YakusaBlgo- Di
tahun 1932 ada seorang anak Rusia belasan tahun bernama Pavlik Morozov. Ia anggota
Pionir Muda. Pada suatu hari, ia melaporkan kepada yang berkuasa apa yang
diucapkan oleh ayahnya di antara percakapan keluarga. Si ayah ditangkap. Para saudara
Pavlik tentu berang melihat perbuatan anak ini, dan Pavlik pun konon mereka
bunuh. Pemerintah, yang menganggap si Pavlik justru anak yang berjasa bagi Negara,
mengangkat anak yang mematai-matai ayahnya sendiri itu sebagai “pahlawan”.
Manakah
yang lebih penting: kesetiaan kepada ayah, kepada keluarga, atau kesetiaan
kepada Negara? Di bawah komunisme di Uni Soviet di tahun 30-an itu, jawabnya
pasti: hubungan darah tidak boleh mengaburkan perbedaan antara “kawan” dan “lawan”.
Pak Morozov tua adalah “lawan”, karena ia suka menggerundel dan mencerca
pemerintah di meja makan, dan sebab itu harus dihabisi. Tiap anak Pionir Muda
adalah pejuang, wajib membantu pembersihan musuh. Pavlik telah menjalankan
kewajibannya.
Kita
mungkin ngeri mendengar kasus Pavlik Morozov. Kita mungkin biasa membayangkan
hubungan antara ayah dan anak yang akrab, atau aturan budi pekerti yang lazim
tentang rasa sayang dan rasa hormat dalam famili. Juga kita mungkin takut –
untuk tak bisa aman lagi bahkan di saat sarapan di rumah sendiri. Tapi sebenarnya,
dalam arti tertentu, Pavlik menjalankan hal yang tak bisa dibilang menjijikan –
meskipun tindakan heroic sering mengandung hal seperti itu.
Dalam
cerita Ramayana, tokoh Gunawan
Wibisana juga melepaskan tali kesetiaan keluarga ketika ia meninggalkan Alengka
dan saudara-saudaranya sendiri untuk bergabung dengan musuh. Baginya, musuh itu
yang benar, dan kakaknya, Rawana, yang salah – dan sebab itu harus binasa.
Dalam
novel Keluarga Gerilya yang ditulis
Pramudya Ananta Toer lebih dari seperempat abad yang lalu, seorang ayah yang
berpihak kepada Belanda akhirnya dieksekusi oleh anak-anaknya sendiri, para
pejuang kemerdekaan. Dan dalam kisah yang lebih tua dan lebih termasyhur, kita
kenal satu tokoh yang – dengan pedih – terpaksa mengorbankan cinta dan
kesetiaan kekeluargaan untuk suatu kesetiaan yang lebih besar: Ibrahim bersiap
memotong leher anak kandungnya.
Tapi
tentu saja di sini harus ditambahkan bahwa kasus Pavlik Morozov punya konteks
sendiri. Si Pavlik tidak sedang berada dalam situasi gawat. Ia tak dikepung
oleh pilihan-pilihan paling radikal dalam hidup: ayahnya toh Cuma mencerca
pemerintah di ruang tertutup, dan ayah ingin bukanlah sebuah kekuatan besar
yang mengancam Uni Soviet. Seandainya Pavlik Cuma bilang, “Ssstt, Papa!”,
keadaan barangkali bisa diperbaiki. Kalaupun tidak, rezim tak akan serta merta
roboh.
Tapi
yang menyebabkan cerita Pavlik mengerikan memang justru itu: sebuah kekuasaan
telah berhasil membuat kehidupan sehari-hari, yang tenang dan pribadi, menjadi
sesuatu yang mirip medan pertempuran. Atau, kalau tidak, suatu ujian kesetiaan
politik yang terus-menerus. Soal ada “kawan” dan ada “lawan” tak henti-hentinya
disogokkan ke ingatan kita, biar pun di ambang tidur. Kewaspadaan dibikin jadi
sesuatu yang periodic seperti pemeriksaan darah. Musuh dan pengkhianat selalu
dihadirkan. Yang asing selalu jadi yang mengancam, dan seperti dalam masyarakat
totaliter yang dilukikskan novel 1984
George Orwell, rakyat pun hidup dalam keadaan galau yang tanpa henti, a continuous frenzy.
Akhirnya,
tentu saja, taka da masyarakat yang tetap bisa bekerja normal untuk makan,
minum, membuat bola lampu dan bahan sandang, jika harus siaga tempur tiap jam,
tetap awas tanpa kendat. Seperti sudah lama diketahui, sejak sebelum
Aristoteles menuliskan risalah tentang politik, tirani memang perlu suasana
serba curiga yang bertahan. Tapi tirani juga punya perut yang harus diisi, dan
sementara itu, tak ada kekuasaan yang bisa merasa aman sendiri bila ia
terus-menerus menyebarkan rasa taka man ke sekitar. Siapa yang subversive,
siapa yang menyusup, siapa yang gerpol – akhirnya bisa ditudingkan ke mana
saja. Dan itu, bisa jadi benih ketidak-stabilan kekuasaan itu sendiri.
Mungkin
menyadari hal itu, mungkin pula karena yang galau sudah bisa dibikin rutin, Uni
Soviet kini telah perlahan-lahan meninggalkan masa tahun 1930-annya. Orang telah
menilai kembali dengan kritis kisah macam Pavlik Morozov. Kecurigaan,
pembersihan, kekerasan, penyingkiran musuh di depan regu tembak – yang aganya
jadi syarat berdarah untuk efektifnya gerakan “kewaspadaan” – kini tak terasa
lagi.
Orang
pun tak lagi diperiksa ikatan-ikatan kesetiaannya di tiap saat, di tiap tempat.
Kekuasaan harus tahu batas. Hati manusia lebih kaya dari hanya dua kubu, dua
pihak, dan sebuah medan perjuangan. Bahkan Ibrahim pun masih memalingkan muka –
ia tampai hati – ketika harus menggorok merih anak kandungnya, biarpun Tuhan
memerintahkan ia harus sepenuhnya ikhlas.[]
Ket:
Tulisan di atas adalah tulisan Goenawan Muhamad, yang dimuat dalam Catatan Pinggir, Tempo, No. 42 Tahun XV, 14 Desember 1985. Dengan judul: Si Pavlik.
Sbr. Gbr: https://alchetron.com/
No comments:
Post a Comment