YakusaBlog- Suasana
di sekitar tahun 60-an, barangkali dapat dikatakan sebagai suatu masa peralihan
bagi seluruh bangsa Indonesia. Sebagai puncak serangkaian peristiwa politik
setelah Pemilu yang pertama tahun 1955, Presiden Soekarno mendekritkan kembali
berlakunya UUD 1945 pada tanggal 5 Juli 1959. Peristiwa itu (dapat dikatakan)
merupakan akhir dari perjalanan kita di alam demokrasi liberal dan kita
memasuki tahap baru dari apa yang dinamakan Demokrasi Terpimpin. Ada yang
khusus bagi HMI, pada saat-saat seperti itu. Sebagai organisasi mahasiswa
Islam, sudah tentu keberadaan HMI tidak terlepas dari keberadaan umat dalam
percaturan politik nasional. Kegagalan konstituante, yang mempermasalahkan
dasar negara kita memberikan warna pada serentetan peristiwa politik setelah
itu. Demikian juga peristiwa PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia)
dan peristiwa-peristiwa daerah lainnya, telah memberikan catatan yang khusus
bagi kita semua. Peristiwa itu, masih dapat ditambahkan dengan pembubaran
partai Masyumi dan Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII). Apa artinya bagi HMI?
Sebenarnya,
garis yang ingin ditempuh HMI adalah menjadikan organisasi ini independen. HMI
bukan onderbouw dari partai politik
atau organisasi Islam yang ada. Meskipun demikian tidaklah berarti HMI hanya
berpangku tangan terhadap masalah-masalah nasional, apalagi masalah-masalah
yang menyangkut perjuangan umat. Meskipun demikian, dalam kenyataannya, HMI
harus mengakui, bahwa kesan orang bukan begitu. Barangkali kesan seperti ini
juga sengaja dibuat, sebagai suatu alat perjuangan mereka, yang merupakan
bagian dari strategi perjuangan mereka. Maka, ketika rentetan peristiwa itu
sampai pada pembubaran Masyumi dan GPII, seolah-olah HMI harus menjadi sasaran
berikutnya. Panorama nasional seperti itu barangkali berguna untuk memahami
catatan-catatan HMI ’63-’66. Di tahun ’62-’63, ketika saya menjabat Ketua Umum
HMI Cabang Jakarta, tahun-tahun itu seolah-olah merupakan tahun persiapan bagi
saya untuk tugas-tugas di tahun ’63-’66. Tetapi, tahun-tahun itu juga merupakan
awal dari pelaksanaan strategi PKI yang mencapai klimaksnya di tahun 1965,
dengan gerakan kudeta yang gagal. HMI ternyata merupakan bagian dari mata
rantai strategi itu. Dan bagian terbesar dari kegiatan HMI ’63-’66 memang
terseret untuk melayani mereka, meskipun masalah-masalah yang lain, termasuk
masalah-masalah student needs dan student interest tidak lepas dari
perhatian PB HMI.
Tahun
1962, dengan diselenggarakannya Kongres PPMI (Perserikatan Perhimpunan
Mahasiswa Indonesia), yang merupakan federasi dari Perhimpunan-perhimpunan
Mahasiswa Indonesia, CGMNI (Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia), yang
merupakan organisasi yang berorientasi pada PKI, memulai gerakan “mengganyang”
HMI. Pada Kongres itu, HMI berhasil dikeluarkan dari PPMI. Kenyataan ini
menimbulkan kesadaran, betapa lemahnya posisi HMI dari segi politis, sebab
aspek politis merupakan masalah yang dominan dalam panorama nasional waktu itu,
meskipun ada teman-teman di PPMI yang dengan gigih membela HMI. Satu di
antaranya adalah PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia).
Peristiwa yang mungkin dapat dianggap kecil dalam forum PPMI itu, niscaya dapat
menjadi masalah yang besar apabila berkembang pada panggung perpolitikan
nasional. Dan ternyata memang begitu. Keberhasilan dalam forum kemahasiswaan
itu (PPMI) agaknya semakin mendorong CGMI dkk untuk menarik ke tingkat
nasional. Tuntutan pembubaran HMI, dengan tuduhan “kontrarevolusi” secara cepat
dikembangkan di luar forum kemahasiswaan. Bagi HMI, meskipun menggugat garis
tidak bergerak dalam masalah-masalah “politik praktis” tidak mungkin lagi
mengelakkan diri. Dan bagian HMI, sudah tentu, menentukan pilihan kebijaksanaan
menghadapi masalah-masalah nasional di waktu itu juga bukan merupakan masalah
yang mudah.
Tahun
1963 adalah saatnya Kongres HMI diselenggarakan. Pengurus Besar HMI telah
menetapkan, bahwa kongres akan dilangsungkan di Jakarta. Penyelenggaraan
kongres diserahkan pada HMI Cabang Jakarta. Sebagai Ketua Umum HMI Cabang
Jakarta, saya menganggap inilah memontum yang tepat untuk menunjukkan identitas
HMI yang sesungguhnya. Hal ini saya anggap penting untuk mengoreksi kesan orang
yang salah tentang HMI. Dan itu adalah sangat penting, agar pengalaman yang
pahit di PPMI itu tidak berkembang di luar PPMI, sehingga dapat membahayakan
eksistensi HMI. Dan jawaban untuk itu, tiada alin (baca PKI) adalah tumbuhnya kemampuan
HMI untuk menolak dan mengimbangi strategi CGMI. Tetapi keadaan waktu itu
bukanlah keadaan yang terbaik bagi HMI, bagi dari segi keuangan, maupun
“kredibilitas” politik, HMI tidak saja lemah, tetapi juga diragukan. Itu
anggapan yang umum berlaku. Mampukah HMI menyelenggarakan suatu kongres di
Ibukota RI, pusat segala perpolitikan nasional? Karena itu juga ada manfaatnya,
apabila Ketua Umum HMI Cabang Jakarta sekaligus menjadi ketua panitia kongres
dan bahkan seluruh Pengurus HMI Cabang Jakarta adalah juga panitia kongres.
