Di TIM Membangun TIM - Yakusa Blog

Yakusa Blog

Mewujudkan Komunitas Intelektual Muslim

Saturday 9 March 2019

Di TIM Membangun TIM


YakusaBlog- Malam hari itu kawasan Jln. Cini Raya, Jakarta Pusat, udara tarasa sejuk. Kurang lebih setengah jam, butiran air turun dari langit memberikan kesegaran pada pepohonan, bunga-bunga yang ada di kawasan tersebut. Butiran air masih terlihat segar yang nempel di daunan. Jalanan masih terlihat basah membanjiri abu-abu jalanan. Kenderaan roda dua sampai roda empat berlalu-lalang dengan kecepatan rendah. Orang-orang pun, mulai mengunjungi tempat itu selepas butiran-butiran air dari langit itu menyetubi bumi.
Ya, tempat itu adalah Taman Ismail Marzuki. Tempat yang lebih sering disebut dengan akronim – TIM. Suatu tempat yang tak asing lagi bagi para sastrawan, budayawan, mahasiswa, hingga kalangan masyarakat lainnya. Tempat itu sering menjadi tempat pementasan seni budaya. Sering juga dijadikan tempat melakukan pengajian-pengajian yang diisi oleh tokoh-tokoh, baik itu akademisi, sastrawan, hingga budayawan.
Malam itu memang tidak ada pementasan atau kegiatan di dalam. Akan tetapi, Pintu Gerbang TIM setiap malam selalu ramai. Lebih dari seratus orang setiap malam sering berkunjung ke sana. Siang atau malam, tempat itu sering dijadikan tempat wisata. Masuk sedikit melewati Pintu Gerbang, berdiri kokoh patung seorang Komponis terkenal dari Indonesia, yaitu Ismail Marzuki. Nama beliau lah yang dijadikan nama tempat tersebut.
“Terimakasih, Bang.” Kata Mukmin kepada driver Go-Jek yang menghantarkannya ke tempat itu.
“Sama-sama, Mas.” Driver itu menjawab dengan ramah.
Tidak sampai satu menit, hanya hitungan beberapa detik, driver itu telah tenggelam dalam keramaian pengguna jalan. Ia menyelip di antara mobil-mobil yang berjalan pelan karena orang-orang menyembarang menuju Pintu Gerbang TIM.
Para pedagang terlihat sibuk menyajikan pesanan para pengunjung TIM malam itu. Terdengar berbagai macam suara musik terdengar. Ada dua anak-anak yang sedang bergoyang dengan memakai kostum boneka beruang dengan memakai baju bola. Pengamen dengan mengharapkan kemurahan para pengunjung malam itu menyumbangkan suara-suara mereka dengan lagu-lagu yang mereka kuasai. Terkadang, pendengar mereka meminta lagu kesukaan mereka supaya dinyanyikan. Tepuk tangan pendegar yang sedang duduk lesehan di atas tikar yang terbuat dari spanduk. Berbagai suku yang dibalut dalam kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bersuka ria di sana.
Posisi mereka berkelompok-kelompok. Ada yang terlihat duduk berduaan sambil menikmati suasana di tempat itu, sambil menikmati makanan dan juga minuman yang mereka pesan dari pedagang. Terlihat juga, lebih dari dua orang, ada yang mungkin bersama keluarga, kerabat kerja, atau sekumpulan kedekatan lainnya.
Mukmin, seorang Kader HMI yang baru di reshuffle dari Kepengurusan PB HMI, berdiri menatap agak jauh ke depan setelah sampai di dekat gerobak salah satu pedagang. Ia sedang mencari-cari sesuatu di antara sekumpulan orang-orang yang sedang duduk berbentuk lingkaran dan melihat-lihat orang yang berjalan dari berbeda arus.
Ia pun melangkahkan kakinya mencari-cari sesuatu apa yang dicarinya. Ia menatap ke arah kanan sambil bejalan pelan. Kemudian ia balas menatap ke kiri dengan berjalan sambil mengambil Hp-nya dari saku. Ia mencari kontak salah satu temannya. Kaki terus saling mendahului dengan santai tanpa melihat ke depan tapi menundukkan melihat Hp-nya.
“Min… Mukmin.” Seseorang memanggil namanya dari sisi sebalah kanan.
