YakusaBlog-“Madu ditangan kananku, racun ditangan kiriku aku tak tau mana yang
harus kuberikan padamu (rakyat-pen)”. Sepotong
lirik lagu atau tembang lawas tersebut, seolah-olah memberi
sindiran bagi mahasiswa, teruntuk mahasiswa yang membaca tulisan ini terkhusus
si penulis.
Bila membahas mahasiswa, berarti
kita sedang menjelaskan sekelompok kaum elit yang berintelektual, berdaya
saing, bermutu tinggi, pemberani, perantau sampai dengan sahabat karib
kaum-kaum yang tertindas atau pun kaum lemah. Setujukah pembaca dengan penjelasan ini?
Penulis meyakini bahwa sebagian
besar pembaca tidak setuju dengan pendapat penulis
di atas, bahkan
mungkin pembaca memiliki ragam ekspresi, ada yang terheran-heran, ada yang terkejut,
ada yang sepakat atau tidak sepakat sampai bahkan ada yang tertawa-tawa
terbahak-bahak atau bisa jadi ada yang bersedih.
Lalu mengapa penulis sedemikian
dalam menerka-nerka ekspresi pembaca, jawabnya adalah penulis meyakini
mahasiswa saat ini hampir-hampir tidak layak lagi disebut sebagai mahasiswa. Benaarkah? Tanya
kenapa? Apa kata dunia bila mahasiswa tak layak dipanggil, disebut, dan
disanjung sebagai mahasiswa?
Jika kita melihat situasi dan
kondisi terkini kemahasiswaan, bisa kita simpulkan bahwa kemunduran tengah
terjadi di tubuh mahasiswa saat ini. Kurang
tajamnya aktivitas sosial mahasiswa yang dapat menyentuh problematika sosio-kultural
rakyat serta kurang produktifnya mahasiswa dalam menelurkan karya-karya yang
menginspirasi dan mengharumkan nama institusinya menjadikan mahasiswa kurang diperhitungkan
ditengah-tengah masyarakat.
Mahasiswa yang seharusnya menjadi
pembeda atau agent pelurus dan perubahan
di tengah
masyarakat, kini mahasiswa tengah menjadi pemecah belah atau agent penerus “tikus-tikus
berdasi” dan perubahan pola pikir dan pola gerakan ke arah pragmatis yang
saat ini menjadi tontonan oleh rakyat-rakyat
yang sedang tertindas, yang tengah berharap belas kasih
serta perjuangan dari mahasiswa.
Di zaman Melennial
ini (kids zaman
now-red) sering sekali kita mendengar istilah-istilah baru dan perilaku-perilaku
baru yang sifatnya aneh tapi sangat digemari sampai-sampai menyita perhatian
berbagai lapisan masyarakat tak terkecuali mahasiswa. Mahasiswa yang diharapkan
mampu menetralisir keadaan atau bahkan membungkam segala hal yang diistilahkan
dengan kekinian atau kids jaman now
dan lain sebagainya, tapi malah tidak justru mahasiswa terjebak, bahkan mahasiswa menjadi pemeran dari kerusakan moral zaman ini.
Seharusnya mahasiswa sadar akan ini: "Di tangan
mahasiswalah estafet perjuangan bangsa ini diteruskan serta di tangan
mahasiswalah roda kepemimpinan bangsa kedepannya. Bila mahasiswa hari ini maju
dan berdikari, maka maju dan berdikarilah bangsa dan negaranya. Namun sebaliknya, jika
mahasiswa hari ini lemah dan mundur, maka bersiaplah bangsa dan negaranya
dijajah kembali oleh orang-orang asing".
Mahasiswa, Bagaimana Kabarmu?
Hai mahasiswa, bagaimana kabarmu?
Apa yang sudah kau dapatkan diperaduan mengutip butir-butir ilmu? Apa kado
terindah untuk orangtuamu dikampung halaman? Berapa IPK mu? Sudah
berapa banyak karya yang kau ditorehkan? Sudah berapa buku yang dibaca?
