Kepercayaan Versus Ilmu Pengetahuan - Yakusa Blog

Yakusa Blog

Mewujudkan Komunitas Intelektual Muslim

Monday 25 December 2017

Kepercayaan Versus Ilmu Pengetahuan


YakusaBlog- Penggunaan kata “versus” atau sering disingkat “vs” di sini hanyalah sekedar mencari kemudahan pemilihan kata. Maka tidak dikehendaki penafsiran langsung atas arti pertentangan. Kepercayaan tidak selalu bertentangan dengan ilmu pengetahuan, begitulah klaim dari banyak tokoh agama, dan hal ini didukung oleh banyak sekali bukti. Mungkin kepercayaan berbeda dengan ilmu pengetahuan dalam memandang suatu masalah, tidak bertentangan atau antagonis. Dalam keadaan demikian, dapat diharapkan, suatu saat antara keduanya akan terjadi pertemuan dan persesuaian.
Tetapi tidak dapat disangka bahwa sejarah umat manusia, antara lain, memuat bukti-bukti bahwa hubungan antara kepercayaan, atau agama, dengan ilmu pengetahuan, tidak selalu harmonis. Antagonisme antara keduanya, sebagaimana diwakili oleh masing-masing pendukungnya, sempat memengaruhi kehidupan orang banyak dalam jangka waktu yang cukup lama.
Mula-mula tampaknya pertentangan itu mengenai sumua cabang ilmu pengetahuan: alam maupun sosial. Tetapi saat ini, rasanya sudah amat jarang terdengar bahwa agama atau kepercayaan menentang suatu perkembangan ilmu pengetahuan alam. Walaupun begitu, penentangan oleh agama atau kepercayaan terhadap perkembangan ilmu sosial masih dirasakan sebagai sesuatu yang berlangsung. Kiranya hal itu tidak perlu mengherankan. Sebab, pertentangan atau perbedaan itu berakar dalam pertentangan dan perbedaan antara etika masing-masing: agama dan kepercayaan menuntut adanya sikap menerima dengan teguh, tanpa ragu dan kesepian, tentang hasil kesudahan; sedangkan ilmu justru dilandaskan kepada skeptisisme dan sikap tidak berkepentingan (disinterestedness) akan hasil kesudahan suatu kegiatan ilmiah, selain nilai ilmiah itu sendiri.
Lebih tidak mengherankan lagi ialah adanya pertentangan itu. Sebab pada sesama ilmu pengetahuan sosial saja, yang berlandaskan etika yang sama, pertentangan sering merupakan sesuatu yang tidak mudah dihindari. Pada zaman modern ini, pertentangan ideologi yang paling banyak memengaruhi kehidupan manusia bukanlah antara yang agama dan yang duniawi (sekuler), tetapi justru antara yang sama-sama sekuler (kapitalisme lawan komunisme).
Tetapi mungkin, yang lebih menentukan adanya pertentangan antara agama dan ilmu sosial ialah “revalitas” antara keduanya dalam menerangkan keadaan atau kenyataan. Dilihat dari sudut pandang yang lebih empiris, menurut Roland Robertson, pada keseluruhannya, sistem-sistem kepercayaan adalah “percobaan fundamental untuk menemukan weltanschaung yang cocok.”
Dikatakan selanjutnya, bahwa dua hal tentang persaingan antara ilmu sosial dan agama merupakan akibat dari kenyataan di atas. Pertama, ilmu sosial beridiri sebagai saingan (rival) terhadap pandangan keagamaan, melalui kenyataan bahwa ia sungguh-sungguh mencoba menerangkan kenyataan-kenyataan. Kedua, banyak ilmu sosial memberikan perhatian kepada pembentukan paradigma-paradigma dan pandangan-pandangan, biasanya atas dasar bahwa perangkat tertentu persoalan-persoalan empiris yang dipertanyakan belum bisa diatasi dengan menggunakan ukuran-ukuran penjelas yang tegas. Jadi, persaingan terjadi dengan mengambil dua bentuk yang saling berhubungan dekat. Dalam hal pertama, ilmu sosial, dalam satu segi mengaku atau mengklaim lebih untuk dirinya daripada agama atau ilmu agama. Dalam hal kedua, ilmu sosial menyediakan dirinya sebagai suatu pilihan tersendiri tentang wltanschaung.
Mungkin hal tersebut dapat ikut menjelaskan, mengapa sampai saat ini penelitian tentang agama masih mengalami jalan yang seret, bahkan tidak jarang terdengar suara-suara yang agak sumbang atau tidak setuju.
Jalan Keluar?
Kita bisa mengatakan bahwa persoalan agama adalah peka. Tetapi lebih daripada peka, penelitian agama adalah rumit. Kerumitan itu antara lain dicoba dijelaskan sepintas lalu tadi. Maka dari itu, mengemukakan jalan keluar dalam hal yang peka lagi rumit ini, akan selali merupakan percobaan yang bersifat sementara, dengan kesediaan menrima hasil yang kurang memuaskan. Jadi, dengan sendirinya jalan keluar yang yang hendak dikeluarkan di sini sangat bersifat sementara, dan coba-coba (tentative) sifatnya.
Mengingat adanya potensi persaingan antara agama dan ilmu sosial yang akan menjadi alat untuk meneliti agama itu, maka jalan keluar yang segera terbayang dalam pikiran ialah bagaimana menemukan jalan tengah antara atau gabungan dari keduanya.
Dalam kenyataannya, hal itu berarti pertaruhan dalam pribadi-pribadi para peneliti agama. Mungkin pribadi-pribadi itu ialah tenaga-tenaga yang karena berbagai hal, mempunyai kemungkinan lebih bak daripada yang lainnya dalam memahami segi-segi keimanan suatu agama, sebagai mana dipeluk masyarakat, tetapi sekaligus juga memiliki keteranpilan meneliti, dalam arti sanggup melihat dan menilai kenyataan-kenyataan, tanpa perlu memiliki kepentingan atau “interest” di dalamnya.
Betapa sulitnya menemukan tenaga serupa itu, kiranya bukanlah suatu hal yang mustahil. Malahan barangkali pihak-pihak yang berwenang, yakin lembaga-lembaga ilmiah, dapat dengan sengaja menciptakan tenaga-tenaga serupa itu, misalnya melalui latihan-latihan teratur. Sebab, pilihan lain akan barangkali mengecewakan: penelitian agama oleh seorang agamawan saja, hanya akan menghasilkan “teologi”, sedangkan pekerjaan itu, oleh ilmuwan saja, mungkin akan terbatas hanya kepada kenyataan-kenyataan “yang bisa diukur”. Lebih-lebih jika telah disepakati bahwa “makna” adalah suatu kenyataan dalam hidup manusia, maka jenis penelitian “luaran” seperti itu, tentu akan sangan kekurangan kegunaan.[]


Sumber: Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, PT Mizan Pustaka, Bandung, 2008, hal: 307-310.

Ket.gbr: net/ilustrasi
Sumber gbr: https://www.deviantart.com/

No comments:

Post a Comment