Momentum
Kongres, nampaknya dengan baik dapat dimanfaatkan oleh HMI. Kongres itu
berlangsung sangat unik, karena para peserta bermalam di tenda-tenda yang
dibangun di halaman Masjid Agung Al-Azhar. Ketua Masjid Agung Al-Azhar, seorang
perwira Angkatan Darat Letkol Amirudin Siregar telah banyak membantu. Demikian
juga alm. Subchan Z.E., seorang Wakil Ketua PBNU, tidak saja membantu dalam
masalah dana, tetapi juga memberi payung politik. Kongres itu sendiri dibuka di
Aula Universitas Indonesia dengan pembacaan sambutan tertulis dari Presiden
Soekarno yang dibacakan oleh Pak Ruslan Abdulgani (adanya sambutan oleh
Presiden Soekarno diberitahukan sekitar 1 jam sebelum Kongres dibuka). Kalau
tidak salah, sejumlah 6 Menteri ikut memberikan ceramah, di samping berbagai
tokoh umat Islam.
Bagi
saya, Kongres itu sangat istimewa. Saya telah duduk di tingkat terakhir
Fakultas Kedokteran UI. Pada usia 25 tahun, saya terpilih secara aklamasi
sebagai Ketua Umum PB HMI. Tidak banyak yang tahu, bahwa di tengah-tengah
kesibukan kongres saya masih sempat menempuh ujian akhir dokter saya.
Pengumuman ujian dokter diumumkan tepat pada hari yang sama dengan pemilihan
Ketua Umum PB HMI. Dan pada hari itu, ternyata saya gagal menempuh ujian
dokter. Namun saya tetap bergembira karena dapat memenangkan pemilihan Ketua
Umum PB HMI, cita-cita saya yang lain, yang telah saya impikan sejak saya masuk
HMI di tahun 1957. Kongres HMI di Jakarta yang berlangsung pada bulan September
itu, tepatnya dari tanggal 8 s.d 14 September 1963, sedikit banyak telah
menegaskan kembali identitas HMI sebagai miliki bangsa dan umat, di samping
keberadaannya sebagai organisasi mahasiswa. Hal itu dapat ditunjukkan dengan
adanya perhatian besari dari pimpinan umat, termasuk dari parpol Islam yang
telah ada.
Pada
tanggal 13 Oktober 1963, rapat pertama PB HMI diselenggarakan di markas HMI,
Jl. Diponegoro 16. Tim PB HMI, praktis adalah Tim HMI Cabang Jakarta. Sdr.
Mar’ie Muhammad yang sebelumnya adalah Sekretaris Umum Pengurus HMI Cabang
Jakarta, memegang tugas sebagai Sekjen PB HMI. Dengan demikian, dari segi
kerjasama, kami telah mengenal dengan baik. Sebagian besar anggota PB HMI
lainnya adalah dari Universitas Indonesia antara lain adalah Munadjat Aminarto
(FE UI), Syarifuddin Harahap (FE UI), Alwi Aldjahwasi (FH UI), Hariadi Darmawan
(FK UI), Bakir Hasan (FE UI) dan lain-lainnya. Beberapa teman dari luar Jakarta
ikut memperkuat PB HMI, misalnya Ahmad Nurhani. Di tengah-tengah berlangsungnya
rapat, telepon bordering. Kol. Muchlas Rawi, Kepala Pusroh Angkatan Darat, yang
telah lama selalu memberikan nasihat-nasihat pada HMI berbicara di seberang
telepon. Ternyata beliau, memberikan informasi, bahwa pada tanggal 10 Oktober
1963, di IAIN Yogyakarta telah berlangsung suatu kegaduhan yang bersumber dari
pada ketidakpuasan mahasiswa pada pimpinan IAIN khususnya dan umumnya juga
pimpinan Departemen Agama. Menteri Agama pada waktu itu adalah K.H. Saifuddin
Zuhri, seorang tokoh NU yang dikenal sangat dekat dengan Presiden Soekarno.
Sebagian besar yang terlibat dalam “kegaduhan” itu ternyata adalah anggota HMI.
Karena itu, masih dalam pembicaraan telepon, saya telah berpikir, inilah ujian
pertama bagi PB HMI sebagai organisasi mahasiswa Islam yang independen, yang
mencitakan persatuan umat. Peristiwa yang sama kemudian terjadi di Ciputat,
pada tanggal 17 Oktober 1963.
