YakusaBlog- Pernahkah terbayang di benak kita, saat
anak-cucu kita bermain dengan teman sebayanya sembari mereka
bermain dengan penuh keceriaan, rasa gembira, menangis dan tertawa. Saat
matahari sudah mau tenggelam hari pun mulai larut malam. Ketika anak-cucu kita
tertidur pulas di atas kasur yang empuk sedangkan temanya bergelantungan di
sebelahnya dengan kabel untuk mengisi daya. Maka hanya satu pertanyaan yang
ingin di lontarkan oleh penulis “itukah masa depan?”. Ini bukan lagi suatu yang
khayal melainkan sesuatu yang nyata. Di era milenial seperti ini
sesuatu yang hanya ilusi;sains-fiksi bisa menjadi real;nyata dengan menggunakan
satu kata “teknologi”
Makin pesatnya perkembangan arus zaman
menuntut setiap individu untuk bersikap kritis agar selalu berinovasi. Maraknya
pusat industri yang di isi oleh teknologi super canggih membuat segalanya
menjadi praktis. Dunia seakan memasuki era baru, dunia yang penuh dengan
multi-perspektif di dukung oleh teknologi memudahkan manusia melihat dunia hanya
dari genggaman tangan saja. Teknologi sangatlah berarti dalam perkembangan
peradaban manusia. Jikalau dulunya peralihan paradigma dari Kosmosentris-Teosentris-Antroposentris yang
selalu menjadi pergolakkan pemikiran di akhir era reformasi eropa. Namun saat
ini di awal abad ke-21munculah sebuah paradigma baru yaitu Technosentris (Teknologi) yang akan menggantikan posisi Antroposentris (manusia) sebagai pusat
dari peradaban.
Dalam faktor produksi, tenaga kerja
sangatlah penting dalam menghasilkan sebuah produk barang atau jasa. Namun,
dalam sisi lain tenaga kerja bisa saja di isi oleh mesin ketimbang manusia
dikarenakan perihal efisiensi. Perkembangan teknologi memang secara nyata
mempengaruhi realitas sosial, ruang publik yang tereduksi dan hilangnya ruang privat
tak terlepas dari lahirnya media sosial. Facebook,
whats app, twitter, line, dsb. Merupakan realitas digital yang
mengsimulasikan kenyataan. Dalam bidang seni, penggunaan aplikasi-aplikasi
seperti Adobe Photoshop, Picasa, paint, dsb.
Hadirnya aplikasi tersebut tanpa disadari menggeser pengertian awal
“kreativitas”. Kreativitas, yang mulanya berasal dari kreasi langsung manusia
“tangan manusia” ihwal tak langsung dan penuh dengan simulasi (rekayasa)
nonmanusia. (Baudrillard, 1983:76)
Inilah era yang tengah kita hadapi
bersama, kini teknologi tak lagi dibawah manusia melainkan sudah sejajar dengan
manusia bahkan bisa melampaui atau disebut“Posthuman”.
Sebagaimana yang dikatakan Jacsques Ellul (1964) dalam bukunya The Technological Society, jika dulunya
manusia menggunakan teknologi hanya sebatas Sub-organisme.
seperti manusia mendapatkan kesulitan saat mengupas buah apel, manusia kemudian
membuat pisau dari tanduk rusa. Saat itu teknologi masih membutuhkan campur
tangan manusia. Tapi saat ini, lambat-laun prediksi yang dikatakan oleh Ellul
tentang Mega-organisme seakan menjadi
kenyataan. Mega-organisme adalah
teknologi yang sudah tidak lagi membutuhkan campur tangan manusia untuk
menjalankanya. Teknologi ini dikatakan Ellul sudah melampaui Organisme (manusia) yaitu Mega-organisme (teknologi). Hal ini tentu saja seakan mengikis
peran manusia. Jikalau fitrah manusia sebagai khalifah fil ardh atau wakil tuhan di muka bumi, akankah peran ini
digantikan oleh teknologi ?
Kemunculan kecerdasan buatan “Aritificial Intelligence” atau disingkat
AI seakan menambah fenomena baru terkait dengan manusia vs teknologi “Human vs Posthuman”. AI di definisiskan
sebagai kecerdasan entitas ilmiah.
Kecerdasan diciptakan dan simasukkan ke dalam suatu mesin agar dapat melakukan
pekerjaan khalayak manusia. AI difungsikan untuk mengotomatisasikan tugas-tugas
yang membutuhkan kecerdasan buatan seperti halnya pengendalian, pengenalan,
perencanaan, dan penjadwalan. Kecerdasan buatan mungkin saja bisa menggantikan
otoritas manusia seperti halnya dalam film fiksi-sains The Matrix, Transcendence, Eagle Eye, dan The Terminator. Elon musk seorang pakar teknologi yang juga CEO SpaceX
turut angkat bicara tentang kecerdasan buatan “kecerdasan buatan akan
menjadi ancaman baru bagi peradaban manusia”(2014).
