Kondisi HMI Dalam Periode 1950-1960 - Yakusa Blog

Yakusa Blog

Mewujudkan Komunitas Intelektual Muslim

Tuesday, 3 September 2019

Kondisi HMI Dalam Periode 1950-1960


YakusaBlog- Yang berwenang menulis perkembangan HMI selama dasawarsa 50, tentulah semua PB-PB dalam periode tersebut secara bersama-sama, yaitu PB Lukman Hakim (1950-1951), PB Dahlan Ranuwihardjo (1951-1953), PB Deliar Noer (1953-1955), PB Amir Rajab Batubara (1955-1957) dan PB Ismail Hassan Metareum (1957-1960). Saya kira mengapa PB HMI hanya meminta saya untuk menulisnya, dan bukannya kelima-lima mantan PB HMI tersebut, pertimbangannya adalah dari sudut praktis semata; tidaklah mudah mengumpulkan mereka untuk secara bersama-sama menuliskan perkembangan HMI dalam periode 1950-1960. Saya pun tidak berpretensi berwenang atau mampu menuliskannya, ini pun dengan pertimbangan praktis saja, yaitu daripada tidak ada penulisan topic tersebut dalam Buku Kenangan 43 tahun HMI. Kalau ada kekurangan dalam tulisan ini, saya harap rekan-rekan, khususnya para mantan PB tahun 1950-an dapat maklum. Tulisan ini sekedar berupa catatan atas sejumlah peristiwa penting dalam kehidupan HMI yang terjadi dalam tahun 1950-an.
Membangun Kembali HMI
Tahun 1950 mencatat HMI dalam kondisi “disorganized” (kalut). Dalam masa revolusi fisik, HMI mempunyai cabang-cabang di Yogyakarta, Klaten, Solo dan Malang. Mengapa ada cabang di Klaten, Solo dan Malang, ialah karena tiga kota tersebut berdiri cabang-cabang dari Perguruan Tinggi Kedokteran yang setelah mengungsi dari Jakarta pada tahun 1946 lalu dipusatkan di Klaten dan mempunyai dua cabang Perguruan Tinggi Kedokteran di Solo dan Malang. Dengan berdirinya Universitas Gajah Mada di Yogyakarta tanggal 19 Desember 1949, Perguruan Tinggi Kedokteran di Klaten dengan dua cabangnya di Solo dan Malang lalu dimasukkan ke Universitas Gajah Mada menjadi Fakultas Kedokteran. Dengan berpindahnya ketiga P.T. Kedokteran ke Yogya itu, otomatis cabang-cabang HMI di kota tersebut lalu bubar, karena pada tahun 1950 itu di tiga kota tersebut belum ada perguruan tinggi lain. Tinggallah pada awal tahun 1950 itu HMI Cabang Yogya. Dengan terpusatnya perguruan tinggi di daerah eks RI (proklamasi) di kota Yogya, orang mengira HMI Cabang Yogya pada awal tahun 1950 itu akan makin besar dalam jumlahnya anggotanya. Ternyata tidak. Mengapa? Kota Yogya, ibukota ke-2 RI Proklamasi, pada awal tahun 1950 itu sedang dilanda demam “back to campus”. Meskipun disebut sebagai “demam” namun justru sehat, yaitu para mahasiswa yang ada pada umumnya kaum republikein (pendukung Republik-Proklamasi) berduyun-duyun “afwaajan” belajar kembali di perguruan tinggi (di Yogya waktu itu selain ada UN Gajah Mada, juga ada UII kelanjutan Sekolah Tinggi Islam yang berdiri di Jakarta tahun 1945).
Dibandingkan dengan para mahasiswa-federal, yaitu yang memasuki Universitas van Indonesia yang didirikan oleh Pemerintah Van Mook/NICA (Netherland Indies Civil Administration) di Jakarta dan mempunyai cabang-cabangnya di Bogor, Bandung, Surabaya dan Makassar pada pertengahan tahun 1947 setelah Belanda melancarkan aksi militer I bulan Juli 1947, para mahasiswa republikien ini telah ketinggalan dua setengah tahun akibat ditutupnya perguruan tinggi di daerah RI setelah clash I dengan Belanda bulan Juli 1947 itu guna memberi kesempatan kepada para mahasiswa untuk turut berjuang memanggul senjata menghadapi agresi Belanda/NICA. Untuk mengejar ketinggalan dua setengah tahun itulah mereka para mahasiswa republikien itu “meninggalkan” organisasi mahasiswa, kembali ke kampus untuk belajar. Dalam suasana kembali belajar itu HMI Cabang Yogya mengalami kekalutan pada bulan-bulan pertama tahun 1950. Sementara itu PB-nya pun kalut pula. PB Mintaredja, hasil