Pandangan Mukmin pun beralih dari Hp-nya. Ia sudah sempat menekat tombol hijau untuk menelfon salah satu temannya. Kepalanya terangkat, menatap sumber suara yang memanggil-manggil namanya.
“Min, kami di sini.” Salah satu temannya berdiri sambil mengangkat tangannya kea rah Mukmin.
Mukmin pun langsung menekan tombol merah pada Hp-nya, karena apa yang ia cari sudah ia temukan. Dengan santai Mukmin berjalan ke sumber suara yang memanggil namanya dengan tersenyum akrab kepada teman-temannya yang menatap ke arahnya.
“Sorry, aku terlambat.” Sambil menyalami teman-temannya yang sudah duduk lesehan berbentuk lingkaran. “Tadi di tempatku masih hujan. Makanya agak lama baru berangkat.” Lanjutnya sambil mulai duduk bersama teman-temanya, kader-kader HMI yang sudah di-reshuffle dari PB HMI, sama seperti dirinya.
“Ah, santai aja, Min.” Kata Ari dengan melemparkan senyuman akrab. “Kami aja baru nyampe juga kok. Ini makanan belum kami pesan.” Terlihat di tengah mereka belum ada makanan, kecuali hanya beberapa bungkus rokok dan korek api.
Mukmin malam itu berkumpul dengan teman-teman akrabnya semasa menjadi Pengurus Harian PB HMI walau pun mereka tidak mendapatkan jabatan strategis di HMI. Jabatan strategis di HMI tidaklah hal prioritas bagi mereka. Sebagai kader yang berasal dari cabang masing-masing dan telah dimandatkan di PB HMI, keaktiban adalah hal utama bagi mereka. Mereka di-resshuffle karena atas permintaan mereka sendiri. Ada sesuatu faktor yang membuat pilihan itu mereka tetapkan. Mereka begitu muak, dinamika beberapa hari sebelum meminta di-reshuffle. Mereka merasa tidak layak lagi di kepengurusan dan karena demikianlah mereka berkumpul kembali setelah sudah sekitar sebulan mereka tidak bertemu.
“Udah kan, nggak ada lagi yang mau ditunggu.” Kata salah satu temannya bernama Bagas. “Kita pesan aja langsung makanan kita.”
“Iya. Di sini udah ada Mukmin, Bagas, Ari, Taufik, Imran dan aku.” Kata Fahmi sambil melihat-lihat temannya satu persatu.
“Kalian mau pesan apa?” Tanya Bagas.
Mereka pun menuliskan apa yang mau mereka pesan kemudian memberikan daftar makanan dan minuman yang ingin mereka nikmati malam itu.
“Kok, Bang Mukmin pesan dua nasi goreng?” Tanya Taufik yang lebih muda dari Mukmin.
“Mungkin dia kelaparan… hehehe…” Kata Ari sambil tertawa pelan.
“Satu untukku. Satu porsi lagi untuk teman nanti, bentar lagi mau datang.” Jawab Mukmin.
“Siapa?” Tanya Ari.
“Ada deh. Hahahaa….” Jawab Mukmin membalas tawanya Ari.
Sambil menunggu pesanan mereka mumulai pembicaraan yang sangat serius tapi mereka bawa dengan santai.
Mereka akan melakukan suatu gerakan. Gerakan yang bukan membalas dendam karena di-reshuffle dari kepengurusan PB HMI. Bukan gerakan yang memecah-belah HMI. Bukan gerakan yang merugikan atau menjual nama baik HMI. Bukan gerakan memburuk-burukkan teman-temannya di HMI. Tapi, gerakan yang mau mereka bangun adalah membentuk semacam tim untuk meningkatkan literasi keilmuan di HMI.
Berbagai pandangan mereka sampaikan terhadap rendahnya literasi keilmuan kader-kader HMI sekarang. Ada yang memberikan padangan, saat ini kader-kader kurang kajian dalam banyak aspek sehingga kualitas kader-kader HMI saat ini sangat menurun. Masing-masing memberikan pandangan dan ide-ide gagasan seperti gerakan yang mereka bangun.
“Ini harus menjadi gerakan nasional.” Tegas Imran.
“Harus. Gerakan ini kita bentuk di Ibu Kota, maka harus menasional.” Fahmi menegaskan kata-kata Imran.
“Untuk di cabang kita masing-masing, kita hubungi teman-teman di cabang kita, kemudian meminta mereka membentuk seperti yang kita buat.” Kata Bagas sambil menikmati hisapan rokoknya.
