YakusaBlog- Jika
tahun 1966 disebut, maka asosiasi pertama seorang Indonesia ialah kepada suatu
angkatan yang erat kaitannya dengan tumbangnya Orde Lama dan lahirnya Orde
Baru. Dan kalau kita pusatkan perhatian kita hanya pada KAMI (Kesatuan Aksi
Mahasiswa Indonesia) saja, maka peranan dominan HMI akan sangat nyata. Bahkan
tidak berlebihan penilaian banyak pengamat bahwa sebenarnya KAMI adalah
parallel, jika tidak identic, dengan HMI. Suatu hal yang menimbulkan
kecemburuan banyak kalangan lain.
Tetapi
sesungguhnya hal itu terjadi tidak dengan mudah, dan telah banyak menuntut
“ongkos”, disebabkan situasi dan posisi HMI yang amat sulit saat dekat
menjelang kudeta PKI yang gagal pada September 1965 itu. Rupanya PKI, khususnya
dalam hal ini pemimpin tertingginya Aidit, sepenuhnya menyadari betapa HMI bisa
menjadi batu penarung yang amat kuat dari rencana-rencana jahatnya terhadap
Republik. Cukup alasan bagi PKI untuk menepuk dada bahwa semua sector kehidupan
sosial politik negeri kita (secara formal) berada di tangan mereka: buruh
dengan SOBSI-nya, petani dengan BTI-nya, guru dengan PGRI-nya (yang berhasil
mereka “sulap” menjadi semacam organisasi mantel PKI) dst. Yang bernasib sama
dengan PGRI antara lain ialah IPPI untuk kalangan pelajar dan PWI untuk
kalangan pers dan kewartawanan. Namun pimpinan PKI nampak nampak kesal dan
putus asa karena HMI tetap menguasai kampus-kampus universitas, khususnya “centers of excellence” di Jakarta dan
Jawa Barat seperti UI, IPB, ITB, serta kampus-kampus lain, dan hampir praktis
seluruh universitas dari luar Jawa. Karena itu beberapa saat sebelum kudeta
yang gagal itu, PKI menjadikan HMI sebagai sasaran kampanye pengganyangannya
yang luar biasa fanatic dan gegap gempita, tetapi gagal.
Sementara
itu, HMI tetap pada pendiriannya yang kukuh sebagai organisasi independen,
bukan bawahan partai politik manapun, dengan resiko HMI menjadi easy target banyak kalangan, khususnya
PKI dan PNI. Maka strategi HMI ialah mengatur agar pimpinan KAMI pada tahap
mula-mula berada di tangan mereka yang mempunyai perlindungan politik paling
baik, terutama perlindungan NU lewat PMII (Sdr. Zamroni) dan perlindungan PMKRI
(Sdr. Cosmas). Namun secara moral dan factual, HMI tetap memerankan peranan
paling menentukan, yang peranan itu dibawakan dengan baik sekali oleh
tokoh-tokoh kita seperti Sdr. Mar’ie Muhammad, Fahmi Idris, Firdaus Wajdi, dll.
Kemudian di belakang kita adalah sederet tokoh senior yang amat berpengalaman
dalam kancah politik seperti Mas Ahmad Tirtosudiro, Mas Dahlan Ranuwihardjo,
Pak Mintaredja, Pak Ahmad Sanusi, dll., yang bertindak sebagai penasehat.
Baca juga: Catatan Sulastomo Tentang HMI Tahun 1963-1966
Baca juga: Catatan Sulastomo Tentang HMI Tahun 1963-1966
Adalah
berkat jasa dan peranan tokoh-tokoh tersebut bersama dengan tokoh-tokoh lain
yang terhitung jumlahnya maka HMI tidak saja survive, bahkan berkembang dan tetap menampilkan eksistensinya
secara mengesankan. Kini situasi telah berubah sama sekali, dan peranan yang
dituntut dari HMI juga sudah berlainan. Sesuai dengan perkembangan keadaan, HMI
kini dituntut untuk lebih mampu tampil dalam tema-tema proaktif (bukan reaktif),
dengan lebih banyak mengandalkan kemampuan intelektual. Ini berarti tingkat
tuntutan yang lebih tinggi, dan karenanya lebih sulit. Namun kita semua percaya
bahwa HMI akan tetap maju sebagai organisasi dengan barisan kader dan aktivis
yang terlatih paling baik di tanah air. Semoga.[]
Penulis:
Nurcholish Madjid (Ketua Umum PB HMI Periode 1966-1969 dan 1969-1971).
Catatan:
Tulisan Nurcholish Madjid di atas pertama kali diterbitkan oleh PB HMI, Jakarta
tahun 1990 dalam Buku Dies Natalis ke-43 HMI,
dengan judul Catatan Kecil Tentang HMI
sekitar 1966. Kemudian kembali dibukukan oleh Agussalim Sitompul dalam buku
yang berjudul HMI Mengayuh di Antara Cita
dan Kritik, halaman: 33-34.
No comments:
Post a Comment