Latar Belakang Berdirinya KAHMI (Bagian II) - Yakusa Blog

Yakusa Blog

Mewujudkan Komunitas Intelektual Muslim

Sunday, 1 September 2019

Latar Belakang Berdirinya KAHMI (Bagian II)


       2. Menghimpun Para Sarjana, Cendekiawan, dan Calon Pemimpin Bangsa
HMI adalah organisasi kader. Sifat kekaderan HMI dapat dipahami dari sungsi HMI sebagai organisasi kader yang dipertegas dalam tujuan HMI. Terikat dengan fungsi HMI sebagai organisasi kader dan dengan rumusan tujuan HMI, HMI bukanlah organisasi massa, akan tetapi sebaliknya, HMI adalah lembaga pendidikan. Anggota HMI selain mendapatkan ilmu di perguruan tinggi sebagai almamater pertama, juga akan memperoleh ilmu di HMI sebagai almamater kedua. Perkaderan HMI ditempatkan sebagai unggulan dari organisasi HMI yang dinilai besar pengaruhnya dalam sejarah pembentukan cendekiawan Muslim di Indonesia. Baik orang dalam maupun orang luar HMI mengakui bahwa kader-kader HMI telah menyebar ke berbagai lapisan kehidupan masyarakat Indonesia yang majemuk. Hal ini terjadi karena output HMI yang berupa alumni yang jumlahnya relatif banyak. Hasil gabungan kedua institusi itu yakni almamater pertama dan almamater kedua telah melahirkan sarjana dan cendekiawan yang senantiasa dipromosikan sebagai calon pemimpin bangsa. Setiap tahun sarjana yang lulus dari perguruan tinggi, baik negeri mapun swasta, relative banyak. Pada umumnya, di setiap perguruan tinggi terdapat HMI. Basis HMI memang berada di perguruan tinggi, berupa Komisariat HMI.
Menyadari bahwa alumni HMI adalah penerus misi HMI, maka para sarjana–cendekiawan lulusan perguruan tinggi–itulah yang dihimpun sebagai satu potensi bahkan kekuatan dalam organisasi KAHMI. Penghimpunan itu bertujuan untuk memadukan kekuatan mereka menjadi satu dan bulat untuk berjuang meneruskan misi HMI, ikut serta mengangkat harkat dan martabat bangsa Indonesia.
Terbentuknya Kabinet, Masyumi pada tahun 1950 membawa era baru dalam dunia pendidikan. Trio tokoh Muhammad Natsir (Perdana Menteri), Dr. Bahder Djohan (Menteri Pengajaran), dan A. Wachid Hasyim (Menteri Agama) melakukan pembaruan di bidang pendidikan. Kebinet Natsir mewariskan sistem pendidikan nasional. Pendidikan yang dualistis dan dikotomis diganti dengan pendidikan yang mengintegrasikan pendidikan umum dan pendidikan agama. Di madrasah diberikan pendidikan umum dan di sekolah umum diberikan pelajaran agama.[1] Kebijakan itu disambut antusias oleh kalangan modernis di perkotaan dan kalangan tradisional di pedalaman. Para pelajar SLTA yang tergabung dalam organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) sangat antusias merespon pembaruan itu. PII pun ikut bergiat melakukan pembinaan pelajar melalui pelatihan-pelatihan yang sekaligus memberikan materi pengetahuan umum dan pengetahuan agama sebagai usaha mencapai tujuannya, yaitu ksempurnaan pendidikan dan kebudayaan yang sesuai dengan Islam bagi segenap rakyat Indonesia dan umat manusia.[2] Mahasiswa yang mengikuti kuliah di berbagai universitas/perguruan tinggi baik negeri maupun swasta yang tergabung dalam HMI sangat respek dan simpati merespon pembaruan pendidikan yang dilakukan trio Natsir-Wachid-Bahder.
Menurut Nurcholish Madjid, berdasar respon, tanggapan, jawaban, dan sikap generasi muda Islam terpelajar dan kebijakan para pemimpin lembaga pendidikan umum dan agama terhadap pembahruan pendidikan yang dilakukan pemerintah, tahun 1950 dipandang sebagai starting point atau titik mula investasi umat Islam di bidang pendidikan modern dan pengembangan lapisan intelektual Islam dan yang lebih berakar.[3]
Investasi umat Islam di bidang pendidikan yang telah dirintis oleh Kabinet Natsir sejak tahun 1950 mulai menampakkan hasil. Sejak awal dasawarsa 1960-an, santri-santri muda menyerbu berbagai perguruan tinggi–bauk umum maupun Islam–dan menjadi anggota masyarakat akademis yang besar sesuai dengan jumlah Islam Indonesia. Mereka aktif dan mewarnai kehidupan kampus, terutama karena HMI berhasil tampil sebagai organisasi mahasiswa yang besar dan berpengaruh. PKI menganggap gejala ini sangat membahayakan. HMI selanjutnya akan dikucilkan dari kampus. Kongres II CGMI di Salatiga tahun 1961 memutuskan untuk melikuidasi HMI. Namun berkat percaya diri HMI yang kuat serta konsolidasi organisasi yang mantap dan jalinan kerja sama dengan ABRI (antara lain dengan Letnan Jenderal Ahmad Yani, Brigjen Achmad Tirtosudiro), maksud busuk PKI dapat digagalkan.[4] Seandainya usaha PKI untuk membubarkan HMI berhasil, ini berarti satu kerugian besar karena investasi yang telah ditanam selama ini, yaitu sumber daya manusia yang handal, akan hilang.
