YakusaBlog- Dalam tata-cara pergaulan sesama manusia, baik berbentuk masyarakat atau
negara, mungkin tidak prinsip atau pandangan dasar yang sedemikian didambakan
oleh umat manusia sepanjang sejarahnya, kecuali keadilan.
Istilah “adil” yang kita pinjam dari bahasa Arab itu mempunyai makna dasar “tengah”
atau “seimbang”. Maka pikiran dasar keadilan ialah keseimbangan (al-Mizan), yaitu sikap tanpa berlebihan,
baik ke kanan atau ke keri. Karena itu, kemampuan berbuat adil senantiasa
dikaitkan dengan kearifan atau wisdom,
yang dalam bahasa Arab disbeut hikmah,
suatu kualitas pribadi yang diperoleh dan disebabkan adanya pengetahuan yang
menyeluruh dan seimbang (tidak pincang atau parsial) tentang suatu perkara. Oleh
karena itu, keadilan di-ta’rif-kan
sebagai “meletakkan sesuatu pada tempatnya,” dan sebaliknya ke-zhalim-an, dita’rifkan sebagai “meletakkan
sesuatu tidak pada tempatnya.”
Baca juga: Keadilan Sosial dan Keadilan Ekonomi
Yang amat menarik, berkenaan dengan keadilan ini adalah bagaimana dalam
Al-Qur’an hal itu dikaitkan dengan hukum ketetapan Allah bagi kosmos atau alam
raya ciptaan-Nya. Kemudian perintah Allah untuk menegakkan keadilan pun
dikaitkan dengan hukum alam raya itu. Maka, melanggar prinsip keadilan berarti
melanggar hukum kosmos, sehingga dapat kita bayangkan betapa besar dosanya.
Allah berfirman: “Dan langit pun
ditinggikan oleh-Nya, dan ditetapkan-Nya (hukum) keseimbangan (al-Mizan). Maka hendaknya
kamu (umat manusia) janganlah melanggar (hukum) keseimbangan itu, serta
tegakkanlah timbangan dengan jujur, dan janganlah merugikan (hukum)
keseimbangan.” (QS. Ar-Rahman:7-9)
Jadi, ditegaskan bahwa langit, yakni seluruh alam raya, terwujud dengan
adanya hukum keseimbangan. Kita tidak boleh melanggar hukum itu. Maka dalam
bentuk yang paling nyata pun, yaitu melakukan timbangan (al-wazn), kita pun harus melakukannya dengan penuh kejujuran. Bertindak
tidak jujur dalam timbangan itu melanggar hukum keseimbangan kosmos.
Timbangan (yang kini menjadi salah satu tugas jawatan metrologi untuk
diawasi) itu memang merupakan wujud paling lahiriah dan nampak mata bekerjanya
hukum Keseimbangan yang telah ditetapkan Allah itu. Kita tidak perlu memasuki
masalah pelik tentang hukum gravitasi
untuk memahami hakikat hukum keseimbangan itu. Tetapi, dari bagaimana
bekerjanya suatu alat timbangan kita mengetahui bahwa suatu prinsip yang jauh
lebih dan meliputi sekarang masih menjadi salah satu pusat keasyikan pembahasan
para ilmuwan alam.
Salah seorang ahli tafsir Al-Qur’an yang terkenal, yaitu al-Zamakhsyari,
mengatakan bahwa perkataan “timbangan” atau “al-wazn” dalam firman Allah itu dapat diartikan secara metaforis. Dalam artian ini yang
dimaksudkan dengan “timbangan” itu ialah setiap rasa keadilan yang meliputi
seluruh kegiatan hidup kita, baik yang lahir maupun yang batin.
Maka, perintah Allah agar kita “melakukan timbangan secara jujur itu” ialah
perintah agar kita dalam segala perkara senantiasa memperhatikan rasa keadilan
dan kejujuran. Jika tidak, maka berarti kita telah melanggar, merusak dan
merugikan hukum seluruh alam raya. Ini berarti bahwa, reaksi keberatan terhadap
tindakan tidak adil dan tidak jujur kita, itu tidak datang hanya dari orang
yang kita rugikan saja, tetapi dari seluruh alam raya. Keadilan adalah suatu
Hukum Kosmos.[]
Sumber: Nurcholish Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, Paramadina, Jakarta Selatan, 2002, hal:
40-41.
Ket.gbr: Net/Ilustrasi
Sumber gbr: https://www.deviantart.com
No comments:
Post a Comment