Kekuatan HMI Adalah Independensinya - Yakusa Blog

Yakusa Blog

Mewujudkan Komunitas Intelektual Muslim

Saturday, 31 August 2019

Kekuatan HMI Adalah Independensinya


YakusaBlog- Berbagai pendapat secara terpisah dikemukakan oleh tokoh maupun bekas-bekas Ketua Umum PB HMI sehubungan dengan dibukanya Kongres ke-16 organisasi mahasiswa ekstra universiter di Padang hari Senin ini. Dr. Nurcholish Madjid mengatakan, tantangan yang dihadapi HMI kini, mampukah organisasi ini membawa anggotanya dan para generasi muda untuk berfikir, bekerja secara professional. Bekas Ketua Umum PB HMI ini mempertanyakan hal tersebut, karena akhir-akhir ini ada kesan HMI secara institusional terlalu kuat berorientasi dan mengarah kepada politik praktis, hingga melupakan studi professional justru mampu menjawab persoalan bersama, yaitu persoalan hidup. Bekas Ketua Umum PB HMI yang lain, Drs. Ridwan Saidi mengemukakan, menjelang diselenggarakannya Kongres HMI di Padang ia mencium adanya usaha-usaha beberapa pihak untuk menarik HMI masuk dalam salah satu kubu tertentu. Namun ia yakin usaha itu akan sia-sia, karena ada “human nature” dari HMI yang secara alamiah akan menentang usaha tersebut.
Sedang Achmad Tortosudiro bekas Wakil Ketua PB HMI pada awal terbentuknya mengatakan, kalaupun HMI hingga kini belum mampu menjawab persoalan yang diinginkan banyak pihak, adalah merupakan sesuatu yang wajar, sebab persoalan yang dihadapi organisasi mahasiswa yang dikatakan terbesar ini begitu majemuk. “Kalau dilihat dari cita-cita semula, waktu para generasi muda Islam mendirikan HMI, maka sudah terlihat hasilnya”, kata bekas Kepala Bulog, Duber di Arab Saudi dan Jerman dan Letjen TNI Purnawirawan yang kini bergerak di bidang wiraswasta. Sementari itu salah seorang pendiri HMI Prof. Drs. H. Lafran Pane yang tidak pernah “meninggalkan” organisasi tersebut menegaskan, berpedoman pada sejarah kelahirannya 39 tahun yang lalu, yang secara tegas menyatakan sebagai sebuah organisasi yang independen yang membina insan akademis bernafaskan Islam dan yang mengutamakan kepentingan nasional atau faham kebangsaan, maka dalam HMI tidak boleh ada dominasi-dominasian.
Dulu Lebih Semarak
Membandingkan dinamika HMI pada masa kepemimpinan dua periode yaitu tahun 1966-1969 dan tahun 1969-1971, diakui oleh Nurcholish dulu lebih semarak. “Namun bukan berarti lebih baik, situasi polotik dulu memungkinkan untuk menjadikan HMI bersemarak, dalam situasi yang bisa berdemonstrasi, banyak cara untuk melawan terhadap sesuatu yang menyimpang. Pola kegiatan waktu itu mampu membawa HMI menjadi hidup”, katanya. Sementara menurut pengamat Staf Peneliti di Leknas LIPI ini, masalah yang dihadapi HMI kini begitu banyak, begitu abstrak. Hingga kalau hanya mau mencara kesemarakan seperti dulu jelas tidak mungkin didapatkan. Nurcholish yang lebih dikenal sebagai tokoh moderat ini mengatakan, kebebasan sekarang justru lebih baik, apalagi kalau dibandingkan dengan situasi politik pada masa Orde Lama. Kalau ada anggapan dari beberapa kalangan, kini hanya menyangkut persoalan tertentu saja. HMI yang tercatat sebagai pembentuk intelektual Islam katanya peranannya tetap besar. Kalau toh ada para alumni HMI atau yang masih tercatat sebagai anggotanya juga membaur ke organisasi lain, semua ini justru menjadi bahan akumulasi, untuk digunakan secara langsung ataupun tidak langsung ke dalam persepsi baru.
