YakusaBlog- Yang
berwenang menulis perkembangan HMI selama dasawarsa 50, tentulah semua PB-PB
dalam periode tersebut secara bersama-sama, yaitu PB Lukman Hakim (1950-1951),
PB Dahlan Ranuwihardjo (1951-1953), PB Deliar Noer (1953-1955), PB Amir Rajab
Batubara (1955-1957) dan PB Ismail Hassan Metareum (1957-1960). Saya kira
mengapa PB HMI hanya meminta saya untuk menulisnya, dan bukannya kelima-lima
mantan PB HMI tersebut, pertimbangannya adalah dari sudut praktis semata; tidaklah
mudah mengumpulkan mereka untuk secara bersama-sama menuliskan perkembangan HMI
dalam periode 1950-1960. Saya pun tidak berpretensi berwenang atau mampu
menuliskannya, ini pun dengan pertimbangan praktis saja, yaitu daripada tidak
ada penulisan topic tersebut dalam Buku
Kenangan 43 tahun HMI. Kalau ada kekurangan dalam tulisan ini, saya harap
rekan-rekan, khususnya para mantan PB tahun 1950-an dapat maklum. Tulisan ini
sekedar berupa catatan atas sejumlah peristiwa penting dalam kehidupan HMI yang
terjadi dalam tahun 1950-an.
Membangun Kembali HMI
Tahun
1950 mencatat HMI dalam kondisi “disorganized”
(kalut). Dalam masa revolusi fisik, HMI mempunyai cabang-cabang di Yogyakarta,
Klaten, Solo dan Malang. Mengapa ada cabang di Klaten, Solo dan Malang, ialah
karena tiga kota tersebut berdiri cabang-cabang dari Perguruan Tinggi
Kedokteran yang setelah mengungsi dari Jakarta pada tahun 1946 lalu dipusatkan
di Klaten dan mempunyai dua cabang Perguruan Tinggi Kedokteran di Solo dan
Malang. Dengan berdirinya Universitas Gajah Mada di Yogyakarta tanggal 19
Desember 1949, Perguruan Tinggi Kedokteran di Klaten dengan dua cabangnya di
Solo dan Malang lalu dimasukkan ke Universitas Gajah Mada menjadi Fakultas
Kedokteran. Dengan berpindahnya ketiga P.T. Kedokteran ke Yogya itu, otomatis
cabang-cabang HMI di kota tersebut lalu bubar, karena pada tahun 1950 itu di
tiga kota tersebut belum ada perguruan tinggi lain. Tinggallah pada awal tahun
1950 itu HMI Cabang Yogya. Dengan terpusatnya perguruan tinggi di daerah eks RI
(proklamasi) di kota Yogya, orang mengira HMI Cabang Yogya pada awal tahun 1950
itu akan makin besar dalam jumlahnya anggotanya. Ternyata tidak. Mengapa? Kota
Yogya, ibukota ke-2 RI Proklamasi, pada awal tahun 1950 itu sedang dilanda
demam “back to campus”. Meskipun
disebut sebagai “demam” namun justru sehat, yaitu para mahasiswa yang ada pada
umumnya kaum republikein (pendukung
Republik-Proklamasi) berduyun-duyun “afwaajan”
belajar kembali di perguruan tinggi (di Yogya waktu itu selain ada UN Gajah
Mada, juga ada UII kelanjutan Sekolah Tinggi Islam yang berdiri di Jakarta
tahun 1945).