Oleh gangguan PKI, investasi yang ditanam tersebut baru mulai terlihat hasilnya pada awal dasawarsa 1970-an, yaitu saat umat Islam menyaksikan putra-putrinya yang sekolah di perguruan tinggi atau universitas menjadi sarjana. Jumlah mereka sangat besar, laksana gelombang mengalir dengan sangat cepat dan laksana bom yang meledak, keberhasilan ini tidak bisa dihalangi dengan jalan apa pun. Meledaklah bom sarjana Islam sebagai gelombang kebangkitan intelektual Islam Indonesia pertama yang baru terjadi dalam sejarah Indonesia modern.
Menurut Nurcholish Madjid, karena sarjana Islam masih lebih banyak mengurusi masalah domestic atau urusan intern organisasi dalam tubuh umat Islam, dampak sosial ledakan tersebut belum terasa dan memberi arti serta makna yang jauh dan dalam pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dampak peledakan sarjana Islam itu baru terasa pada dasawarsa 1980-an, ketika urusan domestic sudah selesai dan mulai aktif ke luar. Hasilnya sangat mengagumkan, Islam bangkit di semu lapangan kehidupan. Dampak itu tampak semakin besar karena umat Islam lebih bebas bergerak daripada masa sebelumnya, yang dirintangi berbagai pagar politik yang menyakitkan dan menyebalkan. Sejak saat itu Islam tidak lagi dimonopoli mereka yang secara kebetulan menjadi anggota partai politik Islam. Islam kini menjadi milik nasional. Potensinya meliputi sekitar 90% penduduk Indonesia. Seluruh bangsa mulai berkepentingan kepada Islam sebagai rahmatan lil alamin mulai dirasakan. Retorika musuh-musuh kaum muslimin yang menganggap Islam sebagai ancaman berangsur-angsur hilang. Anggapan ini tidak relevan dan menyesatkan.
Perlu disadari, gejala Islam pada tahun 1980 diliputi suasana antusiasme yang tinggi sehingga kadar emosinya juga tinggi. Ibarat pertumbuhan, umat Islam beserta para intelektualnya masih dalam usia puber. Semangat tinggi yang tidak disertai pengetahuan yang cukup seringkali justru merugikan. Kekecewaan terhadap pemerintah masih terus dirasakan dan terungkap dalam berbagai retorika yang keras.
Menurut Nurcholish Madjid, umat Islam masih mengidap mentalitas luar pagar. Kondisi yang kurang menguntungkan itu mereda setelah berdiri Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) pada bulan Desember 1990.[5] ICMI dirancang untuk menyalurkan aspirasi kaum intelektual muslim serta menyokong mereka agar lebih aktif, positif, dan konstruktif dalam pembangunan nasional.
Kalangan ICMI ditandai dua hal, pertama, sebagai mobilitas vertikal yang berusaha mengisi dan menduduki berbagai posisi dalam jabatan kenegaraan maupun dalam bidang sosial kemasyarakatan karena jumlah mereka besar. Kedua, kelahiran ICMI merupakan artikulasi dan akumulasi diri sejumlah tahapan orientasi pendidikan yang telah diubah dan direformasi kea rah pendidikan modern sejak tahun 1950. Munculnya bom sarjana Islam merupakan salah satu tanda kebangkitan umat Islam dalam bidang intelektualitas modern.
Setelah lima tahun berdiri dan melakukan konsolidasi organisasi, ICMI menghadapi kendala besar untuk berkiprah penuh karena: (1) Belum seluruh komponen umat Islam Indonesia memiliki kelompok dengan tradisi intelektual yang mapan, masih banyak yang mengambang sehingga partisipasinya tidak merata. (2) Beberapa aktivis ICMI dihinggapi gejala terlalu antusias sehingga overestimate dan salah dalam membaca sinyal-sinyal sosial politik yang selalu berubah. Cobaan baik bisa berbalik menjadi cobaan buruk apabila salah menerimanya. (3) Munculnya ICMI sebagai gejala vertikal mengakibatkan terjadinya pergesekan dengan banyak pihak. Ungkapan klasik selalu terbukti, seseorang tidak akan rela menyerahkan hak-hak istimewanya begitu saja kepada orang lain. Kalangan susunan mapan sebagai warisan politik kolonial Belanda mencoba menghambat langkah maju ICMI.[6]
