YakusaBlog- Berbagai
pendapat secara terpisah dikemukakan oleh tokoh maupun bekas-bekas Ketua Umum
PB HMI sehubungan dengan dibukanya Kongres ke-16 organisasi mahasiswa ekstra
universiter di Padang hari Senin ini. Dr. Nurcholish Madjid mengatakan,
tantangan yang dihadapi HMI kini, mampukah organisasi ini membawa anggotanya
dan para generasi muda untuk berfikir, bekerja secara professional. Bekas Ketua
Umum PB HMI ini mempertanyakan hal tersebut, karena akhir-akhir ini ada kesan
HMI secara institusional terlalu kuat berorientasi dan mengarah kepada politik
praktis, hingga melupakan studi professional justru mampu menjawab persoalan
bersama, yaitu persoalan hidup. Bekas Ketua Umum PB HMI yang lain, Drs. Ridwan
Saidi mengemukakan, menjelang diselenggarakannya Kongres HMI di Padang ia
mencium adanya usaha-usaha beberapa pihak untuk menarik HMI masuk dalam salah
satu kubu tertentu. Namun ia yakin usaha itu akan sia-sia, karena ada “human nature” dari HMI yang secara
alamiah akan menentang usaha tersebut.
Sedang
Achmad Tortosudiro bekas Wakil Ketua PB HMI pada awal terbentuknya mengatakan,
kalaupun HMI hingga kini belum mampu menjawab persoalan yang diinginkan banyak
pihak, adalah merupakan sesuatu yang wajar, sebab persoalan yang dihadapi
organisasi mahasiswa yang dikatakan terbesar ini begitu majemuk. “Kalau dilihat
dari cita-cita semula, waktu para generasi muda Islam mendirikan HMI, maka
sudah terlihat hasilnya”, kata bekas Kepala Bulog, Duber di Arab Saudi dan
Jerman dan Letjen TNI Purnawirawan yang kini bergerak di bidang wiraswasta.
Sementari itu salah seorang pendiri HMI Prof. Drs. H. Lafran Pane yang tidak
pernah “meninggalkan” organisasi
tersebut menegaskan, berpedoman pada sejarah kelahirannya 39 tahun yang lalu,
yang secara tegas menyatakan sebagai sebuah organisasi yang independen yang
membina insan akademis bernafaskan Islam dan yang mengutamakan kepentingan
nasional atau faham kebangsaan, maka dalam HMI tidak boleh ada
dominasi-dominasian.
Dulu Lebih Semarak
Membandingkan
dinamika HMI pada masa kepemimpinan dua periode yaitu tahun 1966-1969 dan tahun
1969-1971, diakui oleh Nurcholish dulu lebih semarak. “Namun bukan berarti
lebih baik, situasi polotik dulu memungkinkan untuk menjadikan HMI bersemarak,
dalam situasi yang bisa berdemonstrasi, banyak cara untuk melawan terhadap
sesuatu yang menyimpang. Pola kegiatan waktu itu mampu membawa HMI menjadi
hidup”, katanya. Sementara menurut pengamat Staf Peneliti di Leknas LIPI ini,
masalah yang dihadapi HMI kini begitu banyak, begitu abstrak. Hingga kalau
hanya mau mencara kesemarakan seperti dulu jelas tidak mungkin didapatkan.
Nurcholish yang lebih dikenal sebagai tokoh moderat ini mengatakan, kebebasan
sekarang justru lebih baik, apalagi kalau dibandingkan dengan situasi politik
pada masa Orde Lama. Kalau ada anggapan dari beberapa kalangan, kini hanya
menyangkut persoalan tertentu saja. HMI yang tercatat sebagai pembentuk
intelektual Islam katanya peranannya tetap besar. Kalau toh ada para alumni HMI
atau yang masih tercatat sebagai anggotanya juga membaur ke organisasi lain,
semua ini justru menjadi bahan akumulasi, untuk digunakan secara langsung
ataupun tidak langsung ke dalam persepsi baru.
