Sebelumnya baca: Latar Belakang Berdirinya KAHMI (Bagian I)
2. Menghimpun
Para Sarjana, Cendekiawan, dan Calon Pemimpin Bangsa
HMI
adalah organisasi kader. Sifat kekaderan HMI dapat dipahami dari sungsi HMI
sebagai organisasi kader yang dipertegas dalam tujuan HMI. Terikat dengan
fungsi HMI sebagai organisasi kader dan dengan rumusan tujuan HMI, HMI bukanlah
organisasi massa, akan tetapi sebaliknya, HMI adalah lembaga pendidikan.
Anggota HMI selain mendapatkan ilmu di perguruan tinggi sebagai almamater pertama, juga akan memperoleh
ilmu di HMI sebagai almamater kedua.
Perkaderan HMI ditempatkan sebagai unggulan dari organisasi HMI yang dinilai
besar pengaruhnya dalam sejarah pembentukan cendekiawan Muslim di Indonesia.
Baik orang dalam maupun orang luar HMI mengakui bahwa kader-kader HMI telah
menyebar ke berbagai lapisan kehidupan masyarakat Indonesia yang majemuk. Hal
ini terjadi karena output HMI yang
berupa alumni yang jumlahnya relatif banyak. Hasil gabungan kedua institusi itu
yakni almamater pertama dan almamater kedua telah melahirkan sarjana dan
cendekiawan yang senantiasa dipromosikan sebagai calon pemimpin bangsa. Setiap
tahun sarjana yang lulus dari perguruan tinggi, baik negeri mapun swasta,
relative banyak. Pada umumnya, di setiap perguruan tinggi terdapat HMI. Basis
HMI memang berada di perguruan tinggi, berupa Komisariat HMI.
Menyadari
bahwa alumni HMI adalah penerus misi HMI, maka para sarjana–cendekiawan lulusan
perguruan tinggi–itulah yang dihimpun sebagai satu potensi bahkan kekuatan
dalam organisasi KAHMI. Penghimpunan itu bertujuan untuk memadukan kekuatan
mereka menjadi satu dan bulat untuk berjuang meneruskan misi HMI, ikut serta
mengangkat harkat dan martabat bangsa Indonesia.
Terbentuknya
Kabinet, Masyumi pada tahun 1950 membawa era baru dalam dunia pendidikan. Trio
tokoh Muhammad Natsir (Perdana Menteri), Dr. Bahder Djohan (Menteri
Pengajaran), dan A. Wachid Hasyim (Menteri Agama) melakukan pembaruan di bidang
pendidikan. Kebinet Natsir mewariskan sistem pendidikan nasional. Pendidikan
yang dualistis dan dikotomis diganti dengan pendidikan yang mengintegrasikan
pendidikan umum dan pendidikan agama. Di madrasah diberikan pendidikan umum dan
di sekolah umum diberikan pelajaran agama.[1]
Kebijakan itu disambut antusias oleh kalangan modernis di perkotaan dan
kalangan tradisional di pedalaman. Para pelajar SLTA yang tergabung dalam
organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) sangat antusias merespon pembaruan
itu. PII pun ikut bergiat melakukan pembinaan pelajar melalui
pelatihan-pelatihan yang sekaligus memberikan materi pengetahuan umum dan
pengetahuan agama sebagai usaha mencapai tujuannya, yaitu ksempurnaan
pendidikan dan kebudayaan yang sesuai dengan Islam bagi segenap rakyat
Indonesia dan umat manusia.[2]
Mahasiswa yang mengikuti kuliah di berbagai universitas/perguruan tinggi baik
negeri maupun swasta yang tergabung dalam HMI sangat respek dan simpati
merespon pembaruan pendidikan yang dilakukan trio Natsir-Wachid-Bahder.
Menurut
Nurcholish Madjid, berdasar respon, tanggapan, jawaban, dan sikap generasi muda
Islam terpelajar dan kebijakan para pemimpin lembaga pendidikan umum dan agama
terhadap pembahruan pendidikan yang dilakukan pemerintah, tahun 1950 dipandang
sebagai starting point atau titik
mula investasi umat Islam di bidang pendidikan modern dan pengembangan lapisan
intelektual Islam dan yang lebih berakar.[3]
Investasi
umat Islam di bidang pendidikan yang telah dirintis oleh Kabinet Natsir sejak
tahun 1950 mulai menampakkan hasil. Sejak awal dasawarsa 1960-an, santri-santri
muda menyerbu berbagai perguruan tinggi–bauk umum maupun Islam–dan menjadi
anggota masyarakat akademis yang besar sesuai dengan jumlah Islam Indonesia.
