YakusaBlog- Meskipun
disadari, definisi tidak pernah dapat menampilkan dengan sempurna pengertian
sesuatu yang dikandungnya, disamping setiap orang selalu berbeda gaya dalam
mendefinisikan suatu masalah, pada setiap penyelidikan permulaan suatu ilmu
sudah lazim dibuka dengan pembicaraan definisinya. Kebijaksanaan ini ditempuh,
mengingat bahwa dalam keanekaragaman itu terdapat persamaan-persamaan prinsip
yang dapat mengantarkan kepada garis besar masalah, medan gerak dan batas dari
ilmu yang hendak diselidiki. Sudah barang tentu pengertian yang diantar oleh
definisi tidak sejelas yang didapat setelah akhir penyelidikan. Karena itu
definisi yang bertugas sebagai pembuka pintu tidak mengandung bahaya selama
kita memandangnya sebagai tempat pengenalan sementara yang dapat digeser ke
arah kesempurnaan lebih lanjut.
‘Logik’
adalah bahasa Latin berasal dari kata ‘Logos’ yang berarti perkataan atau
sabda.[1]
Istilah lain yang digunakan sebagai gantinya adalah Mantiq, kata Arab
yang diambil dari kata kerja nataqa yang berarti berkata atau berucap.[2]
Dalam bahasa
sehari-hari, kita sering mendengar ungkapan serupa: alasannya tigak logis,
argumentasinya logis, kabar itu tidak logis. Yang dimaksud dengan logis adalah
masuk akal, dan tidak logis adalah sebaliknya.
Dalam buku Logic
and Language of Education, mantiq disebut sebagai “penyelidikan tentang
dasar-dasar dan metode-metode berpikir benar,[3]
sedangkan dalam kamus Munjid disebut sebagai “Hukum yang memelihara hati
nurani dari kesalahan dalam berpikir.”[4]
Prof. Thaib Thahir A. Mu’in membatasi dengan “Ilmu untuk menggerakkan pikiran
kepada jalan yang lurus dalam memperoleh suatu kebenaran.”[5]
Sedangkan Irving M. Copi menyatakan, “Logika adalah ilmu yang mempelajari
metode dan hukum-hukum yang digunakan untuk membedakan penalaran yang betul
dari penalaran yang salah.”[6]
Kata
‘Logika’ rupa-rupanya dipergunakan pertama kali oleh Zeno dan Citium. Kaum
Sofis, Socrates dan Plato harus dicatat sebagai perintis lahirnya Logika.
Logika lahir sebagai ilmu atas jasa Aristoteles, Theprostus dan kaum Stoa.[7]
Aristoteles
meninggalkan enam buah buku yang oleh murid-muridnya diberi nama (judul) Organon.
Buku tersebut adalah Categoriae (mengenai pengertian-pengertian), De
Interpretatiae (mengenai putusan-putusan), Analitica Priora (tentang
silogisme), Analitica Posteriora (mengenai pembuktian), Topika (mengenai
berdebat) dan De Sophisticis Elenchis (mengenai kesalahan-kesalahan
berpikir). Theoprostus mengembangkan Logika Aristoteles ini, sedangkan kaum
Stoa mengajukan bentuk-bentuk berpikir yang sistematis. Buku-buku inilah yang
menjadi dasar Logika Tradisional.[8]
Pada masa
penerjemahan ilmu-ilmu Yunani ke dalam dunia Arab yang dimulai pada abad II
Hijriah, Logika merupakan bagian yang amat menarik minat kaum Muslimin.
Selanjutnya, Logika dipelajari secara meriah dalam kalangan luas, menimbulkan
pelbagai pendapatan dalam hubungannya dengan masalah agama. Ibnu Salih dan Imam
Nawawi menghukumi haram mempelajari Matiq sampai mendalam. Al-Ghazali
menganjurkan dan menganggap baik, sedangkan menurut Jumhur Ulama membolehkan
bagi orang-orang yang cukup akalnya dan kokoh imannya.[9]
Filosof al-Kindi,
mempelajari dan menyelidiki Logika Yunani secara khusus dan studi ini dilakukan
lebih mendalam oleh al-Farabi. Ia mengadakan penyelidikan mendalam atas lafal
dan menguji kaidah-kaidah Matiq dalam proposisi-proposisi kehidupan sehari-hari
untuk membuktikan benar salahnya, merupakan suatu tindakan yang belum pernah
dilakukan sebelumnya.[10]
Selanjutnya,
Logika mengalami masa dekandensinya (merosot atau mundur) yang panjang. Logika
menjadi sangat dangkal dan sederhana sekali. Masa itu dipergunakan buku-buku
Logika seperti Isagoge dari Porphirius, Fon Sciente dari John
Damascenus, buku-buku komentar Logika dari Bothius, buku sistematisasi Logika
dari Thomas Aquinas, kesemuanya mengembangkan Logika Aristoteles.
Pada abad
XIII sampai dengan abad XV, tampillah Petrus Hispanus, Roger Bacon, Raymundus
Lullus dan Wilhelm Ocham mengetengahkan Logika yang berbeda sekali dengan
metode Aristoteles, yang kemudian kita kenal dengan Logika Modern. Raymundus
Lullus mengemukakan metode baru Logika yang disebut Ars Magna, semacam aljabar
pengertian dengan maksud membuktikan kebenaran-kebenaran tertinggi.
Penemuan-penemuan
baru pada abad XVII dan XVIII, ketika Francis Bacon mengembangkan metode
induktif, ia menyusun buku Novum Organum Scientiarum. W. Leibnitz
menyusun logika aljabar untuk membikin sederhana pekerjaan akal serta memberi
kepastian. Immanuel Kant menemukan Logika Transendental (Logika yang
menyelidiki bentuk-bentuk pemikiran yang mengatasi batas pengalaman).
Pada abad
XIX, Logika dipandang sebagai sekedar peristiwa psikologis dan metodis seperti
yang diajarkan oleh W. Wund, J. Dewey dan M. Baldwin.
Nama-nama
seperti George Boole, Bertrand Russel dan G. Frege harus dicatat sebagai tokoh
yang banyak berjasa dalam kehidupan Logika Modern.[11][]
Sumber
bacaan: Drs. H. Mundiri, Logika, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada,
2008, hlm. 1-4.
Sumber Gbr: https://www.deviantart.com
[1] K. Prent
C. M., J. Adisubrata, dan W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Latin-Indonesia,
Yayasan Kanisius, Semarang, 1969, hlm. 501.
[2] Ahmad
Warson Munawir, al-Munawir, Kamus Arab-Indonesia, Yogyakarta, 1984, hlm.
1531.
[3] George
F. Kneller, Logic & Language of Education, New York, 1966, hlm. 13.
[4] Louis
Ma’lul, Munjid, Cet. Ke-26, Beirut, 1973, hlm. 816.
[5] Thaib
Thahir A. Mu’in, Ilmu Mantiq, Widjaya, Jakarta, 1966, hlm. 16.
[6] Irving
M. Copi, Introduction to Logic, fifth edition, Macmillan Publishing Co,.
New York, 1978, hlm. 3.
[7] Bertrand
Russel, History of Western Philosphy, London, George Allen & Unwin,
Cet. VII, 1974, hlm. 206.
[8] Richard
B. Angel, Reasoning and Logic, Century Crafts, New York, 1964, hlm. 41.
[9] A.
Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1976, hlm.
3-5.
[10] Ibid,
hlm. 29-30.
[11] Tentang
ilmu (science), lihat Herbert J. Muller, Science and Criticism,
Nw York, Yale University Press, 1943, hlm. 63-68.
No comments:
Post a Comment