Masih Pantaskah Panggilan ‘Mahasiswa’ Itu? - Yakusa Blog

Yakusa Blog

Mewujudkan Komunitas Intelektual Muslim

Thursday 30 November 2017

Masih Pantaskah Panggilan ‘Mahasiswa’ Itu?

YakusaBlog-Madu ditangan kananku, racun ditangan kiriku aku tak tau mana yang harus kuberikan padamu (rakyat-pen). Sepotong lirik lagu atau tembang lawas tersebut, seolah-olah memberi sindiran bagi mahasiswa, teruntuk mahasiswa yang membaca tulisan ini terkhusus si penulis.
Bila membahas mahasiswa, berarti kita sedang menjelaskan sekelompok kaum elit yang berintelektual, berdaya saing, bermutu tinggi, pemberani, perantau sampai dengan sahabat karib kaum-kaum yang tertindas atau pun kaum lemah. Setujukah pembaca dengan penjelasan ini?
Penulis meyakini bahwa sebagian besar pembaca tidak setuju dengan pendapat penulis di atas, bahkan mungkin pembaca memiliki ragam ekspresi, ada yang terheran-heran, ada yang terkejut, ada yang sepakat atau tidak sepakat sampai bahkan ada yang tertawa-tawa terbahak-bahak atau bisa jadi ada yang bersedih.
Lalu mengapa penulis sedemikian dalam menerka-nerka ekspresi pembaca, jawabnya adalah penulis meyakini mahasiswa saat ini hampir-hampir tidak layak lagi disebut sebagai mahasiswa. Benaarkah? Tanya kenapa? Apa kata dunia bila mahasiswa tak layak dipanggil, disebut, dan disanjung sebagai mahasiswa?
Jika kita melihat situasi dan kondisi terkini kemahasiswaan, bisa kita simpulkan bahwa kemunduran tengah terjadi di tubuh mahasiswa saat ini.  Kurang tajamnya aktivitas sosial mahasiswa yang dapat menyentuh problematika sosio-kultural rakyat serta kurang produktifnya mahasiswa dalam menelurkan karya-karya yang menginspirasi dan mengharumkan nama institusinya menjadikan mahasiswa kurang diperhitungkan ditengah-tengah masyarakat.
Mahasiswa yang seharusnya menjadi pembeda atau agent pelurus dan perubahan di tengah masyarakat, kini mahasiswa tengah menjadi pemecah belah atau agent penerus tikus-tikus berdasi dan perubahan pola pikir dan pola gerakan ke arah pragmatis yang saat ini menjadi tontonan oleh rakyat-rakyat yang sedang tertindas, yang tengah berharap belas kasih serta perjuangan dari mahasiswa.
Di zaman Melennial ini (kids zaman now-red) sering sekali kita mendengar istilah-istilah baru dan perilaku-perilaku baru yang sifatnya aneh tapi sangat digemari sampai-sampai menyita perhatian berbagai lapisan masyarakat tak terkecuali mahasiswa. Mahasiswa yang diharapkan mampu menetralisir keadaan atau bahkan membungkam segala hal yang diistilahkan dengan kekinian atau kids jaman now dan lain sebagainya, tapi malah tidak justru mahasiswa terjebak, bahkan mahasiswa menjadi pemeran dari kerusakan moral zaman ini.
Seharusnya mahasiswa sadar akan ini: "Di tangan mahasiswalah estafet perjuangan bangsa ini diteruskan serta di tangan mahasiswalah roda kepemimpinan bangsa kedepannya. Bila mahasiswa hari ini maju dan berdikari, maka maju dan berdikarilah bangsa dan negaranya. Namun sebaliknya, jika mahasiswa hari ini lemah dan mundur, maka bersiaplah bangsa dan negaranya dijajah kembali oleh orang-orang asing".
Mahasiswa, Bagaimana Kabarmu?
Hai mahasiswa, bagaimana kabarmu? Apa yang sudah kau dapatkan diperaduan mengutip butir-butir ilmu? Apa kado terindah untuk orangtuamu dikampung halaman? Berapa IPK mu? Sudah berapa banyak karya yang kau ditorehkan? Sudah berapa buku yang dibaca?
Jawabannya "Renungkanlah dan Tepuk dada tanya selera". Di dalam Al-Quran secara tegas Allah Swt. menjelaskan; “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah nasibnya ” (QS 13:11)
Samuel Smiles mengawalinya dengan gagasan atau pikiran. Tanamlah gagasan, petiklah tindakan. Tanamlah tindakan, petiklah kebiasaan. Tanamlah kebiasaan, petiklah watak. Tanamlah watak, petiklah nasib. Dimulai dari gagasan yang diwujudkan dalam tindakan, kemudian tindakan yang dilakukan berulang-ulang akan menjadi suatu kebiasaan. Kebiasaan yang dilakukan berkali-kali akan menjelma menjadi watak, dan watak inilah yang akhirnya mengantarkan kita kepada nasib. Jadi nasib kita, kita sendirilah yang menentukan. Nasib kita ada di tangan kita, tentunya tidak lepas juga dari Sang Penentu.
Memang tak ada yang pasti dalam hidup ini, sebagai abdi-Nya dalam setiap pertempuran hidupnya, mahasiswa hanya bisa berupaya keras untuk mewujudkan segala cita dan asa, tepat memang kata Tan Malaka "Terbentur-Terbentur-TERBENTUK" dan sebab semua keputusan ada ditangan Tuhan.
Sebagai abdi Tuhan, mahasiswa haruslah taat dan ingat mahasiswa sedang menyandang gelar ke maha-an, sudah jelas bahwa mahasiswa sangat diperhatikan oleh Tuhan sebab menyandang gelar kemaha-an adalah kemuliaan dan keagungan yang diamanahkan dan di alamatkan Tuhan untuk sekelompok kaum elitis dan intelektual yakni mahasiswa.
