YakusaBlog- Kebanyakan orang menganggap ta'aruf dan
pacaran itu sama, nah dari pada kita pada bingung saya akan ngejelasin pengertian dan perbedaan
ta'aruf dengan pacaran kepada
teman-teman.
Apakah
Defenisi
dari Ta’aruf?
Taaruf
adalah kegiatan bersilaturahmi. Kalau pada masa ini kita bilang berkenalan
bertatap muka, atau bertamu
ke rumah seseorang dengan tujuan berkenalan dengan penghuninya. Bisa juga
dikatakan bahwa tujuan dari berkenalan tersebut adalah untuk mencari jodoh. Ta’aruf bisa juga dilakukan jika kedua
belah pihak keluarga setuju dan tinggal menunggu keputusan anak untuk bersedia
atau tidak untuk dilanjutkan ke jenjang khitbah – taaruf dengan mempertemukan
yang hendak dijodohkan dengan maksud agar saling mengenal.
Sebagai sarana yang objektif dalam
melakukan pengenalan dan pendekatan, ta’aruf
sangat berbeda dengan pacaran. Ta’aruf
secara syar`i memang diperintahkan oleh Rasulullah Saw. bagi pasangan yang ingin nikah.
Perbedaan hakiki antara pacaran dengan ta’aruf adalah dari segi tujuan dan
manfaat. Jika tujuan pacaran lebih kepada kenikmatan sesaat, zina, dan maksiat.
Ta’aruf jelas
sekali tujuannya yaitu untuk mengetahui kriteria calon pasangan.
Apakah
Perbedaan Pacaran dan Ta’aruf?
Dalam
pacaran mengenal dan mengetahui hal-hal tertentu
calon pasangan dilakukan dengan cara yang sama sekali tidak memenuhi kriteria
sebuah pengenalan. Ibarat seorang yang ingin membeli motor bekas,
tapi tidak melakukan pemeriksaan, dia cuma memegang atau mengelus motor itu
tanpa pernah tahu kondisi mesinnya. Bahkan dia tidak menyalakan mesin atau
membuka kap mesinnya. Bagaimana
mungkin dia bisa tahu kelemahan dan kelebihan motor itu.
Sedangkan
ta’aruf adalah seperti
seorang montir motor yang ahli memeriksa mesin, sistem kemudi, sistem rem,
sistem lampu dan elektrik, roda dan sebagainya. Bila ternyata cocok, maka
barulah dia melakukan tawar-menawar. Ketika melakukan ta’aruf, seseorang baik pihak pria atau
wanita berhak untuk bertanya yang mendetil, seperti tentang penyakit, kebiasaan
buruk dan baik, sifat dan lainnya. Kedua belah pihak harus jujur dalam
menyampaikannya. Karena bila tidak jujur, bisa berakibat fatal nantinya. Namun
secara teknis, untuk melakukan pengecekan, calon pembeli tidak pernah boleh
untuk membawa pergi motor itu sendiri.
Ada suatu pertanyaan seperti ini, Bagaimana hukum berkunjung ke rumah
akhwat (wanita) yang hendak dinikahi dengan tujuan untuk saling mengenal
karakter dan sifat masing-masing?
“Katakan
kepada kaum mukminin hendaklah mereka menjaga pandangan serta kemaluan mereka
–hingga firman-Nya- Dan katakan pula kepada kaum mukminat hendaklah mereka
menjaga pandangan serta kemaluan mereka .”
Dalam Shahih Muslim dari Jabir bin
Abdillah radhiyallahu ‘anhuma dia berkata:
“Aku
bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang pandangan yg
tiba-tiba ? mk beliau bersabda: ‘Palingkan pandanganmu’.”
Adapun suara dan ucapan wanita pada asal
bukanlah aurat yg terlarang. Namun tidak boleh bagi seorang wanita bersuara dan
berbicara lebih dari tuntutan hajat dan tdk boleh
melembutkan suara. Demikian juga dengan isi pembicaraan tidak boleh berupa
perkara-perkara yang
membangkitkan syahwat dan mengundang fitnah. Karena bila demikian maka suara
dan ucapan menjadi aurat dan fitnah yg terlarang. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
“Maka
janganlah kalian berbicara dgn suara yg lembut sehingga lelaki yg memiliki
penyakit dlm kalbu menjadi tergoda dan ucapkanlah perkataan yg ma’ruf / baik .”
Adalah para wanita datang menemui
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan di sekitar beliau hadir para
shahabat lalu wanita itu berbicara kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menyampaikan kepentingan dan para shahabat ikut mendengarkan. Tapi
mereka tdk berbicara lebih dari tuntutan hajat dan tanpa melembutkan suara.
Proses
Ta’aruf
Lalu bagaimana proses taaruf yang syar’i
sehingga menuju pernikahan yang barokah?
Pertama, yaitu tidak boleh menunggu, misalnya
jarak antara taaruf dengan pernikahan selama satu tahun. Si akhawat diminta
menunggu selama satu tahun karena ikhwannya harus bekerja terlebih dahulu atau
harus menyelesaikan kuliah dulu. Hal ini jelas mendzolimi akhwat karena harus
menunggu, dan juga apa ada jaminan bahwa saat proses menunggu itu tidak ada
setan yang mengganggu?
Kedua, adalah tidak boleh malu-malu, jadi kalau
memang sudah siap untuk menikah sebaiknya segera untuk mengajukan diri untuk
bertaaruf. Apabila malu-malu maka proses Ta’aruf akan tidak terjadi atau tidak
akan lancar dalam prosesnya, nah jadi repot sendiri kita.
Kemudian
yang ketiga dapat melalui jalur mana saja. Maksudnya adalah kita bisa meminta
bantuan siapa saja untuk mencarikan calon pendamping kita, mulai dari orang
tua, murobbi, saudara, kawan atau orang-orang yang dapat kita percaya.