Menghadapi
peristiwa itu, PB HMI merasa perlu cepat bertindak. Peristiwa itu dinilai
sebagai sangat tidak menguntungkan,baik dilihat dari segi kacamata kepentingan
nasional maupun kepentingan umat. Dari kacamata nasional, PB HMI merasa perlu
digalangnya kekuatan-kekuatan persatuan dan kesatuan umat adalah sangat
penting. Dan partai politik NU, yang pada waktu itu mempunyai peranan yang
sangat penting di panggung perpolitikan nasional tidak selayaknya diperlakukan
seperti di Yogyakarta dan Ciputat itu. Karena itu, tidak sulit bagi PB HMI
untuk menarik kebijaksanaan tidak membenarkan kedua peristiwa itu, meskpun
keduanya dilakukan oleh banyak aktivis HMI. Dapat dipahami, bahwa kebijaksanaan
seperti itu, sudah tentu menimbulkan sikap pro dan kontra. Tidak saja di waktu
itu, tetapi mungkin juga masih membekas sampai dewasa ini. Tetapi, dalam
kerangka kebijaksanaan nasional secara keseluruhan, PB HMI memang merasa perlu
untuk bertindak tegas. Peritiwa itu juga merupakan suatu test case pelaksanaan suatu garis, bahwa HMI adalah milik umat
Islam, meskipun memilih untuk tetap independen. Dan barangkali, kebijaksanaan
yang diambil dalam menghadapi peristiwa IAIN itu merupakan modal yang besar
dalam menghadapi peristiwa-peristiwa yang lebih besar berikutnya, yaitu
serangan yang semakin gencar dari CGMI untuk membubarkan HMI. Tampaknya tidak
mungkin, serangan yang gencar itu dihadapi tanpa adanya dukungan seluruh umat
Islam (pada khususnya) dan kekuatan-kekuatan antikomunis lainnya pada umumnya
dan dalam keadaan seperti itu, peranan partai NU adalah sangat penting.
Serangan-serangan
terhadap HMI memang semakin gencar dilakukan oleh CGMI. Tidak saja CGMI
berusaha meniadakan keberadaan HMI di kampus, tetapi juga dalam forum nasional.
Mereka berusaha meyakinkan pimpinan-pimpinan universitas, pimpinan pemerintahan
dan bahkan organisasi-organisasi lainnya untuk memberikan dukungan terhadap
tuntutan mereka, yaitu membubarkan HMI. Sebagai alasan dikemukakan, bahwa HMI
adalah kontrarevolusi, anak partai terlarang Masyumi, anti Manipol-Usdek dan
lain-lainnya. tuntutan itu, tidak hanya mereka lancarkan dalam forum-forum
pertemuan kemahasiswaan, misalnya sidang MMI (Majelis Mahasiswa Indonesia) di
Malino atau di kampus-kampus (Peristiwa Utrecht di Jember), tetapi juga dalam
rapat-rapat terbuka, bahkan dalam bentuk demontrasi-demontrasi. Hampir setiap
hari, surat kabar yang mereka miliki (Harian
Rakyat dan Bintang Timur) memuat
berita-berita besar tuntutan pembubaran HMI. Kegiatan mereka yang semakin
meningkat itu, untuk beberapa hal memang berhasil. Beberapa organisasi
kemahasiswaan telah ikut terpengaruh. Demikian pula suara-suara di kalangan
partai politik (belakangan diketahui, bahwa tidak mustahil
organisasi-organisasi itu telah terinfiltrir oleh CGMI/PKI). Demikian juga
nampaknya kalangan pemerintahan, sehingga lahir Instruksi Presiden No. 08/64
yang terkenal itu, agar HMI membersihkan diri dari unsur-unsur kontrarevolusi.
Namnun, sejalan dengan peningkatan offensive
mereka, di mana HMI hanya merupakan satu mata rantai dari tujuan mereka yang
sesungguhnya, penggalangan kekuatan nonkomunis semakin dirasakan sebagai
kebutuhan. Pimpinan-pimpinan umat Islam yang tergabung dalam partai-partai
politik Islam (NU, PSII dan Perti) memberikan pernyataan dukungan terhadap HMI.
Demikian juga Muhammadiyah.
Sementara
di kalangan ABRI, khususnya di kalangan Angkatan Darat, isyarat “membela” HMI
mulai dinyatakan secara terus terang. Puteri Menpangad Jenderal Ahmad Yani,
memasuki HMI pada saat masa perkenalan tahun 1964. Demikian juga Mayjen
Soetjipto SH, Sekretaris Umum KOTI (Komando Operasi Tertinggi), pada saat
gencar-gencarnya “pengganyangan terhadap HMI memberikan pernyataan yang sangat
terkenal: Go ahead HMI!” kenyataan
seperti itu, sudah tentu merupakan hasil dari kebijaksanaan yang ditempuh oleh
PB HMI. Kebijaksanaan itu pada dasarnya, adalah suatu upaya untuk konsisten
sebagai organisasi mahasiswa Islam yang independen, milik seluruh umat Islam
dan bangsa. Dalam kerangka itulah, HMI memang harus selalu dekat dengan seluruh
potensi umat ini, betapapun potensi sesungguhnya terkadang tidak menyatu.
Demikian
juga sebagai bagian dari potensi bangsa, HMI berusaha untuk selalu mengambil
bagian secara kritis dalam perjuangan bangsa. Dalam kerangka itulah , nasional
untuk mengimbangi PKI dan dari segi perjuangan umat, HMI masuk menjadi anggota
Front Nasional dan bahkan memegang Ketua Koordinator Pemuda Sekber Golkar.