Dibandingkan
dengan para mahasiswa-federal, yaitu yang memasuki Universitas van Indonesia
yang didirikan oleh Pemerintah Van Mook/NICA (Netherland Indies Civil Administration) di Jakarta dan mempunyai
cabang-cabangnya di Bogor, Bandung, Surabaya dan Makassar pada pertengahan
tahun 1947 setelah Belanda melancarkan aksi militer I bulan Juli 1947, para
mahasiswa republikien ini telah ketinggalan dua setengah tahun akibat
ditutupnya perguruan tinggi di daerah RI setelah clash I dengan Belanda bulan Juli 1947 itu guna memberi kesempatan
kepada para mahasiswa untuk turut berjuang memanggul senjata menghadapi agresi
Belanda/NICA. Untuk mengejar ketinggalan dua setengah tahun itulah mereka para
mahasiswa republikien itu “meninggalkan” organisasi mahasiswa, kembali ke
kampus untuk belajar. Dalam suasana kembali belajar itu HMI Cabang Yogya
mengalami kekalutan pada bulan-bulan pertama tahun 1950. Sementara itu PB-nya
pun kalut pula. PB Mintaredja, hasil Kongres HMI I di Yogyakarta tahun 1947
praktis bubar karena sebagian besar anggotanya meninggalkan Yogya berpencar ke
Jakarta, Bandung dan ke luar negeri. Pada awal tahun 1950-an itu, roda PB HMI
praktis dijalankan hanya oleh dua orang yaitu Mas Lafran Pane sebagai Ketua
Umum dan saya sebagai Sekretaris Umum. (Saya diangkat oleh Mas Lafran Pane
sebagai Sekretaris Umum pada akhir tahun 1949, tanpa SK, tanpa upacara, hanya
dengan menyerahkan stempel PB tok. Tanpa arsip-arsip, karena kantor PB di Jalan
Ngabean turut dibumihanguskan menjelang tentara Belanda masuk kota Yogya pada clash II bulan Desember 1948).
Di
bawah PB mini inilah berdiri cabang-cabang HMI di Jakarta, Bogor, Bandung,
Surabaya sedang Cabang Yogyanya sementara itu telah mengatasi masa kekalutan.
Di bawah PB mini ini pulalah, HMI masih tetap berperan di dalam kalangan pemuda
dan mahasiswa, di antaranya dengan terpilihnya diri saya sebagai Ketua Umum
Badan Pekerja PPMI (Persertikatan Perhimpunan-perhimpunan Mahasiswa Indonesia)
bulan Maret 1950 dalam Kongres PPMI di Yogya dan sebagai Ketua Umum FPI (Front
Pemuda Indonesia) dalam Kongres Pemuda Seluruh Indonesia di Surabaya, Juni
1950.
Karena
menurut Anggaran Dasar, PB harus berkedudukan di Ibukota RI, diserahkanlah
pimpinan PB kepada sebuah PB sementara di Jakarta yang diketuai oleh Lukman
Hakiem. Setelah dalam masa kurang lebih setahun, PB sementara ini tidak
berfungsi. Sebagai seorang pembantu umum dalam formasi PB sementara ini, saya
melakukan teguran lisan beberapa kali, namun tidak berhasil, sehingga akhirnya
bulan September 1951 saya menulis surat kepada PB HMI sementara saya menyatakan
mengundurkan diri dari PB. Surat saya ini telah mendorong PB sementara untuk
rapat di rumah Mas Min (panggilan akrab saya kepada Almarhum HMS. Mintaredja,
SH) di Kebayoran Baru. Dalam rapat itu, atas saran Mas MIN, PB sementara dengan
alasan tidak sanggup bekerja, membubarkan diri dan menyerahkan mandate kepada
saya. Saya susunlah PB Darurat pada bulan Oktober 1950 dan pada bulan Desember
1950 PB Darurat ini menyelenggarakan Kongres Darurat di Yogyakarta yang
kemudian disyahkan sebagai Kongres II HMI yang memilih saya sebagai Ketua Umum
merangkap formatur tunggal.
Kongres
HMI di Jakarta bulan September 1953 dihadiri oleh cabang-cabang Yogya, Jakarta,
Bogor, Bandung, Surabaya, Solo, Makassar dan Medan (cabang Padang yang sudah
berdiri berhalangan hadir). Dalam konres tersebut, meskipun sebagian besar
utusan akan menyetujui pemilihan saya kembali sebagai Ketua PB, namun saya
menolak dengan alasan studi saya, tetapi terutama adalah untuk meletakkan garis
tradisi agar di dalam organisasi mahasiswa termasuk HMI tidak terjadi gejala “tokoh yang tetap bercokok”, seperti yang
terjadi pada organisasi mahasiswa/pelajar lain yang ternyata kemudian merugikan
organisasi yang bersangkutan. (Terpilihnya kembali Nurcholish Madjid sebagai
Ketua Umum PB HMI di Kongres Malam tahun 1969 adalah merupakan “kecelakaan”
dalam sejarah HMI). Alhamdulillah,
tradisi “Ketum PB hanya untuk satu masa jabatan” itu tetap dipegang teguh oleh
kongres-kongres HMI.