Etika selama berta’aruf yaitu jangan terburu-buru menjatuhkan
cinta. Misalnya ketika kita mendapatkan satu biodata calon pasangan tanpa
mengenal lebih dalam, tiba-tiba sudah yakin dengan pilihan itu. Alangkah
baiknya jika mengenal lebih dalam mulai dari kepribadian, fisik, dan juga latar
belakang keluarganya, sehingga nanti tidak seperti membeli kucing dalam karung.
Akan tetapi tidak terburu-buru dalam menjatuhkan cita itu juga tidak boleh
terlalu lama dan bertele-tele. Sebaiknya menanyakan hal yang penting dan to the
point. Hal ini juga untuk menghindari godaan setan yang lebih dahsyat lagi.
Proses taaruf dikatakan selesai jika
sudah mendapatan tiga hal yaitu
1. Tentang budaya keluarga,
2. Proyeksi masa depan dan
3. Visi hidup dari masing masing.
Nah, jika ketiga hal ini sudak didapatkan
maka proses ta’aruf
selesai, dan berlanjut ke tingkat berikutnya apakan dilanjutkan atau tidak.
Jika iya maka segera untuk ditindak lajuti bersama dengan pihak keluarga kedua
belah pihak kalau istilah jawanya “rembug tuwo”. Dan ingat pada saat proses
menunggu datangnya hari bahagia itu godaan setan akan bertumpuk-tumpuk, akan
ada saja yang menggoda kita melalui berbagai macam hal. Jadi untuk menghindari
itu perbanyak dzikir mengingat Allah, dan memperbaiki hubungan dengan Allah.
Karena dengan itu maka Allah akan senantiasa melindungi hati kita, pikiran kita
dan tindakan kita dari hal-hal yang dilarang.
Kesimpulan
Dengan demikian jelaslah bahwa pacaran
bukanlah alternatif yang ditolerir dalam Islam untuk mencari dan memilih
pasangan hidup. Menjadi jelas pula bahwa tidak boleh mengungkapkan perasaan
sayang atau cinta kepada calon istri selama belum resmi menjadi istri. Baik
ungkapan itu secara langsung atau lewat telepon, ataupun melalui surat. Karena
saling mengungkapkan perasaan cinta dan sayang adalah hubungan asmara yang
mengandung makna pacaran yang akan menyeret ke dalam fitnah. Demikian pula
halnya berkunjung ke rumah calon istri atau wanita yang ingin dilamar dan
bergaul dengannya dalam rangka saling mengenal karakter dan sifat
masing-masing, karena perbuatan seperti ini juga mengandung makna pacaran yang
akan menyeret ke dalam fitnah.
Adapun cara yang ditunjukkan oleh
syariat untuk mengenal wanita yang hendak dilamar adalah dengan mencari
keterangan tentang yang bersangkutan melalui seseorang yang mengenalnya, baik
tentang biografi (riwayat hidup), karakter, sifat, atau hal lainnya yang
dibutuhkan untuk diketahui demi maslahat pernikahan. Bisa pula dengan cara
meminta keterangan kepada wanita itu sendiri melalui perantaraan seseorang
seperti istri teman atau yang lainnya. Dan pihak yang dimintai keterangan
berkewajiban untuk menjawab seobyektif mungkin, meskipun harus membuka aib
wanita tersebut karena ini bukan termasuk dalam kategori ghibah yang tercela.
Hal ini termasuk dari enam perkara yang dikecualikan dari ghibah, meskipun
menyebutkan aib seseorang. Demikian pula sebaliknya dengan pihak wanita yang
berkepentingan untuk mengenal lelaki yang berhasrat untuk meminangnya, dapat
menempuh cara yang sama.
Dalil yang menunjukkan hal ini adalah
hadits Fathimah bintu Qais ketika dilamar oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Abu
Jahm, lalu dia minta nasehat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
maka beliau bersabda:
“Adapun
Abu Jahm, maka dia adalah lelaki yang tidak pernah meletakkan tongkatnya dari
pundaknya . Adapun Mu’awiyah, dia adalah lelaki miskin yang tidak memiliki
harta. Menikahlah dengan Usamah bin Zaid.” (HR. Muslim)
Para ulama juga menyatakan bolehnya
berbicara secara langsung dengan calon istri yang dilamar sesuai dengan
tuntunan hajat dan maslahat. Akan tetapi tentunya tanpa khalwat dan dari balik
hijab.
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin dalam
Asy-Syarhul Mumti’ (130-129/5 cetakan Darul Atsar) berkata: “Bolehnya berbicara dengan calon istri yang
dilamar wajib dibatasi dengan syarat tidak membangkitkan syahwat atau tanpa
disertai dengan menikmati percakapan tersebut. Jika hal itu terjadi maka
hukumnya haram, karena setiap orang wajib menghindar dan menjauh dari fitnah.”
Perkara ini diistilahkan dengan ta’aruf.
Adapun terkait dengan hal-hal yang lebih spesifik yaitu organ tubuh, maka cara
yang diajarkan adalah dengan melakukan nazhor,
yaitu melihat wanita yang hendak dilamar. Nazhor
memiliki aturan-aturan dan persyaratan-persyaratan yang membutuhkan pembahasan
khusus.[]
Sumber gambar ilustrasi: https://adibfahrul.wordpress.com/
____________________________________________________________________________________________________________
*Kirim tulisan teman-teman ke YakusaBlog. Alamat email:yakusablog@gmail.com (tulisan dalam file Microsoft Word dengan maksimal 800 kata).
Pesan kami: Perbanyaklah membaca dan menulis. Serta pegang teguhlah Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Saw. (YakusaBlog)
No comments:
Post a Comment