Internalisasi Nilai-Nilai Perkaderan HMI Di Era Milineal - Yakusa Blog

Yakusa Blog

Mewujudkan Komunitas Intelektual Muslim

Thursday, 14 December 2017

Internalisasi Nilai-Nilai Perkaderan HMI Di Era Milineal


YakusaBlog- Pernahkah terbayang di benak kita, saat anak-cucu kita bermain dengan teman sebayanya sembari mereka bermain dengan penuh keceriaan, rasa gembira, menangis dan tertawa. Saat matahari sudah mau tenggelam hari pun mulai larut malam. Ketika anak-cucu kita tertidur pulas di atas kasur yang empuk sedangkan temanya bergelantungan di sebelahnya dengan kabel untuk mengisi daya. Maka hanya satu pertanyaan yang ingin di lontarkan oleh penulis “itukah masa depan?”. Ini bukan lagi suatu yang khayal melainkan sesuatu yang nyata. Di era milenial seperti ini sesuatu yang hanya ilusi;sains-fiksi bisa menjadi real;nyata dengan menggunakan satu kata “teknologi”
Makin pesatnya perkembangan arus zaman menuntut setiap individu untuk bersikap kritis agar selalu berinovasi. Maraknya pusat industri yang di isi oleh teknologi super canggih membuat segalanya menjadi praktis. Dunia seakan memasuki era baru, dunia yang penuh dengan multi-perspektif di dukung oleh teknologi memudahkan manusia melihat dunia hanya dari genggaman tangan saja. Teknologi sangatlah berarti dalam perkembangan peradaban manusia. Jikalau dulunya peralihan paradigma dari Kosmosentris-Teosentris-Antroposentris yang selalu menjadi pergolakkan pemikiran di akhir era reformasi eropa. Namun saat ini di awal abad ke-21munculah sebuah paradigma baru yaitu Technosentris (Teknologi) yang akan menggantikan posisi Antroposentris (manusia) sebagai pusat dari peradaban.
Dalam faktor produksi, tenaga kerja sangatlah penting dalam menghasilkan sebuah produk barang atau jasa. Namun, dalam sisi lain tenaga kerja bisa saja di isi oleh mesin ketimbang manusia dikarenakan perihal efisiensi. Perkembangan teknologi memang secara nyata mempengaruhi realitas sosial, ruang publik yang tereduksi dan hilangnya ruang privat tak terlepas dari lahirnya media sosial. Facebook, whats app, twitter, line, dsb. Merupakan realitas digital yang mengsimulasikan kenyataan. Dalam bidang seni, penggunaan aplikasi-aplikasi seperti Adobe Photoshop, Picasa, paint, dsb. Hadirnya aplikasi tersebut tanpa disadari menggeser pengertian awal “kreativitas”. Kreativitas, yang mulanya berasal dari kreasi langsung manusia “tangan manusia” ihwal tak langsung dan penuh dengan simulasi (rekayasa) nonmanusia. (Baudrillard, 1983:76)
Inilah era yang tengah kita hadapi bersama, kini teknologi tak lagi dibawah manusia melainkan sudah sejajar dengan manusia bahkan bisa melampaui atau disebut“Posthuman”. Sebagaimana yang dikatakan Jacsques Ellul (1964) dalam bukunya The Technological Society, jika dulunya manusia menggunakan teknologi hanya sebatas Sub-organisme. seperti manusia mendapatkan kesulitan saat mengupas buah apel, manusia kemudian membuat pisau dari tanduk rusa. Saat itu teknologi masih membutuhkan campur tangan manusia. Tapi saat ini, lambat-laun prediksi yang dikatakan oleh Ellul tentang Mega-organisme seakan menjadi kenyataan. Mega-organisme adalah teknologi yang sudah tidak lagi membutuhkan campur tangan manusia untuk menjalankanya. Teknologi ini dikatakan Ellul sudah melampaui Organisme (manusia) yaitu Mega-organisme (teknologi). Hal ini tentu saja seakan mengikis peran manusia. Jikalau fitrah manusia sebagai khalifah fil ardh atau wakil tuhan di muka bumi, akankah peran ini digantikan oleh teknologi ?
Kemunculan kecerdasan buatan “Aritificial Intelligence” atau disingkat AI seakan menambah fenomena baru terkait dengan manusia vs teknologi “Human vs Posthuman”. AI di definisiskan sebagai kecerdasan entitas ilmiah. Kecerdasan diciptakan dan simasukkan ke dalam suatu mesin agar dapat melakukan pekerjaan khalayak manusia. AI difungsikan untuk mengotomatisasikan tugas-tugas yang membutuhkan kecerdasan buatan seperti halnya pengendalian, pengenalan, perencanaan, dan penjadwalan. Kecerdasan buatan mungkin saja bisa menggantikan otoritas manusia seperti halnya dalam film fiksi-sains The Matrix, Transcendence, Eagle Eye, dan The Terminator. Elon musk seorang pakar teknologi yang juga CEO SpaceX  turut angkat bicara tentang kecerdasan buatan “kecerdasan buatan akan menjadi ancaman baru bagi peradaban manusia”(2014).