Apalagi
alumni HMI telah menyebar kemana-mana yang membawa pikiran inklusif, tidak
eksklusif. Karenanya persoalan yang masih saja terdengar antara penerimaan Azas
Tunggal Pancasila dan Akidah Islamiah, tidak lagi menjadi masalah sejak
munculnya persepsi baru itu. Dengan tidak lagi dipersoalkannya Azas Tunggal
Pancasila ke dalam tubuh HMI sebenarnya akan membawa akidah “kepermanenan” yang kuat. Pada dasarnya
Islam dan Pancasila tidak ada masalah” tegas Nurcholish. Satu hal yang bisa
dilakukan HMI tanpa lagi mempersoalkan antara akidah Islamiah dengan Azas
Tunggal Pancasila, kepermanenan yang membawa persepsi bari itu akan membawa
ruang gerak para intelektual Islam lebih terbuka dan moderat. Menurut
pengamatan Nurcholish, anggota HMI yang masih mempersoalkan akidah Islamiah
dengan asas tunggal Pancasila, sebenarnya hanya minoritas dan diabaikan. Tapi
ketika ditanyakan kenapa hal itu masih ada dan selalu menjadi pembicaraan? Ia
menjawab, “Sebabnya sejarah politik Islam yang intens, kuat sekali, akhirnya
masih meninggalkan sisa gerakan tertentu.
Bahasa Arab
Sementara
itu, Achmad Tirtosudiro yang pernah menjadi Wakil Ketua HMI periode 1947-1948
menilai keterlibatan alumni HMI dengan organisasi lain, tidak akan memawa efek
yang negative. “Justru di situ para intelektual Islam yang banyak lahir dari
HMI akan mampu bergerak lebih baik”, katanya. Ia juga sependapat dengan
Nurcholish, soal asas tunggal Pancasila dan akidah Islamiah tidak lagi menjadi
persoalan. Yang mesti dipikirkan oleh HMI ialah bagaimana implementasinya dalam
kehidupan sehari-hari. Karenanya, dalam menghadapi zaman modern informasi dan
industry, peranan pendidikan sangat penting dan HMI berkesempatan luas membawa
generasi Islam ke alam pemikiran modern, tetapi tidak melupakan dasar Islam itu
sendiri. “Bagaimana menjadikan anak-anak pesentren, tidak saja pandai berbahasa
Arab, tapi juga berbahasa Inggris dan segalam macam pendidikan yang membawa
kemajuan”, katanya. Sifat yang sejak dulu dipegang HMI adalah independen, tidak
condong pada kekuatan politik manapun (PPP, Gollkar dan PDI). Keindependenan
inilah yang diharapkan oleh Achmad Tirtosudiro. Kalau HMI sampai terpengaruh
dengan pemikiran kekuatan tiga partai itu, akan membawa dampak yang tidak baik
dan melanggar konsep HMI semula. “Tapi saya masih percaya dengan adik-adik
saya, HMI tetap independen”, tegasnya.
Kemandekan Kreativitas
Mendukung
pendapat seniornya, eks Ketua Umum PB HMI yang kini anggota DPR RI Fraksi
Persatuan Pembangunan Drs. Ridwan Saidi mengatakan, dalam tradisinya, HMI tidak
pernah dan tidak akan pernah terjadi underbouw dari salah satu kekuatan
politik, juga tidak menjadi underbouw Partai Persatuan Pembangunan. “HMI
mempunyai akar independensi yang kuat. Karena, HMI berpandangan bila sebuah
organisasi tidak lagi memiliki akar independensi, maka organisasi itu akan
segera gulung tikar.” Ridwan Saidi
menegaskan, HMI mempunyai mutiara yang berharga yang akan tetap
dipertahankannya yaitu independensinya. Karena itu, sebagai seorang tokoh
mantan pimpinan HMI, Ridwan Saidi merasa sangat kecewa dengan adanya
usaha-usaha yang hendak menggiring HMI masuk ke suatu organisasi tertentu.
Diakui intelektual Islam yang telah ditempa dalam dapur HMI telah membaur baik
dalam Golkar maupun PPP dan Korpri. Sangat kurang hal itu dilihat dalam PDI.
Tapi para intelektual hasil tempaan HMI itu, hadir dalam kekuatan tersebut
bukan membawa nama HMI, tetapi mereka merupakan intelektual Islam.
“Para
tokoh tersebut hadir dengan suatu misi hendak mengembangkan nilai-nilai yang
bersifat langgeng dan rasionalitas serta iman. Semua itu merupakan nilai-nilai
yang universal. Nilai tersebut dapat tetap dipertahankan dan diperjuangkan,
kalau HMI tetap berada dalam independensinya dan tidak menjadi underbouw salah
satu kekuatan politik”, tambah Ridwan Saidi. Menjawab pertanyaan tentang
harapannya dengan Kongres HMI di Padang ini, Ridwan Saidi mengatakan, hendaknya
Kongres tersebut semakin memperlihatkan kekuasaan intelektual ini harus ditempa
terus-menerus oleh HMI, lebih-lebih di tengah-tengah suasana yang disinyalir
sebagai telah terjadi “kemandekan
kreativitas”. Mengenai penerimaan asas tunggal Pancasila dalam tubuh
organisasi tersebut, Ridwan mengatakan, sejauh yang dimonitornya hingga
sekarang tidak ada satu cabangpun yang mengikuti Kongres di Padang ini menolak
Pancasila sebagai satu-satunya asas organisasi. Namun mengenai di mana letak
identitas Islamnya itu ditempatkan di dalam tubuh HMI, nanti Kongres itu
sendirilah yang akan menjawabnya, demikian Drs. Ridwan Saidi.