Kongres HMI I di Yogyakarta tahun 1947 praktis bubar karena sebagian besar anggotanya meninggalkan Yogya berpencar ke Jakarta, Bandung dan ke luar negeri. Pada awal tahun 1950-an itu, roda PB HMI praktis dijalankan hanya oleh dua orang yaitu Mas Lafran Pane sebagai Ketua Umum dan saya sebagai Sekretaris Umum. (Saya diangkat oleh Mas Lafran Pane sebagai Sekretaris Umum pada akhir tahun 1949, tanpa SK, tanpa upacara, hanya dengan menyerahkan stempel PB tok. Tanpa arsip-arsip, karena kantor PB di Jalan Ngabean turut dibumihanguskan menjelang tentara Belanda masuk kota Yogya pada clash II bulan Desember 1948).
Di bawah PB mini inilah berdiri cabang-cabang HMI di Jakarta, Bogor, Bandung, Surabaya sedang Cabang Yogyanya sementara itu telah mengatasi masa kekalutan. Di bawah PB mini ini pulalah, HMI masih tetap berperan di dalam kalangan pemuda dan mahasiswa, di antaranya dengan terpilihnya diri saya sebagai Ketua Umum Badan Pekerja PPMI (Persertikatan Perhimpunan-perhimpunan Mahasiswa Indonesia) bulan Maret 1950 dalam Kongres PPMI di Yogya dan sebagai Ketua Umum FPI (Front Pemuda Indonesia) dalam Kongres Pemuda Seluruh Indonesia di Surabaya, Juni 1950.
Karena menurut Anggaran Dasar, PB harus berkedudukan di Ibukota RI, diserahkanlah pimpinan PB kepada sebuah PB sementara di Jakarta yang diketuai oleh Lukman Hakiem. Setelah dalam masa kurang lebih setahun, PB sementara ini tidak berfungsi. Sebagai seorang pembantu umum dalam formasi PB sementara ini, saya melakukan teguran lisan beberapa kali, namun tidak berhasil, sehingga akhirnya bulan September 1951 saya menulis surat kepada PB HMI sementara saya menyatakan mengundurkan diri dari PB. Surat saya ini telah mendorong PB sementara untuk rapat di rumah Mas Min (panggilan akrab saya kepada Almarhum HMS. Mintaredja, SH) di Kebayoran Baru. Dalam rapat itu, atas saran Mas MIN, PB sementara dengan alasan tidak sanggup bekerja, membubarkan diri dan menyerahkan mandate kepada saya. Saya susunlah PB Darurat pada bulan Oktober 1950 dan pada bulan Desember 1950 PB Darurat ini menyelenggarakan Kongres Darurat di Yogyakarta yang kemudian disyahkan sebagai Kongres II HMI yang memilih saya sebagai Ketua Umum merangkap formatur tunggal.
Kongres HMI di Jakarta bulan September 1953 dihadiri oleh cabang-cabang Yogya, Jakarta, Bogor, Bandung, Surabaya, Solo, Makassar dan Medan (cabang Padang yang sudah berdiri berhalangan hadir). Dalam konres tersebut, meskipun sebagian besar utusan akan menyetujui pemilihan saya kembali sebagai Ketua PB, namun saya menolak dengan alasan studi saya, tetapi terutama adalah untuk meletakkan garis tradisi agar di dalam organisasi mahasiswa termasuk HMI tidak terjadi gejala “tokoh yang tetap bercokok”, seperti yang terjadi pada organisasi mahasiswa/pelajar lain yang ternyata kemudian merugikan organisasi yang bersangkutan. (Terpilihnya kembali Nurcholish Madjid sebagai Ketua Umum PB HMI di Kongres Malam tahun 1969 adalah merupakan “kecelakaan” dalam sejarah HMI). Alhamdulillah, tradisi “Ketum PB hanya untuk satu masa jabatan” itu tetap dipegang teguh oleh kongres-kongres HMI.
Melanjutkembangkan Kepribadian HMI
Pada awal tahun 1950-an itu belumlah ada rumusan tentang apa yang kemudian disebut Kepribadian HMI. Bagaimana saya dapat mengetahui tentang kepribadian HMi dan bagaimana pula saya dapat berbicara tentang melanjutkan dan mengembangkan Kepribadian HMI. Sampai dengan masa jabatan saya sebagai Ketua Umum PB, istilah kepribadian itu sebenarnya belum ada, seingat saya juga tidak pernah menyebutkannya; dalam forum-forum HMI dalam periode saya istilah Kepribadian HMI juga tidak disebut-sebut. Kalau begitu belum ada dong Kepribadian HMI dalam periode saya. Ini tidak benar, Kepribadian HMI itu ada dan sudah ada sejak HMI