Meskipun demikian, kebijaksanaan seperti itu terkadang sulit dimengerti oleh
sebagian umat Islam. Dalam keadaan umat yang tidak menyatu, harus diakui betapa
sulit untuk dapat menempatkan diri sebagai “anak” seluruh umat. Demikian juga
adanya perbedaan visi atau cara pandang terhadap berbagai masalah nasional
waktu itu, kritik-kritik terhadap kebijaksanaan yang ditempuh oleh PB HMI
terkadang sangat sengit juga. Sebuah kritik (misalnya) mengesankan seolah-olah
HMI sudah demikian “hanyut” dalam proses Nasakom, yang notabene HMI sedang “mati-matian” menghadapi CGMI (baca Kaum
Komunis).
Menghadapi
masa-masa yang sulit seperti itu, ibarat suatu keajaiban perkembangan HMI
justru menggembirakan. Jumlah anggota meningkat dengan sangat luar biasa.
Apabila pada tahun 1957, pada saat saya memasuki HMI, anggota baru HMI dari
Fakultas Kedokteran UI hanya 2 orang, maka pada tahun 1964 sekitar 60 mahasiswa
FK UI mengikuti masa perkenalan HMI. Demikian pula dari segi kualitatif. Upaya
HMI untuk menumbuhkan kecintaan pada profesi, dengan mendirikan lembaga-lembaga
kekaryaan, tumbuh dengan cepat, misalnya Lembaga Kesehatan, pers, olahraga,
dakwah, ekonomi bahkan ada Lembaga Ilmu Hisab dan Astronomi. Sayang, kemudian
tidak diteruskan walaupun masih ada tidak berjalan efektif. Di tengah-tengah
memuncuknya serangan dan tuntutan terhadap pembubaran HMI seperti itu, pada
tanggal 4 Juli 1964, saya menyelesaikan studi saya. Bahkan penyelesaian studi
saya itu dipercepat oleh suasana nasional waktu itu dengan Dwikora (Dwi Komando
Rakyat). Begitu lulus, saya menjalani latihan militer selama sebulan.
Tenaga-tenaga kami seluruhnya, yang berjumlah sekitar 140 dokter baru, akan
disiapkan sebagai tenaga sukarelawan Dwikora, dan harus segera berangkat.
Menghadapi kenyataan seperti itu, saya sendiri tidak ragu untuk menjalani tugas
nasional seperti itu. Namun sebagai manusia yang mempunyai rencana dan tugas
yang lain, juga merupakan tugas yang penting juga untuk melaksanakan
tugas-tugas yang lain itu dengan sebaik-baiknya. Tugas itu, tiada lain adalah
tugas di HMI dan tugas pribadi untuk melangsungkan pernikahan. Latihan militer
berlangsung sampai tanggal 2 Agustus 1964 dan pada tanggal 4 Agustus 1964, kami
melangsungkan pernikahan di Semarang dengan seorang aktivis Kohati dari Solo.
Dan pada tanggal 9 Agustus, kami kembali menuju ke Jakarta, untuk mengejar
keberangkatan kami sebagai sukarelawan Dwikora pada tanggal 10 Agustus.
Semuanya berjalan begitu cepat, dan saya bersyukur bahwa teman-teman PB HMI
sangat memahami masalah yang saya hadapi. Sdr. Aminarto, yang selama ini
menjabat Ketua I, memegang tugas sebagai Pejabat Ketua Umum.
Bertugas
sebagai sukarelawan Dwikora, praktis saya hidup di kalangan militer. Mengenakan
baju hijau, sepatu, ikat pinggang dan topi militer tetapi tanpa tanda pangkat.
Tugas apa saja, sepanjang diijinkan, saya lakukan. Sebagai dokter di RS Tentara
Banda Aceh, mengajar pada kursus militer untuk para bintara, mengikuti
inspeksi/perjalanan dan bahkan ikut duduk sebagai Sekretaris Panitia
Persiapakan Fakultas Kedokteran Universitas Syah Kuala Banda Aceh. Namun, saya
tidak lepas mengamati dan mengikuti perkembangan HMI dari jauh. Bahkan dalam
beberapa hal, lingkungan hidup saya yang baru memberi peluang untuk mengetahui
hakekat apa yang sebenarnya terjadi. Baik Panglima Kodam I Iskandarmuda,
Brigjen Ishak Djuarsa maupun Pangkowilham Letjen Mokoginta selalu memberi
isyarat, sebagaimana yang disampaikan Mayjen Soetjipto SH: Go Ahead HMI! Karena itu saya relatif dapat memfokuskan dari pada
tugas saya sebaga sukarelawan Dwikora. Tetapi, teman-teman di Jakarta nampaknya
semakin berat menghadapi situasi yang semakin panas. Saya mengikuti
perkembangan, bahwa peristiwa-peristiwa fisik telah terjadi di mana-mana. CGMI
dan PKI, nampaknya semakin tidak sabar. Demonstrasi-demonstrasi juga semakin
panas. Demikian juga slogan-slogan yang dibawa oleh kedua belah pihak.
