pertanyaan.
“Tum…, Tum…, jangan bohonglah samaku.” Kata Ibu.
“Iya, Ketum jangan bohonglah. Aku juga tahu.” Tiba-tiba saja Yusuf ikut nimbrung dalam pembicaraan Roma dan Ibnu yang sedari tadi mendengar percakapan mereka dari balik jendela.
Tiba-tiba saja Roma terkejut. Apa yang ia tutupi ternyata bukan Ibnu saja yang mengetahuinya. Yusuf juga mengetahui arti dari kepucatan wajahnya.
“Aku juga tahu. Bahwa Ketum kita sakit.” Tono tiba-tiba saja muncul.
“Kok, kalian jadi sok tahu?” Tanya Roma.
“Tum…, Tum…, aku ini Kabid P3A-mu.” Sambil duduk di dekat Roma. “Jadi setiap anggota, aku harus tahu bagaimana perkembangannya. Baik perkembangannya di Komisariat maupun pribadinya.” Kata Yusuf yang dipercayakan Roma sebagai Ketua Bidang Penelitian, Pembinaan dan Pengembangan Anggota (P3A). Mereka tidak memisahkannya menjadi dua bidang, Bidang Pembinaan Anggota (PA) dan Bidang Penelitian dan Pengembangan (Litbang).
“Aku juga tahu kalau Ketum sakit.” Tono mengulangi kata-katanya sambil mendekati Roma, Ibnu Kabid PTKP) dan Yusuf.
“Tahu dari mana kau, Ton?” Tanya Ibnu.
“Aku pernah lihat Ketum ke Rumah Sakit secara diam-diam.” Kata Tono.
“Bisa aja kan jenguk orang sakit.” Roma membela diri.
“Jenguk orang atau Check-up, Tum?” Tono bertanya dengan jebakan.
Roma tidak menjawab. Matanya berkaca-kaca. Ia terus menyembunyikan bahwa dirinya sakit. Ia tidak mau terlihat sakit di depan teman-temannya. Walau pun ia sakit, tapi hal itu ia tutupi dengan keaktifan dan tidak pernah mengeluh. Baginya, waktu akan sia-sia kalau tidak dimanfaatkan dengan baik. Dalam prinsipnya, amanah yang diemban harus di jalankan.
“Dan, aku pernah menemukan obat di dalam tas Ketum.” Kata Ibnu menambahi, membenarkan bahwa Roma ke Rumah Sakit bukan menjenguk orang. Roma pun semakin terkejut. Karena, kalau sudah tahu obat itu, teman-temannya pun akan tahu apa penyakitnya.
“Oke…, oke. Aku akui aku sakit.” Kata Roma. “Tapi aku mohon. Jangan katakan pada teman-teman yang lain.” Roma memohon.
“Aman, Tum. Kita akan simpan.” Kata Yusuf. “Tapi Ketum harus memperhatikan kesehatanmu.” Lanjutnya.
“Sebenarnya kata dokter penyakitku ini susah disembuhkan. Bahkan, usiaku tidak akan lama lagi. Penyakit ini sudah cukup lama menyerangku.” Mata Roma berkaca-kaca. “Aku sudah tidak peduli lagi dengan penyakitku ini. Yang terpenting bagiku sekarang adalah menghantarkan perjalanan Komisariat kita ini sampai pada akhri periode. Sampai RAK kepengurusan kita.” Sebutir air menetes menyentuh wajahnya.
“Bagaimana dengan orangtuamu, Tum?” Tanya Yusuf yang sebaya dengannya. “Kami khawatir nanti mereka menyalahkan organisasi ini.” Lanjut Yusuf sambil memegang Ketumnya.
“Ini permintaanku sendiri. Sejak aku di fonis dokter berpenyakit Tumor Otak, permintaanku pada mereka adalah diberikan waktu aktif hingga menghabiskan waktu hidupku dengan ber-HMI.” Butiran air yang membahasi wajahnya semakin deras. “Dan Alhamdulillah, ayah dan ibuku memperbolehkannya.” Yusuf langsung memeluk ketumnya.
Ibnu dan Tono merasa menyesal telah membawa pembicaraan malam itu pada penyakit ketum mereka. Mata Tono ikut berkaca-kaca. Ibnu sendiri melepas kacamatanya dan menghapus air matanya.
“Udah ah, jangan pikirkan tentang penyakitku ini.” Roma sadar sudah beberapa detik dalam kecengengan. “Kecengengan kali kita. Pake air mata lagi. Hahahah…” Roma memberikan semangat pada teman-temannya yang sebenarnya untuk dirinya sendiri.
Ibnu, Yusuf dan Tono hanya memandangi ketum mereka. Serentak mereka bertiga memeluk ketum mereka. Kembali lagi aliran air mata itu membasahi wajah mereka masing-masing.
“Udah…, udah. Ah, kok jadi kayak cewek kita.” Kata Roma melepas pelukan teman-temannya. “Yang terpenting kita harus aktif. Selama masih bisa bernafas, aku akan tetap aktif.” Roma memegang bahu teman-temannya.
Tona merasa sedikit tersindir. Ia yang begitu sehat tanpa penyakit, tapi tidak bisa seaktif ketumnya. “Tum, aku berjanji akan aktif sepertimu. Aku sadar sekarang. Aku tidak mau lagi menyia-nyiakan waktu. Akan kupenuhi setiap aktivitas di Komisariat juga aktivitas HMI lainnya.” Tono merangkul ketumnya dengan paksa.
“Hahahaa… udah ah.” Roma sambil tersenyum pada teman-temanya itu. “Ton, ambilkan gitar, kita nyanyi malam ini.” Perintah Roma.
Malam itu pun mereka bernyanyi bersama, mulai lagu-lagu HMI, Perjuangan Mahasiswa, hingga lagu-lagu persahabatan.
Seminggu setelah mereka nyanyi bersama, Roma sudah tidak bisa lagi aktif di Komisariat. Tinggal pajangan fotonya yang bisa dilihat oleh teman-temannya. Setiap mereka yang melihat fotonya, pasti berderai air mata. Roma, bagi mereka adalah sosok yang dapat merubah mereka. Kebaikannya menjadi air yang sangat menyejukkan di komisariat mereka. Roma menjadi penyubur bagi pertumbuhan dan perkembangan setiap kader.
Baca juga: Merawat Kapal Tua
Mereka tidak lagi bisa bertemu dengan Roma untuk selamanya. Sekali-kali mereka mendatangi rumah Roma, walau Roma tidak ada lagi di sana. Bertemu keluarga Roma, bagi mereka sudah seperti bertemu Roma. Pengurus Komisariat pun mengadakan Rapat Harian memilih penerus Roma hingga sampai periode mereka selesai. Yusuf pun akhirnya ditunjuk secara musyawarah oleh seluruh Pengurus yang hadir di Rapat Harian.
Ibnu, Yusuf, dan Tona tidak pernah absen dua kali dalam setahun menjenguk roma di pemakaman Muslim di Jln. SM Raja. Muts (Peci HMI) dan Gordon HMI, mereka letakkan di dekat batu nisannya Roma. “Selamat jalan Ketumku!.” Hanya itu kata-kata yang bisa mereka ucapkan ketika mengunjungi Roma. Selebihnya butiran air yang membasahi wajah mereka.[]

Penulis: Ibnu Arsib (Bukan siapa-siapa, hanya manusia biasa).


Ket. gbr: Ilustration
Sbr.gbr: https://dlfrom.com/
Nb: Apabila ada kesamaan nama dalam cerita kami mohon maaf, hal ini merupakan bukan unsur kesengajaan.

No comments:

Post a Comment