berdiri, walau istilah itu belum pernah disebut-sebut, apalagi dirumuskan. Pada hemat saya, Kepribadian HMI itu mula-mula bersumber pada naluri, kemudian terungkap dalam sikap, terutulis atau terucap. Rangkaian ungkapan-ungkapan naluri itu kemudian disebut Kepribadian HMI. Terbatasnya jumlah halaman buku kenangan ini tidak mengizinkan untuk menguraikan proses terbentuknya Kepribadian HMI itu. Akan memadailah kiranya jika saya katakan, bahwa dari naluri orang-orang muda yang didikan dan dibesarkan dalam kancah perjuangan bangsa untuk kemerdekaan, yang tergolong terpelajar (apalagi sebagai mahasiswa calon sarjana) serta beragama Islam, telah terbentuk suatu kepribadian yang menunjukkan karakteristik sebagai berikut:
      a.  Berintegrasi dengan dan dalam Kehidupan Nasional Bangsa.
      b.  Berpikir, bersikap dan melangkah secara mandiri.
      c.  Turut serta dalam dan turut memelihara Ukhuwah Islamiah.
Kepribadian HMI yang telah dipraktekkan oleh senior-senior saya seperti Mas Lafran Pane, Mas Min, Mas Achamad Tirtosudiro, Mas Sanusi dan lainnya, ungkapan-ungkapan kepribadian itu dapat saya rasakan dan sadari, karena pertama, sebagai sesama hamba Allah kualitas saya relative sama dengan mereka yaitu sama-sama pemuda, mahasiswa, pejuang, dan beragama Islam, dan kedua karena saya selalu mengikuti dan mengenali sepak terjang senior-senior saya itu sejak saya masih aktif di Pengurus HMI Cabang Yogyakarta pada tahun 1948.
Karena itu, tanpa menyebut-nyebut Kepribadian HMI dan tanpa bergembor akan melanjutkan garis (khittoh) yang telah digariskan oleh senior-senior saya dalam HMI. Sebagai Ketua Umum PB HMI sebenarnya secara naluris pula saya mengikuti, melanjutkan dan mengembangkan Kepribadian HMI yang sebelumnya telah dirintis oleh senior-senior saya itu. Dengan jiwa dan semangat kepribadian HMI inilah saya melangkah dalam sejumlah peristiwa, moisalnya ketika pada tahun 1950 dalam kedudukan saya sebagai ketua PPMI saya mendesak formatur Moh. Natsir agar membentuk Kabinet yang berintikan kekuatan Masyumi dan PNI dalam Parlemen Sementara RI, karena tanpa koalisi Masyumi-PNI, Kabinet akan tidak mempunyai basis yang kuat dalam parlemen. Delegasi PPMI menemui Presiden Sukarno dan mendesak terbentuknya Kabinet yang berintikan koalisi Masyumi-PNI. Akhirnya terbentuk Kabinet Sukirman-Suwiryo yang merupakan koalosi Masyumi PNI. Namun Kabinet Sukirman-Suwiryo ini pun tidak berusia panjang (kira-kira hanya tujuh bulan). Sebab jatuhnya Kabinet Sukirman-Suwiryo ialah karena Menteri Luar Negeri Subardjo (dari Masyumi) membubuhkan persetujuan atas naskah MSA (Mutual Security Agreement) dengan Duta Besar AS di Jakarta, Cochran. Dan mengapa Subardjo sampai menyetujui MSA itu, inilah sebuah misteri politik yang sampi saat ini belum dan mungkin tidak terkuak.
Dengan berjiwakan Kepribadian HMI itu pula, pada tahun 1952, PB HMI bersama-sama organisasi-organisasi Islam menemui Jaksa Agung Soerapto (Alm.) mendesat dicabutnya Surat Ederan Jaksa Agung yang berisikan larangan pidato politik di masjid-masjid. Surat Ederan Jaksa Agung ini kemudian dicabut. Kalau PB sampai turut dalam sikap tersebut, hal ini adalah karena bertitik tolak dari ajaran Islam bahwa agama tidak dapat dipisahkan dari politik. Dengan semangat Kepribadian HMI pulalah, di tengah-tengah terjadinya polarisasi politik antara partai-partai Islam pada pihak satu dan golongan Nasionalis pada pihak lain, sebagai Ketua Umum PB HMI saya menulis surat Kepada Presiden Soekarno tertanggal 13 April 1953 dengan motif mengurangi suasana polarisasi dan ketegangan politik pada waktu itu. Surat saya yang di antaranya menyinggung tentang hubungan antara Islam dan Pancasila, yang pada pendapat PB HMI tidaklah saling bertentangan bahkan sesuai, kemudian dijawab oleh Presiden Soekarno dalam bentuk ceramah umum beliau di Aula Universitas Indonesia tanggal 7 Mei 1953. Rekaman ceramah tersebut disiarkan secara nasional lewat RRI.
