YakusaBlog- Prinsip agama adalah keimanan kepada wujud Tuhan yang
menciptakan alam semesta, dan bahwa perbedaan mendasar antara pandangan dunia
Ilahi dan pandangan dunia materialisme terletak pada ada tidaknya keimanan kepada
Tuhan pencipta alam ini, maka upaya pertama yang perlu dijalani oleh seseorang
pencari kebenaran sebelum segala sesuatunya, yaitu bagaimana ia memberikan
jawaban terhadap pertanyaan apakah Allah itu ada ataukah tidak?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus menggunakan akaln
sehingga nanti akan dapat menemukan jawaban, positif atau negatif, yang
betul-betul meyakinkan. Ketika jawaban itu positif, barulah kita akan membahas
masalah-masalah berikutnya, yaitu masalah tauhid, keadilan Ilahi dan seluruh
sifat Allah SWT. Sedangkan bila jawaban itu negatif yang berarti bukti atas
kebenaran pandangan dunia materialisme, kita tidak perlu lagi membahas semua
persoalan yang berkaitan dengan agama.
Pengetahuan Hudhuri
dan Pengetahuan Hushuli
Dalam rangka mengenal Allah, ada dua macam pengetahuan di
hadapan kita, yaitu pengetahuan hudhuri (presentif) dan pengetahuan hushuli
(representatif). Pada pengetahuan hudhuri, seseorang dapat mengetahuan
dan mengenal Allah dengan jalur hati dan batin (syuhudi, qalbi), tanpa
perantara pemahaman-pemahaman yang berupa gambaran konseptual di benak. Jelas
bahwa seseorang yang memiliki pengetahuan hudhuri mengenai Allah,
sebagaimana yang diakui oleh para urafa’, tidak membutuhkan argumentasi
rasional.
Tetapi, sebagai telah kami
jelaskan, pengetahuan hudhuri atau syuhudi tidak dapat dikuasai
oleh manusia biasa tanpa terlebih dahulu membina jiwanya melalui sair suluk
Islami. Adapun tingkatan-tingkatan yang rendah dari pengetahuan ini, walaupun
dapat dicapai oleh orang-orang biasa, tetapi karena biasanya ia tidak dilandasi
kesadaran, tidaklah cukup untuk membentuk pandangan dunia yang berlandaskan
kesadaran.
Baca juga: Sifat Qana’ah Yang Menentramkan Hati
Pada pengetahuan hushuli,
seseorang mengenal Allah melauli konsep-konsep universal seperti Sang
Pencipta, Mahakaya, Mahatahu, Mahakuasa dan meyakini keberadaan-Nya.
Kemudian, dia menggabungkannya dengan pengetahuan hushullainnya hingga
ia dapat memperoleh suatu pandangan dunia yang utuh. Semua pengetahuan yang
didapatkan manusia dari studi rasional dan argumentasi filosofis, masuk ke
dalam pengetahuan hushuli ini. Ketika manusia telah memiliki ilmu
semacam ini, ia pun dapat mengenal Allah dengan ilmu hudhuri.
Pengetahuan Fitrah
Dalam hadis para imam atau
ucapan kaum urafa’ seringkali kita menjumpai ungkapan seperti
“pengenalan fitriah tentang Tuhan” atau “secara fitrah, manusia mengenal
Tuhannya”. Untuk memahami ungkapan semacam ini, terlebih dahulu kita perlu
menjelaskan kata fitrah. Kata ini berasal dari bahasa Arab yang berarti “sebuah
bentuk penciptaan”. Sesuatu itu fitriah (dinisbahkan kepada fitriah) ketika
bentuk penciptaan suatu makhluk menuntut sesuatu itu.
Dari sinilah kita dapat
memperhatikan tiga karakteristik pada perkara-perkara fitriaah:
1. Perkara-perkara fitriah adalah titik kesamaan bagi makhluk-makhluk satu
spesis, kendati keberadaannya itu berbeda dari sisi kualitas, lemah dan
kuatnya.
2. Perkara-perkara fitriah selalu ada sepanjang hidup manusia. Dan tidak
mungkin setiap makhluk mempunyai fitrah yang mengalami perubahan dan perbedaan
dari satu masa ke masa.