Kecerdasan mesin tentu saja berbeda dengan kecerdasan manusia. Seiring perkembangan usiasaat sel atau saraf otak manusia mati dia tak bisa berfungsi lagi. Berbeda dengan kecerdasan mesin yang selalu diperbarui seiring perkembangan zaman (dr. Taufiq Pasiak:1995).Secara ekonomi, problematika ini akan menjadi suatu fokus kajian baru karena perihal manusia sebagai aktor ekonomi. Dalam hubungan transaksi antara produsen-konsumen akankah hal ini memungkinkan digeser oleh mesin seperti halnya SOPHIA robot yang sudah mendapatkan identitas kewarganegaraan seperti layaknya manusia pada umumnya. Di sisi sosial nampak jauh berbeda, manusia sebagai mahluk sosial mengisyaratkan manusia untuk selalu berkumpul, menjalin ikatan emosional, dan mempertegas identitas demi membangun sebuah peradaban. Namun, hal ini tentu saja sudah sangat jarang terjadi. Jepang misalnya yang mengalami kekurangan populasi secara drastis diakibatkan para pria di Jepang lebih memilih robot sex untuk memuaskan nafsunya ketimbang seorang perempuan.
Peran manusia sebagai pusat peradaban kini harus bergelut dengan problematika zaman. Terkhususnya dikalangan Himpunan Mahasiswa Islam, HMI yang dicitrakan sebagai organisasi yang selalu menjawab tantangan zaman.Menuntut seluruh kader HMI untuk menciptakan hal baru demi keberlangsungan keummatan. Dalam lintas sejarah bangsa Indonesia, HMI begitu berperan penting. Sebuah catatan sejarah telah mengukir peran HMI dari mengusir para penjajah hingga membubarkan PKI. Hal ini tentu merupakan sebuah catatan yang gemilang. Bukan hanya sampai disitu saja, hingga saat ini para alumni-alumni HMI masih tetap berperan aktif dan berkontribusi dalam kemajuan bangsa ini.
Sosok HMI yang sedemikian disebabkan oleh para kader-kadernya yang selalu bersikap responsif dalam menjawab tantangan zaman. Tumbuhnya kesadaran serta respon yang sifatnya konstruktif tak terlepas dari sistem pengkaderan yang ada dalam tubuh HMI. Sebagaimana yang tertuang dalam bab IV pasal 8 Anggaran Dasar HMI bahwa “HMI berfungsi sebagai organisasi kader”. Pengkaderan merupakan nafas bagi setiap organisasi, dengan adanya pengkaderan sebuah organisasi dapat menjaga keberlangsungan tongkat estafet kepemimpinan. Di HMI pengkaderan merupakan budaya untuk menjaga nilai dan eksistensi organisasi. HMI dan pengkaderanya bagaikan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan untuk membentuk kader yang mengemban tanggung jawab keislaman dan keindonesiaan.
Meskipun pengkaderan ditubuh HMI sudah menjadi tradisi, bukan berarti tidak ada tantangan yang mempengaruhi sistem pengkaderan, pengaruh ini bisadatang dari dalam maupun dari luar yang akan menjadi “penghambat” dan “pembangun” bagi keberlangsungan organisasi. Untuk itu, seluruh kader HMI agar senantiasa selalu waspada. Pengkaderan dalam hal ini jangan dipersempit hanya dalam wilayah training saja, karena pengkaderan diawali dari pra anggota hingga pasca anggota, secara formal maupun informal. Penegasan ini dilakukan agar lebih muda menganalisa pengaruh secara komprehensif yang senantiasa mempengaruhi sistem pengkaderan. Pengaruh yang secara nyata dalam proses kaderisasi ialah kemajuan zaman. Penguasaan teknologi, Bahasa, serta memiliki daya saing yang tinggi haruslah menjadi pegangan bagi setiap kader HMI. Artinya adalah, sistempengkaderan harus senantiasa berkembang sesuai dengan konteks kekinian demi menciptakan kader-kader berkualitas.
