H. Abdulhalim Majalengka; Tokoh Pembaharu Islam Indonesia yang Toleran dan Moderat - Yakusa Blog

Yakusa Blog

Mewujudkan Komunitas Intelektual Muslim

Sunday, 4 March 2018

H. Abdulhalim Majalengka; Tokoh Pembaharu Islam Indonesia yang Toleran dan Moderat


YakusaBlog- Haji Abdulhalim dilahirkan pada tahun 1887 M (1303 H) di Cibolerang, Majalengka, Jawa Barat. Ayahnya seorang penghulu di Jariwangi, Kuningan. Kecuali kedua orangtuanya yang berasal dari keluarga yang taat beragama, sesungguhnya, kaum kerabatnya mempunyai pertalian kekeluargaan dengan kaum priayi. Pada tahun 1897, ketika berusia 10 tahun, Abdulhalim belajar di Pesantren kiai Abdullah di desa Lontangjaya. Kemudian ia pindah ke Pesantren Bobos, Cirebon, di bawah asuhan K.H. Sudjak. Kepada K.H. Ahmad Saubari di Pesantren Ciwedus, Kuningan, ia melanjutnya penyatriannya. Ia pun nyantri kepada K.H. Agus di Kenayangan, Pekalongan, untuk kemudian kembali ke Pesantren Ciwedus. Di setiap Pesantren ia belajar antara satu sampai tiga tahun. Tidak kurang dari 12 tahun ia berpindah belajar dari satu Pesantren ke Pesantren lain.
Pada 1907, ketika berusia 22 tahun, ia pergi ke Mekah untuk menunaikan haji dan melanjutkan studinya. Selama tiga tahun belajar di Mekah, ia sempat mengenal pemikiran-pemikiran Muhammad Abduh dan Jamaluddin al-Afgani. Di Mekah ia belajar, di antaranya, kepada Syekh Ahmad Khatib Minangkabau dan Syekh Ahmad Khayyat. Selama berada di sana, ia berkenalan dengan K.H. Mas Mansur yang kemudian menjadi Ketua Umum Muhammadiyah dan K.H. Abdul Wahabb pendiri Nahdlatul Ulama (NU).
Ketika berusia sekitar 25 tahun, pada tahun 1911, ia kembali ke kampong halamannya, Majalengka. Enam bulan kemudian, ia mendirikan organisasi sosial keagamaan, Hayat al-Qulub. Organisasi ini bukan saja bergerak di bidang pendidikan, tetapi juga dalam bidang sosial ekonomi. Khusus dalam bidang yang disebut belakangan, organisasi ini mempunyai orientasi yang sama dengan Sarikat Dagang Islam (SDI), menentang dominasi ekonomi (pedagang-pedagang) Cina. Sedangkan, mekanisme operasional bidang sosial ekonominya ini mirip dengan koperasi simpan-pinjam, yang sebagian besar anggotanya terdiri dari pedagang dan petani.
Adapun dalam pendidikan, mulanya Abdulhalim menyelenggarakan pelajaran agama sekali seminggu, khusus untuk kalangan orang dewasa. Pelajaran yang diberikan, sebagaimana layaknya pengetahuan tradisional, pada umumnya berkisar dalam persoalan fikih. Namun sayangnya, beberapa tahun kemudian, organisasi ini dicurigai pemerintah sebagai penyebab kerusuhan. Rupanya, dalam batas tertentu, persaingan dagang antara kelompok organisasi ini dengan para pedagang Cina telah menimbulkan perkelahian. Gejala ini dijadikan alasan oleh pemerintah untuk menutup organisasu Hayat al-Qulub. Sungguhpun demikian, kegiatan-kegiatan organisasi ini, tanpa nama resmi, terus berlanjut. Kecuali itu, khusus dalam bidang pendidikan, untuk mengelola aktivitasnya didirikanlah organisasi baru, Majlis al-‘ilm (Majlisul Ilmi).
Untuk mewujudkan mekanisme pendidikan yang lebih sistematik, pada 1916, Abdulhalim mendirikan sekolah Jam’iyat I’anat al-Mu’allimin. Dalam upaya memperbaiki kualitas sekolah tersebut, Abdulhalim berhubungan dengan sekolah Jamiat Khair dan al-Irsyad di Jakarta. Pada kelas-kelas lanjutan, sekolah ini menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar. Sebagaimana bahasa pengantarnya, sudah barang tentu, kurikulumnya pun lebih disesuaikan dengan kedua sekolah tersebut.
Karena barbagai alasan, kemudian organisasi tersebut diganti menjadi Persyarikatan Ulama. Dengan bantuan H.O.S. Tjokraminoto, pada tahun 1917, Persyarikatan Ulama diakui sah secara hukum oleh pemerintah. Tujuh tahun kemudian, organisasi ini telah berhasil meluaskan wilayah operasionalnya ke seluruh Jawa dan Madura, bahkan, 13 tahun setelah itu, ke seluruh Indonesia. Sungguhpun demikian, sesungguhnya organisasi ini tidak bertaraf nasional.
Dalam kongres Persyarikatan Ulama di Majalengka 1932, Abdulhalim mengusulkan untuk mendirikan lembaga yang mampu memberikan kemampuan ekstra bagi para anak-didiknya, keterampilan ataupun keahlian. Usul Abdulhalim didasarkan pada pertimbangan bahwa para lulusan sekolahnya tidak harus tergantung kepada lapangan kerja yang disediakan pemerintah, tetapi lebih diorientasikan kepada sector-sektor swasta ataupun wirausaha lainnya. Dengan demikian para anak-didiknya akan lebih bersifat mandiri.
Dasar pemikiran Abdulhalim ini dilatarbelakangi oleh pengamatannya tentang ketergantungan sekolah-sekolah pemerintah terhadap sektor-sektor kerja kepemerintahan. Begitupun kelulusan para lulusan madrasah yang cenderung hanya menjadi guru agama ataupun kembali ke pekerjaan sebagaimana yang dilakukan orangtuanya, bertani dan berdagang. Usul Abdulhalim ini, kemudian dapat diterima kongres. Akhirnya, didirikanlah lembaga Santi Asrama.
Berbeda dari tokoh pembaharu pada umumnya, Abdulhalim lebih menunjukkan paranan penengahnya di antara dua ekstrim pemahaman keagamaan, kalangan tradisional dan modernis. Ia tidak mengecam kalangan tradisional, ataupun kalangan mana saja yang tidak sepaham dengannya. Begitupun, ia tidak menonjolkan sikap modernisnya. Dalam ceramah-ceramahnya, ia lebih banyak menekankan aspek etika dalam mengupayakan perbaikan masyarakat ketimbang kritik-kritik pemikiran. Atas dasar ini, dalam mengembangkan ajaran agama, Abdulhalim sangat toleran, begitupun ia sangat moderat dalam mengemukakan ide-idenya. Selain toleran dan moderat, dalam sikap keberagamaannya, Abdulhalim terkenal sangat menjunjung tinggi perdamaian. Ia selalu menghindari segala pertikaian, apapun bentuknya. Karena menurutnya, pertikaian akan menimbulkan perpecahan di kalangan umat.
Setelah berjuang mengembangkan pembaharuan di masyarakat Majalengka sejak 1911, Abdulhalim wafat pada tahun 1962 M atau 1382 H.[]

Sumber: Prof. DR. H. Harun Nasution. Ensiklopedi Islam Indonesia, Penerbit Djambatan, Jakarta, 1992, hal: 8-10.

No comments:

Post a Comment