YakusaBlog- Peradilan
tindak pidana pada dasarnya bertujuan untuk menaggulangi praktek tindak
kejahatan yang terjadi dalam masyarakat. Peradilan
muncul sebagai akibat hukum dari sebuah tindak pidana yang terjadi dalam
masyarakat, baik yang terjadi akibat sebuah kesengajaan maupun kealpaan. Pada
prinsipnya, peradilan akan menunjukkan kepastian hukum dari implikasi
yang terjadi akibat tindak pidana yang terjadi. Namun memahami praktek peradilan
pidana di Indonesia tidak semudah memahami film animasi.
Peradilan
pidana di indonesia di atur dalam Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana atau dikenal dengan UU No. 8 tahun
1981. Peradilan
pidana merupakan sebagai upaya hukum dalam mencari rasa
keadilan, tentunya harus berdiri pada posisi yang objektif.
Dengan tidak mengangkangi hak dari
seorang pelaku yang secara notabenenya merupakan subjek yang
akan di berikan sanksi akibat perbuatannya. Walaupun faktanya, kita sangat
geram terhadap pelaku tindak pidana. Sebagaimana yang tertuang dalam buku
Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Penyidikan Dan Penuntutan karya M.
Yahya Harahap S.H disebutkan bahwa:
“Tersangka
harus ditempatkan pada kedudukan manusia yang memiliki hakikat martabat. Dia
harus dinilai sebagai subjek, bukan objek. Yang diperiksa bukan manusia
tersangka. Perbuatan tindak pidana yang dilakukannyalah yang menjadi objek
pemeriksaan. Ke arah kesalahan tindak pidana yang dilakukan pemeriksaan
ditujukan. Tersangka harus dianggap tidak bersalah, sesuai dengan asas praduga
tak bersalah sampai diperoleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan tetap.”
Hak untuk
diperlakukan sebagai manusia, di hargai harkat dan martabat dari seorang
tersangka inilah yang kemudian di kenal dengan istilah asas praduga tak
bersalah (presumtion of innocence).
Apakah sistem peradilan Pidana Indonesia mengakui adanya asas
ini? Apakah tersangka dalam praktek peradilannya
di Indonesia memiliki hak untuk duduk santai?
Asas presumtion of innocence atau asas
praduga tak bersalah adalah asas yang menegaskan hak seseorang
tersangka untuk tidak dianggap bersalah sampai ada putusan pengadilan yang
menyatakan bersalah. Hak tersangka yang
dimaksud di sini merupakan hak yang harus diperolehnya. Apa saja hak itu? Nanti
akan penulis sebutkan, namun untuk membedahnya, mungkin dalam kesempatan
lainnya.
Baca juga: Keadilan Sebagai Hukum Kosmos
Asas praduga
tak bersalah diatur dalam KUHAP dan dalam UU No. 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman. Dalam KUHAP, asas ini
diatur dalam penjelasan ketentuan umum butir ke 3 huruf (c) yang
berbunyi: “Setiap
orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka
sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan
pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.”
Sedangkan
dalam UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, asas praduga tak
bersalah diatur dalam pasal 8 ayat (1) yang berbunyi: “Setiap orang yang disangka, ditangkap,
ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak
bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.”
Perlu diingat
bahwa, walaupun tersangka memiliki hak yang dilindungi
undang-undang, tetap haknya terbatas. Selama hak tersangka yang diatur dalam pasal 50 sampai pasal 68 KUHAP maka
tidak perlu ada yang dikhawatirkan. Walaupun dia dilindungi
Undang-Undang, namun
tetap status yang dipersangkakan akan melekat dalam dirinya. Itulah
yang membuat asas ini cenderung tidak sejalan dengan kehidupan sosial di
Indonesia.
Lebih
lanjutnya, asas praduga tak bersalah harus diartikan,
selama terhadap seorang tersangka atau terdakwa diberikan secara penuh hak-hak
hukum sebagaimana dirinci dalam KUHAP tersebut, maka selama itu pula
perlindungan atas asas praduga tak bersalah telah selesai dipenuhi. Putusan
pengadilan yang menyatakan seorang terdakwa bersalah yang didasarkan
bukti-bukti yang tidak meragukan majelis hakim, harus diartikan sebagai akhir
dari perlindungan hukum atas hak terdakwa untuk dianggap tidak bersalah.
Praduga tersebut selanjutnya berhenti ketika pengadilan memutuskan terdakwa
bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan dan dihukum pidana sementara
waktu dan atau pidana denda. Namun perlu diingat, pasal
66 KUHAP merupakan reprepenstase dari
asas presumtion of innocence.
Demikian
ulasan singkat dari penulis mengenai asas praduga tak bersalah. Kekurangan dalam hal penulisan, baik secara kepustakaan ataupun teknis
penulisan, kiranya dapat dimaklumi.[]
Penulis: MHD. Panca Anugrah
Mahasiswa Fakultas Hukum UISU Medan
Ket.gbr: Net/Ilustrasi
No comments:
Post a Comment