Apalagi alumni HMI telah menyebar kemana-mana yang membawa pikiran inklusif, tidak eksklusif. Karenanya persoalan yang masih saja terdengar antara penerimaan Azas Tunggal Pancasila dan Akidah Islamiah, tidak lagi menjadi masalah sejak munculnya persepsi baru itu. Dengan tidak lagi dipersoalkannya Azas Tunggal Pancasila ke dalam tubuh HMI sebenarnya akan membawa akidah “kepermanenan” yang kuat. Pada dasarnya Islam dan Pancasila tidak ada masalah” tegas Nurcholish. Satu hal yang bisa dilakukan HMI tanpa lagi mempersoalkan antara akidah Islamiah dengan Azas Tunggal Pancasila, kepermanenan yang membawa persepsi bari itu akan membawa ruang gerak para intelektual Islam lebih terbuka dan moderat. Menurut pengamatan Nurcholish, anggota HMI yang masih mempersoalkan akidah Islamiah dengan asas tunggal Pancasila, sebenarnya hanya minoritas dan diabaikan. Tapi ketika ditanyakan kenapa hal itu masih ada dan selalu menjadi pembicaraan? Ia menjawab, “Sebabnya sejarah politik Islam yang intens, kuat sekali, akhirnya masih meninggalkan sisa gerakan tertentu.
Bahasa Arab
Sementara itu, Achmad Tirtosudiro yang pernah menjadi Wakil Ketua HMI periode 1947-1948 menilai keterlibatan alumni HMI dengan organisasi lain, tidak akan memawa efek yang negative. “Justru di situ para intelektual Islam yang banyak lahir dari HMI akan mampu bergerak lebih baik”, katanya. Ia juga sependapat dengan Nurcholish, soal asas tunggal Pancasila dan akidah Islamiah tidak lagi menjadi persoalan. Yang mesti dipikirkan oleh HMI ialah bagaimana implementasinya dalam kehidupan sehari-hari. Karenanya, dalam menghadapi zaman modern informasi dan industry, peranan pendidikan sangat penting dan HMI berkesempatan luas membawa generasi Islam ke alam pemikiran modern, tetapi tidak melupakan dasar Islam itu sendiri. “Bagaimana menjadikan anak-anak pesentren, tidak saja pandai berbahasa Arab, tapi juga berbahasa Inggris dan segalam macam pendidikan yang membawa kemajuan”, katanya. Sifat yang sejak dulu dipegang HMI adalah independen, tidak condong pada kekuatan politik manapun (PPP, Gollkar dan PDI). Keindependenan inilah yang diharapkan oleh Achmad Tirtosudiro. Kalau HMI sampai terpengaruh dengan pemikiran kekuatan tiga partai itu, akan membawa dampak yang tidak baik dan melanggar konsep HMI semula. “Tapi saya masih percaya dengan adik-adik saya, HMI tetap independen”, tegasnya.
Kemandekan Kreativitas
Mendukung pendapat seniornya, eks Ketua Umum PB HMI yang kini anggota DPR RI Fraksi Persatuan Pembangunan Drs. Ridwan Saidi mengatakan, dalam tradisinya, HMI tidak pernah dan tidak akan pernah terjadi underbouw dari salah satu kekuatan politik, juga tidak menjadi underbouw Partai Persatuan Pembangunan. “HMI mempunyai akar independensi yang kuat. Karena, HMI berpandangan bila sebuah organisasi tidak lagi memiliki akar independensi, maka organisasi itu akan segera gulung tikar.” Ridwan Saidi menegaskan, HMI mempunyai mutiara yang berharga yang akan tetap dipertahankannya yaitu independensinya. Karena itu, sebagai seorang tokoh mantan pimpinan HMI, Ridwan Saidi merasa sangat kecewa dengan adanya usaha-usaha yang hendak menggiring HMI masuk ke suatu organisasi tertentu. Diakui intelektual Islam yang telah ditempa dalam dapur HMI telah membaur baik dalam Golkar maupun PPP dan Korpri. Sangat kurang hal itu dilihat dalam PDI. Tapi para intelektual hasil tempaan HMI itu, hadir dalam kekuatan tersebut bukan membawa nama HMI, tetapi mereka merupakan intelektual Islam.
“Para tokoh tersebut hadir dengan suatu misi hendak mengembangkan nilai-nilai yang bersifat langgeng dan rasionalitas serta iman. Semua itu merupakan nilai-nilai yang universal. Nilai tersebut dapat tetap dipertahankan dan diperjuangkan, kalau HMI tetap berada dalam independensinya dan tidak menjadi underbouw salah satu kekuatan politik”, tambah Ridwan Saidi. Menjawab pertanyaan tentang harapannya dengan Kongres HMI di Padang ini, Ridwan Saidi mengatakan, hendaknya Kongres tersebut semakin memperlihatkan kekuasaan intelektual ini harus ditempa terus-menerus oleh HMI, lebih-lebih di tengah-tengah suasana yang disinyalir sebagai telah terjadi “kemandekan kreativitas”. Mengenai penerimaan asas tunggal Pancasila dalam tubuh organisasi tersebut, Ridwan mengatakan, sejauh yang dimonitornya hingga sekarang tidak ada satu cabangpun yang mengikuti Kongres di Padang ini menolak Pancasila sebagai satu-satunya asas organisasi. Namun mengenai di mana letak identitas Islamnya itu ditempatkan di dalam tubuh HMI, nanti Kongres itu sendirilah yang akan menjawabnya, demikian Drs. Ridwan Saidi.