Kecerdasan mesin tentu saja berbeda dengan kecerdasan
manusia. Seiring perkembangan usiasaat sel atau saraf otak manusia mati dia tak
bisa berfungsi lagi. Berbeda dengan kecerdasan mesin yang selalu diperbarui
seiring perkembangan zaman (dr. Taufiq Pasiak:1995).Secara ekonomi,
problematika ini akan menjadi suatu fokus kajian baru karena perihal manusia
sebagai aktor ekonomi. Dalam hubungan transaksi antara produsen-konsumen
akankah hal ini memungkinkan digeser oleh mesin seperti halnya SOPHIA robot
yang sudah mendapatkan identitas kewarganegaraan seperti layaknya manusia pada
umumnya. Di sisi sosial nampak jauh berbeda, manusia sebagai mahluk sosial
mengisyaratkan manusia untuk selalu berkumpul, menjalin ikatan emosional, dan
mempertegas identitas demi membangun sebuah peradaban. Namun, hal ini tentu
saja sudah sangat jarang terjadi. Jepang misalnya yang mengalami kekurangan
populasi secara drastis diakibatkan para pria di Jepang lebih memilih robot sex
untuk memuaskan nafsunya ketimbang seorang perempuan.
Peran manusia sebagai pusat peradaban kini harus bergelut
dengan problematika zaman. Terkhususnya dikalangan Himpunan Mahasiswa Islam,
HMI yang dicitrakan sebagai organisasi yang selalu menjawab tantangan zaman.Menuntut
seluruh kader HMI untuk menciptakan hal baru demi keberlangsungan keummatan. Dalam
lintas sejarah bangsa Indonesia, HMI begitu berperan penting. Sebuah catatan
sejarah telah mengukir peran HMI dari mengusir para penjajah hingga membubarkan
PKI. Hal ini tentu merupakan sebuah catatan yang gemilang. Bukan hanya sampai
disitu saja, hingga saat ini para alumni-alumni HMI masih tetap berperan aktif
dan berkontribusi dalam kemajuan bangsa ini.
Sosok HMI yang sedemikian disebabkan oleh para
kader-kadernya yang selalu bersikap responsif dalam menjawab tantangan zaman.
Tumbuhnya kesadaran serta respon yang sifatnya konstruktif tak terlepas dari
sistem pengkaderan yang ada dalam tubuh HMI. Sebagaimana yang tertuang dalam
bab IV pasal 8 Anggaran Dasar HMI bahwa “HMI berfungsi sebagai organisasi kader”.
Pengkaderan merupakan nafas bagi setiap organisasi, dengan adanya pengkaderan
sebuah organisasi dapat menjaga keberlangsungan tongkat estafet kepemimpinan.
Di HMI pengkaderan merupakan budaya untuk menjaga nilai dan eksistensi
organisasi. HMI dan pengkaderanya bagaikan satu kesatuan yang tak dapat
dipisahkan untuk membentuk kader yang mengemban tanggung jawab keislaman dan
keindonesiaan.
Meskipun pengkaderan ditubuh HMI sudah
menjadi tradisi, bukan berarti tidak ada tantangan yang mempengaruhi sistem
pengkaderan, pengaruh ini bisadatang dari dalam maupun dari luar yang akan
menjadi “penghambat” dan “pembangun” bagi keberlangsungan organisasi. Untuk
itu, seluruh kader HMI agar senantiasa selalu waspada. Pengkaderan dalam hal
ini jangan dipersempit hanya dalam wilayah training saja, karena pengkaderan
diawali dari pra anggota hingga pasca anggota, secara formal maupun informal.
Penegasan ini dilakukan agar lebih muda menganalisa pengaruh secara
komprehensif yang senantiasa mempengaruhi sistem pengkaderan. Pengaruh yang
secara nyata dalam proses kaderisasi ialah kemajuan zaman. Penguasaan
teknologi, Bahasa, serta memiliki daya saing yang tinggi haruslah menjadi
pegangan bagi setiap kader HMI. Artinya adalah, sistempengkaderan harus
senantiasa berkembang sesuai dengan konteks kekinian demi menciptakan
kader-kader berkualitas.
