YakusaBlog- Pertanyaan pertama yang perlu kita
renungkan adalah; untuk siapakah Negara Indonesia ini? Dan pertanyaan kedua
adalah; untuk siapakah Pemerintahan Negara dibentuk?
Dua pertanyaan di atas menjadi sesuatu
bahan perenungan dalam pikiran saya melihat situasi dan kondisi negeri ini,
terkhusunya baru-baru ini diberlakukan pelarangan menyampaikan aspirasi atau
berdemonstrasi. Maksud saya melihat situasi dan kondisi negeri ini adalah
melihat ulah kaum elit pejabat yang duduk di Pemerintahan, baik di legislatif, eksekutif,
dan yudikatif.
Merenungkan apa jawaban pertama,
menimbulkan banyak pertanyaan-pertanyaan lagi; tidakkah para elit pejabat
negara hari ini memahami sejarah bagaimana perjuangan para pahlawan untuk
merebut kemerdekaan rakyat Indonesia dari penindasan kolonial? Tidakkah para
elit pejabat hari memahami bahwa rakyat adalah kehidupan negeri ini bersama
dengan sumber kekayaan alam negeri ini? Mengapa mayoritas elit pejabat negeri hari
ini memperkosa hak-hak rakyat? Pahamkah mereka (elit pejabat negara) apa tujuan
negara ini?
Pertanyaan kedua di awal tadi pun tidaklah
mandul. Ia melahirkan berbagai macam pertanyaan kritis jika dibiarkan terus
bertanya, maka pertanyaan yang dihasilkan oleh pikiran ini tidak akan
habis-habis. Tapi, ada baiknya saya harus menuliskan beberapa pertanyaan dalam
tulisan ini agar tidak membuat kepala saya terlalu berat. Pertanyaan-pertanyaan
yang lahir pun demikian; siapakah yang memilih pejabat negeri ini (Legislatif
dan Eksekutif) saat ini? Bukankah mereka lahir dari pilihan rakyat? Bukankah mereka
duduk di kursi yang empuk dengan fasilitas mewah serta gaji yang besar untuk
membantu mengelola supaya rakyat menjadi sejahtera? Dan kepada siapakah
sebenarnya elit pejabat itu mengabdi?
Pertanyaan demi pertanyaan di atas sebenarnya
sangat mudah untuk dijawab, akan tetapi jawaban ideal kita akan berbenturan
dengan kenyataan. Antara das sollen dan das sein bagai langit dan
bumi. Jujur saja, sebenarnya saya malas menuliskan ini, akan tetapi gerakan syarat
pikiran saya memaksa untuk menuliskannya walau terkesan emosional.
Ya, melihat tingkah laku pejabat negara
kita sacara mayoritas saat ini membuat kita pesimis dalam bernegara beberapa
tahun ke depan. Tidak perlulah kiranya kita rentetan peristiwa genting yang
terjadi di negeri kita beberapa bulan belakangan ini. Prediksi saya hal itu
belum seberapa disbanding tragedy yang akan terjadi kedepan. Mengapa demikian? Jawabannya
adalah jika kita mau menjawab pertanyaan-pertanyaan saya di atas tadi.
Rasa pesimistis saat ini lebih besar dari
optimisme melihat pejabat negara saat ini yang merasa bahwa merekalah pemilik
negeri ini. Rakyat hanya dibutuhkan ketika dapat menguntungkan mereka, bukan
karena semata untuk kepentingan rakyat. Contoh kecilnya saja, calon-calon
pejabat bersandiwara mencium tangan rakyat karena ingin tangan itu mencoblos
dirinya saat pencalonan menjadi Anggota Legislatif atau menjadi seorang Pimpinan
Pusat dan atau Daerah. Tapi, setelah jadi pejabat, maka terjadi pergantian, tangannya
harus dicium oleh rakyat. Bahkan yang lebih ekstrim lagi pejabat yang dipilih
rakyat itu tidak mau lagi bersalaman dengan rakyat.
Bersuara lantang seoalah-olah peduli pada
rakyat, nyatanya hanya janji-janji manis. Sungguh banyak sekali pejabat di
negara kita termasuk dalam kaum munafik sebagaimana sabda Muhammad Rasulullah
Saw. Sebelum menjadi pejabat tangannya begitu dermawan, telinganya begitu
terbuka, dan raut wajahnya begitu ramah tamah. Tapi, setelah jadi pejabat
semuanya berubah. Rakyat yang awalnya menjadi sumber kekuasaannya, setelah
menjadi pejabat kuasa itu dipergunakan untuk menindas pemberi kuasa (amanah). Sungguh
kita saat ini dalam lingkaran kedzaliman pejabat negara.
Indonesia bukan milik pejabat, hal ini
perlu dicamkan. Kedaulatan ada ditangan rakyat, bukan di tangan pejabat. Rakyat
akan bertindak jika terjadi penindasan terhadap mereka. Suara rakyat adalah
suara Tuhan. Kekuatan rakyat adalah kekuatan Tuhan. Kesolitan rakyat adalah
kunci kekuatan negara. Pengauasa dan atau pejabat negara musnah jika rakyat mau
bertindak.
Mungkin ada yang menganggap bahwa tulisan
ini semacam provokator. Ya, ini tulisan provokator yang peduli pada nasib
rakyat. Bukan provokator yang dibungkus sedemikian akademis, sedemikian sopan
dan sedemikian bijak, padahal pro pada pejabat negara yang dzalim.
Kita tekankan lagi, Indonesia bukan milik
pejabat. Pejabat negara adalah segelintir orang dipercayakan oleh rakyat untuk
mengelola negara ini demi kesejahteraan rakyat, bukan kesejateraan pejabat dan
kroni-kroninya. Sungguh kita sayangkan, budaya Kolusi, Korupsi dan Nepotisme
(KKN) kini tumbuh subur lagi, apalagi DPR RI 2014-2019 dan Presiden Jokowi mensahkan
UU KPK yang baru, yang saya pikir sangat melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) sehingga menyuburkan benih-benih KKN yang muali tumbuh di periode 2019-2024.
Benar apa kata Bung Karno, bahwa musuh
kita saat ini adalah bangsa sendiri. Jika Bung Karno hidup saat ini, nampaknya
ia akan mencabut kata-kata itu karena melihat siapa yang menjadi bagian
penguasa dzalim negara Indonesia saat ini. Kata-kata Bung Karno hanya mereka
jadikan pemanis orasi atau pidato. Hmmmm, Bung Karno bangkitlah dari kuburmu
agar kau tau betapa hancurnya negerimu ini!
Medan, 15 Oktober 2019.
Penulis: Ibnu Arsib (Bukan siapa-siapa, hanya manusia biasa)
Sbr.gbr: https://www.merdeka.com/
No comments:
Post a Comment