Menurut istilah murid-murid Prof. George McT Kahin (Cornell University), para sarjana yang muncul di ICMI sebagian besar adalah kaum santri modernis yang diprogramkan sejak tahun 1950. Sementara kaum santri tradisional seperti yang ditulis Nurcholish Madjid baru melakukan investasi pendidikan modern pada tahun 1970 di saat santri modernis telah berada pada tahap kebangkitan intelektual Islam pertama. Jadi kaum tradisional ketinggalan dua pulu tahun. Perlu disadari bahwa akibat berbagai kendala yang dihadapi, ICMU mengalami kemandegan, atau status quo. Sulit untuk memperkirakan kapan kemandegan ini akan berakhir sehingga ICMI dapat berkiprah lebih dinamis dan proaktif.
Kaum santri tradisional sejak tahun 1900 mulai tumbuh sebagai newly emerging Islam intellectuals–kekuatan baru intelektual Muslim. Menurut Nurcholish Madjid, kebangkita ini merupakan gejala paling penting dalam proses perkembangan kaum intelektual Islam Indonesia untuk dua puluh tahun mendatang. Seandainya semua proses berjalan tanpa hambatan besar, pada tahun 2010 M, akan kita saksikan gelombang kebangkitan intelektualisme Islam kedua, pada millennium ketiga era globalisasi. Mereka terdiri dari kalangan dengan latar belakang budaya yang lebih dalam dan kukuh juga mempunyai tingkat otentisitas yang lebih tinggi dari yang lainnya. otentisitas diperlukan sebagai landasan kepercayaan diri, sebagai syarat bagi kreativitas intelektual dan kultural.
Sekitar tahun 2020 sampai tahun 2025 diprediksikan Indonesia akan sampai pada titik final pertumbuhan dan perkembangan sosial budaya dan politiknya, di mana umat Islam Indonesia secara keseluruhan telah menjadi dewasa penuh. Kedewasaan itu akan berimbas pada seluruh sektor kehidupan berbangsa, bermasyarakat, dan bernegara termasuk berpemerintahan. Hal ini dapat dipandang sebagai tujuan hakiki perjuangan mengakhiri penjajahan merebut kemerdekaan bagi rakyat.[7]
Tentunya keberhasilan sekaligus kebanggaan itu memerlukan etos keilmuan yang tinggi dan berarti umat Islam harus menyadari sepenuhnya bahwa batas ilmu adalah ilmu Allah Swt., yang tidak terjangkau pikiran manusia,[8] walaupun dari sudut pandang manusia ilmu tidak mempunyai limit atau batas. Jarak sejauh jangkauan ilmu manusia, bukanlah batas ilmu melainkan pembatasan (frontier) yang harus terus menrus diusahakan untuk ditembus. Usaha untuk menembus pembatasan ilmu merupakan kegiatan ijtihad. Nabi Muhammad Saw. mengajarkan bahwa orang yang melakukan ijtihad akan memperoleh ganjaran pahala ganda jika benar dan akan memperoleh pahala tunggal jika keliru.[9]
Presiden Soeharto ketika menyampaikan sambutan tertulis pada Munas IV KAHMI di Hotel Syahid Jaya Jakarta 2-3 Desember 1989 mengatakan: “Kehadiran organisasi semacam KAHMI saya nilai penting. Melalui organisasi ini dapat dikembangkan sumber daya manusia terdidik yang terlatih dalam berorganisasi, yang sangat kita perlukan dalam upaya memajukan bangsa kita. Lebih-lebih para alumni HMI yang sejak mahasiswa telah diarahkan dan dibina melalui sistem kaderisasi untuk menjadi insan-insan akademis yang bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur, lahir dan batin, berdasarkan Pancasila. Akan sangat mubazir bila potensi alumni HMI itu dibiarkan terserak-serak.”[10]
Untuk mencapai adil makmur dibutuhkan partisipasi para sarjana dan para cendekiawan sebagai pemikir kreatif dengan pandangan-pandangan kritis dan konstruktif. Begitu juga para wiraswastawan yang dapat membangun dan mengembangkan sumber daya alam dan sumber daya manusia. Untuk itu KAHMI menghimpun tenaga-tenaga yang potensial sangat efektif tersebut untuk mengembangkan potensi mereka menjadi bagian dari kekuatan nasional bangsa Indonesia kapan dan di mana pun dibutuhkan.
HMI telah menghasilkan sangat banyak kader yang akan menjadi pemimpin bangsa di semua lapisan kehidupan bangsa dan negara, di bidang pemerintahan, politik, akademis, wiraswasta sebagai pengusaha dan lain-alain. Alumni HMI merupakan cadangan strategis bagi bangsa Indonesia yang harus dikembangkan secara terus menerus.[11] Untuk menampung potensi besar itu, didirikanlah KAHMI.[]

