YakusaBlog- “Apakah perang itu?” Demikian permulaan
pembahasan yang harus kita bahas sebagai langkah awal membahas beberapa segi
dari masalah perang. Clausewitz (Direktur Akademi Perang pada tahun 1818-1830)
dalam bukunya yang berjudul Vom Krege
dengan mengatakan: “Der Krieg ist ein Akt
der Gewalt, um den Gegner zur Erfullung unseres Willens zu zwingen,”
(Perang adalah tindakan kekerasan untuk memaksa musuh memenuhi kemauan kit).
Memang segi yang paling kentara dalam perang ialah segi pemakaian kekerasan.
Akan tetapi, tidak setiap bentuk pemakaian kekerasan merupakan
peperangan. Polisi umpamanya mempergunakan juga kekerasan terhadap
penjahat-penjahat, tetapi itu tidak berarti bahwa dengan itu telah lahir
peperangan. Peperangan adalah permusuhan, artinya dalam suatu peperangan
perasaan kebencian terhadap pihak yang menjadi musuh dan keinginan untuk
memusnahkan musuh selalu memuncak. Tetapi tidak setiap permusuhan merupakan
peperangan.
Peperangan adalah konflik atau pertikaian di
antara dua masyarakat atau lebih. Akan tetapi juga, tidak setiap pertikaian
antara dua masyarakat atau lebih merupakan peperangan. Sebetulnya dalam
pergaulan antar bangsa dan antar negara selalu terdapat pertikaian-pertikaian
yang besar atau yang kecil, tetapi adanya pertikaian saja belum berarti bahwa
ada peperangan. Selain daripada itu, maka peperangan adalah suatu keadaan hukum
antara dua negara yang memberikan keleluasaan bagi pemakaian kekerasan antara
negara-negara itu.
Apa bila semua unsur-unsur tadi terdapat,
yakni apabila pertama, ada pertikaian
antara dua masyarakat. Kedua, ada
perasaan permusuhan antara kedua masyarakat. Ketiga, kedua masyarakat itu tersusun dalam dua negara yang
berdaulat dan apabila kedua negara itu menyatakan perang menurut hukum atau
kelaziman yang berlaku. Keempat, kedua pihak mempergunakan
kekerasan secara teratur untuk menyelesaikan pertikaian antara mereka itu, maka
kita melihat peperangan dalam bentuknya yang lengkap.
Peperangan dalam bentuknya yang lengkap
mengandung unsur sosiologis, yakni unsur perkikaian atau konflik antara dua
masyarakat. Mengandung unsur psikologis, yakni unsur perasaan permusuhan antara
dua golongan. Unsur hukum, maksudnya adanya pernyataan perang antara dua pihak
yang berdauat. Unsur militer, yakni pertarungan dengan alat bersenjata secara
teratur.
Tidak selalu semua unsur-unsur tadi terdapat,
atau kadang-kadang justru sala satu di antara unsur-unsur itulah yang menjadi
objek pertikaian. Dalam sejarah kita umpamanya, maka kita menganggap diri kita
berdaulat setelah Proklamasi kemerdekaan kita, sedangkan Belanda pada waktu itu
masih tetap menganggap dirinya berdaulat atas Indonesia. Tetkala lahir konflik
bersenjata mengenai soal kedaulatan ini, maka Belanda berkata bahwa antara kita
dan mereka tidak ada peperangan, oleh karena mereka menganggap bahwa pertikaian
bersenjata itu hanya satu soal dalam negeri saja dari Kerajaan Belanda,
sedangkan kita menganggap pertikaian itu suatu peperangan antara kedua pihak
yang berdaulat.
Dalam hal itu jelas ada pertikaian, ada
permusuhan dan ada pula pemakaian kekerasan secara teratur antara dua
masyarakat, sedangkan unsur hukum justru menjadi soal pertikaian. Sebaliknya,
sebelum perjanjian perdamaian antara kita dan Kerajaan Jepang ditanda-tangani,
maka tidak ada pertikaian bersenjata antara kita dan bangsa Jepang, sedangkan
menurut hukum pada waktu itu kita masih berada dalam keadaan perang dengan
Jepang. Juga dalam persoalan dalam negeri seperti kita ketahui kadang-kadang
terdapat pemakaian kekerasan, terdapat rasa permusuhan, terdapat pertikaian, akan
tetapi tidak terdapat unsur hukum, yakni tidak ada pertikaian antara kedua
belah pihak yang berdaulat.
Oleh sebab itulah diadakan perbedaan antara
perang dalam arti materiil, maksudnya apabila ada pertikaian, permusuhan dan
pemakaian kekerasan secara teratur dan perang dalam arti formil, dalam arti
hukum, yakni apabila antara dua pihak yang berdaulat terdapat keadaan perang.
Seperti setelah kita lihat tidak selalu
keadaan perang dalam arti materiil itu disertai oleh keadaan perang dalam arti
formil. Sedangkan sebaliknya tidak selalu perang dalam arti formil disertai
oleh perang dalam arti materiil.
