Catatan Kecil Nurcholish Madjid Tentang HMI Tahun 1966 - Yakusa Blog

Yakusa Blog

Mewujudkan Komunitas Intelektual Muslim

Tuesday 10 September 2019

Catatan Kecil Nurcholish Madjid Tentang HMI Tahun 1966


YakusaBlog- Jika tahun 1966 disebut, maka asosiasi pertama seorang Indonesia ialah kepada suatu angkatan yang erat kaitannya dengan tumbangnya Orde Lama dan lahirnya Orde Baru. Dan kalau kita pusatkan perhatian kita hanya pada KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) saja, maka peranan dominan HMI akan sangat nyata. Bahkan tidak berlebihan penilaian banyak pengamat bahwa sebenarnya KAMI adalah parallel, jika tidak identic, dengan HMI. Suatu hal yang menimbulkan kecemburuan banyak kalangan lain.
Tetapi sesungguhnya hal itu terjadi tidak dengan mudah, dan telah banyak menuntut “ongkos”, disebabkan situasi dan posisi HMI yang amat sulit saat dekat menjelang kudeta PKI yang gagal pada September 1965 itu. Rupanya PKI, khususnya dalam hal ini pemimpin tertingginya Aidit, sepenuhnya menyadari betapa HMI bisa menjadi batu penarung yang amat kuat dari rencana-rencana jahatnya terhadap Republik. Cukup alasan bagi PKI untuk menepuk dada bahwa semua sector kehidupan sosial politik negeri kita (secara formal) berada di tangan mereka: buruh dengan SOBSI-nya, petani dengan BTI-nya, guru dengan PGRI-nya (yang berhasil mereka “sulap” menjadi semacam organisasi mantel PKI) dst. Yang bernasib sama dengan PGRI antara lain ialah IPPI untuk kalangan pelajar dan PWI untuk kalangan pers dan kewartawanan. Namun pimpinan PKI nampak nampak kesal dan putus asa karena HMI tetap menguasai kampus-kampus universitas, khususnya “centers of excellence” di Jakarta dan Jawa Barat seperti UI, IPB, ITB, serta kampus-kampus lain, dan hampir praktis seluruh universitas dari luar Jawa. Karena itu beberapa saat sebelum kudeta yang gagal itu, PKI menjadikan HMI sebagai sasaran kampanye pengganyangannya yang luar biasa fanatic dan gegap gempita, tetapi gagal.
Sementara itu, HMI tetap pada pendiriannya yang kukuh sebagai organisasi independen, bukan bawahan partai politik manapun, dengan resiko HMI menjadi easy target banyak kalangan, khususnya PKI dan PNI. Maka strategi HMI ialah mengatur agar pimpinan KAMI pada tahap mula-mula berada di tangan mereka yang mempunyai perlindungan politik paling baik, terutama perlindungan NU lewat PMII (Sdr. Zamroni) dan perlindungan PMKRI (Sdr. Cosmas). Namun secara moral dan factual, HMI tetap memerankan peranan paling menentukan, yang peranan itu dibawakan dengan baik sekali oleh tokoh-tokoh kita seperti Sdr. Mar’ie Muhammad, Fahmi Idris, Firdaus Wajdi, dll. Kemudian di belakang kita adalah sederet tokoh senior yang amat berpengalaman dalam kancah politik seperti Mas Ahmad Tirtosudiro, Mas Dahlan Ranuwihardjo, Pak Mintaredja, Pak Ahmad Sanusi, dll., yang bertindak sebagai penasehat.

Baca juga: Catatan Sulastomo Tentang HMI Tahun 1963-1966
Adalah berkat jasa dan peranan tokoh-tokoh tersebut bersama dengan tokoh-tokoh lain yang terhitung jumlahnya maka HMI tidak saja survive, bahkan berkembang dan tetap menampilkan eksistensinya secara mengesankan. Kini situasi telah berubah sama sekali, dan peranan yang dituntut dari HMI juga sudah berlainan. Sesuai dengan perkembangan keadaan, HMI kini dituntut untuk lebih mampu tampil dalam tema-tema proaktif (bukan reaktif), dengan lebih banyak mengandalkan kemampuan intelektual. Ini berarti tingkat tuntutan yang lebih tinggi, dan karenanya lebih sulit. Namun kita semua percaya bahwa HMI akan tetap maju sebagai organisasi dengan barisan kader dan aktivis yang terlatih paling baik di tanah air. Semoga.[]

Penulis: Nurcholish Madjid (Ketua Umum PB HMI Periode 1966-1969 dan 1969-1971).
Catatan: Tulisan Nurcholish Madjid di atas pertama kali diterbitkan oleh PB HMI, Jakarta tahun 1990 dalam Buku Dies Natalis ke-43 HMI, dengan judul Catatan Kecil Tentang HMI sekitar 1966. Kemudian kembali dibukukan oleh Agussalim Sitompul dalam buku yang berjudul HMI Mengayuh di Antara Cita dan Kritik, halaman: 33-34.

No comments:

Post a Comment