Inilah
fitrah Allah yang telah Dia ciptakan manusia atas dasar fitrah itu dan tidak
mungkin mengalami perubahan bagi Allah. (QS. Ar-Rum: 30)
3. Karena perkara-perkara fitriah itu sebuah kemestian dari penciptaan
makhluk, ia tidak diusahakan melalui proses pembelajaran, walaupun untuk
memperkuat dan mengembangkannya membutuhkan bimbingan dan arahan
Perkara-perkara fitri yang ada pada manusia dapat
dibagi kepada dua macam: Pertama, pengetahuan-pengetahuan fitriah yang
dimiliki oleh setiap orang tanpa memerlukan proses belajar. Kedua,
kecenderungan-kecenderungan fitriah. Maka, jika pada seseorang terbukti adanya
semacam pengetahuan tentang Allah (ma’rifatullah) yang tidak perlu proses
belajar, pengetahuan itu dapat dinamakan pengenalan fitriah terhadap Allah (ma’rifatullah
‘alal fithrah). Apabila terbukti adanya kecenderungan kepada Allah dan
kecondongan untuk menghambakan kepada-Nya pada setiap manusia, hal itu dapat
dinamakan penghambaan fitriah kepada Allah.
Kebanyakan pemikir memandang agama dan
kecenderungan kepada Allah termasuk keistemewaan yang ada pada setiap manusia,
sebagai perasaan atau kesadaran beragama. Kami pun akan menambahkan di sini
bahwa mengenal Allah dapat pula dikategorikan sebagai kelaziman fitrah setiap
manusia.
Akan tetapi, sebagaimana dorongan fitrah dalam
penghambaan diri kepada Allah itu bukan termasuk golongan yang berkesadaran (syu’uri),
begitu pula dorongan fitriah dalam menganal Allah itu bukanlah pengetahuan yang
berkesadaran, yaitu pengetahuan yang didasari oleh kesadaran di mana
orang-orang biasa tidak lagi membutuhkan telaah rasional dalam rangka mengenal
Allah.
Di samping itu, patut diperhatikan catatan berikut
ini, bahwa pada setiap individu terdapat derajat pengenalan kepada Allah yang
bersifat hudhuri (presentif) atau fitriah, walaupun derajat ini itu
sangatlah rendah. Oleh karena itu, mungkin setiap orang akan meyakini adanya
Allah hanya dengan merenung sejenak atau dengan bernalar secara sederhana.
Kemudian ia akan berusaha berangsur-angsur untuk meningkatkan dan memperkokoh
pengenalannya kepada Allah sampai mata batinnya terbuka, atau bahkan ia akan
sampai kepada derajat syu’uriyah, yaitu pengetahuan yang penuh
kesadaran.
Kesimpulannya, mengenal Allah secara fitriah yaitu
bahwa hati seseorang dapat mengenal Allah, dan di dalam jiwanya terdapat
potensi pengenalan ini secara sadar, yang kemudian dapat menjadi kuat. Akan
tetapi, potensi-potensi fitriah ini pada orang biasa tidak sebegitu kuat
disadari. Artinya, selain melalui fitrah, mereka tetap membutuhkan pembahasan
rasional untuk dapat mengenal Allah secara sadar.
Cara-Cara Mengenal Allah
Untuk mengenal Allah, terdapat berbagai macam cara
dan metode yang telah dijelaskan dalam buku-buku filsafat dan kalam, juga dalam
hadis-hadis para imam suci serta dalam kitab-kitab samawi. Berbagai macam
argumen yang disebutkan dalam kitab-kitab tersebut menjelaskan sisi dan
dimensinya masing-masing. Misalanya dalam suatu buku, dijelaskan premis-premis
secara empirik. Sedangkan buku yang lainnya menjelaskan premis-premis yang
bersifat rasional semata. Bahkan ada sebagian buku yang membuktikan keberadaan
Allah Swt secara langsung, sebagaimana juga dalam buku lainnya menjelaskan
keberadaan sesuatu yang tidak membutuhkan selainnya (wajib al-wujud).
Berdasarkan argumen ini, untuk menetapkan sifat-sifat Allah haruslah bersandar
kepada argumentasi yang khas.
Sehubungan dengan argumen-argumen atas keberadaan
Allah Swt tersebut, dapat kita umpamakan dengan jembatan-jembatan yang dipasang
di atas sebuah sungai besar yang dilalui oleh orang-orang untuk menyebrang ke
tepi lainnya. Salah satu dari jembatan itu dibuat dari kayu-kayu yang sederhana
ditancapkan di atas sungai tersebut untuk tujuan agar setiap orang yang membawa
barang-barang yang ringan dapat melewati dan berjalan di atas jembatan tersebut
menuju ke tempat tujuannya dengan segera. Sedangkan jembatan yang lainnya
dibuat dari batu-batu beton yang panjang memiliki kekuatan luar biasa, tetapi
untuk melewati jembatan tersebut membutuhkan waktu yang lama.