Jangan Nodai HMI
Dalam menyambut Kongres ke-16 ini, alumnus I Fakultas Hukum, Ekonomi, Sosial Politik UGM Prof. Drs. H. Lafran Pane dalam percakapannya dengan “SH” mengatakan keanggotaan HMI yang tetap heterogen adalah karena prinsipnya setiap orang yang beragama Islam adalah umat Islam. Sehingga setiap mahasiswa yang beragama Islam tetap boleh menjadi anggota HMI tanpa memandang tingkat pemahaman atau pengalamannya tentang Islam. Aliran yang dianut Muhammadiyah atau NU, juga tidak mempersoalkan aliran politik dari PDI, PPP dan Golkar. Dalam organisasi itu bertemu antara kaum abangan dengan Islam yang khusuk. Maksudnya agar keduanya saling mengisi. Jadi HMI harus di tengah, tidak bisa ekstrim-ekstriman, agar yang satu tidak terasing bagi yang lain. Untuk itu memimpin HMI tidak mudah, perlu bijaksana dan toleran.
Acap Kali
Mengomentari kemelut yang menimpa tubuh HMI, mahaguru Ilmu Tata Negara ini menyebut telah acapkali terjadi. Bahkan pada tahun 1947 pada bulan-bulan pertama HMI lahir, dan tahun 60-an ketika harus mempertahankan eksistensinya dari berbagai rongrongan di antaranya dari kaum komunis. Waktu itu tidak ada jalan selain mengikuti kepemimpinan Bung Karno agar HMI tidak terasing. Namun yang berhaluan keras tidak menghendaki hal itu. Lafran Pane memperkirakan yang dihadapi pada masa sekarang mungkin faktor semacam itu persoalannya. “Tapi mudah-mudahan bukan itu”, tambahnya. Dikatakan oleh mahaguru IKIP yang diperbantukan di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta ini, pemikiran seperti itu dapat dipahami tapi menurutnya tidak tepat. Agar HMI tidak hancur, karena lahir 39 tahun lalu di tengah revolusi untuk menegakkan Islam di tengah bangsa Indonesia, ia berpendapat mereka lebih baik membentuk organisasi lain atau merangkap. “Tapi jangan nodai atau merubah ciri-ciri HMI”, tegasnya.
Dikatakan, HMI memiliki tiga ciri yang harus dipertahankan, ialah mengutamakan kepentingan nasional atau rasa kebangsaan, pemahaman bahwa setiap bangsa Indonesia yang beragama Islam adalah umat Islam, dan bahwa organisasi ini berpikiran modern, yaitu diberikan kebebasan untuk menggunakan akal dan pikirannya juga dalam menyelesaikan masalah keduawian. Dengan tiga ciri itu HMI haruslah saling memberi dan menerima, harus independen, dank arena faham kebangsaannya HMI tak bisa melepaskan diri dari kewajiban kepada negara. HMI penganut Islam tetapi bukan karena motif politik atau ambisi di luar ciri itu. “Begitu pula bagi HMI apakah wanita wajib pakai jilbab itu bukan persoalan”, tegasnya. Menjawab pertanyaan tentang asas tunggal Pancasila, mahaguru kelahiran Padangsidempuan ini menyebutkan dari dulu bagi HMI bukan persoalan. Organisasi ini lahir 39 tahun lalu di Yogyakarta dengan anggaran dasar yang secara tegas menyebut untuk mempertahankan negara RI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 jadi justru tidak hanya menerima Pancasila tapi ingin mempertahankannya, demikian Lafran Pane.[]

Catatan: Tulisan di atas dimuat pertama kali oleh Harian Sinar Harapan Jakarta, tanggal 24 Maret 1986. Kemudian dibukukan oleh Agussalim Sitompul dalam judul buku HMI Mengayuh Di Antara Cita Dan Kritik, halaman: 16-19.

No comments:

Post a Comment