YakusaBlog- Penggunaan kata “versus” atau sering disingkat “vs” di sini hanyalah
sekedar mencari kemudahan pemilihan kata. Maka tidak dikehendaki penafsiran
langsung atas arti pertentangan. Kepercayaan tidak selalu bertentangan dengan
ilmu pengetahuan, begitulah klaim dari banyak tokoh agama, dan hal ini didukung
oleh banyak sekali bukti. Mungkin kepercayaan berbeda dengan ilmu pengetahuan
dalam memandang suatu masalah, tidak bertentangan atau antagonis. Dalam keadaan
demikian, dapat diharapkan, suatu saat antara keduanya akan terjadi pertemuan
dan persesuaian.
Tetapi tidak dapat disangka bahwa sejarah umat manusia, antara lain, memuat
bukti-bukti bahwa hubungan antara kepercayaan, atau agama, dengan ilmu
pengetahuan, tidak selalu harmonis. Antagonisme antara keduanya, sebagaimana
diwakili oleh masing-masing pendukungnya, sempat memengaruhi kehidupan orang
banyak dalam jangka waktu yang cukup lama.
Baca juga: Dasar-Dasar Kepercayaan
Mula-mula tampaknya pertentangan itu mengenai sumua cabang ilmu
pengetahuan: alam maupun sosial. Tetapi saat ini, rasanya sudah amat jarang
terdengar bahwa agama atau kepercayaan menentang suatu perkembangan ilmu
pengetahuan alam. Walaupun begitu, penentangan oleh agama atau kepercayaan
terhadap perkembangan ilmu sosial masih dirasakan sebagai sesuatu yang
berlangsung. Kiranya hal itu tidak perlu mengherankan. Sebab, pertentangan atau
perbedaan itu berakar dalam pertentangan dan perbedaan antara etika
masing-masing: agama dan kepercayaan menuntut adanya sikap menerima dengan
teguh, tanpa ragu dan kesepian, tentang hasil kesudahan; sedangkan ilmu justru
dilandaskan kepada skeptisisme dan sikap tidak berkepentingan (disinterestedness) akan hasil kesudahan
suatu kegiatan ilmiah, selain nilai ilmiah itu sendiri.
Lebih tidak mengherankan lagi ialah adanya pertentangan itu. Sebab pada
sesama ilmu pengetahuan sosial saja, yang berlandaskan etika yang sama,
pertentangan sering merupakan sesuatu yang tidak mudah dihindari. Pada zaman
modern ini, pertentangan ideologi yang paling banyak memengaruhi kehidupan
manusia bukanlah antara yang agama dan yang duniawi (sekuler), tetapi justru
antara yang sama-sama sekuler (kapitalisme lawan komunisme).
Tetapi mungkin, yang lebih menentukan adanya pertentangan antara agama dan
ilmu sosial ialah “revalitas” antara keduanya dalam menerangkan keadaan atau
kenyataan. Dilihat dari sudut pandang yang lebih empiris, menurut Roland
Robertson, pada keseluruhannya, sistem-sistem kepercayaan adalah “percobaan
fundamental untuk menemukan weltanschaung
yang cocok.”
Dikatakan selanjutnya, bahwa dua hal tentang persaingan antara ilmu sosial
dan agama merupakan akibat dari kenyataan di atas. Pertama, ilmu sosial beridiri sebagai saingan (rival) terhadap
pandangan keagamaan, melalui kenyataan bahwa ia sungguh-sungguh mencoba
menerangkan kenyataan-kenyataan. Kedua,
banyak ilmu sosial memberikan perhatian kepada pembentukan paradigma-paradigma
dan pandangan-pandangan, biasanya atas dasar bahwa perangkat tertentu
persoalan-persoalan empiris yang dipertanyakan belum bisa diatasi dengan
menggunakan ukuran-ukuran penjelas yang tegas. Jadi, persaingan terjadi dengan
mengambil dua bentuk yang saling berhubungan dekat. Dalam hal pertama, ilmu
sosial, dalam satu segi mengaku atau mengklaim lebih untuk dirinya daripada agama
atau ilmu agama. Dalam hal kedua, ilmu sosial menyediakan dirinya sebagai suatu
pilihan tersendiri tentang wltanschaung.
Mungkin hal tersebut dapat ikut menjelaskan, mengapa sampai saat ini
penelitian tentang agama masih mengalami jalan yang seret, bahkan tidak jarang
terdengar suara-suara yang agak sumbang atau tidak setuju.
Jalan
Keluar?
Kita bisa mengatakan bahwa persoalan agama adalah peka. Tetapi lebih
daripada peka, penelitian agama adalah rumit. Kerumitan itu antara lain dicoba
dijelaskan sepintas lalu tadi. Maka dari itu, mengemukakan jalan keluar dalam
hal yang peka lagi rumit ini, akan selali merupakan percobaan yang bersifat
sementara, dengan kesediaan menrima hasil yang kurang memuaskan. Jadi, dengan
sendirinya jalan keluar yang yang hendak dikeluarkan di sini sangat bersifat
sementara, dan coba-coba (tentative)
sifatnya.
Mengingat adanya potensi persaingan antara agama dan ilmu sosial yang akan
menjadi alat untuk meneliti agama itu, maka jalan keluar yang segera terbayang
dalam pikiran ialah bagaimana menemukan jalan tengah antara atau gabungan dari
keduanya.
Dalam kenyataannya, hal itu berarti pertaruhan dalam pribadi-pribadi para
peneliti agama. Mungkin pribadi-pribadi itu ialah tenaga-tenaga yang karena
berbagai hal, mempunyai kemungkinan lebih bak daripada yang lainnya dalam
memahami segi-segi keimanan suatu agama, sebagai mana dipeluk masyarakat,
tetapi sekaligus juga memiliki keteranpilan meneliti, dalam arti sanggup
melihat dan menilai kenyataan-kenyataan, tanpa perlu memiliki kepentingan atau “interest” di dalamnya.
Baca juga: Kemanusiaan dan Ilmu Pengetahuan
Betapa sulitnya menemukan tenaga serupa itu, kiranya bukanlah suatu hal
yang mustahil. Malahan barangkali pihak-pihak yang berwenang, yakin lembaga-lembaga
ilmiah, dapat dengan sengaja menciptakan tenaga-tenaga serupa itu, misalnya
melalui latihan-latihan teratur. Sebab, pilihan lain akan barangkali
mengecewakan: penelitian agama oleh seorang agamawan saja, hanya akan
menghasilkan “teologi”, sedangkan pekerjaan itu, oleh ilmuwan saja, mungkin
akan terbatas hanya kepada kenyataan-kenyataan “yang bisa diukur”. Lebih-lebih
jika telah disepakati bahwa “makna” adalah suatu kenyataan dalam hidup manusia,
maka jenis penelitian “luaran” seperti itu, tentu akan sangan kekurangan
kegunaan.[]
Sumber:
Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan
Keindonesiaan, PT Mizan Pustaka, Bandung, 2008, hal: 307-310.
Ket.gbr: net/ilustrasi
Sumber gbr: https://www.deviantart.com/
No comments:
Post a Comment