Demontasi
pembelaan terhadap HMI. Sampai pada akhirnya pada awal bulan Juli 1965, saya
dipanggil Panglima Ishak Djuarsa, bahwa saya dipanggil pulang ke Jakarta. Sudah
tentu, saya merenungi pemanggilan itu. Mengapa saya harus ke Jakarta? Sudah
tentu, kalau tidak ada hal-hal yang sangat penting, saya tidak akan dipanggil
pulang. Pemanggilan itu sampai berlangsung dua kali, baru dapat saya
laksanakan. Dengan menumpang kapal barang, yang kebetulan lewat Banda Aceh,
saya pulang kembali ke Jakarta. Suasana di bulan Agustus/September 1965 sudah
semakin panas. Untuk reorientasi kembali dalam melaksanakan tugas Ketua Umum PB
HMI, pada bulan Agustus itu PB HMI menyelenggarakan Pleno PB HMI. Sampai pada
akhirnya, menjelang G30S/PKI. Pada tanggal 27 September 1965, 4 hari sebelum
peristiwa G30S/PKI, saya dipanggil Pangak (Panglima Angkatan Kepolisian),
Jenderal Soetjipto Judodihardjo. Pak Tjipto adalah seorang perwira tinggi ABRI
yang sangat bersimpati pada HMI. Beliau adalah seorang muslim dan bersama
dengan Pak Sarbini, Pak Dirman dan lain-lain mendirikan PTDI (Perguruan Tinggi
Dakwah Islam) yang kokon dimaksudkan untuk mengimbangi Universitas Rakyat milik
PKI.
Di
situlah Pak Tjipto menyampaikan suatu masalah, bagaimana seandainya HMI tidak
bisa bertahan, artinya harus bubar? Apa sebaiknya tidak membubarkan diri saja?
bukankah anak-anak HMI (sebenarnya) banyak yang anak Muhammadiyah, NU, PSII,
Perti dan lain sebagainya. Begitu kira-kira permasalahan yang diajukan oleh Pak
Tjipto. Saya merenung sejenak. Kalau masalah bubar, sesungguhnya PB HMI pernah
membahasanya. Dan meamng, apabila harus bubar, anak-anak HMI akan akan disebar
pada ormas Islam yang ada. Dan inilah mengapa (misalnya) Syarifudin Harahap ke
PSII, antara lain memang dipersiapkan untuk menghadapi hal-hal yang paling
buruk sekalipun. Demikian juga teman-teman yang lain, yang banyak masuk Perti,
PB HMI memberikan dorongan untuk itu. Sudah tentu, hak asasi teman-temanlah
yang sangat menentukan, apakah pada akhirnya mereka memilih NU/PSII/Perti atau
Muhammadiyah. Meskipun demikian, kepada Pak Tjipto, saya mengatakan bahwa HMI
tida ada pikiran sama sekali untuk bubar. Apalagi membubarkan diri. Merenungi
permasalahan yang diajukan oleh Pak Tjipto tersebut, saya baru sadar jawabannya
3 hari kemudian, yaitu pada tanggal 29 September 1965, ketika CGMI
menyelenggarakan kongresnya di Jakarta. Di tengah kongres CGMI yang demikian
meriah, di Istora Senayan dengan dibantu massa Pemuda Rakyat, di depan Presiden
Soekarno dan pimpinan pemerintahan lainnya, dengan histeris massa meneriakkan
yel-yel Bubarkan HMI. Tetapi baik Pak
Leimena (Wakil Perdana Menteri) maupun Bung Karno tidak gentar menghadapi
tuntutan CGMI tersebut, meskipun tidak kurang dari DN Aidit sendiri ikut
memberikan suaranya untuk membubarkan HMI. DN Aidit, orang pertama PKI itu,
antara lain menyatakan “Kalau CGMI tidak
bisa membubarkan HMI, lebih baik yang laki-laki pakai kain sarung saja.”
rupanya ketika itu, CGMI/PKI hendak memaksa Presiden Soekarno untuk membubarkan
HMI. Bung Karno malah mengatakan, tidak saja HMI, CGMI pun akan dibubarkan
apabila memang kontrarevolusi. Bagi HMI, ketika itu juga ternyata justru suatu
hikmah, karena untuk pertama kalingya Bung Karno secara terbuka dan gambling
menyatakan sikapnya.
Kegiatan
saya sepulang dari Aceh, praktis sejak pagi hari sampai larut malam untuk HMI.
Di tengah-tengah kegiatan itu, saya sudah memulai praktek dokter saya di
Mantrust (atas bantuan Mas Achmad Tirtosudiro) dan di BPU-PBN atas bantuan Mas
Sanusi. Selain itu, saya juga sering diminta untuk menggantikan prakteknya Dr.
Kusnadi. Saya yakin, para senior itu ikut memikirkan beban saya sebagai kepala
rumah tangga, oleh karena di bulan Agustus, anak saya yang pertama lahir. Budi
baik mereka tentu akan selalu saya kenang, karena memang pada saat itulah saya
sangat memerlukan. Semoga Allah Swt. membalas budi baik mereka. Amien.
Demikianlah,
pada tanggal 1 Oktober 1965, hari Jumat pagi saya sudah berada di Banyumas 4,
tempat tinggal Mas Subchan dan adiknya Annis Rohlan. Saya memutar telepon ke
Syarifudin Harahap dan ternyata memberitahu adanya wartaberita RRI jam 07.00
pagi mengenai pengumuman Dewan Revolusi. Mas Subchan masih belum turun dari
tingkat dua rumahnya, sehingga saya tidak dapat memberi tahu Mas Subchan.
