YakusaBlog- Haji Abdulhalim
dilahirkan pada tahun 1887 M (1303 H) di Cibolerang, Majalengka, Jawa Barat. Ayahnya
seorang penghulu di Jariwangi, Kuningan. Kecuali kedua orangtuanya yang berasal
dari keluarga yang taat beragama, sesungguhnya, kaum kerabatnya mempunyai
pertalian kekeluargaan dengan kaum priayi. Pada tahun 1897, ketika berusia 10
tahun, Abdulhalim belajar di Pesantren kiai Abdullah di desa Lontangjaya. Kemudian
ia pindah ke Pesantren Bobos, Cirebon, di bawah asuhan K.H. Sudjak. Kepada K.H.
Ahmad Saubari di Pesantren Ciwedus, Kuningan, ia melanjutnya penyatriannya. Ia pun
nyantri kepada K.H. Agus di Kenayangan, Pekalongan, untuk kemudian kembali ke
Pesantren Ciwedus. Di setiap Pesantren ia belajar antara satu sampai tiga
tahun. Tidak kurang dari 12 tahun ia berpindah belajar dari satu Pesantren ke
Pesantren lain.
Pada 1907,
ketika berusia 22 tahun, ia pergi ke Mekah untuk menunaikan haji dan
melanjutkan studinya. Selama tiga tahun belajar di Mekah, ia sempat mengenal
pemikiran-pemikiran Muhammad Abduh dan Jamaluddin al-Afgani. Di Mekah ia
belajar, di antaranya, kepada Syekh Ahmad Khatib Minangkabau dan Syekh Ahmad
Khayyat. Selama berada di sana, ia berkenalan dengan K.H. Mas Mansur yang
kemudian menjadi Ketua Umum Muhammadiyah dan K.H. Abdul Wahabb pendiri Nahdlatul Ulama (NU).
Ketika berusia
sekitar 25 tahun, pada tahun 1911, ia kembali ke kampong halamannya,
Majalengka. Enam bulan kemudian, ia mendirikan organisasi sosial keagamaan, Hayat al-Qulub. Organisasi ini bukan
saja bergerak di bidang pendidikan, tetapi juga dalam bidang sosial ekonomi. Khusus
dalam bidang yang disebut belakangan, organisasi ini mempunyai orientasi yang
sama dengan Sarikat Dagang Islam (SDI), menentang dominasi ekonomi
(pedagang-pedagang) Cina. Sedangkan, mekanisme operasional bidang sosial
ekonominya ini mirip dengan koperasi simpan-pinjam, yang sebagian besar
anggotanya terdiri dari pedagang dan petani.
Adapun dalam
pendidikan, mulanya Abdulhalim menyelenggarakan pelajaran agama sekali
seminggu, khusus untuk kalangan orang dewasa. Pelajaran yang diberikan,
sebagaimana layaknya pengetahuan tradisional, pada umumnya berkisar dalam
persoalan fikih. Namun sayangnya, beberapa tahun kemudian, organisasi ini
dicurigai pemerintah sebagai penyebab kerusuhan. Rupanya, dalam batas tertentu,
persaingan dagang antara kelompok organisasi ini dengan para pedagang Cina
telah menimbulkan perkelahian. Gejala ini dijadikan alasan oleh pemerintah
untuk menutup organisasu Hayat al-Qulub.
Sungguhpun demikian, kegiatan-kegiatan organisasi ini, tanpa nama resmi, terus
berlanjut. Kecuali itu, khusus dalam bidang pendidikan, untuk mengelola
aktivitasnya didirikanlah organisasi baru, Majlis
al-‘ilm (Majlisul Ilmi).
Untuk mewujudkan
mekanisme pendidikan yang lebih sistematik, pada 1916, Abdulhalim mendirikan
sekolah Jam’iyat I’anat al-Mu’allimin.
Dalam upaya memperbaiki kualitas sekolah tersebut, Abdulhalim berhubungan
dengan sekolah Jamiat Khair dan al-Irsyad di Jakarta. Pada kelas-kelas
lanjutan, sekolah ini menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar. Sebagaimana
bahasa pengantarnya, sudah barang tentu, kurikulumnya pun lebih disesuaikan
dengan kedua sekolah tersebut.
Karena barbagai
alasan, kemudian organisasi tersebut diganti menjadi Persyarikatan Ulama. Dengan
bantuan H.O.S. Tjokraminoto, pada tahun 1917, Persyarikatan Ulama diakui sah
secara hukum oleh pemerintah. Tujuh tahun kemudian, organisasi ini telah
berhasil meluaskan wilayah operasionalnya ke seluruh Jawa dan Madura, bahkan,
13 tahun setelah itu, ke seluruh Indonesia. Sungguhpun demikian, sesungguhnya
organisasi ini tidak bertaraf nasional.
Dalam kongres
Persyarikatan Ulama di Majalengka 1932, Abdulhalim mengusulkan untuk mendirikan
lembaga yang mampu memberikan kemampuan ekstra bagi para anak-didiknya,
keterampilan ataupun keahlian. Usul Abdulhalim didasarkan pada pertimbangan
bahwa para lulusan sekolahnya tidak harus tergantung kepada lapangan kerja yang
disediakan pemerintah, tetapi lebih diorientasikan kepada sector-sektor swasta
ataupun wirausaha lainnya. Dengan demikian para anak-didiknya akan lebih
bersifat mandiri.
Dasar pemikiran
Abdulhalim ini dilatarbelakangi oleh pengamatannya tentang ketergantungan
sekolah-sekolah pemerintah terhadap sektor-sektor kerja kepemerintahan. Begitupun
kelulusan para lulusan madrasah yang cenderung hanya menjadi guru agama ataupun
kembali ke pekerjaan sebagaimana yang dilakukan orangtuanya, bertani dan
berdagang. Usul Abdulhalim ini, kemudian dapat diterima kongres. Akhirnya, didirikanlah
lembaga Santi Asrama.
Berbeda dari
tokoh pembaharu pada umumnya, Abdulhalim lebih menunjukkan paranan penengahnya
di antara dua ekstrim pemahaman keagamaan, kalangan tradisional dan modernis. Ia
tidak mengecam kalangan tradisional, ataupun kalangan mana saja yang tidak
sepaham dengannya. Begitupun, ia tidak menonjolkan sikap modernisnya. Dalam ceramah-ceramahnya,
ia lebih banyak menekankan aspek etika dalam mengupayakan perbaikan masyarakat
ketimbang kritik-kritik pemikiran. Atas dasar ini, dalam mengembangkan ajaran
agama, Abdulhalim sangat toleran, begitupun ia sangat moderat dalam
mengemukakan ide-idenya. Selain toleran dan moderat, dalam sikap
keberagamaannya, Abdulhalim terkenal sangat menjunjung tinggi perdamaian. Ia selalu
menghindari segala pertikaian, apapun bentuknya. Karena menurutnya, pertikaian
akan menimbulkan perpecahan di kalangan umat.
Setelah berjuang
mengembangkan pembaharuan di masyarakat Majalengka sejak 1911, Abdulhalim wafat
pada tahun 1962 M atau 1382 H.[]
Sumber: Prof.
DR. H. Harun Nasution. Ensiklopedi Islam Indonesia, Penerbit Djambatan,
Jakarta, 1992, hal: 8-10.
No comments:
Post a Comment