YakusaBlog- Malam
hari itu kawasan Jln. Cini Raya, Jakarta Pusat, udara tarasa sejuk. Kurang
lebih setengah jam, butiran air turun dari langit memberikan kesegaran pada
pepohonan, bunga-bunga yang ada di kawasan tersebut. Butiran air masih terlihat
segar yang nempel di daunan. Jalanan masih terlihat basah membanjiri abu-abu
jalanan. Kenderaan roda dua sampai roda empat berlalu-lalang dengan kecepatan
rendah. Orang-orang pun, mulai mengunjungi tempat itu selepas butiran-butiran
air dari langit itu menyetubi bumi.
Ya,
tempat itu adalah Taman Ismail Marzuki. Tempat yang lebih sering disebut dengan
akronim – TIM. Suatu tempat yang tak asing lagi bagi para sastrawan, budayawan,
mahasiswa, hingga kalangan masyarakat lainnya. Tempat itu sering menjadi tempat
pementasan seni budaya. Sering juga dijadikan tempat melakukan
pengajian-pengajian yang diisi oleh tokoh-tokoh, baik itu akademisi, sastrawan,
hingga budayawan.
Malam
itu memang tidak ada pementasan atau kegiatan di dalam. Akan tetapi, Pintu Gerbang
TIM setiap malam selalu ramai. Lebih dari seratus orang setiap malam sering
berkunjung ke sana. Siang atau malam, tempat itu sering dijadikan tempat
wisata. Masuk sedikit melewati Pintu Gerbang, berdiri kokoh patung seorang
Komponis terkenal dari Indonesia, yaitu Ismail Marzuki. Nama beliau lah yang
dijadikan nama tempat tersebut.
“Terimakasih,
Bang.” Kata Mukmin kepada driver
Go-Jek yang menghantarkannya ke tempat itu.
“Sama-sama,
Mas.” Driver itu menjawab dengan
ramah.
Tidak
sampai satu menit, hanya hitungan beberapa detik, driver itu telah tenggelam dalam keramaian pengguna jalan. Ia
menyelip di antara mobil-mobil yang berjalan pelan karena orang-orang
menyembarang menuju Pintu Gerbang TIM.
Baca juga: Romantika Kader HMI DI Komisariat
Para
pedagang terlihat sibuk menyajikan pesanan para pengunjung TIM malam itu.
Terdengar berbagai macam suara musik terdengar. Ada dua anak-anak yang sedang
bergoyang dengan memakai kostum boneka beruang dengan memakai baju bola.
Pengamen dengan mengharapkan kemurahan para pengunjung malam itu menyumbangkan
suara-suara mereka dengan lagu-lagu yang mereka kuasai. Terkadang, pendengar
mereka meminta lagu kesukaan mereka supaya dinyanyikan. Tepuk tangan pendegar
yang sedang duduk lesehan di atas tikar yang terbuat dari spanduk. Berbagai
suku yang dibalut dalam kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
bersuka ria di sana.
Posisi
mereka berkelompok-kelompok. Ada yang terlihat duduk berduaan sambil menikmati
suasana di tempat itu, sambil menikmati makanan dan juga minuman yang mereka
pesan dari pedagang. Terlihat juga, lebih dari dua orang, ada yang mungkin bersama
keluarga, kerabat kerja, atau sekumpulan kedekatan lainnya.
Mukmin,
seorang Kader HMI yang baru di reshuffle
dari Kepengurusan PB HMI, berdiri menatap agak jauh ke depan setelah sampai di
dekat gerobak salah satu pedagang. Ia sedang mencari-cari sesuatu di antara
sekumpulan orang-orang yang sedang duduk berbentuk lingkaran dan melihat-lihat
orang yang berjalan dari berbeda arus.
Ia
pun melangkahkan kakinya mencari-cari sesuatu apa yang dicarinya. Ia menatap ke
arah kanan sambil bejalan pelan. Kemudian ia balas menatap ke kiri dengan
berjalan sambil mengambil Hp-nya dari saku. Ia mencari kontak salah satu
temannya. Kaki terus saling mendahului dengan santai tanpa melihat ke depan
tapi menundukkan melihat Hp-nya.
“Min…
Mukmin.” Seseorang memanggil namanya dari sisi sebalah kanan.
Pandangan
Mukmin pun beralih dari Hp-nya. Ia sudah sempat menekat tombol hijau untuk
menelfon salah satu temannya. Kepalanya terangkat, menatap sumber suara yang
memanggil-manggil namanya.
“Min,
kami di sini.” Salah satu temannya berdiri sambil mengangkat tangannya kea rah Mukmin.
