YakusaBlog- Saya
sangat sedih dan prihatin dengan perkembangan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)
belakangan ini. mereka sudah kehilangan pamor di kalangan kampus umum. Sebab,
organisasi ini selain kehilangan kemandiriannya, juga telah kehilangan
identitasnya sebagai organisasi mahasiswa. Misalnya, HMI telah terjebak dalam
suatu ketergantungan dan sudah terpengaruh oleh suatu slogan yang sebenarnya
tidak jelas ujung pangkalnya. Ketergantungan HMI yang saya maksudkan adalah
hilangnya kemandirian HMI sebagai lembaga kemahasiswaan. Padahal, HMI sebagai
ormas kemahasiswaan, sejak didirkan pada 1947 merupakan lembaga yang
independen. Hilangnya kemandirian itu bermula ketika para alumni HMI membentuk
ormas yang disebut KAHMI (Keluarga Alumni HMI)–mungkin maksudnya Korp Alumni HMI-Red. Sejak saat itu, HMI menjadi ormas yang bergantung, yang
lazimnya disebut sebagai onderbouw.
Yakni onderbouw dari KAHMI.
Ini
merupakan suatu keanehan baru bagi saya. KAHMI pada dasarnya di lahirkan oleh
HMI. Sebab eksistensi KAHMI hanya bisa terwujud bilamana menggunakan nama HMI.
Demikian juga KAHMI menjadi berbobot bila ada nama HMI di dalam namanya. Maka,
sungguh aneh bila HMI sebagai induk yang melahirkan KAHMI, setelah melalui
proses keormasan malah menjadi anak dari yang bergantungan pada KAHMI. Bila hal
ini dibiarkan berkembang, saya khawatir, pada tahun-tahun selanjutnya HMI
benar-benar kehilangan pamor sama sekali dari kalangan kampus umum. HMI lantas
hanya punya pamor di kalangan IAIN (kampus-kampus Isalam-Red), yang sebetulnya tidak lagi membutuhkan HMI.[1]
Faktor
lain yang mengucilkan pamor HMI adalah karena HMI telah mengubah citranya dari
wadah kemahasiswaan. Sebaliknya HMI malah menampakkan dirinya sebagai wadah
keagamaan, yang berorientasi pada modernisasi Islam. Saya melihat, hal ini
karena HMI begitu terpengaruh oleh slogan modernisasi yang dilontarkan
Nurcholish Madjid. Sungguh menyedihkan jika HMI semakin terjerat oleh slogan
yang tidak jelas itu. Sekaranga, slogan modernisasi Islam itu sendiri semakin
memudar. Dengan sendirinya HMI, sebagai bagian dari pembawa slogan itu akan
turut memudar.
Memang
apa yang disebut Nurcholish tentang modernisasi Islam itu bukanlah suatu
konsep, karena saya tidak mendapatkan gambaran yang jelas ujung pangkalnya.
Bila hal itu dikatakan sebagai konsep, seharusnya memiliki kejelasan baik dari
struktur maupun sistematikanya. Atas dasar itu, saya mengatakan bahwa
modernisasi Islam yang dilontarkan Nurcholish, yang kemudian dipanuti oleh HMI
merupakan suatu slogan, dan bukan sebagai konsep. Dengan demikian, HMI terjebak
kepada slogan keagamaan, sehingga tidak menekankan pada segi kemahasiswaan
lagi. Itulah sebabnya, HMI mulai ditinggalkan di kampus-kampus umum.
Sebenarnya
alasan tidak dibenarkannya organisasi ekstern berada di kampus bukan penyebab
menurunnya pamor HMI di kampus umum. Pamor itu akan tetap ada asalkan HMI tetap
menunjukkan citranya sebagai lembaga kemahasiswaan serta sebagai kelompok
intelektual muda. Melihat beberapa titik kelemahan itu maka HMI tidak perlu
melahirkan slogan-slogan baru yang bertujuan membela diri.
Sebaliknyanya,
HMI harus menyiapkan diri untuk melakukan evaluasi serta memperbaiki posisinya
dalam Kongres ke-18 yang dimulai hari ini. saya mempunyai beberapa pandangan,
yang saya anggap dapat mengatasi kemerosotan pamor HMI saat ini. Pertama, KAHMI harus dihapuskan dari
Konstitusi HMI, agar HMI kembali menjadi independen. Dengan demikian, HMI tidak
mempunyai keterkaitan dengan ormas KAHMI.
Kedua,
HMI harus kembali mempertegas status kemahasiswaannya, sehingga dapat menarik
kembali kalangan kampus umum. Ketiga,
program-program HMI harus berorientasi kepada kemahasiswaan karena HMI bukan
organisasi keagamaan. Keempat, HMI
memilih pengurusnya yang sudah berdomisili di Jakarta. Dengan demikian, para
pengurus tidak lagi mempersoalkan masalah pemukiman. Bila mahasiswa yang
terpilih dari mahasiswa dari luar Jakarta, harus dilakukan penyesuaian diri
dengan ibukota, sehingga akan membuang waktu. Padahal, satu periode
kepengurusan hanya selama dua tahun. Kelima,
HMI harus mampu memilih pengurusnya dari mahasiswa yang murni, bukan mereka
yang sudah bekerja atau mereka yang sudah tidak jelas statusnya.
Bilamana
kelima hal ini tidak dapat diselesaikan HMI dalam kongresnya kali ini, saya
khawatir HMI pada tahun-tahun mendatang akan semakin payah. Sebaliknya, bila
lima hal ini dijalankan, insya Allah, HMI bisa bersinar lagi.[]
Penulis:
Ridwan Saidi (Ketua Umum PB HMI Periode 1974-1976).
Catatan:
Tulisan Ridwan Saidi di atas adalah tulisan dalam rangka menyambut Kongres HMI
ke-18, kemudian pertama kali diterbitkan oleh Harian Jawa Pos, Surabaya, tanggal 17 September 1990, dengan judul Agar HMI Tidak Redup. Kemudian kembali
dibukukan oleh Agussalim Sitompul dalam buku yang berjudul HMI Mengayuh di Antara Cita dan Kritik, halaman: 492-493.
[1]
Apa alasan bahwa di kalangan IAIN tidak lagi membutuhkan HMI. Justru dari IAIN
banyak muncul kader-kader HMI. Maka pendapat ini memerlukan penjelasan. (Ed)
No comments:
Post a Comment