“Orang menganggap gerakan kita membentuk organisasi baru di HMI.” Kata Taufik.
“Oh, tidak. Gerakan kita malah semisi dengan HMI.” Kata Mukmin.
“Semua tadi sudah memberikan pandangan. Hal-hal apa yang harus dilakukan ke depan.” Kata Ari sambil menghisap rokoknya. “Sekarang, apa nama gerakan kita ini?” Tanya Ari dengan tidak sabar.
Belum sempat teman-teman yang lain menjawab pertanyaan dari Ari, seorang perempuan cantik, berjilbab hijau mendatangi mereka. Sontak, teman-temannya Mukmin terkejut dan terheran-heran melihat tiba-tiba bidadari mendatangi mereka.
“Duduk sini, Yunda.” Ajak Mukmin duduk di sampinya.
Seorang perempuan itu bernama Yunda. Kader HMI-Wati yang masih berproses di HMI Cabang yang ada di Badko Jawa Barat.
“Kenalin, ini teman-teman Abang.” Kata Mukmin menatap ke Yunda dan teman-temannya. “Ini namanya Ari, Bagas, Taufik, Imran, dan Fahmi.” Mukmin memperkenalkan dengan mengulurkan telapak tangannya ke arah teman-temannya.
Teman-teman Mukmin pun tersenyum karena saat perempuan itu melihat mereka, Yunda tersenyum manis. Manis yang tak pernah habis.
“Kenalin. Dia namanya Yunda.” Mukmin memperkenalkan. “Dia satu kampung dengan saya, tapi kuliah di Bandung.” Lanjut Mukmin.
“Ooo…, pantas tadi Mukmin pesan dua porsi nasi goreng.” Kata Ari. “Kami pikir dia kelaparan. Eh, rupanya untuk Yunda.” Ari tersenyum. Dan HMI-Wati yang manis nan cantik itu pun membalas.
Beberapa detik setelah Ari menyebutkan nasi goreng, pesanan mereka pun telah mendarat di tengah-tengah mereka. Pelayan menghantar terlebih dahulu makanan kemudian baru minuman. Sambil menikmati makanan, mereka tetap membicarakan suatu gerakan keilmuan yang akan mereka bentuk dan jalankan hingga ke daerah-daerah.
“Nanti di daerah Bandung, udah bisa itu di gerakkan oleh Yunda. Bukan begitu, Yunda?” Tanya Imran.
Yunda tidak langsung menjawab. Ia menatap ke arah Mukmin. “Tidak perlu harus ijin sama Mukmin. Aku yakin Mukmin pasti kasih ijin.” Sambut Taufik.
“Jangan dipaksa-paksa, Imran.” Kata Ari. “Semua harus dikerjakan dengan kesadaran tanpa ada unsur paksaan. Apalagi intervensi. Gerakan kajian keilmuan ini berangkat dari kesadaran akan kebutuhan keilmuan.” Tambah Ari.
“Insya Allah, aku bisa.” Kata Yunda setelah sedikit dapat kode iya dari Mukmin.
“Nah, gitu dong. Hahaha…” Fahmi mendukung.
Tidak berapa makanan mereka pun habis. Selepas makan rokok tidak pernah absen untuk di penikmat rasa kenyang. Mukmin, Bagas, Ari dan Fahmi menyeruput kopi yang mereka pesan. Sedangkan Taufik dan Yunda hanya minum air mineral. Taufik dan Yunda tidak menjadikan hisapan rokok menjadi penikmat sehabis makan.
“Jadi, apa nama yang mau kita buat ini?” Fahmi bertanya pada teman-temannya.
“Ya. Tadi aku juga udah nanya itu.” Ari begitu bersemangat.
Masing-masing mereka memutar kepala. Memikirkan apa nama gerakan literasi atau gerakan kajian keilmuan yang hendak mereka bangun.
“Apa ya namanya?” Taufik seolah bertanya pada dirinya sendiri.
“Yunda kira-kira ada rekomendasi nama?” Tanya Imran.
“Hmmmhmmm…” Yunda jadinya ikut memikirkan apa yang mereka buat.
“Bagaimana kalau namanya Ngopi.” Bagas menawarkan. “Ngopi, Ngobrol Pintar.” Bagas menatap teman-temannya menuju tanggapan dan pesetujuan.
“Ah, itu sudah biasa dan sudah sering kita dengar. Beberapa cabang sudah sering membuat itu.” Kata Ari.
“Iya. Di HMI Cabang Medan, Ngopi itu sudah ada. Setiap malam jumat, biasa mereka lakukan.” Kata Mukmin.
“Bagaimana kalau namanya TIM?” Yunda tiba-tiba mendapatkan apa yang dipaksakan untuk dipikirkannya tadi.