Jawabannya "Renungkanlah dan Tepuk dada
tanya selera". Di dalam Al-Qur’an secara tegas Allah Swt. menjelaskan; “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali
kaum itu sendiri yang mengubah nasibnya ” (QS 13:11)
Samuel Smiles mengawalinya dengan
gagasan atau pikiran. Tanamlah gagasan, petiklah tindakan. Tanamlah tindakan,
petiklah kebiasaan. Tanamlah kebiasaan, petiklah watak. Tanamlah watak,
petiklah nasib. Dimulai dari gagasan yang diwujudkan dalam tindakan, kemudian
tindakan yang dilakukan berulang-ulang akan menjadi suatu kebiasaan. Kebiasaan
yang dilakukan berkali-kali akan menjelma menjadi watak, dan watak inilah yang
akhirnya mengantarkan kita kepada nasib. Jadi nasib kita, kita sendirilah yang menentukan.
Nasib kita ada di tangan kita, tentunya tidak lepas juga dari Sang Penentu.
Memang tak ada yang pasti dalam hidup
ini, sebagai abdi-Nya dalam setiap pertempuran hidupnya, mahasiswa hanya bisa
berupaya keras untuk mewujudkan segala cita dan asa, tepat memang kata Tan
Malaka "Terbentur-Terbentur-TERBENTUK" dan sebab semua keputusan ada
ditangan Tuhan.
Sebagai abdi Tuhan, mahasiswa
haruslah taat dan ingat mahasiswa sedang menyandang gelar ke maha-an, sudah
jelas bahwa mahasiswa sangat diperhatikan oleh Tuhan sebab menyandang gelar
kemaha-an adalah kemuliaan dan keagungan yang diamanahkan dan di alamatkan
Tuhan untuk sekelompok kaum elitis dan intelektual yakni mahasiswa.
Bagi mahasiswa yang sadar tentu ia
akan amanah, melakukan hal-hal pengembangan diri dengan rasa penuh tanggung
jawab serta semampu mungkin menjalankan fungsi kekhalifahannya, namun bagi
mahasiswa yang belum sadar yang masih tertidur pulas, perilaku seperti inilah
yang akan mengundang kemurkaan Tuhan.
Menilai dari apa yang telah
dilakukan mahasiswa sekarang, tentunya kita tahu, demonstrasi seperti yang
dilakukan mahasiswa sekarang tidak menghasilkan apa-apa. Perdebatan-perdebatan
maupun diskusi terbuka yang dilakukan oleh kaum intelektual bangsa ini juga
hanya membawa dampak yang sangat kecil pada kemajuan bangsa dan negara kita. Yang
menjadi pertanyaan, kalau apa yang telah dilakukan sekarang tidak dapat
menyelesaikan permasalahan bangsa ini, apa yang dapat mahasiswa lakukan agar
bangsa ini dapat terus berkembang?
Kenyataannya, di saat
masyarakat mengalami penderitaan karena berbagai marginalisasi yang dilakukan
penguasa, kita justru melihat mahasiswa sibuk tawuran antar sesamanya, menjadi
pemakai narkoba, menjadi agen hedonisme dan materialisme bahkan menjadi makelar
politik penguasa yang korup. Jika demikian pantaskah gelar “maha” itu diletakkan dalam
pundak mahasiswa?
Mahasiswa seharusnya mengerti akan
tanggung jawab yang dipikulnya sangat berat. Seperti kata pepatah asing mengatakan: “with great power comes great responsibilities", mengemban nama “maha” tentunya membuat kita memiliki tanggung jawab
yang “maha” juga. Tanggung jawab sebesar apa yang dipikul mahasiswa? Yaitu
tanggung jawab untuk menentukan masa depan bangsa ini, tanggung jawab untuk
menentukan nasib ratusan juta orang rakyat Indonesia.