Sebuah tawaran baru terhadap problem
yang hari ini terjadi. penyatuan nilai-nilai organisasi dengan metode Internalisasi untuk membentuk kader yang
sadar akan tanggung jawab atas kemaslahatan ummat. Berbicara mengenai
nilai-nilai yang ada pada sistem pengkaderan HMI tidak bisa dilepaskan dari
perjalanan sejarah HMI, konstitusi, dan pedoman-pedoman dasar organisasi.
Selain itu juga perlu dipertimbangkan tentang posisi HMI yang berkedudukan di
Indonesia. Nilai-nilai dalam hal ini akan menjadi asupan utama bagi sistem
pengkaderan sehingga mampu mengintervensi konteks sosial masyarakat sebagai output daripengkaderan.
Secara umum internalisasi nilai-nilai
diawali oleh simpati; pada posisi ini antara nilai dengan objek masih ada jarak
tetapi sudah ada ketertarikan yang positif sehingga nilai tersebut hadir secara
ontologis di diri objek. Hadirnya nilai pada objek ini penting untuk
“membongkar” nilai lama yang dianggap tidak signifikan terhadap keinginan
sistem pengkaderan. Upaya untuk menghadirkan nilai pada objek pengkaderan tidak
bisa dilakukan dengan “sekali pukul” tapi dilakukan secara bertahap. Dengan di
dukung perlengkapan teknis untuk mengvirtualisasikan realitas diharapkan objek
mampu membuka kesadaran terhadap fakta-fakta yang terjadi.
Langkah internalisasi berikutnya adalah
empati; pada posisi ini nilai dan objek telah berada pada irisan yang sama. Ini
terjadi akibat dari langkah efektif dari proses simpati. Nilai-nilai lama telah
tergerus dan digantikan dengan nilai baru sesuai dengan keinginan sistem pengkaderan.
Pada posisi ini objek baru berada pada tahap merasakan “romantisme” nilai.
Nilai baginya dianggap telah mampu menyelesaikan persoalan hidupnya. Hal ini
wajar terjadi karena nilai baru tersebut diawali oleh proses simpati bukannya
doktrinisasi. Pada tahap empati ini objek sangat membutuhkan pendampingan
karena kalau dibiarkan secara “alami” maka dapat mengarahkan dirinya pada
pemahaman nilai doktrin.
Selanjutnya adalah asimilasi; pada
posisi ini sosok objek pengkaderan diharuskan berinteraksi dengan sosok obyek
pengkaderan lainnya. Ini dimaksudkan untuk menyesuaikan romantisme nilai yang
terjadi pada tahap empati. Sang objek mulai me-rasa-kan bahwa ada romantisme
lain yang ternyata berbeda dengan dirinya bahkan bertolak belakang, diharapkan
proses ini akan memunculkan perasaan nilai kolektif. Pada posisi ini
pendampingan perlu semakin intensif dilakukan karena dapat mengarah ke
romantisme-emotif yang dapat saja mengarah pada hal yang destruktif.
Berikutnya adalah “pembauran sempurna”;
suatu tahap yang mendudukkan objek pengkaderan pada realitas persoalan sehingga
nilai akan berinteraksi dengan realitas. Di sini objek yang telah merasakan
nilai akan secara perlahan menemukan kedewasaannya; bahwanilai ketika bertemu
dengan realitas di luar nilai dapat ‘berjabatan tangan” dengan damai. Konsekuensi
logis dari pembauran sempurna ini adalah akan terjadi split personality apabila tidak dibekali dengan kemampuan membaca
realitas dan hal-hal teknis yang signifikan.
Untuk kesempurnaan internalisasi
nilai-nilai maka langkah berikutnya adalah “aplikasi trial-error”; pada tahap
ini obyek pengkaderan diberi kesempatan untuk mengaplikasikan nilai yang telah
terinternalisasi dan dibekali oleh kemampuan membaca realitas sebagai peluang
dan hal-hal teknis dengan harapan bahwa ada keberhasilan dan kegagalan.
Keberhasilan dan kegagalan ini penting untuk proses internalisasi karena dengan
ini ada proses pematangan mental-spiritual. Sehingga, apabila hal ini dilakukan
berulang-kali, akan semakin memperkuat mental-spiritualnya. Kekuatan
mental-spiritual ini akan menjadi bekal penting bagi kader dalam berkehidupan. Apalagi
ditengah kencangnya arus perubahan yang seringkali tidak linear. Zaman yang
begitu berkembang pesat kekuatan mental-spritual
yang akan membentuk nalar kreatif dan daya kritis untuk
terus selalu berkembang seiring perkembangan zaman.[]
Penulis: Abdullah Fadhil Khaliq Maengkom
Kader
HMI Cabang Manado
No comments:
Post a Comment