Melanjutkembangkan
Kepribadian HMI
Pada
awal tahun 1950-an itu belumlah ada rumusan tentang apa yang kemudian disebut Kepribadian HMI. Bagaimana saya dapat
mengetahui tentang kepribadian HMi dan bagaimana pula saya dapat berbicara
tentang melanjutkan dan mengembangkan Kepribadian HMI. Sampai dengan masa
jabatan saya sebagai Ketua Umum PB, istilah kepribadian itu sebenarnya belum
ada, seingat saya juga tidak pernah menyebutkannya; dalam forum-forum HMI dalam
periode saya istilah Kepribadian HMI juga tidak disebut-sebut. Kalau begitu
belum ada dong Kepribadian HMI dalam periode saya. Ini tidak benar, Kepribadian
HMI itu ada dan sudah ada sejak HMI berdiri, walau istilah itu belum pernah
disebut-sebut, apalagi dirumuskan. Pada hemat saya, Kepribadian HMI itu
mula-mula bersumber pada naluri, kemudian terungkap dalam sikap, terutulis atau
terucap. Rangkaian ungkapan-ungkapan naluri itu kemudian disebut Kepribadian
HMI. Terbatasnya jumlah halaman buku kenangan ini tidak mengizinkan untuk
menguraikan proses terbentuknya Kepribadian HMI itu. Akan memadailah kiranya
jika saya katakan, bahwa dari naluri orang-orang muda yang didikan dan
dibesarkan dalam kancah perjuangan bangsa untuk kemerdekaan, yang tergolong
terpelajar (apalagi sebagai mahasiswa calon sarjana) serta beragama Islam,
telah terbentuk suatu kepribadian yang menunjukkan karakteristik sebagai
berikut:
a. Berintegrasi
dengan dan dalam Kehidupan Nasional Bangsa.
b. Berpikir,
bersikap dan melangkah secara mandiri.
c. Turut
serta dalam dan turut memelihara Ukhuwah Islamiah.
Kepribadian
HMI yang telah dipraktekkan oleh senior-senior saya seperti Mas Lafran Pane,
Mas Min, Mas Achamad Tirtosudiro, Mas Sanusi dan lainnya, ungkapan-ungkapan
kepribadian itu dapat saya rasakan dan sadari, karena pertama, sebagai sesama
hamba Allah kualitas saya relative sama dengan mereka yaitu sama-sama pemuda,
mahasiswa, pejuang, dan beragama Islam, dan kedua karena saya selalu mengikuti
dan mengenali sepak terjang senior-senior saya itu sejak saya masih aktif di
Pengurus HMI Cabang Yogyakarta pada tahun 1948.
Karena
itu, tanpa menyebut-nyebut Kepribadian HMI dan tanpa bergembor akan melanjutkan
garis (khittoh) yang telah digariskan
oleh senior-senior saya dalam HMI. Sebagai Ketua Umum PB HMI sebenarnya secara naluris
pula saya mengikuti, melanjutkan dan mengembangkan Kepribadian HMI yang
sebelumnya telah dirintis oleh senior-senior saya itu. Dengan jiwa dan semangat
kepribadian HMI inilah saya melangkah dalam sejumlah peristiwa, moisalnya
ketika pada tahun 1950 dalam kedudukan saya sebagai ketua PPMI saya mendesak
formatur Moh. Natsir agar membentuk Kabinet yang berintikan kekuatan Masyumi
dan PNI dalam Parlemen Sementara RI, karena tanpa koalisi Masyumi-PNI, Kabinet
akan tidak mempunyai basis yang kuat dalam parlemen. Delegasi PPMI menemui
Presiden Sukarno dan mendesak terbentuknya Kabinet yang berintikan koalisi
Masyumi-PNI. Akhirnya terbentuk Kabinet Sukirman-Suwiryo yang merupakan koalosi
Masyumi PNI. Namun Kabinet Sukirman-Suwiryo ini pun tidak berusia panjang
(kira-kira hanya tujuh bulan). Sebab jatuhnya Kabinet Sukirman-Suwiryo ialah
karena Menteri Luar Negeri Subardjo (dari Masyumi) membubuhkan persetujuan atas
naskah MSA (Mutual Security Agreement)
dengan Duta Besar AS di Jakarta, Cochran. Dan mengapa Subardjo sampai
menyetujui MSA itu, inilah sebuah misteri politik yang sampi saat ini belum dan
mungkin tidak terkuak.