Mukmin
pun langsung menekan tombol merah pada Hp-nya, karena apa yang ia cari sudah ia
temukan. Dengan santai Mukmin berjalan ke sumber suara yang memanggil namanya
dengan tersenyum akrab kepada teman-temannya yang menatap ke arahnya.
“Sorry,
aku terlambat.” Sambil menyalami teman-temannya yang sudah duduk lesehan
berbentuk lingkaran. “Tadi di tempatku masih hujan. Makanya agak lama baru
berangkat.” Lanjutnya sambil mulai duduk bersama teman-temanya, kader-kader HMI
yang sudah di-reshuffle dari PB HMI,
sama seperti dirinya.
“Ah,
santai aja, Min.” Kata Ari dengan melemparkan senyuman akrab. “Kami aja baru
nyampe juga kok. Ini makanan belum kami pesan.” Terlihat di tengah mereka belum
ada makanan, kecuali hanya beberapa bungkus rokok dan korek api.
Mukmin
malam itu berkumpul dengan teman-teman akrabnya semasa menjadi Pengurus Harian
PB HMI walau pun mereka tidak mendapatkan jabatan strategis di HMI. Jabatan
strategis di HMI tidaklah hal prioritas bagi mereka. Sebagai kader yang berasal
dari cabang masing-masing dan telah dimandatkan di PB HMI, keaktiban adalah hal
utama bagi mereka. Mereka di-resshuffle
karena atas permintaan mereka sendiri. Ada sesuatu faktor yang membuat pilihan
itu mereka tetapkan. Mereka begitu muak, dinamika beberapa hari sebelum meminta
di-reshuffle. Mereka merasa tidak
layak lagi di kepengurusan dan karena demikianlah mereka berkumpul kembali
setelah sudah sekitar sebulan mereka tidak bertemu.
“Udah
kan, nggak ada lagi yang mau ditunggu.” Kata salah satu temannya bernama Bagas.
“Kita pesan aja langsung makanan kita.”
“Iya.
Di sini udah ada Mukmin, Bagas, Ari, Taufik, Imran dan aku.” Kata Fahmi sambil
melihat-lihat temannya satu persatu.
“Kalian
mau pesan apa?” Tanya Bagas.
Mereka
pun menuliskan apa yang mau mereka pesan kemudian memberikan daftar makanan dan
minuman yang ingin mereka nikmati malam itu.
“Kok,
Bang Mukmin pesan dua nasi goreng?” Tanya Taufik yang lebih muda dari Mukmin.
“Mungkin
dia kelaparan… hehehe…” Kata Ari sambil tertawa pelan.
“Satu
untukku. Satu porsi lagi untuk teman nanti, bentar lagi mau datang.” Jawab
Mukmin.
“Siapa?”
Tanya Ari.
“Ada
deh. Hahahaa….” Jawab Mukmin membalas tawanya Ari.
Sambil
menunggu pesanan mereka mumulai pembicaraan yang sangat serius tapi mereka bawa
dengan santai.
Baca juga: Kader Di HMI Kita Berdua
Mereka
akan melakukan suatu gerakan. Gerakan yang bukan membalas dendam karena di-reshuffle dari kepengurusan PB HMI. Bukan
gerakan yang memecah-belah HMI. Bukan gerakan yang merugikan atau menjual nama
baik HMI. Bukan gerakan memburuk-burukkan teman-temannya di HMI. Tapi, gerakan
yang mau mereka bangun adalah membentuk semacam tim untuk meningkatkan literasi
keilmuan di HMI.
Berbagai
pandangan mereka sampaikan terhadap rendahnya literasi keilmuan kader-kader HMI
sekarang. Ada yang memberikan padangan, saat ini kader-kader kurang kajian
dalam banyak aspek sehingga kualitas kader-kader HMI saat ini sangat menurun. Masing-masing
memberikan pandangan dan ide-ide gagasan seperti gerakan yang mereka bangun.
“Ini
harus menjadi gerakan nasional.” Tegas Imran.
“Harus.
Gerakan ini kita bentuk di Ibu Kota, maka harus menasional.” Fahmi menegaskan
kata-kata Imran.
“Untuk
di cabang kita masing-masing, kita hubungi teman-teman di cabang kita, kemudian
meminta mereka membentuk seperti yang kita buat.” Kata Bagas sambil menikmati
hisapan rokoknya.
“Orang
menganggap gerakan kita membentuk organisasi baru di HMI.” Kata Taufik.
“Oh,
tidak. Gerakan kita malah semisi dengan HMI.” Kata Mukmin.
“Semua
tadi sudah memberikan pandangan. Hal-hal apa yang harus dilakukan ke depan.”
Kata Ari sambil menghisap rokoknya. “Sekarang, apa nama gerakan kita ini?”
Tanya Ari dengan tidak sabar.