Menurut pandangan penulis,
setidaknya ada tiga jenis mahasiswa yang ada di
Indonesia sekarang, yaitu :
Pertama, mahasiswa
yang menjadikan demonstrasi hanya sebagai ajang untuk unjuk gigi, agar dirinya
dapat dikenal sebagai mahasiswa yang oke,
mahasiswa yang ikut-ikutan demonstrasi untuk bolos masuk kuliah. Mahasiswa
seperti ini tidak benar-benar memperdulikan rakyat maupun negaranya. Dan
mahasiswa seperti inilah yang biasanya melakukan aksi-aksi anarkis maupun
terlibat dalam bentrok dengan aparat keamanan pada saat demonstrasi.
Kedua, mahasiswa
yang tidak mempedulikan keadaan politik sekitarnya. Mereka hanya berusaha untuk
belajar dengan baik, yang penting datang ke kuliah, mengikuti ujian, dan lulus
dengan Indeks Prestasi (IP) yang bagus. Mereka tidak memperdulikan apakah Bahan Bakar Minyak (BBM)
akan dinaikkan harganya, maupun siapa-siapa saja yang akan berpartisipasi dalam
Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 mendatang.
Ketiga, mahasiswa yang benar-benar
memperhatikan dan memperdulikan nasib bangsanya. Mahasiswa seperti ini adalah mahasiswa yang memikirkan apa yang dapat dilakukan olehnya untuk
bangsa ini. Mereka biasanya menyuarakan keadilan, berdemonstrasi dengan tenang
dan mengikuti aturan, mengikuti perdebatan-perdebatan maupun diskusi untuk
memajukan bangsa ini. Celakanya (menurut pengamatan penulis), yang menjadi minoritas
adalah mahasiswa golongan ketiga ini.
Melihat mahasiswa saat ini, mahasiswa
sudah terdegradasi kemahaannya. Kampus sudah menjadi ajang fashion show dan perkumpulan pemabuk maupun penjudi. Apakah
mahasiswa yang seperti ini layak untuk menjadi penerus bangsa kita? Apakah
mereka layak menjadi penentu nasib ratusan juta jiwa rakyat Indonesia?
Mahasiswa yang benar-benar
memikirkan nasib bangsanya tahu, jawaban dari inflasi dan segala kesulitan
ekonomi bukanlah merengek-rengek dan berteriak minta tolong. Jawaban dari
tekanan ekonomi ialah peningkatan produktivitas. Produktivitas di mana-mana,
baik di kelas, di tempat kerja, maupun di masyarakat. Jadi, jawaban dari segala
kesulitan rakyat yang ada bukan dengan hanya sibuk berdemonstrasi.
Bergeraklah. Bekerjalah. Jalankan
roda ekonomi negara kita. Buka lapangan kerja, berikan pendidikan yang
meningkatkan produktivitas (yang secara langsung maupun tidak akan meningkatkan
pendapatan). Belajar keras, karena saingan kita adalah Malaysia, Singapura,
RRT, Korea, Filiphina, bahkan negara-negara maju di Barat
seperti Inggris dan Amerika. Membuka lapangan kerja tidak hanya terbatas pada
memiliki modal besar. Lapangan kerja terkadang berasal dari energi, pemikiran,
dan usaha. Daripada berdemonstrasi yang seringkali berakhir dengan bentrok atau
aksi anarkis kenapa tidak melakukan transfer pengetahuan dari yang sanggup
mengenyam pendidikan di perguruan tinggi ke mereka yang tidak sanggup? Maksimalkan
kemampuan yang dimiliki. Sesuaikan apa yang dikerjakan dengan apa yang
dipelajari.[]
Penulis: Muhammad Nadjib
Kader HMI Cabang Medan
Ket.gbr: net/ilustrasi
Sumber gbr: https://www.deviantart.com/
No comments:
Post a Comment