YakusaBlog- Sebagai seorang Muslim, apakah kita harus percaya kepada adanya takdir? Jawabannya jelas positif, jelaskan untuk kaum Muslim seperti di negeri kita ini, sesuai dengan aliran paham yang umumnya dianut, yaitu paham Ahlussunnah Waljama’ah. Percaya kepada takdir itu merupakan salah satu dari rukun iman yang enam.
Walaupun begitu, masih tetap dapat diajukan
pertanyaan, “Apa yang disebut takdir?” sepintas lalu seperti nampak telah jelas
untuk setiap orang, apa yang disebut takdir itu. Ini tercermin dalam penggunaan
harian kata-kata “takdir” itu seperti dalam ungkapan: “Sudahlah, perkara itu
sudah menjadi takdir Tuhan, tidak perlu dibicarakan lagi.”
Maka pengertian tentang takdir itu, yang
paling mendasar, ialah dalam kaitannya dengan suatu ketentuan Ilahi yang tidak
dapat kita lawan. Kita semua dikuasai oleh takdir tanpa mampu mengubahnya dan
tanpa ada pilihan lain, karena takdir itu adalah ketentuan dari Tuhan Yang Maha
Kuasa. Maka kita harus menerimanya saja, yang baik maupun yang buruuk.
Sesungguhnya takdir dalam pengertian populer
itu tidaklah terlalu salah. Apalagi kenyataan memang dalam hidup kita ini ada
hal-hal yang sama sekali di luar kemampuan kita untuk menolak atau melawannya.
Hanya saja, jika sikap percaya kepada takdir itu diterapkan secara salah atau
tidak pada tempatnya, maka dia akan melahirkan sikap mental yang sangat
negatif, yaitu apa yang dinamakan “fatalisme”.
Disebut demikian, karena sikap itu mengandung semangat menyerah kalah terhadap
nasib (fate), tanpa usaha dan tanpa
kegiatan kreatif. Banyak orang menilai bahwa kaum Muslim penganut aliran paham
tertentu adalah kaum fatalis.
Padahal sebenarnya tidaklah demikian. Islam
adalah agama yang dengan amat jelas mengajarkan pentingnya amal perbuatan. Jika
agama lain ada yang mengajarkan bahwa keselamatan diperoleh seseorang karena
kesertaannya dalam suatu upacara suci (sakramen)
atau melalui penyajian makanan ritual (sesajen).
Dalam Islam mengajarkan bahwa: “Barangsiapa berharap untuk bertemu
Tuhannya, maka hendaknya dia berbuat baik, dan hendaknya dalam beribadat kepada
Tuhannya dia tidak memperserikatkan-Nya dengan sesuatu apapun juga.” (QS.
Al-Kahf:110). Juga dengan tegas dikatakan: “Manusia
tidaklah mendapatkan sesuatu kecuali yang dia usahakan, dan bahwa hasil usahanya
itu akan diperlihatkan (kepadanya), kemudian akan dibahas dengan balasan yang
setimpal.” (QS. Al-Najm:39)
Berdasarkan prinsip amal itu, maka sebenarnya
telah jelas bahwa percaya kepada takdir tidak sama dengan fatalisme, sebab
fatalisme itu sebagai sikap menyerah-kalah kepada nasib atau fate, artinya tidak adanya usaha (inactivity). Oleh karena itu percaya
kepada takdir yang dikehendaki oleh Islam yang mengajarkan amal-usaha tentu
mustahil mempunyai makna yang menentang aktivitas dan amal perbuatan.
Sejak zaman dahulu, para “ulama” telah
terlibat dalam berbagai pertukaran dan perselisihan pendapat tentang takdir.
Masing-masing dengan logika dan penalarannya sendiri.[]
Sumber:
Nurcholish Madjid, Pintu-Pintu Menuju
Tuhan, Paramadina, Jakarta Selatan, 2002, hal: 18-19.
No comments:
Post a Comment