Sumber tulisan: Agussalim Sitompul, KAHMI Memadukan Langkah Menuju Persatuan Memabangun Indonesia Baru, Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2003, hal. 30-36.




[1] Nurcholish Madjid, Proses Perkembangan Intelektual Muslim Indonesia, hlm. 1. Pokok-pokok bahan diskusi dalam seminar di Pesantren Parenduan Madura tanggal 27 Desember 1990.
[2] H. M. Natsir Zubardi., (Ed.), Pak Timur Menggaris SejarahPII Menyiapkan Kader Umat dan Bangsa, Jakarta: Bulan Bintang, 1987, hlm. Xix.
[3] Nurcholish Madjid, Prospek Perkembangan, hlm. 3.
[4] Untuk menghadapi rongrongan PKI, CGMI dengan target HMI harus bubar sebelum meletusnya pemberontakan PKI. HMI menerapkan kebijakan konsolidasi organisasi yang bertemakan PKI. (P)engamanan, (K)onsolidasi, (I)ntegrasi. ADRI khususnya menyadari bahwa satu waktu PKI akan menghancurkan ABRI, khususnya ADRI. Maka dalam situasi yang gawat ketika HMI menghadapi PIKI, PB HMI menemui Kasad Letjen Ahmad Yani di rumah beliau Jl. Lembang tanggal 24 Februari 1965. Waktu itu Pak Yani mengatakan, “Saya menyadari apabila hari ini PKI mengganyang dan mau membubarkan HMI, satu waktu PKI pun akan mengganyang dan membubarkan ADRI. Maka sebelum itu terjadi, ABRI dan HMI harus bekerja sama untuk menghadapi rongrongan dan fitnah PKI.”
[5] Nurcholish Madjid, Prospek Perkembangan, hlm. 5.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Alquran Surat Al-Kahfi, ayat 109. Allah Swt. berfirman, “Katakanlah, kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis kalimat-kalimat Tuhan), sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis), meskipun Kami datangkan sebanyak itu (pula). Al-Quran dan Terjemahnya, Jakarta: Departemen Agama RI, 1984, hlm. 459.
[9] Nurcholish Madjid, Prospek Perkembangan, hlm. 5.
[10] Fachry Ali, HMI dan KAHMI Menyongsong Pembaharuan, Menghadapi Pergantian Zaman, Jakarta: Majelis Nasional KAHMI, 199, hlm. 11.
[11] Agussalim Sitompul, HMI dalam Menghadapi Tantangan Gelombang Kebangkitan Intelektual Islam Indonesia, Dipresentasikan pada LK II Tingkat Nasional HMI Cabang Jatinangor Jawa Barat di Gedung KNPI Tingkat I Jawa Barat Jl. Sukarno-Hatta Bandung tanggal 16 Oktober 1998.

No comments:

Post a Comment