Jangan Nodai HMI
Dalam
menyambut Kongres ke-16 ini, alumnus I Fakultas Hukum, Ekonomi, Sosial Politik
UGM Prof. Drs. H. Lafran Pane dalam percakapannya dengan “SH” mengatakan
keanggotaan HMI yang tetap heterogen adalah karena prinsipnya setiap orang yang
beragama Islam adalah umat Islam. Sehingga setiap mahasiswa yang beragama Islam
tetap boleh menjadi anggota HMI tanpa memandang tingkat pemahaman atau
pengalamannya tentang Islam. Aliran yang dianut Muhammadiyah atau NU, juga
tidak mempersoalkan aliran politik dari PDI, PPP dan Golkar. Dalam organisasi
itu bertemu antara kaum abangan dengan Islam yang khusuk. Maksudnya agar
keduanya saling mengisi. Jadi HMI harus di tengah, tidak bisa
ekstrim-ekstriman, agar yang satu tidak terasing bagi yang lain. Untuk itu
memimpin HMI tidak mudah, perlu bijaksana dan toleran.
Acap Kali
Mengomentari
kemelut yang menimpa tubuh HMI, mahaguru Ilmu Tata Negara ini menyebut telah
acapkali terjadi. Bahkan pada tahun 1947 pada bulan-bulan pertama HMI lahir,
dan tahun 60-an ketika harus mempertahankan eksistensinya dari berbagai
rongrongan di antaranya dari kaum komunis. Waktu itu tidak ada jalan selain
mengikuti kepemimpinan Bung Karno agar HMI tidak terasing. Namun yang berhaluan
keras tidak menghendaki hal itu. Lafran Pane memperkirakan yang dihadapi pada
masa sekarang mungkin faktor semacam itu persoalannya. “Tapi mudah-mudahan
bukan itu”, tambahnya. Dikatakan oleh mahaguru IKIP yang diperbantukan di
Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta ini, pemikiran seperti itu dapat
dipahami tapi menurutnya tidak tepat. Agar HMI tidak hancur, karena lahir 39
tahun lalu di tengah revolusi untuk menegakkan Islam di tengah bangsa
Indonesia, ia berpendapat mereka lebih baik membentuk organisasi lain atau
merangkap. “Tapi jangan nodai atau merubah ciri-ciri HMI”, tegasnya.
Dikatakan,
HMI memiliki tiga ciri yang harus dipertahankan, ialah mengutamakan kepentingan nasional atau rasa kebangsaan, pemahaman bahwa
setiap bangsa Indonesia yang beragama Islam adalah umat Islam, dan bahwa
organisasi ini berpikiran modern,
yaitu diberikan kebebasan untuk menggunakan akal dan pikirannya juga dalam
menyelesaikan masalah keduawian. Dengan tiga ciri itu HMI haruslah saling memberi dan menerima, harus independen,
dank arena faham kebangsaannya HMI tak bisa melepaskan diri dari kewajiban
kepada negara. HMI penganut Islam tetapi bukan karena motif politik atau ambisi
di luar ciri itu. “Begitu pula bagi HMI apakah wanita wajib pakai jilbab itu
bukan persoalan”, tegasnya. Menjawab pertanyaan tentang asas tunggal Pancasila,
mahaguru kelahiran Padangsidempuan ini menyebutkan dari dulu bagi HMI bukan
persoalan. Organisasi ini lahir 39 tahun lalu di Yogyakarta dengan anggaran
dasar yang secara tegas menyebut untuk mempertahankan negara RI yang
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 jadi justru tidak hanya menerima Pancasila
tapi ingin mempertahankannya, demikian Lafran Pane.[]
Catatan:
Tulisan di atas dimuat pertama kali oleh Harian
Sinar Harapan Jakarta, tanggal 24 Maret 1986. Kemudian dibukukan oleh
Agussalim Sitompul dalam judul buku HMI
Mengayuh Di Antara Cita Dan Kritik, halaman: 16-19.
No comments:
Post a Comment