Mereka aktif dan mewarnai kehidupan kampus, terutama karena HMI berhasil tampil
sebagai organisasi mahasiswa yang besar dan berpengaruh. PKI menganggap gejala
ini sangat membahayakan. HMI selanjutnya akan dikucilkan dari kampus. Kongres
II CGMI di Salatiga tahun 1961 memutuskan untuk melikuidasi HMI. Namun berkat
percaya diri HMI yang kuat serta konsolidasi organisasi yang mantap dan jalinan
kerja sama dengan ABRI (antara lain dengan Letnan Jenderal Ahmad Yani, Brigjen
Achmad Tirtosudiro), maksud busuk PKI dapat digagalkan.[4] Seandainya
usaha PKI untuk membubarkan HMI berhasil, ini berarti satu kerugian besar
karena investasi yang telah ditanam selama ini, yaitu sumber daya manusia yang
handal, akan hilang.
Oleh
gangguan PKI, investasi yang ditanam tersebut baru mulai terlihat hasilnya pada
awal dasawarsa 1970-an, yaitu saat umat Islam menyaksikan putra-putrinya yang
sekolah di perguruan tinggi atau universitas menjadi sarjana. Jumlah mereka
sangat besar, laksana gelombang mengalir dengan sangat cepat dan laksana bom
yang meledak, keberhasilan ini tidak bisa dihalangi dengan jalan apa pun.
Meledaklah bom sarjana Islam sebagai gelombang kebangkitan intelektual Islam
Indonesia pertama yang baru terjadi dalam sejarah Indonesia modern.
Menurut
Nurcholish Madjid, karena sarjana Islam masih lebih banyak mengurusi masalah
domestic atau urusan intern organisasi dalam tubuh umat Islam, dampak sosial
ledakan tersebut belum terasa dan memberi arti serta makna yang jauh dan dalam
pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dampak peledakan
sarjana Islam itu baru terasa pada dasawarsa 1980-an, ketika urusan domestic
sudah selesai dan mulai aktif ke luar. Hasilnya sangat mengagumkan, Islam
bangkit di semu lapangan kehidupan. Dampak itu tampak semakin besar karena umat
Islam lebih bebas bergerak daripada masa sebelumnya, yang dirintangi berbagai
pagar politik yang menyakitkan dan menyebalkan. Sejak saat itu Islam tidak lagi
dimonopoli mereka yang secara kebetulan menjadi anggota partai politik Islam.
Islam kini menjadi milik nasional. Potensinya meliputi sekitar 90% penduduk
Indonesia. Seluruh bangsa mulai berkepentingan kepada Islam sebagai rahmatan lil alamin mulai dirasakan.
Retorika musuh-musuh kaum muslimin yang menganggap Islam sebagai ancaman
berangsur-angsur hilang. Anggapan ini tidak relevan dan menyesatkan.
Perlu
disadari, gejala Islam pada tahun 1980 diliputi suasana antusiasme yang tinggi
sehingga kadar emosinya juga tinggi. Ibarat pertumbuhan, umat Islam beserta
para intelektualnya masih dalam usia puber. Semangat tinggi yang tidak disertai
pengetahuan yang cukup seringkali justru merugikan. Kekecewaan terhadap
pemerintah masih terus dirasakan dan terungkap dalam berbagai retorika yang
keras.
Menurut
Nurcholish Madjid, umat Islam masih mengidap mentalitas luar pagar. Kondisi yang kurang menguntungkan itu mereda setelah
berdiri Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) pada bulan Desember 1990.[5]
ICMI dirancang untuk menyalurkan aspirasi kaum intelektual muslim serta
menyokong mereka agar lebih aktif, positif, dan konstruktif dalam pembangunan
nasional.
Kalangan
ICMI ditandai dua hal, pertama,
sebagai mobilitas vertikal yang berusaha mengisi dan menduduki berbagai posisi
dalam jabatan kenegaraan maupun dalam bidang sosial kemasyarakatan karena
jumlah mereka besar. Kedua, kelahiran
ICMI merupakan artikulasi dan akumulasi diri sejumlah tahapan orientasi
pendidikan yang telah diubah dan direformasi kea rah pendidikan modern sejak
tahun 1950. Munculnya bom sarjana Islam merupakan salah satu tanda kebangkitan
umat Islam dalam bidang intelektualitas modern.