Merumuskan Identitas HMI
Di dalam Kongres HMI III di Jakarta, September 1953 telah timbul pemikiran untuk merubah Anggaran Dasar hasil Kongres HMI I Yogya tahun 1948. Deliar Noer, Ketua Umum PB HMI hasil Kongres III menampung pemikiran tersebut dengan membentuk sebuah Panitia Perumus yang menyampaikan Rancangan Perubahan AD ke Kongres HMI di Bandung tahun 1955. Dengan penyempurnaan oleh Kongres HMI di Palembang tahun 1971, Kongres Bandung itu telah merumuskan Tujuan HMI seperti yang telah disahkan kembali oleh kongres-kongres HMI dan terakhir oleh Kongres Lhokseumawe tahun 1988. Pada hemat saya, insan cita HMI atau stereo-tip insan HMI adalah yang memenuhi sedikit banyak apa yang terkandung dalam Tujuan HMI itu yaitu insan akademis pencipta pengabdi yang bernafaskan Islam yang turut bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur berdasarkan Pancasila yang diridhoi Allah SWT. Identitas HMI menurut saya adalah terletak pada hamba-hamba Allah anggota dan alumni HMI yang merupakan stereo-tip stereo-tip yang memenuhi kriteria yang terkandung dalam rumusan Tujuan HMI. Dihitung dari tahun 1955 sewaktu rumusan itu pertama kali diputuskan oleh Kongres Bandung III, Rumusan Tujuan HMI itu, sesudah Rumusan Sapta Marga TNI tahun 1952, merupakan rumusan yang bertahan lama (sudah 35 tahun dan isnya Allah akan terus) dalam alam Republik Pancasila tercinta ini.
Munculnya Organisasi Mahasiswa Underbouw Partai
Dasawarsa 50 mencatat 2 organisasi mahasiswa yang tidak independen pada tahun 1953-1954 yaitu GMNI, underbouw PNI dan CGMI (Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia) yang berafiliasi pada PKI. Beberapa tahun kemudian beberapa ormah tersebut masuk menjadi anggota PPMI. Sebagai federasi dari ormah-ormah yang independen yang bukan underbouw dari suatu partai dank arena itu sejak berdiri, PPMI juga dapat bersikap independen. Masuknya ormah yang merupakan underbouw partai tidaklah dapat dicegah, karena di dalam Anggaran Dasar PPMI tidak terdapat ketentuan bahwa ormah underbouw partai tidak boleh menjadi anggota.
Sejak PPMi berdiri, HMI selalu memegang pimpinan PPMI, kalau tidak sebagai ketua, yang sebagai wakil ketua dengan partnernya dari ormah lokal seperti PMJ (Perhimpunan Mahasiswa Jogya) atau GMD (Gerakan Mahasiswa Djakarta) atau berpartnerkan PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik RI). Dengan masuknya ormah-ormah underbouw partai, pimpinan PPMI beralih ke tangan mereka sekaligus bergeser pula watak PPMI sebegai federasi yang independen, karena GMNI/CGMI yang memegang pimpinan PPMI melibatkan PPMI ke dalam permainan politik praktis (yaitu dalam tangga memperoleh kekuasaan politik). Karena PPMI diseret oleh GMNI/CGMI ke kubu PKI/PNI-Asu, maka tatkala kubu tersebut mengalami kekalahan total bersama-sama dengan hancurnya Orde Lama, lalu PPMI ikut “koid” pula alias tamat riwayatnya.
Dapatlah dikenang peristiwa Konferensi Mahasiswa Afrika Asia di Bandung tahun 1956 sebagai prestasi puncak dari PPMI, karena sesudah itu PPMI di tangan GMNI/CGMI tidak berprestasi. Dan Konferensi Mahasiswa AA itu diketuai oleh Agusdin Aminuddin, yang mewakili unsur HMI memegang jabatan Ketua PPMI pada tahun 1956. Itu riwayat PPMI, juga riwayat KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) memberi sebuah pelajaran sejarah: Hanya dalam posisi yang independen, sebuah gerakan mahasiswa akan mampu membuat prestasi yang mempunyai arti dalam sejarah. Dan sejarah dapat mencatat pula, bahwa HMI yang independen telah memberikan peranan kepada Gerakan Mahasiswa yang independen pula.[]