Dengan
berjiwakan Kepribadian HMI itu pula, pada tahun 1952, PB HMI bersama-sama
organisasi-organisasi Islam menemui Jaksa Agung Soerapto (Alm.) mendesat
dicabutnya Surat Ederan Jaksa Agung yang berisikan larangan pidato politik di
masjid-masjid. Surat Ederan Jaksa Agung ini kemudian dicabut. Kalau PB sampai
turut dalam sikap tersebut, hal ini adalah karena bertitik tolak dari ajaran
Islam bahwa agama tidak dapat dipisahkan dari politik. Dengan semangat
Kepribadian HMI pulalah, di tengah-tengah terjadinya polarisasi politik antara
partai-partai Islam pada pihak satu dan golongan Nasionalis pada pihak lain,
sebagai Ketua Umum PB HMI saya menulis surat Kepada Presiden Soekarno
tertanggal 13 April 1953 dengan motif mengurangi suasana polarisasi dan
ketegangan politik pada waktu itu. Surat saya yang di antaranya menyinggung
tentang hubungan antara Islam dan Pancasila, yang pada pendapat PB HMI tidaklah
saling bertentangan bahkan sesuai, kemudian dijawab oleh Presiden Soekarno
dalam bentuk ceramah umum beliau di Aula Universitas Indonesia tanggal 7 Mei
1953. Rekaman ceramah tersebut disiarkan secara nasional lewat RRI.
Merumuskan Identitas
HMI
Di
dalam Kongres HMI III di Jakarta, September 1953 telah timbul pemikiran untuk
merubah Anggaran Dasar hasil Kongres HMI I Yogya tahun 1948. Deliar Noer, Ketua
Umum PB HMI hasil Kongres III menampung pemikiran tersebut dengan membentuk
sebuah Panitia Perumus yang menyampaikan Rancangan Perubahan AD ke Kongres HMI
di Bandung tahun 1955. Dengan penyempurnaan oleh Kongres HMI di Palembang tahun
1971, Kongres Bandung itu telah merumuskan Tujuan HMI seperti yang telah
disahkan kembali oleh kongres-kongres HMI dan terakhir oleh Kongres Lhokseumawe
tahun 1988. Pada hemat saya, insan cita HMI atau stereo-tip insan HMI adalah
yang memenuhi sedikit banyak apa yang terkandung dalam Tujuan HMI itu yaitu
insan akademis pencipta pengabdi yang bernafaskan Islam yang turut bertanggung
jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur berdasarkan Pancasila yang
diridhoi Allah SWT. Identitas HMI menurut saya adalah terletak pada hamba-hamba
Allah anggota dan alumni HMI yang merupakan stereo-tip stereo-tip yang memenuhi
kriteria yang terkandung dalam rumusan Tujuan HMI. Dihitung dari tahun 1955
sewaktu rumusan itu pertama kali diputuskan oleh Kongres Bandung III, Rumusan
Tujuan HMI itu, sesudah Rumusan Sapta Marga TNI tahun 1952, merupakan rumusan
yang bertahan lama (sudah 35 tahun dan isnya Allah akan terus) dalam alam
Republik Pancasila tercinta ini.