Sebuah tawaran baru terhadap problem yang hari ini terjadi. penyatuan nilai-nilai organisasi dengan metode Internalisasi untuk membentuk kader yang sadar akan tanggung jawab atas kemaslahatan ummat. Berbicara mengenai nilai-nilai yang ada pada sistem pengkaderan HMI tidak bisa dilepaskan dari perjalanan sejarah HMI, konstitusi, dan pedoman-pedoman dasar organisasi. Selain itu juga perlu dipertimbangkan tentang posisi HMI yang berkedudukan di Indonesia. Nilai-nilai dalam hal ini akan menjadi asupan utama bagi sistem pengkaderan sehingga mampu mengintervensi konteks ­sosial masyarakat sebagai output daripengkaderan.
Secara umum internalisasi nilai-nilai diawali oleh simpati; pada posisi ini antara nilai dengan objek masih ada jarak tetapi sudah ada ketertarikan yang positif sehingga nilai tersebut hadir secara ontologis di diri objek. Hadirnya nilai pada objek ini penting untuk “membongkar” nilai lama yang dianggap tidak signifikan terhadap keinginan sistem pengkaderan. Upaya untuk menghadirkan nilai pada objek pengkaderan tidak bisa dilakukan dengan “sekali pukul” tapi dilakukan secara bertahap. Dengan di dukung perlengkapan teknis untuk mengvirtualisasikan realitas diharapkan objek mampu membuka kesadaran terhadap fakta-fakta yang terjadi.
Langkah internalisasi berikutnya adalah empati; pada posisi ini nilai dan objek telah berada pada irisan yang sama. Ini terjadi akibat dari langkah efektif dari proses simpati. Nilai-nilai lama telah tergerus dan digantikan dengan nilai baru sesuai dengan keinginan sistem pengkaderan. Pada posisi ini objek baru berada pada tahap merasakan “romantisme” nilai. Nilai baginya dianggap telah mampu menyelesaikan persoalan hidupnya. Hal ini wajar terjadi karena nilai baru tersebut diawali oleh proses simpati bukannya doktrinisasi. Pada tahap empati ini objek sangat membutuhkan pendampingan karena kalau dibiarkan secara “alami” maka dapat mengarahkan dirinya pada pemahaman nilai doktrin.
Selanjutnya adalah asimilasi; pada posisi ini sosok objek pengkaderan diharuskan berinteraksi dengan sosok obyek pengkaderan lainnya. Ini dimaksudkan untuk menyesuaikan romantisme nilai yang terjadi pada tahap empati. Sang objek mulai me-rasa-kan bahwa ada romantisme lain yang ternyata berbeda dengan dirinya bahkan bertolak belakang, diharapkan proses ini akan memunculkan perasaan nilai kolektif. Pada posisi ini pendampingan perlu semakin intensif dilakukan karena dapat mengarah ke romantisme-emotif yang dapat saja mengarah pada hal yang destruktif.
Berikutnya adalah “pembauran sempurna”; suatu tahap yang mendudukkan objek pengkaderan pada realitas persoalan sehingga nilai akan berinteraksi dengan realitas. Di sini objek yang telah merasakan nilai akan secara perlahan menemukan kedewasaannya; bahwanilai ketika bertemu dengan realitas di luar nilai dapat ‘berjabatan tangan” dengan damai. Konsekuensi logis dari pembauran sempurna ini adalah akan terjadi split personality apabila tidak dibekali dengan kemampuan membaca realitas dan hal-hal teknis yang signifikan.

Untuk kesempurnaan internalisasi nilai-nilai maka langkah berikutnya adalah “aplikasi trial-error”; pada tahap ini obyek pengkaderan diberi kesempatan untuk mengaplikasikan nilai yang telah terinternalisasi dan dibekali oleh kemampuan membaca realitas sebagai peluang dan hal-hal teknis dengan harapan bahwa ada keberhasilan dan kegagalan. Keberhasilan dan kegagalan ini penting untuk proses internalisasi karena dengan ini ada proses pematangan mental-spiritual. Sehingga, apabila hal ini dilakukan berulang-kali, akan semakin memperkuat mental-spiritualnya. Kekuatan mental-spiritual ini akan menjadi bekal penting bagi kader dalam berkehidupan. Apalagi ditengah kencangnya arus perubahan yang seringkali tidak linear. Zaman yang begitu berkembang pesat kekuatan mental­-spritual yang akan membentuk nalar kreatif dan daya kritis untuk terus selalu berkembang seiring perkembangan zaman.[]


Penulis: Abdullah Fadhil Khaliq Maengkom
Kader HMI Cabang Manado

No comments:

Post a Comment