Agar HMI Tidak Redup - Yakusa Blog

Yakusa Blog

Mewujudkan Komunitas Intelektual Muslim

Tuesday 10 September 2019

Agar HMI Tidak Redup


YakusaBlog- Saya sangat sedih dan prihatin dengan perkembangan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) belakangan ini. mereka sudah kehilangan pamor di kalangan kampus umum. Sebab, organisasi ini selain kehilangan kemandiriannya, juga telah kehilangan identitasnya sebagai organisasi mahasiswa. Misalnya, HMI telah terjebak dalam suatu ketergantungan dan sudah terpengaruh oleh suatu slogan yang sebenarnya tidak jelas ujung pangkalnya. Ketergantungan HMI yang saya maksudkan adalah hilangnya kemandirian HMI sebagai lembaga kemahasiswaan. Padahal, HMI sebagai ormas kemahasiswaan, sejak didirkan pada 1947 merupakan lembaga yang independen. Hilangnya kemandirian itu bermula ketika para alumni HMI membentuk ormas yang disebut KAHMI (Keluarga Alumni HMI)–mungkin maksudnya Korp Alumni HMI-Red. Sejak saat itu, HMI menjadi ormas yang bergantung, yang lazimnya disebut sebagai onderbouw. Yakni onderbouw dari KAHMI.
Ini merupakan suatu keanehan baru bagi saya. KAHMI pada dasarnya di lahirkan oleh HMI. Sebab eksistensi KAHMI hanya bisa terwujud bilamana menggunakan nama HMI. Demikian juga KAHMI menjadi berbobot bila ada nama HMI di dalam namanya. Maka, sungguh aneh bila HMI sebagai induk yang melahirkan KAHMI, setelah melalui proses keormasan malah menjadi anak dari yang bergantungan pada KAHMI. Bila hal ini dibiarkan berkembang, saya khawatir, pada tahun-tahun selanjutnya HMI benar-benar kehilangan pamor sama sekali dari kalangan kampus umum. HMI lantas hanya punya pamor di kalangan IAIN (kampus-kampus Isalam-Red), yang sebetulnya tidak lagi membutuhkan HMI.[1]
Faktor lain yang mengucilkan pamor HMI adalah karena HMI telah mengubah citranya dari wadah kemahasiswaan. Sebaliknya HMI malah menampakkan dirinya sebagai wadah keagamaan, yang berorientasi pada modernisasi Islam. Saya melihat, hal ini karena HMI begitu terpengaruh oleh slogan modernisasi yang dilontarkan Nurcholish Madjid. Sungguh menyedihkan jika HMI semakin terjerat oleh slogan yang tidak jelas itu. Sekaranga, slogan modernisasi Islam itu sendiri semakin memudar. Dengan sendirinya HMI, sebagai bagian dari pembawa slogan itu akan turut memudar.
Memang apa yang disebut Nurcholish tentang modernisasi Islam itu bukanlah suatu konsep, karena saya tidak mendapatkan gambaran yang jelas ujung pangkalnya. Bila hal itu dikatakan sebagai konsep, seharusnya memiliki kejelasan baik dari struktur maupun sistematikanya. Atas dasar itu, saya mengatakan bahwa modernisasi Islam yang dilontarkan Nurcholish, yang kemudian dipanuti oleh HMI merupakan suatu slogan, dan bukan sebagai konsep. Dengan demikian, HMI terjebak kepada slogan keagamaan, sehingga tidak menekankan pada segi kemahasiswaan lagi. Itulah sebabnya, HMI mulai ditinggalkan di kampus-kampus umum.
Sebenarnya alasan tidak dibenarkannya organisasi ekstern berada di kampus bukan penyebab menurunnya pamor HMI di kampus umum. Pamor itu akan tetap ada asalkan HMI tetap menunjukkan citranya sebagai lembaga kemahasiswaan serta sebagai kelompok intelektual muda. Melihat beberapa titik kelemahan itu maka HMI tidak perlu melahirkan slogan-slogan baru yang bertujuan membela diri.
Sebaliknyanya, HMI harus menyiapkan diri untuk melakukan evaluasi serta memperbaiki posisinya dalam Kongres ke-18 yang dimulai hari ini. saya mempunyai beberapa pandangan, yang saya anggap dapat mengatasi kemerosotan pamor HMI saat ini. Pertama, KAHMI harus dihapuskan dari Konstitusi HMI, agar HMI kembali menjadi independen. Dengan demikian, HMI tidak mempunyai keterkaitan dengan ormas KAHMI.
Kedua, HMI harus kembali mempertegas status kemahasiswaannya, sehingga dapat menarik kembali kalangan kampus umum. Ketiga, program-program HMI harus berorientasi kepada kemahasiswaan karena HMI bukan organisasi keagamaan. Keempat, HMI memilih pengurusnya yang sudah berdomisili di Jakarta. Dengan demikian, para pengurus tidak lagi mempersoalkan masalah pemukiman. Bila mahasiswa yang terpilih dari mahasiswa dari luar Jakarta, harus dilakukan penyesuaian diri dengan ibukota, sehingga akan membuang waktu. Padahal, satu periode kepengurusan hanya selama dua tahun. Kelima, HMI harus mampu memilih pengurusnya dari mahasiswa yang murni, bukan mereka yang sudah bekerja atau mereka yang sudah tidak jelas statusnya.
Bilamana kelima hal ini tidak dapat diselesaikan HMI dalam kongresnya kali ini, saya khawatir HMI pada tahun-tahun mendatang akan semakin payah. Sebaliknya, bila lima hal ini dijalankan, insya Allah, HMI bisa bersinar lagi.[]

Penulis: Ridwan Saidi (Ketua Umum PB HMI Periode 1974-1976).
Catatan: Tulisan Ridwan Saidi di atas adalah tulisan dalam rangka menyambut Kongres HMI ke-18, kemudian pertama kali diterbitkan oleh Harian Jawa Pos, Surabaya, tanggal 17 September 1990, dengan judul Agar HMI Tidak Redup. Kemudian kembali dibukukan oleh Agussalim Sitompul dalam buku yang berjudul HMI Mengayuh di Antara Cita dan Kritik, halaman: 492-493.




[1] Apa alasan bahwa di kalangan IAIN tidak lagi membutuhkan HMI. Justru dari IAIN banyak muncul kader-kader HMI. Maka pendapat ini memerlukan penjelasan. (Ed)

No comments:

Post a Comment