“Kepanjangannya apa itu Yunda?” Tanya Imran.
“Karena kita sekarang duduk dan membicarakannya di Taman Ismail Marzuki atau TIM, maka buat aja namanya TIM.” Yunda menatap ke Mukmi dan teman-temannya Mukmin. “Kepanjangannya Tim Intelektual Muda.” Yunda menatap penuh semangat dan menunggu suatu tanggapan.
Mukmin dan teman-temannya saling menatap. Nampak wajah berpikir atas nama yang diusulkan oleh Yunda. “Cocok. Aku sepakat apa yang dikatakan Yunda tadi.” Imaran menanggapai dan setuju. Lagi-lagi Imran yang paling bersemangat menaggapi ketika Yunda berbicara.
“Mantap.” Kata Bagas. “Bagaimana pendapatmu, Ri?” Bagas bertanya pada Ari.
“Cocok. Bungkus…”
“Kalau menutumu gimana, Mi?”
“Cocok. Bungkus juga.” Fahmi menjawab pertanyaan Bagas.
“Sekarang bagaimana menurutmu, Min?” Bagas bertanya pada Mukmin.
“Kalau teman-teman sudah setuju, aku juga setuju.” Kata Mukmin. “Yang penting adalah kegiatannya berjalan dan bermanfaat bagi kader-kader HMI, dan juga untuk orang lain.” Mukmin memberikan suatu harapan.
Alhamdulillah...” Mereka berucap syukur atas ide yang mereka dapatkan.
“Nah, sekarang untuk mensahkannya, kami serahkan pada Yunda untuk mengetuknya tanda TIM ini kita bangun.” Kata Bagas pada Yunda.
Awal Yunda menolak. Menolak karena segan. Ia paham di antara mereka semua, hanya ia yang paling junior.
“Tidak apa-apa.” Mukmin meyakinkan.
Yunda menarik nafas kemudian mengucapkan, “Dengan mengucapkan Bismillahirrahmanirrahim, Tim Intelektual Muda atau yang disigkat dengan TIM, kita sahkan.” Kemudian terdengar ketukan sendok pada piring sebanyak tiga kali, Ting… ting… ting…”
Alhamdulillah…” Mereka tidak hentik mengucapkan rasa syukur.
“Baik teman-teman. Perjalan TIM ini harus aktif. Lebih baik kita sibuk menambah kualitas intelektual kita dan kader-kader HMI, juga pemuda-pemuda lainnya, daripada ikut-ikut politik-politik atau sesuatu yang menurunkan kualitas keilmuan kita.” Kata Mukmin memberikan wejangan penyemangat atas terbentuknya TIM di TIM.
“Eh, Yunda. Ngomong-ngomong, aku boleh minta nomor WA?” Tanya Imran.
Yunda tidak langsung menjawab. Ia kembali lagi menatap Mukmin. Mukmin pun membalas dengan senyuman.
“Ah, kau ini.” Kata Ari pada Imran.
“Bisa bisa komunikasi maksudku.” Klarifikasi Imran.
“Nantikan bisa lewat Mukmin.”
“Hehehee…” Imran senyum sedikit malu.
“Hahahaa…. Hahahaa…” Mereka pun tertawa dengan akrab. Senyum harapan pun terlihat pada mereka. Niatan meningkatkan literasi atau kajian-kajian keilmuan semangat kuat.
Baca juga: Merawat Kapal Tua
Alhasil, setelah pertemua mereka malam itu, TIM mulai berkembang di Jakarta dan juga di beberapa Cabang yang ada di daerah-daerah. Hingga, beberapa bulan kemudian ia berkembang pesat. Kajiannya aktif dan sudah banyak menyebar di Cabang-cabang daeah. TIM menjadi pembicaraan oleh para kader HMI se-Nusantara.
Kajian TIM terus berjalan. Tidak hanya diskusi, mereka juga, baik di Pusat dan atau pun di daerah, melakukan banyak kegiatan-kegiatan ilmiah lainnya. terbukti, baru sekitar empat bulan terbentuk, mereka sudah menerbitkan buku hasil kumpulan tulisan-tulisan yang bergabung di TIM. Buku-buku yang ditulis oleh kader-kader yang bergabung di TIM menjadi bahan bacaan oleh kader-kader HMI lainnya. membaca, berdikusi, meneliti dan menulis menjadi tradisi yang melekat di TIM.[]

Penulis: Ibnu Arsib (Bukan siapa-siapa, hanya manusia biasa).



Ket.gbr: Ilustration
Sbr.gbr: http://jakarta.tribunnews.com/
Nb: Apabila ada kesamaan nama dalam cerita, kami mohon maaf. Hal itu bukan merupakan unsur kesengajaan dari penulis.

No comments:

Post a Comment