Penulis: A. Dahlan Ranuwihardjo (Ketua Umum PB HMI periode 1951-1953).
Catatan: Tulisan di atas dimuat pertama kali oleh Harian Pelita  Jakarta, tanggal 7 Februari 1990 dengan judul HMI Dalam Periode 1950-1960. Kemudian dibukukan oleh Agussalim Sitompul dalam judul buku HMI Mengayuh Di Antara Cita Dan Kritik, halaman 19-23.

1 comment:

  1. ituBola - Agen Taruhan Online | Sportsbook | Casino

    Online | Baccarat | Dragon Tiger | Roulette | Sicbo| BlackJack


    Agen Judi Online Terpercaya dan Terbaik di Indonesia.
    Menyediakan berbagai macam permainan Judi Bola & Live Casino Online Terlengkap.

    Cukup 1 User id untuk bermain semua taruhan permainan.
    - Sportsbook ( Terlengkap )
    - W88 Live Casino
    • Baccarat
    • Roulette
    • Sicbo
    • Blackjack
    • Dragon Tiger

    => Bonus Cashback 5% (dibagikan setiap Hari Senin)
    => Customer Service 24 Jam Nonstop
    => Support Bank Lokal Indonesia
    => Support Deposit Via Aplikasi OVO,PULSA,GOPAY
    => Minimal Deposit 25,000 | Minimal Withdraw 50,000
    => Proses Deposit & Withdraw Tercepat

    Kontak Kami:
    -LINE : itubola757
    -TELEGRAM : +85517696120 / @ItuBola
    -WECHAT : itubolanet
    -WHATSAPP : +85517696120

    > Pusat Bantuan ItuBola <

    ReplyDelete