Dengan skuter Lambretta tua, saya menghampiri Syarifudin Harahap dan
berkeliling melihat situasi lapangan. Jalan Teuku Umar sudah tertutup,
sementara Jalan Merdeka Selatan dipenuhi pasukan tentara yang siaga penuh. Saya
kurang memperhatikan pasukan apa yang bersiaga di Merdeka Selatan. Akhirnya
kami membelok ke Jalan H. Agus Salim, ke rumah KH. Muhammad Dahlan, salah
seorang tokoh NU. Kami memberitahukan kepada beliau apa yang kami dengan dan
kami lihat dan beliau hanya menasehatkan agar dihubungi bapak-bapak yang lain.
Tiba di Banyumas 4, sekitar pukul 08.00 pagi, Mas Subchan masih juga belum
turun. Tetapi, karena menurut firasat kami keadaan agak luar biasa, saya memaksakan agar kami dapat melapor
sesegera mungkin. Begitu mendengar laporan kami, bahkan belum sempat kami
menyelesaikan laporan, Mas Subchan menghentikan pembicaraan dan meninggalkan
kami sejenak. Ternyata beliau mengambil pistol ke atas dan setelah turun
kembali meminta kami meneruskan laporan.
Secara
kilat, PB HMI telah lengkap berada di markas Jl. Diponegoro 16. Hari itu adalah
hari Jumat, sehingga memudahkan kami mengadakan koordinasi lapangan dengan
Rayon-rayon HMI di Jakarta. Perintah siaga diberikan dan untuk selalu
mengadakan koordinasi sebaik-baiknya, sementara keadaan belum jelas benar,
namun kami semua di PB HMI menyimpulkan, bahwa di balik peristiwa itu adalah
PKI melakukan kudeta. Malam tanggal 1 Oktober 1965 adalah saat yang paling
kritis. Meskipun kami berusaha mencari informasi ke berbagai pihak, gambaran
yang sesungguhnya masih sangat simpang-siur. Malam itu, Mas Subchan pun merasa
tidak aman tidur di Banyumas 4, sehingga semalaman kami berlima (Mas Subchan,
Norman Razak, Machnan Kamaludin) berputar-putar di Jakarta, untuk pada akhirnya
tidur di bangsal bagian kebidanan rumah sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM),
berpura-pura menunggui pasien. Tetapi, keadaan kiritis tidak berlangsung lama.
Semuanya menjadi jelas, setelah pada tanggal 2 Oktober 1965 malam, semua
kekuatan Pancasilais diterima dan mengadakan pembicaraan dengan Panglima
KOSTRAD Mayjen Soeharto. Untuk koordinasi kekuatan Pancasilais dibentuklah KAP
GESTAPU/Front Pancasila, yang diketuai Mas Subchan dan Sekjen Harry Tjan
Silalahi, anak-anak HMI sendiri, sejak itu telah dipersenjatai, sekedar untuk persiapan menghadapi keadaan yang
paling buruk sekalipun.
Meskipun
epilog G30S/PKI ternyata juga bukan masalah yang secara otomatis mudah. Setelah
G30S/PKI isu yang utama adalam pembubaran PKI.dan di sini pun, tidak demikian
mudah, mengingat Bung Karno enggan memenuhi tuntutan rakyat. Dan Bung Karno,
sudah tentu saja bukan sendirian. HMI, sekali lagi, meskipun bukan suatu partai
politik terlibat di dalamnya, khususnya sebagai kekuatan mahasiswa yang
pernanannya waktu itu sangat besar di kelangan mahasiswa. Hammpir semua kampus
di tanah air, HMI memegang peranan yang penting.
Langkah
pertama adalah, bagaimana di kalangan kemahasiswaan pengaruh CGMI dapat
tereliminir. Sudah tentu, PPMI (Perhimpunan Perserikatan Mahasiswa Indonesia)
harus diperbaharui. PPMI waktu itu dipimpin, antara lain oleh Bambang Kusnohadi
(GMNI) dan Hardoyo (CGMI). Keduanya adalah anggota DPRGR, masing-masing dari
fraksi PNI dan PKI. Menteri P dan K waktu itu (Bapak Sjarif Thajeb) sempat
mengundang kami untuk membicarakan masalah ini. dalam susunan organisasi
mahasiswa yang baru, yang kemudian dikenal sebagai Kesatuan Aksi Mahasiswa
Indonesia (KAMI), ada perimbangan HMI tidak usah menjadi orang pertama dulu.
Ada
faktor psikologis, kalau HMI dari sama sekali tidak masuk dalam forum
kemahasiswaan Indonesia langsung memegang peranan sebagai orang pertama, akan
mengundang reaksi yang kurang baik. Apalagi, kita waktu itu sangat memerlukan
terkonsolidirnya kekuatan Pancasilais menghadapi PKI dkk. Kepentingan strategi
bersama kekuatan Orde Baru lebih penting dari sekedar susunan dari suatu
organisasi bersama yang mungkin dapat berakibat kurang kompak. Karena itu,
pilihan jatuh pada PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) dan PMKRI
(Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia), dua organisasi mahasiswa yang
dapat diharapkan untuk ikut bersama-sama dan diterima HMI, untuk menggalang
kekuatan mahasiswa Orde Baru, di samping IMADA (Ikatan Mahasiswa Djakarta).