Belum
sempat teman-teman yang lain menjawab pertanyaan dari Ari, seorang perempuan
cantik, berjilbab hijau mendatangi mereka. Sontak, teman-temannya Mukmin
terkejut dan terheran-heran melihat tiba-tiba bidadari mendatangi mereka.
“Duduk
sini, Yunda.” Ajak Mukmin duduk di sampinya.
Seorang
perempuan itu bernama Yunda. Kader HMI-Wati yang masih berproses di HMI Cabang
yang ada di Badko Jawa Barat.
“Kenalin,
ini teman-teman Abang.” Kata Mukmin menatap ke Yunda dan teman-temannya. “Ini
namanya Ari, Bagas, Taufik, Imran, dan Fahmi.” Mukmin memperkenalkan dengan
mengulurkan telapak tangannya ke arah teman-temannya.
Baca juga: HMI-Wan Yang Tampan dan Menawan
Teman-teman
Mukmin pun tersenyum karena saat perempuan itu melihat mereka, Yunda tersenyum
manis. Manis yang tak pernah habis.
“Kenalin.
Dia namanya Yunda.” Mukmin memperkenalkan. “Dia satu kampung dengan saya, tapi
kuliah di Bandung.” Lanjut Mukmin.
“Ooo…,
pantas tadi Mukmin pesan dua porsi nasi goreng.” Kata Ari. “Kami pikir dia
kelaparan. Eh, rupanya untuk Yunda.” Ari tersenyum. Dan HMI-Wati yang manis nan
cantik itu pun membalas.
Beberapa
detik setelah Ari menyebutkan nasi goreng, pesanan mereka pun telah mendarat di
tengah-tengah mereka. Pelayan menghantar terlebih dahulu makanan kemudian baru
minuman. Sambil menikmati makanan, mereka tetap membicarakan suatu gerakan
keilmuan yang akan mereka bentuk dan jalankan hingga ke daerah-daerah.
“Nanti
di daerah Bandung, udah bisa itu di gerakkan oleh Yunda. Bukan begitu, Yunda?”
Tanya Imran.
Yunda
tidak langsung menjawab. Ia menatap ke arah Mukmin. “Tidak perlu harus ijin
sama Mukmin. Aku yakin Mukmin pasti kasih ijin.” Sambut Taufik.
“Jangan
dipaksa-paksa, Imran.” Kata Ari. “Semua harus dikerjakan dengan kesadaran tanpa
ada unsur paksaan. Apalagi intervensi. Gerakan kajian keilmuan ini berangkat
dari kesadaran akan kebutuhan keilmuan.” Tambah Ari.
“Insya
Allah, aku bisa.” Kata Yunda setelah sedikit dapat kode iya dari Mukmin.
“Nah,
gitu dong. Hahaha…” Fahmi mendukung.
Tidak
berapa makanan mereka pun habis. Selepas makan rokok tidak pernah absen untuk
di penikmat rasa kenyang. Mukmin, Bagas, Ari dan Fahmi menyeruput kopi yang
mereka pesan. Sedangkan Taufik dan Yunda hanya minum air mineral. Taufik dan
Yunda tidak menjadikan hisapan rokok menjadi penikmat sehabis makan.
“Jadi,
apa nama yang mau kita buat ini?” Fahmi bertanya pada teman-temannya.
“Ya.
Tadi aku juga udah nanya itu.” Ari begitu bersemangat.
Masing-masing
mereka memutar kepala. Memikirkan apa nama gerakan literasi atau gerakan kajian
keilmuan yang hendak mereka bangun.
“Apa
ya namanya?” Taufik seolah bertanya pada dirinya sendiri.
“Yunda
kira-kira ada rekomendasi nama?” Tanya Imran.
“Hmmmhmmm…”
Yunda jadinya ikut memikirkan apa yang mereka buat.
“Bagaimana
kalau namanya Ngopi.” Bagas menawarkan. “Ngopi, Ngobrol Pintar.” Bagas menatap
teman-temannya menuju tanggapan dan pesetujuan.
“Ah,
itu sudah biasa dan sudah sering kita dengar. Beberapa cabang sudah sering
membuat itu.” Kata Ari.
“Iya.
Di HMI Cabang Medan, Ngopi itu sudah ada. Setiap malam jumat, biasa mereka
lakukan.” Kata Mukmin.
“Bagaimana
kalau namanya TIM?” Yunda tiba-tiba mendapatkan apa yang dipaksakan untuk
dipikirkannya tadi.
“Kepanjangannya
apa itu Yunda?” Tanya Imran.
“Karena
kita sekarang duduk dan membicarakannya di Taman Ismail Marzuki atau TIM, maka
buat aja namanya TIM.” Yunda menatap ke Mukmi dan teman-temannya Mukmin. “Kepanjangannya
Tim Intelektual Muda.” Yunda menatap penuh semangat dan menunggu suatu
tanggapan.