Bagi mahasiswa yang sadar tentu ia akan amanah, melakukan hal-hal pengembangan diri dengan rasa penuh tanggung jawab serta semampu mungkin menjalankan fungsi kekhalifahannya, namun bagi mahasiswa yang belum sadar yang masih tertidur pulas, perilaku seperti inilah yang akan mengundang kemurkaan Tuhan.
Menilai dari apa yang telah dilakukan mahasiswa sekarang, tentunya kita tahu, demonstrasi seperti yang dilakukan mahasiswa sekarang tidak menghasilkan apa-apa. Perdebatan-perdebatan maupun diskusi terbuka yang dilakukan oleh kaum intelektual bangsa ini juga hanya membawa dampak yang sangat kecil pada kemajuan bangsa dan negara kita. Yang menjadi pertanyaan, kalau apa yang telah dilakukan sekarang tidak dapat menyelesaikan permasalahan bangsa ini, apa yang dapat mahasiswa lakukan agar bangsa ini dapat terus berkembang?
Kenyataannya, di saat masyarakat mengalami penderitaan karena berbagai marginalisasi yang dilakukan penguasa, kita justru melihat mahasiswa sibuk tawuran antar sesamanya, menjadi pemakai narkoba, menjadi agen hedonisme dan materialisme bahkan menjadi makelar politik penguasa yang korup. Jika demikian pantaskah gelar “maha” itu diletakkan dalam pundak mahasiswa?
Mahasiswa seharusnya mengerti akan tanggung jawab yang dipikulnya sangat berat. Seperti kata pepatah asing mengatakan: “with great power comes great responsibilities", mengemban nama “maha” tentunya membuat kita memiliki tanggung jawab yang “maha” juga. Tanggung jawab sebesar apa yang dipikul mahasiswa? Yaitu tanggung jawab untuk menentukan masa depan bangsa ini, tanggung jawab untuk menentukan nasib ratusan juta orang rakyat Indonesia.
Menurut pandangan penulis, setidaknya ada tiga jenis mahasiswa yang ada di Indonesia sekarang, yaitu :
Pertama, mahasiswa yang menjadikan demonstrasi hanya sebagai ajang untuk unjuk gigi, agar dirinya dapat dikenal sebagai mahasiswa yang oke, mahasiswa yang ikut-ikutan demonstrasi untuk bolos masuk kuliah. Mahasiswa seperti ini tidak benar-benar memperdulikan rakyat maupun negaranya. Dan mahasiswa seperti inilah yang biasanya melakukan aksi-aksi anarkis maupun terlibat dalam bentrok dengan aparat keamanan pada saat demonstrasi.
Kedua, mahasiswa yang tidak mempedulikan keadaan politik sekitarnya. Mereka hanya berusaha untuk belajar dengan baik, yang penting datang ke kuliah, mengikuti ujian, dan lulus dengan Indeks Prestasi (IP) yang bagus. Mereka tidak memperdulikan apakah Bahan Bakar Minyak (BBM) akan dinaikkan harganya, maupun siapa-siapa saja yang akan berpartisipasi dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 mendatang.
Ketiga, mahasiswa yang benar-benar memperhatikan dan memperdulikan nasib bangsanya. Mahasiswa seperti ini adalah mahasiswa yang memikirkan apa yang dapat dilakukan olehnya untuk bangsa ini. Mereka biasanya menyuarakan keadilan, berdemonstrasi dengan tenang dan mengikuti aturan, mengikuti perdebatan-perdebatan maupun diskusi untuk memajukan bangsa ini. Celakanya (menurut pengamatan penulis), yang menjadi minoritas adalah mahasiswa golongan ketiga ini.
Melihat mahasiswa saat ini, mahasiswa sudah terdegradasi kemahaannya. Kampus sudah menjadi ajang fashion show dan perkumpulan pemabuk maupun penjudi. Apakah mahasiswa yang seperti ini layak untuk menjadi penerus bangsa kita? Apakah mereka layak menjadi penentu nasib ratusan juta jiwa rakyat Indonesia?
Mahasiswa yang benar-benar memikirkan nasib bangsanya tahu, jawaban dari inflasi dan segala kesulitan ekonomi bukanlah merengek-rengek dan berteriak minta tolong. Jawaban dari tekanan ekonomi ialah peningkatan produktivitas. Produktivitas di mana-mana, baik di kelas, di tempat kerja, maupun di masyarakat. Jadi, jawaban dari segala kesulitan rakyat yang ada bukan dengan hanya sibuk berdemonstrasi.
Bergeraklah. Bekerjalah. Jalankan roda ekonomi negara kita. Buka lapangan kerja, berikan pendidikan yang meningkatkan produktivitas (yang secara langsung maupun tidak akan meningkatkan pendapatan). Belajar keras, karena saingan kita adalah Malaysia, Singapura, RRT, Korea, Filiphina, bahkan negara-negara maju di Barat seperti Inggris dan Amerika. Membuka lapangan kerja tidak hanya terbatas pada memiliki modal besar. Lapangan kerja terkadang berasal dari energi, pemikiran, dan usaha. Daripada berdemonstrasi yang seringkali berakhir dengan bentrok atau aksi anarkis kenapa tidak melakukan transfer pengetahuan dari yang sanggup mengenyam pendidikan di perguruan tinggi ke mereka yang tidak sanggup? Maksimalkan kemampuan yang dimiliki. Sesuaikan apa yang dikerjakan dengan apa yang dipelajari.[]

Penulis: Muhammad Nadjib

Kader HMI Cabang Medan

Ket.gbr: net/ilustrasi
Sumber gbr: https://www.deviantart.com/

No comments:

Post a Comment