Meskipun
demikian, sejauh mungkin kita masih harus mengajak organisasi lain, termasuk
GMNI. Karena itu, dalam Presidium KAMI, HMI yang diwakili Mar’ie Muhammad,
memegang jabatan Sekjen Kami Pusat. Sedang di daerah hampir di semua daerah HMI
memegang orang pertama KAMI daerah. Lahirnya KAMI cepat diikuti daerah-daerah
lainnya. Dukungan HMI terhadap KAMI sudah tentu merupakan faktor perkembangan
yang cepat itu. Bahkan diikuti lahirnya kesatuan aksi yang lainnya, misalnya
KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia), KASI (Kesatuan Aksi Sarjana
Indonesia), KAWI (Kesatuan Aksi Wanita Indonesia) dan lain-lain.
Dengan
semakin terkonsolidirnya kekuatan Pancasilais, sasaran perjuangan bersama dapat
lebih terarah dan terpadu. Yang juga harus diingat dan dicatat dalah peranan
ABRI yang juga penting, dan barangkali justru yang paling menentukan, dalam
perjuangan Orde Baru. Khususnya RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat),
sejak terjadinya Kudeta 1965, sampai Tritura, sampai keluarnya Surat Perintah
11 Maret 1966, secara moral sangat memberikan dukungan pada kekuatan
Pancasilais/Orde Baru.
Namun
sesungguhnya, perjuangan masih belum begitu mudah. Adanya sikap “dualisme” di
kalangan Pemerintah menyebabkan rakyat pun seolah-olah terbelah dua. Sikap
pertama adalah yang ikut memberikan dorongan dalam pembubaran PKI dan sikap
yang lain adalah mengesankan keengganan untuk membubarkan PKI. HMI bersikap
tegas ke arah pembubaran PKI dan saya yakin, bahwa ABRI di bawah kepemimpinan
Mayjen Soeharto/Men PANGAD juga bergerak ke sana. Karena itu adalah mutlak
perlunya kesatuan langkah dengan ABRI dalam menghadapi masalah-masalah Nasional
waktu itu, tanpa kesatuan langkah ini, barangkali justru akan merupakan bumerang. Masalahnya adalah, bagaimana
mengkhiri adanya dualisme itu? Di tengah puncak dualisme seperti itu pertintah menyelenggarakan sidang Kabinet 100
Menteri, yang ternyata kemudian merupakan sidan yang terakhir dari Kabinet yang
dipimpin Presiden Seokarno. Sidang Kabinet ini, yang berlangsung di Istana
Negara tanggal 10 Maret 1966, ternyata merupakan awal dari lahirnya Surat
Perintah 11 Maret 1966 yang terkenal itu.
Ternyata,
di tengah sidang berlangsung, rakyat berdemonstrasi di luar Istana, yang
kemudian ternyata diinformasikan pada Presiden Soekarno, bahwa di antara para
demonstran tersebut ada kalangan militer. Laporan ini, dari cerita-cerita yang
kemudian tersebut, menyebabkan Presiden Soekarno menghentikan Sidang Kabinet
dan kemudian terbang ke Bogor, diikuti beberapa menteri lainnya, termasuk Dr.
Soebandrio. Begitulah, di belakang layar keluarnya Surat Perintah 11 Maret
1966, ternyata Tiga Serangkai Jenderal Angkatan Darat, yaitu Jenderal Basuki
Rachmad, Amir Machmud, dan Muhammad Yusuf, dengan restu Men PANGAD Jenderal
Soeharto yang pada waktu itu tidak menghadiri Sidang Kabinet, terlibat dalam
proses keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966. Dan satu hari setelah Supersemar
diterima oleh Pak Harto, tindakan pertama yang dilakukan adalah pembubaran PKI
tanggal 12 Maret 1966 dan pembubaran Kabinet 100 Menteri.
Tindakan
ini, sudah tentu mendapat sambutan hangat dan sangat meriah dari rakyat. Pawai
kemenangan, diselenggarakan secara spontan oleh rakyat dan ABRI yang merupakan
cermin dari kemanunggalan ABRI dan rakyat, dimana rakyat bersama
anggota-anggota ABRI pawai, menaiki kenderaan-kenderaan lapis baja yang
mengelilingi kota Jakarta. Demikianlah dengan langkah pembubaran Kabinet 100
Menteri, Pak Harto harus segera membentuk kabinet baru. Di sinilah ada kejutan
bagi saya, karena secara tiba-tiba PB HMI memperoleh undangan untuk mengikuti hearing pembentukan Kabinet yang baru,
bersama-sama Partai Politik yang ada waktu itu. Saya yakin, keikut sertaan HMI
adalah karena HMI anggota Sekber Golkar dan saya sendiri adalah Ketua
Koordinator Pemuda Sekber Golkar. Sudah tentu, PB HMI mempersiapkan diri secara
khusu. PB HMI sepakat, bahwa dari segi materi, PB HMI akan mengajukan
permasalahan penyelesaian dualisme
pemerintahan dan menyampaikan pendapat agar Jenderal Soeharto bersedia
memimpin Kabinet yang baru.
Hearing Kabinet
berlangsung di MABAD (Markas Besar Angakatan Darat) Jalan Merdeka Utara.
Kabinet yang terbentuk memang menghasilkan suatu Kabinet yang lebih memuaskan
bagi HMI. Dualisme pemerintahan sedikit demi sedikit dikurangi, sampai akhirnya
selesai tuntas seteleh Sidang Umum Istimewa MPRS tahun 1967, di mana pada
tanggal 12 Maret 1967 Jenderal Soeharto ditetapkan sebagai Pejabat Presiden
Republik Indonesia, menggantikan Presiden Soekarno yang telah memangku jabatan
Presiden selama 22 tahun.