Baca juga: Maaf Kanda, Aku Tak Bisa Jadi Timses!
Mukmin
dan teman-temannya saling menatap. Nampak wajah berpikir atas nama yang
diusulkan oleh Yunda. “Cocok. Aku sepakat apa yang dikatakan Yunda tadi.” Imaran
menanggapai dan setuju. Lagi-lagi Imran yang paling bersemangat menaggapi
ketika Yunda berbicara.
“Mantap.”
Kata Bagas. “Bagaimana pendapatmu, Ri?” Bagas bertanya pada Ari.
“Cocok.
Bungkus…”
“Kalau
menutumu gimana, Mi?”
“Cocok.
Bungkus juga.” Fahmi menjawab pertanyaan Bagas.
“Sekarang
bagaimana menurutmu, Min?” Bagas bertanya pada Mukmin.
“Kalau
teman-teman sudah setuju, aku juga setuju.” Kata Mukmin. “Yang penting adalah
kegiatannya berjalan dan bermanfaat bagi kader-kader HMI, dan juga untuk orang
lain.” Mukmin memberikan suatu harapan.
“Alhamdulillah...” Mereka berucap syukur
atas ide yang mereka dapatkan.
“Nah,
sekarang untuk mensahkannya, kami serahkan pada Yunda untuk mengetuknya tanda
TIM ini kita bangun.” Kata Bagas pada Yunda.
Awal
Yunda menolak. Menolak karena segan. Ia paham di antara mereka semua, hanya ia
yang paling junior.
“Tidak
apa-apa.” Mukmin meyakinkan.
Yunda
menarik nafas kemudian mengucapkan, “Dengan mengucapkan Bismillahirrahmanirrahim, Tim Intelektual Muda atau yang disigkat
dengan TIM, kita sahkan.” Kemudian terdengar ketukan sendok pada piring
sebanyak tiga kali, Ting… ting… ting…”
“Alhamdulillah…” Mereka tidak hentik
mengucapkan rasa syukur.
“Baik
teman-teman. Perjalan TIM ini harus aktif. Lebih baik kita sibuk menambah
kualitas intelektual kita dan kader-kader HMI, juga pemuda-pemuda lainnya,
daripada ikut-ikut politik-politik atau sesuatu yang menurunkan kualitas
keilmuan kita.” Kata Mukmin memberikan wejangan penyemangat atas terbentuknya
TIM di TIM.
“Eh,
Yunda. Ngomong-ngomong, aku boleh minta nomor WA?” Tanya Imran.
Yunda
tidak langsung menjawab. Ia kembali lagi menatap Mukmin. Mukmin pun membalas
dengan senyuman.
“Ah,
kau ini.” Kata Ari pada Imran.
“Bisa
bisa komunikasi maksudku.” Klarifikasi Imran.
“Nantikan
bisa lewat Mukmin.”
“Hehehee…”
Imran senyum sedikit malu.
“Hahahaa….
Hahahaa…” Mereka pun tertawa dengan akrab. Senyum harapan pun terlihat pada
mereka. Niatan meningkatkan literasi atau kajian-kajian keilmuan semangat kuat.
Baca juga: Merawat Kapal Tua
Alhasil,
setelah pertemua mereka malam itu, TIM mulai berkembang di Jakarta dan juga di
beberapa Cabang yang ada di daerah-daerah. Hingga, beberapa bulan kemudian ia
berkembang pesat. Kajiannya aktif dan sudah banyak menyebar di Cabang-cabang
daeah. TIM menjadi pembicaraan oleh para kader HMI se-Nusantara.
Kajian
TIM terus berjalan. Tidak hanya diskusi, mereka juga, baik di Pusat dan atau
pun di daerah, melakukan banyak kegiatan-kegiatan ilmiah lainnya. terbukti,
baru sekitar empat bulan terbentuk, mereka sudah menerbitkan buku hasil
kumpulan tulisan-tulisan yang bergabung di TIM. Buku-buku yang ditulis oleh
kader-kader yang bergabung di TIM menjadi bahan bacaan oleh kader-kader HMI
lainnya. membaca, berdikusi, meneliti dan menulis menjadi tradisi yang melekat
di TIM.[]
Penulis:
Ibnu Arsib (Bukan siapa-siapa, hanya manusia biasa).
Ket.gbr: Ilustration
Sbr.gbr: http://jakarta.tribunnews.com/
Nb: Apabila ada kesamaan nama dalam cerita, kami mohon maaf. Hal itu bukan merupakan unsur kesengajaan dari penulis.
No comments:
Post a Comment