Sesudah Perang Dunia yang Kedua, maka batas
yang dahulu dengan jelas dan tajam memisahkan keadaan perang dan damai dalam
hubungan antara negara-negara, telah mejadi kabur dan samar-samar. Pertikaian
dan permusuhan terdapat terus menerus antara negara-negara besar. Dalam bidang
diplomasi, propaganda dan dalam bidang ekonomi, bahkan dengan jalan-jalan
rahasia atau dibawah tanah maka negara-negara yang besar itu terus menerus
berusaha untuk merugikan lawannya. Beberapa kali telah timbul pemakaian
kekerasan yang terbatas tempat dan tujuannya. Akan tetapi, dalam arti formil
mereka hidup dalam keadaan damai. Keadaan inilah yang secara populer disebut
perang dingin.
Mempelajari
Peperangan
Peperangan dapat dipelajari dari segi
pemakaian kekerasan, termasuk persiapan-persiapan untuk dapat mempergunakan
kekerasaan, atau dengan singkat dari segi ilmu militer. Perang dapat dipelajari
dari segi perasaan permusuhan dan dari segi kemauan untuk memusnahkan musuh
atau dari segi psikologi. Perang dapat pula dipelajari dari segi pertikaian
dalam kehidupan dan pergaulan antara dua masyarakat atau dari segi sosiologi.
Selanjutnya, perang dapat pula dipelajari dari segi hukum.
Peperangan dapat dipelajari dengan berbagai
tujuan. Perang dapat dipelajari dengan tujuan mencari jalan yang sebaik-baiknya
untuk menghindarkan, atau apabila mungkin untuk menghapuskan peperangan. Dalam
hal ini tentu kita pertama-tama teringat kepada segi psikologi, maksudnya
bagaimana caranya untuk mendidik rakyat, khusus mendidik generasi yang akan
datang, agar mereka jangan terlalu mudah dihinggapi dan diseret oleh perasaan
permusuhan. Seperti dikatakan oleh Piagam UNESCO. Maka: It is in the minds of individuals that wars are made (Perang lahir
dalam pikiran manusia).
Selain daripada itu, tentulah segi-segi
kemasyarakatan dan segi-segi hukum perlu juga dipelajari untuk mencari jawaban
atas pertanyaan bagaimana caranya untuk menegakkan susunan politik, susunan ekonomi,
susunan sosial, dan susunan hukum yang tidak memberikan kesempatan dan ruang
bagi benih-benih kebencian dan pertentangan untuk berkembang menjadi
peperangan. Akan tetapi juga, segi militer antara laian soal perlucutan
persenjataan, penting juga untuk dipelajari dalam hubungan usaha untuk
menghindarkan peperangan.
Peperangan juga dapat dipelajari dengan
tujuan untuk mencarai cara-cara yang sebaik-baiknya guna mencapai kemenangan
dalam peperangan. Dalam hal ini, kita pertama-tama teringat kepada ilmu militer.
Tetapi oleh karena dalam mempersiapkan dan dalam menjalankan peperangan, semua
kekuatan-kekauatan yang terdapat dalam negara dan masyarakat harus dipersiapkan
dan dipergunakan sebaik-baiknya, maka psikologi, sosiologi, dan ilmu hukum
tidak dapat diabaikan.
Selanjutnya, peperangan dapat dipelajari
dengan tujuan untuk mengetahui dan untuk mengatasi akibat-akibat yang
disebabkan oleh peperangan. Akibat-akibat ini terutama terletak dalam bidang
psikologi dan dalam berbagai segi kehidupan masyarakat, baik segi-segi politik,
sosial, ekonomi, moral, dan lain-lain.
Baca juga: Pemikiran Mengenai Perang Di Kalangan Pemikir-Pemikir Marxis
Baca juga: Pemikiran Mengenai Perang Di Kalangan Pemikir-Pemikir Marxis
Pada tingkat yang lebih tinggi, bergeraklah
pemikiran dari ahli-ahli falsafah mengenai pertanyaan apakah perang dapat
dihindarkan atau tidak dan apakah perang merupakan hal yang baik atau tidak. Heraclitos,
Hegel, Schopenheur dan Nietzsche beranggapan bahwa perang tidak dapat
dihindarkan dan mereka milihat adanya segi-segi dan pengaruh-pengaruh yang baik
dalam peperangan. Sebaliknya, Aquinas, Kant, Bentham, Spencer, dan Bertrand
Russel berpendapat bahwa perang dapat dihindarkan dan mereka tidak melihat
adanya segi-segi dan pengaruh-pengaruh yang baik dalam peperangan.[]
Sumber:
Letnan Djenderal T.B. Simatupang, Pengantar
Ilmu Perang di Indonesia, PT Kinta, Jakarta, 1968, hal: 70-72.
Sumber gbr: https://www.deviantart.com/
No comments:
Post a Comment