Terdapat dalil-dalil yang dibangun bagaikan
jalan-jalan yang terbuat dari besi yang kuat, berkelok, dan berliku serta harus
melewati bukit dan dataran luas yang akan dilewati kereta-kereta yang membawa
beban cukup berat.
Seseorang yang hanya memiliki pemikiran sederhana,
ia dapat mengenal Tuhannya dengan cara yang sangat sederhana pula. Kemudian ia
mempraktikkannya dalam beribadah. Adapun seseorang yang akal pikirannya mampu
menampung beban keraguan, ia dapat melewati jalan-jalan terjal. Sementara
orang-orang yang membawa tumpukan beban yang berat serta mampu menghadapi
berbagai keraguan dan kritikan, maka ia harus melewati jalan yang dibuat di
atas dasar-dasar yang kokoh, sehingga ia mampu bertahan ketika di tengah jalan
mendapatkan berbagai tantangan, kesulitan, dan cobaan.
Keistimewaan Cara Mudah
Cara mudah untuk membuktikan adanya Allah Swt
mempunyai beberapa keistimewaan. Pertama, bahwa cara ini tidak
memerlukan premis-presmis yang sulit, rumit dan teknis, serta dapat dijelaskan
dengan mudah dan gamblang. Oleh karena itu, semua orang – dengan berbagai
tingkat pengetahuannya akan dapat memahaminya dengna baik.
Kedua, cara mudah ini akan
mengantarkan manusia secara langsung untuk mengenal Allah, Sang Pencipta Alam
Semesta Yang Mahakuasa. Berbeda dengan kebanyakan argumentasi filosofis dan
teologis yang terlebih dahulu membuktikan keberadaan Zat Allah yang dikenal
dengan Wajib al-Wujud. Setelah itu sifat-sifat Allah seperti ilmu,
kuasa, dan sifat-sifat lainnya akan dibuktikan oleh argumentasi lainnya.
Ketiga, kesan utama cara ini
ialah membangkitkan fitrah manusia dan membimbing pengetahuan fitriah mereka
kepada jenjang kesadaran. Apabila seseorang berusaha mamahami cara mudah ini
dengan baik, ia akan merasakan kondisi irfani, seolah-olah ia dapat menyaksikan
kekuasaan Allah dalam menciptakan alam dan kejadian-kejadiannya beserta
pengaturannya. Itulah pengetahuan yang ditunjukkan oleh fitrah seseorang di dalam
mata batinnya.
Keistimewaan-keistimewaan di atas membuat para
ulama dan tokoh-tokoh agama langit memilih cara ini guna menjelaskan dan
membuktikan wujud Allah, serta mengajak masyarakat untuk menapakinya. Sedangkan
kepada para pengikut setia, mereka mengajarkan metode argumentasi lain. Mereka
pun menggunakan argumen-argumen yang rumit dalam perdebatan dan diskusi dengan
para pemuka ateis atau para filosof materialis.
Penutup
Sesungguhnya cara mudah untuk menetapkan wujud
Allah Swt dapat diperoleh dengan merenungkan ayat-ayat, tanda-tanda
kekuasaan-Nya yang terhampar dan memenuhi jagad raya ini. Al-Qur’an
mengungkapkannya dengan istilah tafakkur li ayatillah (memikirkan
ayat-ayat Tuhan). Seakan-akan setiap individu dan fenomena ini, baik yang ada
di bumi atau di langit atau pun yang ada pada diri manusia itu sendiri,
merupakan dalil dan ayat-ayat Allah Swt yang memberikan petunjuk kepada hati
untuk beranjak menuju pusat wujud yang hadir pada setiap ruang dan waktu.
Allah berfirman, Sesungguhnya Allah menumbuhkan
butir tumbuh-tumbuhan dan biji buah-buahan. Dia mengeluarkan yang hidup dari
yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup. Demikian itulah Allah,
maka mengapa kamu masih berpaling? (QS. Al-An’am: 95)
Jelas bahwa semakin banyak dan luasnya pengetahuan
manusia dan semakin banyak sistem serta hubungan antara fenomena alam yang
dapat disingkap, maka semakin jelas pula rahasia-rahasia penciptaan alam
semesta ini. Akan tetapi, memikirkan fenomena alam yang sederhana melalui
dalil-dalil yang jelas sudah cukup bagi hati yang tulus untuk membuktikan
keberadaan wujud Sang Pencipta alam yang Mahakuasa.[]
Catatan:
Tulisan
di atas, disadur dari karya Muhammad Taqi Mishbah Yazdi dalam bukunya Amuzesye
Aqayid (Iman
Semesta: Merancang Piramida Keyakinan – terj).
Ket. gbr: Net/Ilustrasi
Sumber. gbr: https://www.deviantart.com
No comments:
Post a Comment