Munculnya Organisasi
Mahasiswa Underbouw Partai
Dasawarsa
50 mencatat 2 organisasi mahasiswa yang tidak independen pada tahun 1953-1954
yaitu GMNI, underbouw PNI dan CGMI
(Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia) yang berafiliasi pada PKI. Beberapa
tahun kemudian beberapa ormah tersebut masuk menjadi anggota PPMI. Sebagai
federasi dari ormah-ormah yang independen yang bukan underbouw dari suatu partai dank arena itu sejak berdiri, PPMI juga
dapat bersikap independen. Masuknya ormah yang merupakan underbouw partai tidaklah dapat dicegah, karena di dalam Anggaran
Dasar PPMI tidak terdapat ketentuan bahwa ormah underbouw partai tidak boleh menjadi anggota.
Sejak
PPMi berdiri, HMI selalu memegang pimpinan PPMI, kalau tidak sebagai ketua,
yang sebagai wakil ketua dengan partnernya dari ormah lokal seperti PMJ
(Perhimpunan Mahasiswa Jogya) atau GMD (Gerakan Mahasiswa Djakarta) atau
berpartnerkan PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik RI). Dengan masuknya
ormah-ormah underbouw partai,
pimpinan PPMI beralih ke tangan mereka sekaligus bergeser pula watak PPMI
sebegai federasi yang independen, karena GMNI/CGMI yang memegang pimpinan PPMI
melibatkan PPMI ke dalam permainan politik praktis (yaitu dalam tangga
memperoleh kekuasaan politik). Karena PPMI diseret oleh GMNI/CGMI ke kubu
PKI/PNI-Asu, maka tatkala kubu tersebut mengalami kekalahan total bersama-sama
dengan hancurnya Orde Lama, lalu PPMI ikut “koid”
pula alias tamat riwayatnya.
Dapatlah
dikenang peristiwa Konferensi Mahasiswa Afrika Asia di Bandung tahun 1956
sebagai prestasi puncak dari PPMI, karena sesudah itu PPMI di tangan GMNI/CGMI
tidak berprestasi. Dan Konferensi Mahasiswa AA itu diketuai oleh Agusdin
Aminuddin, yang mewakili unsur HMI memegang jabatan Ketua PPMI pada tahun 1956.
Itu riwayat PPMI, juga riwayat KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) memberi
sebuah pelajaran sejarah: Hanya dalam posisi yang independen, sebuah gerakan
mahasiswa akan mampu membuat prestasi yang mempunyai arti dalam sejarah. Dan
sejarah dapat mencatat pula, bahwa HMI yang independen telah memberikan peranan
kepada Gerakan Mahasiswa yang independen pula.[]
Penulis:
A. Dahlan Ranuwihardjo (Ketua Umum PB HMI periode 1951-1953).
Catatan:
Tulisan di atas dimuat pertama kali oleh Harian
Pelita Jakarta, tanggal 7 Februari
1990 dengan judul HMI Dalam Periode 1950-1960. Kemudian dibukukan oleh Agussalim Sitompul dalam judul buku HMI Mengayuh Di Antara Cita Dan Kritik,
halaman 19-23.
ituBola - Agen Taruhan Online | Sportsbook | Casino
ReplyDeleteOnline | Baccarat | Dragon Tiger | Roulette | Sicbo| BlackJack
Agen Judi Online Terpercaya dan Terbaik di Indonesia.
Menyediakan berbagai macam permainan Judi Bola & Live Casino Online Terlengkap.
Cukup 1 User id untuk bermain semua taruhan permainan.
- Sportsbook ( Terlengkap )
- W88 Live Casino
• Baccarat
• Roulette
• Sicbo
• Blackjack
• Dragon Tiger
=> Bonus Cashback 5% (dibagikan setiap Hari Senin)
=> Customer Service 24 Jam Nonstop
=> Support Bank Lokal Indonesia
=> Support Deposit Via Aplikasi OVO,PULSA,GOPAY
=> Minimal Deposit 25,000 | Minimal Withdraw 50,000
=> Proses Deposit & Withdraw Tercepat
Kontak Kami:
-LINE : itubola757
-TELEGRAM : +85517696120 / @ItuBola
-WECHAT : itubolanet
-WHATSAPP : +85517696120
> Pusat Bantuan ItuBola <