Sejak
pertengah 1966 saya sudah mulai berpikir untuk persiapan Kongres HMI ke-8,
yaitu yang direncanakan berlangsung di Solo. Dua hal yang perlu dipikirkan,
yaitu calon Ketua Umum PB HMI yang baru dan pertanggungjawaban PB HMI. Mengenai
calon Ketua UM PB HMI yang baru, meskipun semuanya akan tergantung keputusan
Kongres, saya cenderung untuk tampilnya saudara Nurcholish Madjid.
Secara
moril, sudah tentu saya ingin melihat HMI yang harus lebih baik dari periode
saya. Dan saya berharap besar akan terpilihnya Ketua Umum PB HMI yang baru,
yang akan dapat membawa HMI ke arah yang lebih baik. Dan untuk itu saya melihat
figure Nurcholish akan mampu memenuhi harapan seperti itu. Karena itu, pada
perubahan PB HMI yang terakhir menjelang Kongres, Nurcholish ditarik menjabat
Ketua IV PB HMI. Saya sendiri, sejak semula ingin menjaga tradisi HMI yang saya
anggap baik, yaitu bahwa seorang Ketua Umum PB HMI harus berhasil menyelesaikan
studi dan hanya sekali memegang jabatan Ketua Umum PB HMI. Mengenai
pertanggungjawaban PB HMI, ada berbagai masalah yang perlu memperoleh
kejelasan.
Secara
keseluruhan, strategi untuk menyelamatkan organisasi telah berhasil. Betapapun
hebatnya PKI untuk membubarkan HMI tidak berhasil. Tetapi, dalam
langkah-langkah kea rah itu, saya sadar, bahwa tidak seluruhnya akan diterima
umat. Pertama adalah, adanya kesan seolah-olah HMI pun juga sudah hanyut oleh alam MANIPOL (Manifesto
Politik) dan NASAKOM. Kedua, adanya langkah-langkah yang mungkin dapat dianggap
overacting dalam langkah-langkah
penyelamatan itu, misalnya telegram mengenai Bapak Kasman Singodimedjo.
Mengenai
kesan yang pertama saya yakin, bahwa HMI memang tidak hanyut dalam proses
MANIPOL dan NASAKOM. Perdebatan dalam masalah ini, jelas sekali, bahwa konsep
HMI berbeda dengan PKI. HMI bahkan mengikuti konsep NASAKOM sebagai NASASOS
(Nasional Agama Sosial), sebagaimana sering dilontarkan Jenderal Ahmad Yani,
sebagai satu kesatuan. Perdebatan ideologi inilah yang kemudian menimbulkan
adanya bipolarisasi terhadap
ajaran-ajaran Bung Karno sendiri waktu itu, yang mencapai klimaksnya pada
peristiwa BPS (Badan Pendukung Soekarnoisme). Dengan perkataan lain, antara
kekuatan-kekuatan progressive/revolusioner
sendiri waktu itu, telah terjadi perdebatan ideologis yang sangat sengit. Dapat
dimengerti, karena sesungguhnya memang teramat sulit sekali menyatukan kekuatan Komunis di satu
pihak dan kekuatan Non-Komunis/Pancasila di lain pihak. Di samping itu, sampai
menjelang Kongres HMI di Solo tahun 1966, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah
Tangga HMI tidak mengalami perubahan. Sehingga bagi saya, untuk membuktikan
bahwa HMI tidak hanyut dalam proses
MANIPOL dan NASAKOM (sebenarnya) tidaklah terlalu sulit. Setidaknya, dalam
forum HMI sendiri.
Mengenai
kesan yang kedua, kemungkinan PB HMI telah overacting,
saya menyimpulkan lebih baik untuk minta maaf, bila memang dianggap begitu.
Sebab masalah ini dapat menimbulkan perdebatan yang mungkin akan banyak membawa
masalah-masalah subyektif dalam perdebatan. Kongres HMI di Solo itu, merupakan
Kongres kemenangan. Kota Solo yang
terkenal sebagai basis PKI, selama satu minggu di bulan September 1966 telah
semarak oleh Kongres HMI. Jumlah delegasi dan penggembira mencapai ribuan orang. Pak Harto memberikan sambutan
yang dibacakan Gubernur Jawa Tengah. Resepsi pembukaan dilangsungkan di Balai
Kota Solo yang baru.
Kebijaksanaan
pertanggungjawaban PB HMI dalam Kongres diterima secara aklamasi dan Nurcholish
Madjid tampil sebagai Ketua Umum PB HMI yang baru periode 1966-1969. Tidak saja
saya merasa orang yang paling berbahagia waktu itu, tetapi saya juga perlu
mengucapkan terima kasih pada HMI. Sebab, dalam waktu 3 tahun itu yaitu periode
1963-1966, saya merasa memperoleh ilmu yang sangat berharga, yang tidak mungkin
saya peroleh dalam pendidikan formal saya.[]
Penulis:
Sulastomo (Ketua Umum PB HMI Periode 1963-1966).
Catatan:
Tulisan Sulastomo di atas pertama kali dimuat dalam Harian Pelita Jakarta, tanggal 5 dan 6 Februari 1987, dengan judul Catatan Tentang HMI: 1963-1966. Kemudian
kembali dibukukan oleh Agussalim Sitompul dalam buku yang berjudul HMI Mengayuh di Antara Cita dan Kritik,
halaman: 24-32.
No comments:
Post a Comment