Setelah
lima tahun berdiri dan melakukan konsolidasi organisasi, ICMI menghadapi
kendala besar untuk berkiprah penuh karena: (1) Belum seluruh komponen umat
Islam Indonesia memiliki kelompok dengan tradisi intelektual yang mapan, masih
banyak yang mengambang sehingga partisipasinya tidak merata. (2) Beberapa
aktivis ICMI dihinggapi gejala terlalu antusias sehingga overestimate dan salah dalam membaca sinyal-sinyal sosial politik
yang selalu berubah. Cobaan baik bisa berbalik menjadi cobaan buruk apabila
salah menerimanya. (3) Munculnya ICMI sebagai gejala vertikal mengakibatkan
terjadinya pergesekan dengan banyak pihak. Ungkapan klasik selalu terbukti,
seseorang tidak akan rela menyerahkan hak-hak istimewanya begitu saja kepada
orang lain. Kalangan susunan mapan
sebagai warisan politik kolonial Belanda mencoba menghambat langkah maju ICMI.[6]
Menurut
istilah murid-murid Prof. George McT Kahin (Cornell
University), para sarjana yang muncul di ICMI sebagian besar adalah kaum
santri modernis yang diprogramkan sejak tahun 1950. Sementara kaum santri
tradisional seperti yang ditulis Nurcholish Madjid baru melakukan investasi
pendidikan modern pada tahun 1970 di saat santri modernis telah berada pada
tahap kebangkitan intelektual Islam pertama. Jadi kaum tradisional ketinggalan
dua pulu tahun. Perlu disadari bahwa akibat berbagai kendala yang dihadapi,
ICMU mengalami kemandegan, atau status quo.
Sulit untuk memperkirakan kapan kemandegan ini akan berakhir sehingga ICMI
dapat berkiprah lebih dinamis dan proaktif.
Kaum
santri tradisional sejak tahun 1900 mulai tumbuh sebagai newly emerging Islam intellectuals–kekuatan baru intelektual
Muslim. Menurut Nurcholish Madjid, kebangkita ini merupakan gejala paling
penting dalam proses perkembangan kaum intelektual Islam Indonesia untuk dua
puluh tahun mendatang. Seandainya semua proses berjalan tanpa hambatan besar,
pada tahun 2010 M, akan kita saksikan gelombang kebangkitan intelektualisme
Islam kedua, pada millennium ketiga era globalisasi. Mereka terdiri dari
kalangan dengan latar belakang budaya yang lebih dalam dan kukuh juga mempunyai
tingkat otentisitas yang lebih tinggi dari yang lainnya. otentisitas diperlukan
sebagai landasan kepercayaan diri, sebagai syarat bagi kreativitas intelektual
dan kultural.
Sekitar
tahun 2020 sampai tahun 2025 diprediksikan Indonesia akan sampai pada titik
final pertumbuhan dan perkembangan sosial budaya dan politiknya, di mana umat
Islam Indonesia secara keseluruhan telah menjadi dewasa penuh. Kedewasaan itu
akan berimbas pada seluruh sektor kehidupan berbangsa, bermasyarakat, dan
bernegara termasuk berpemerintahan. Hal ini dapat dipandang sebagai tujuan
hakiki perjuangan mengakhiri penjajahan merebut kemerdekaan bagi rakyat.[7]
Tentunya
keberhasilan sekaligus kebanggaan itu memerlukan etos keilmuan yang tinggi dan
berarti umat Islam harus menyadari sepenuhnya bahwa batas ilmu adalah ilmu
Allah Swt., yang tidak terjangkau pikiran manusia,[8]
walaupun dari sudut pandang manusia ilmu tidak mempunyai limit atau batas.
Jarak sejauh jangkauan ilmu manusia, bukanlah batas ilmu melainkan pembatasan (frontier) yang harus terus menrus
diusahakan untuk ditembus. Usaha untuk menembus pembatasan ilmu merupakan
kegiatan ijtihad. Nabi Muhammad Saw. mengajarkan bahwa orang yang melakukan
ijtihad akan memperoleh ganjaran pahala ganda jika benar dan akan memperoleh
pahala tunggal jika keliru.[9]
Presiden
Soeharto ketika menyampaikan sambutan tertulis pada Munas IV KAHMI di Hotel
Syahid Jaya Jakarta 2-3 Desember 1989 mengatakan: “Kehadiran organisasi semacam
KAHMI saya nilai penting. Melalui organisasi ini dapat dikembangkan sumber daya
manusia terdidik yang terlatih dalam berorganisasi, yang sangat kita perlukan
dalam upaya memajukan bangsa kita. Lebih-lebih para alumni HMI yang sejak
mahasiswa telah diarahkan dan dibina melalui sistem kaderisasi untuk menjadi
insan-insan akademis yang bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil
makmur, lahir dan batin, berdasarkan Pancasila. Akan sangat mubazir bila
potensi alumni HMI itu dibiarkan terserak-serak.”[10]
Untuk
mencapai adil makmur dibutuhkan partisipasi para sarjana dan para cendekiawan
sebagai pemikir kreatif dengan pandangan-pandangan kritis dan konstruktif.
Begitu juga para wiraswastawan yang dapat membangun dan mengembangkan sumber
daya alam dan sumber daya manusia. Untuk itu KAHMI menghimpun tenaga-tenaga
yang potensial sangat efektif tersebut untuk mengembangkan potensi mereka
menjadi bagian dari kekuatan nasional bangsa Indonesia kapan dan di mana pun
dibutuhkan.
HMI
telah menghasilkan sangat banyak kader yang akan menjadi pemimpin bangsa di
semua lapisan kehidupan bangsa dan negara, di bidang pemerintahan, politik,
akademis, wiraswasta sebagai pengusaha dan lain-alain. Alumni HMI merupakan
cadangan strategis bagi bangsa Indonesia yang harus dikembangkan secara terus
menerus.[11]
Untuk menampung potensi besar itu, didirikanlah KAHMI.[]
Sumber tulisan: Agussalim Sitompul, KAHMI Memadukan Langkah Menuju Persatuan Memabangun Indonesia Baru, Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2003, hal. 30-36.
[1]
Nurcholish Madjid, Proses Perkembangan
Intelektual Muslim Indonesia, hlm. 1. Pokok-pokok bahan diskusi dalam
seminar di Pesantren Parenduan Madura tanggal 27 Desember 1990.
[2] H.
M. Natsir Zubardi., (Ed.), Pak Timur
Menggaris Sejarah–PII Menyiapkan
Kader Umat dan Bangsa, Jakarta: Bulan Bintang, 1987, hlm. Xix.
[3]
Nurcholish Madjid, Prospek Perkembangan,
hlm. 3.
[4]
Untuk menghadapi rongrongan PKI, CGMI dengan target HMI harus bubar sebelum
meletusnya pemberontakan PKI. HMI menerapkan kebijakan konsolidasi organisasi
yang bertemakan PKI. (P)engamanan, (K)onsolidasi, (I)ntegrasi. ADRI khususnya
menyadari bahwa satu waktu PKI akan menghancurkan ABRI, khususnya ADRI. Maka
dalam situasi yang gawat ketika HMI menghadapi PIKI, PB HMI menemui Kasad
Letjen Ahmad Yani di rumah beliau Jl. Lembang tanggal 24 Februari 1965. Waktu
itu Pak Yani mengatakan, “Saya menyadari apabila hari ini PKI mengganyang dan
mau membubarkan HMI, satu waktu PKI pun akan mengganyang dan membubarkan ADRI.
Maka sebelum itu terjadi, ABRI dan HMI harus bekerja sama untuk menghadapi
rongrongan dan fitnah PKI.”
[5]
Nurcholish Madjid, Prospek Perkembangan,
hlm. 5.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8]
Alquran Surat Al-Kahfi, ayat 109. Allah Swt. berfirman, “Katakanlah, kalau
sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis kalimat-kalimat Tuhan), sungguh
habislah lautan itu sebelum habis (ditulis), meskipun Kami datangkan sebanyak
itu (pula). Al-Quran dan Terjemahnya,
Jakarta: Departemen Agama RI, 1984, hlm. 459.
[9]
Nurcholish Madjid, Prospek Perkembangan,
hlm. 5.
[10] Fachry
Ali, HMI dan KAHMI Menyongsong
Pembaharuan, Menghadapi Pergantian Zaman, Jakarta: Majelis Nasional KAHMI,
199, hlm. 11.
[11]
Agussalim Sitompul, HMI dalam Menghadapi
Tantangan Gelombang Kebangkitan Intelektual Islam Indonesia,
Dipresentasikan pada LK II Tingkat Nasional HMI Cabang Jatinangor Jawa Barat di
Gedung KNPI Tingkat I Jawa Barat Jl. Sukarno-Hatta Bandung tanggal 16 Oktober
1998.
No comments:
Post a Comment